• Tidak ada hasil yang ditemukan

mbar 7.  Umu Pengamat

2. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH menunjukkan perbandingan jumlah ion hidrogen (H3O+) atau ion hidroksi (OH-), nilainya dinyatakan dalam negatif logaritmik jumlah ion hidrogen, atau 14 dikurangi logaritmik dari jumlah ion hidroksi dalam larutan. Peningkatan jumlah ion hidrogen (H3O+) menyebabkan terjadi penurunan pH dan sebaliknya penurunan jumlah ion hidrogen (H3O+) menyebabkan terjadinya kenaikan pH. Perubahan nilai pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.

a. Metode Perendaman

Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih terhadap nilai pH bakso dan perubahan pH bakso selama penyimpanan. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 8.

43 Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi

terhadap nilai pH selama penyimpanan

Gambar 8 menunjukkan bakso kontrol mengalami penurunan pH dari 6.33 (hari 0) menjadi 5.95 (hari 1). Pada hari 1, bakso kontrol telah mengalami kerusakan, tekstur yang hancur dan bau yang tidak enak. Bakso A1 dan A2 menunjukkan peningkatan pH. Bakso A1 mengalami peningkatan pH yang besar dibanding peningkatan pH dari bakso A2. Mikroba penyebab terjadinya peningkatan pH bakso adalah bakteri proteolitik yang memecah protein. Hidrolisis protein secara enzimatis oleh bakteri proteolitik meningkatkan derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978). Bakso A3 dapat mempertahankan nilai pH-nya sampai hari ke-4. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 14.

4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50 0 1 2 3 4 pH

Lama Penyimpanan (hari)

kontrol A1 (10%) A2 (15%) A3 (20%)

44 Tabel 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan Perlakuan Nilai pH pada hari ke-

0 1 2 3 4

Kontrol 6.33 5.95 * * *

A1 (10%) 4.95 5.18 5.17 5.33 5.43

A2 (15%) 4.90 4.87 4.95 5.01 5.02

A3 (20%) 4.75 4.84 4.79 4.82 4.77

Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) dengan derajat signifikansi 5%, menunjukkan nilai pH bakso kontrol berbeda dengan nilai pH bakso perlakuan pada hari ke-0 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan perlakuan memberikan nilai pH yang berbeda terhadap bakso. Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso kontrol menunjukkan perubahan nilai pH dari hari ke-0 sampai hari ke-1 tidak berbeda signifikan (Lampiran 4). Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan pH ketiga bakso selama penyimpanan tidak berbeda nyata (Lampiran 5, 6, dan 7). Perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan selama 4 hari penyimpanan, sehingga dapat disimpulkan perendaman dapat mempertahankan nilai pH bakso.

Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1, uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikrobanya telah mencapai >2.5x106 koloni/gram. Penurunan pH ini disebabkan aktivitas bakteri pembentuk asam seperti bakteri asam laktat yang menghasilkan asam dan menurunkan pH bakso. Bakso A1 mengalami peningkatan pH yang lebih besar jika dibandingkan dengan bakso A2. Hal ini menunjukkan perbedaan konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi kemampuan antimikroba dalam mempertahankan perubahan pH akibat aktivitas mikroba. Aktivitas mikroba pada bakso A1 lebih tinggi dari bakso A2. Bakso A3 dapat mempertahankan nilai pH selama penyimpanan, perubahan nilai pH-nya berkisar 4.75-4.84.

45 Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan bahwa bakso kontrol mengalami penurunan pH, sedangkan bakso yang diberi perlakuan mengalami peningkatan pH selama penyimpanan. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan, artinya perubahan pH yang terjadi masih kecil. Konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi profil perubahan pH. Oleh sebab itu, bakso A2 dan A3 merupakan bakso yang paling dapat mempertahankan nilai pH selama 4 hari penyimpanan karena nilai pH-nya yang rendah dan menghambat terjadinya pertumbuhan mikroba.

b. Metode Perebusan

Nilai pH bakso kontrol dan metode perebusan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan Gambar 9 menunjukkan bakso kontrol pada hari ke-1 telah mengalami kerusakan seperti permukaan yang berlendir, tekstur yang melunak, dan bau yang tidak enak. Bakso kontrol mengalami penurunan pH yang disebabkan kerusakan oleh aktivitas mikroba, sedangkan bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan nilai pH selama penyimpanan. Penurunan pH pada bakso kontrol disebabkan

4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50 0 1 2 3 4 pH

Lama Penyimpanan (hari)

kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 (20%)

46 oleh aktifitas bakteri pembentuk asam, karena pH bakso kontrol mendekati netral yaitu 6.33. Nilai ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh, salah satunya adalah bakteri pembentuk asam yang menghasilkan asam-asam organik. Bakso B1 menunjukkan profil perubahan pH yang fluktuatif tapi tidak menyimpang terlalu besar dari pH pada hari ke-0. Bakso B2 dan B3 dapat mempertahankan nilai pH-nya tetap stabil selama penyimpanan. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan

Perlakuan

Nilai pH pada hari ke-

0 1 2 3 4

Kontrol 6.33 5.95 * * *

B1 (10%) 4.77 4.81 4.91 4.77 4.89

B2 (20%) 4.63 4.60 4.59 4.63 5.69

B3 (30%) 4.58 4.57 4.58 4.59 4.63

Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan nilai pH bakso kontrol berbeda dengan nilai pH bakso perlakuan pada hari ke-0 (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan perlakuan memberikan nilai pH yang berbeda terhadap bakso. Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan menunjukkan perubahan pH dari ketiga bakso tidak berbeda secara signifikan (Lampiran 9, 10 dan 11). Perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan antar harinya yang disebabkan perlakuan pengawetan mampu mempertahankan bakso dari kerusakan akibat aktifitas mikroba yang menyebabkan perubahan pH.

Bakso B1 mengalami fluktuasi nilai pH yang masih berada pada kisaran 4.77-4.91. Nilai pH yang stabil ditunjukkan oleh nilai pH bakso B2 dan B3. Fluktuasi nilai pH terjadi akibat aktivitas mikroba yang menghasilkan produk sekunder metabolismenya yang bersifat asam atau basa.

47 Perbedaan penetrasi asam dengan pengawetan metode perebusan menghasilkan nilai pH yang lebih rendah. Pada konsentrasi larutan pengawet yang sama, pengawetan dengan perebusan menghasilkan pH yang lebih rendah dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan juga mengurangi jumlah mikroba awal dari bakso. Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan bahwa bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan pH selama 4 hari penyimpanan. Hal ini disebabkan perebusan dapat meningkatkan penetrasi larutan pengawet ke dalam bakso.

Keasaman yang dihasilkan dengan perlakuan tidak cukup tinggi, rata-rata pH sekitar 4-5. Keadaan ini memungkinkan pertumbuhan beberapa mikroba, seperti kapang dan golongan proteolitik yang tahan asam (acid proteolitik). Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa (Frazier dan Westhoff, 1978).

Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Setyadi (2008) yang menyatakan bahwa tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% dengan metode perendaman selama satu menit mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 3 hari. Ferdiani (2008) juga menyatakan bahwa mi basah matang yang diawetkan dengan cuka pasar konsentrasi 1% dan 2% mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 4 hari.

Jadi dapat disimpulkan perlakuan perendaman dengan larutan pengawet konsentrasi 15%, 20% dan perlakuan perebusan pada semua konsentrasi dapat mempertahankan nilai pH bakso selama 4 hari penyimpanan. Hal ini disebabkan bakso perlakuan perendaman dan perebusan dengan larutan biang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab terjadinya perubahan pH.

48 3. Total Asam Tertitrasi

Analisis total asam tertitrasi (TAT) merupakan analisis untuk mengukur kandungan keseluruhan asam yang tidak terdisosiasi yang terdapat dalam bahan pangan, dengan mentitrasi sampel dengan larutan basa standar yang telah diketahui normalitasnya. Total asam tertitrasi merupakan aplikasi dari reaksi penetralan asam-basa, sehingga jumlah asam yang tertitrasi dapat dihitung dengan mengetahui jumlah basa terstandarisasi yang digunakan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan jumlah asam asetat yang berfungsi sebagai antimikroba selama penyimpanan dan kemungkinan aktivitas bakteri pembentuk asam seperti bakteri asam laktat. Nilai total asam tertitrasi bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 12.

a. Metode Perendaman

Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perendaman selama empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai

konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan

 

Gambar 10 menunjukkan pada hari ke-0, bakso kontrol memiliki nilai TAT yang paling rendah dan bakso A3 memiliki nilai TAT yang paling tinggi. Nilai TAT semakin besar dengan

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 0 1 2 3 4 to ta l a sam tert itra si (ml NaOH 0,1N/100ml bahan)

Lama Penyimpanan (hari)

kontrol A1 (10%) A2 (15%) A3 (20%)

49 meningkatnya konsentrasi dari larutan pengawet yang digunakan. Nilai TAT yang terukur fluktuatif karena tidak seragamnya kerusakan yang terjadi walaupun dengan perlakuan yang sama. Nilai TAT bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Perlakuan Nilai TAT pada hari ke-

0 1 2 3 4

Kontrol 4.00 5.25 * * *

A1 (10%) 11.75 10.30 13.45 8.27 13.98 A2 (15%) 15.55 16.80 15.42 14.31 14.50 A3 (20%) 21.98 20.67 23.52 19.29 21.85 Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam menunjukkan nilai TAT bakso kontrol dan perendaman (A1, A2, A3) pada hari ke-0 berbeda signifikan (Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa perendaman mempengaruhi nilai TAT bakso secara nyata. Bakso kontrol hari ke-0 berbeda dengan nilai TAT pada hari ke-1 (Lampiran 14). Analisis sidik ragam terhadap bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai TAT untuk ketiga bakso selama penyimpanan tidak berbeda secara signifikan (Lampiran 15, 16, dan 17). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan nilai TAT selama penyimpanan tidak signifikan.

Bakso kontrol mengalami kenaikan nilai TAT disebabkan oleh aktivitas bakteri pembentuk asam yang menurunkan pH bakso. Penurunan pH menyebabkan asam dalam bentuk tidak terdisosiasinya menjadi bertambah. Jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 sudah lebih besar dari 2.5xke-106 koloni/gram. Nilai TAT bakso A1, A2, dan A3 yang fluktuatif disebabkan aktivitas mikroba, kompetisi antara bakteri pembentuk asam dan bakteri proteolitik yang tahan asam.

Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba bakso A1 pada hari ke-3 mencapai 4.2x105 koloni/gram, ini juga ditunjukkan

50 oleh nilai TAT bakso A1 pada hari ke-3 yang turun menjadi 8.27, didukung juga oleh kenaikan pH pada hari ke-3. Bakso A2 dan A3 berdasarkan uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba masih di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai penyimpanan hari ke-4. Jumlah mikroba yang masih rendah ini menyebabkan sedikit perubahan nilai TAT. Nilai TAT berkorelasi negatif dengan nilai pH, semakin tinggi nilai pH semakin rendah nilai TAT, dan semakin rendah nilai pH semakin tinggi nilai TAT. Hal ini disebabkan asam akan terdisosiasi pada pH yang lebih tinggi dari nilai pKa-nya.

b. Metode Perebusan

Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perebusan selama empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Gambar 11 menunjukkan pada hari ke-0, nilai TAT bakso kontrol yang paling rendah dan nilai TAT bakso B3 paling tinggi. Peningkatan konsentrasi larutan pengawet meningkatkan nilai TAT dari bakso. Perubahan nilai TAT dari bakso B1, B2, dan B3 stabil selama 4 hari penyimpanan. Nilai TAT bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 17.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 0 1 2 3 4 to ta l a sam tert it ra si (nl N a O H 0. 1N /1 00 m l)

Lama Penyimpanan (hari)

kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 (20%)

51 Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Perlakuan Nilai TAT pada hari ke-

0 1 2 3 4

Kontrol 4.00 5.25 * * *

B1 (10%) 19.03 19.75 17.59 18.38 18.57 B2 (15%) 28.22 33.99 34.32 29.47 31.76 B3 (20%) 44.49 40.16 43.25 42.00 41.80 Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan berpengaruh terhadap nilai TAT bakso pada hari ke-0 (Lampiran 18). Analisis sidik ragam juga menunjukkan perubahan nilai TAT bakso kontrol berbeda antara hari ke-0 dengan hari ke-1, sedangkan nilai TAT bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan tidak berbeda signifikan (Lampiran 19, 20, dan 21).

Bakso B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai TAT yang lebih besar dari nilai TAT bakso kontrol dan lebih besar dari nilai TAT bakso metode pengawetan perendaman (Bakso A1, A2, dan A3). Nilai TAT yang besar ini disebabkan penetrasi yang besar dari larutan pengawet yang mengandung asam asetat. Metode perebusan menunjukkan penetrasi yang lebih besar ke dalam bakso. Hal ini ditunjukkan nilai TAT metode perebusan lebih besar dari metode perendaman pada konsentrasi yang sama. Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba bakso B1, B2, dan B3 di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai penyimpanan hari ke-4. Berdasarkan profil perubahan nilai TAT, metode pengawetan dengan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi 10% dari larutan biang (B1) sudah dapat mempertahankan nilai TAT selama 4 hari penyimpanan.

Menurut Ray dan Sandine (1992), penurunan pH disebabkan oleh kandungan karbohidrat (pati) yang menjadi bahan pengisi dari bakso, walaupun kandungan protein yang juga cukup tinggi karbohidrat akan lebih dulu digunakan oleh mikroba pembentuk asam (bakteri asam

52 laktat). Peningkatan pH pada sampel yang diberi perlakuan disebabkan oleh aktivitas proteolitik. Hidrolisis protein secara enzimatis oleh golongan mikroba proteolitik cenderung menyebabkan peningkatan derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978).

Hasil pengamatan yang didapat berbeda dengan penelitian yang dilakukan Setyadi (2008) menyatakan bahwa tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% mengalami kenaikan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan selama 3 hari. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Ferdiani (2008) bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami kenaikan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan 4 hari.

Jadi dapat disimpulkan bakso dengan perlakuan perendaman 15% dan perebusan pada semua konsentrasi dapat mempertahankan perubahan nilai total asam tertitrasi selama 4 hari penyimpanan.

4. Tekstur

Tekstur bakso diukur dengan menggunakan penetrometer untuk melihat perubahan tekstur berdasarkan kedalaman jarum penetrometer menembus permukaan bakso. Menurut Wibowo (2005), tekstur bakso termasuk dalam kriteria mutu bakso. Tekstur yang bagus adalah tekstur yang kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Kekerasan menyatakan kekuatan suatu benda terhadap gaya tekan yang diberikan tanpa mengalami deformasi bentuk (Soekarto, 1990). Prinsip penetrometer adalah melakukan penusukan terhadap sampel dengan gaya tertentu selama waktu tertentu.

Pengamatan untuk melihat perbedaan kekerasan antar bakso tanpa pengawetan dan bakso dengan pengawetan, serta membandingkan perubahan kekerasannya selama penyimpanan. Peningkatan hasil pengukuran dengan penetrometer mengindikasikan bahwa kekerasan sampel berkurang, sehingga jarum dapat lebih mudah menembus bakso dan begitu juga sebaliknya, penurunan hasil pengukuran mengindikasikan

53 terjadinya peningkatan kekerasan dari sampel yang diukur Hasil pengukuran dengan penetrometer selama 4 hari dapat dilihat pada Lampiran 22.

a. Metode Perendaman

Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran penetrometer terhadap tekstur dari bakso kontrol dan bakso perendaman (10%, 15%, dan 20%). Pada hari ke-0, bakso A1 menunjukkan nilai pengukuran yang paling besar yaitu 17.28 mm/5detik yang artinya bakso A1 adalah bakso yang paling lunak pada hari itu. Bakso kontrol, A2, dan A3 menunjukkan kekerasan yang hampir sama pada hari ke-0.

Gambar 12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan bakso (Lampiran 23). Hal ini menunjukkan perendaman tidak mempengaruhi kekerasan bakso pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol mengalami penurunan kekerasan, sedangkan bakso A1, A2, dan A3 mengalami peningkatan kekerasan. Bakso kontrol pada hari ke-1 sudah mengalami kerusakan

12 13 14 15 16 17 18 0 1 2 3 4 Da ya P ene tr as i (mm/5 detik (1.4g))

Lama Penyimpanan (Hari)

kontrol A1 (10%) A2 (15%) A3 ( 20%)

54 akibat aktivitas mikroba, kerusakan yang terjadi yaitu permukaan berlendir dan tekstur yang mulai lunak. Jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 juga telah lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan kekerasan bakso kontrol tidak berbeda signifikan (Lampiran 24). Bakso A1, A2, dan A3 terus mengalami peningkatan kekerasan sampai hari ke-4. Penurunan kekerasan seharusnya terjadi pada bakso A1 disebabkan terjadinya aktivitas mikroba, jumlah total mikroba pada hari ke-3 pada bakso A1 telah mencapai 4.2x105 koloni/gram, sedangkan jumlah total mikroba bakso A2 dan A3 masih di bawah 2.5x104 koloni/gram. Tidak turunnya kekerasan dari bakso A1 walau jumlah mikroba sudah mencapai 4.2x105 dikarenakan kerusakan yang terjadi masih pada permukaan saja sedangkan bagian dalam bakso masih baik sehingga tidak mempengaruhi tekstur ketika diukur. Analisis sidik ragam terhadap nilai kekerasan dari bakso A1, A2, dan A3 selama penyimpanan menunjukkan lama penyimpanan tidak mempengaruhi nilai kekerasan secara signifikan (Lampiran 25, 26, dan 27).

Bakso perlakuan pengawetan dengan perendaman ke dalam larutan pengawet konsentrasi tertentu terbukti mampu menghambat aktivitas mikroba pada bakso A1, A2, dan A3. Aktivitas mikroba yang tinggi terjadi pada bakso kontrol yang mengalami penurunan kekerasan pada hari ke-1. Menurut Jay (1996), bahwa lendir hasil pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan terjadinya pelunakan atau melonggarnya struktur protein daging. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3.0x106 sampai 3.0x108 koloni/ml dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2x106 sampai 1.2x108 koloni/ml. Tidak terjadinya atau sedikitnya aktivitas mikroorganisme pada bakso A1, A2, dan A3 membuat bakso perlakuan tidak mengalami penurunan kekerasan.

55 Peningkatan kekerasan terjadi karena penurunan kadar air selama penyimpanan sehingga menyebabkan mengkerutnya struktur protein daging dan tekstur menjadi lebih keras. Dapat disimpulkan bakso perlakuan dapat mempertahankan kekerasan dengan menghambat aktivitas mikroba yang menyebabkan terjadinya pelunakan tekstur dari bakso. Perlakuan perendaman bakso ke dalam larutan pengawet konsentrasi 15% dan 20% dapat mempertahankan kekerasan sampai hari ke-4 penyimpanan.

b. Metode Perebusan

Gambar 13 menunjukkan pada hari ke-0 bakso perlakuan pengawetan dengan perebusan (B1, B2, dan B3) memiliki nilai pengukuran yang paling besar, dan nilai pengukuran bakso kontrol paling rendah.

Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan

Analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan bakso pada hari ke-0 (Lampiran 28). Hal ini menunjukkan metode perebusan tidak mempengaruhi kekerasan bakso pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol menunjukkan penurunan kekerasan disertai dengan

12 13 14 15 16 17 18 19 0 1 2 3 4 Da ya P enetrasi (mm/5 de tik (1 .4 g ))

Lama Penyimpanan (Hari)

kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 ( 20%)

56 terdeteksinyakerusakan akibat aktivitas mikroba. Bakso B1, B2, dan B3 terus mengalami peningkatan kekerasan selama penyimpanan. Hal ini didukung oleh hasil uji mikrobiologi yang menunjukkan jumlah total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai hari ke-4 penyimpanan masih di bawah 2.5x104 koloni/gram, sehingga bakso belum mengalami kerusakan oleh mikroba.

Analisis sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan dari bakso B1 dan B2 (Lampiran 29 dan 30), sedangkan analisis sidik ragam tehadap nilai kekerasan bakso B3 menunjukkan lama penyimpanan mempengaruhi nilai kekerasan secara nyata (Lampiran 31). Hal ini menunjukkan bakso B1 dan B2 tidak mengalami peningkatan kekerasan secara signifikan, sedangkan bakso B3 mengalami peningkatan kekerasan yang besar. Jumlah total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai hari ke-4 penyimpanan di bawah 2.5x104 koloni/gram.

Bakso perlakuan pengawetan dengan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi tertentu dapat menghambat aktivitas mikroba selama penyimpanan. Bakso kontrol yang merupakan bakso tanpa perlakuan telah mengalami penurunan kekerasan akibat pertumbuhan mikroba yang tinggi, yaitu lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram, terutama bakteri proteolitik. Kekerasan yang rendah dari bakso B1, B2, dan B3 pada hari ke-0 disebabkan perlakuan perebusan mengempukkan tekstur bakso. Perlakuan pemanasan seperti perebusan membuat struktur protein dari bakso menjadi merenggang. Dapat disimpulkan perlakuan perebusan dengan larutan pengawet berkonsentrasi 10%, 15%, dan 20% dapat mempertahankan kekerasan dengan menghambat aktivitas mikroba selama 4 hari penyimpanan.

Menurut Frazier dan Westhoff (1978), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria. Menurut Fardiaz (1989), semua

57 bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Metabolisme bakteri heteotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya.  

Hasil pengukuran tekstur ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Setyadi (2008), yaitu tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% mengalami penurunan tingkat kekerasan secara terus-menerus selama penyimpanan selama 3 hari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ferdiani (2008) bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami penurunan tingkat kekerasan selama penyimpanan 4 hari.

Jadi dapat disimpulkan bakso perlakuan perendaman dan perebusan pada semua konsentrasi yang diujikan dapat mempertahankan tekstur (kekerasan) selama empat hari penyimpanan pada suhu ruang.

5. Warna

Warna merupakan mutu sensori yang pertama terdeteksi ketika mengkonsumsi produk pangan dan mempengaruhi penilaian terhadap produk karena memberikan persepsi terhadap sesuatu, termasuk pada bakso. Sifat warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak (Soekarto, 1990). Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu warna bakso adalah coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur). Oleh sebab itu pengujian terhadap warna dari bakso secara objektif dilakukan.

Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter. Chromameter adalah alat yang digunakan untuk menganalisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Sebuah lampu gelombang xenon arc akan memberikan pencahayaan pada permukaan sampel kemudian pantulan cahaya dari permukaan sampel

58 akan dideteksi oleh detektor. Skala yang digunakan dalam pengukuran warna pada penelitian adalah L (Lightness/ kecerahan), a (a+ warna merah, a- warna hijau), dan b (b+ kuning, b- biru) yang kemudian nilai a dan b dikonversi menjadi nilai 0Hue.

a. Metode Perendaman

Nilai Lmenunjukkan tingkat kecerahan warna bakso. Perubahan nilai L bakso kontrol dan perebusan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14. Kecerahan sampel bakso yang diberi perlakuan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, dibandingkan dengan bakso kontrol (Lampiran 32).

Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan

Gambar 14 menunjukkan kecerahan bakso kontrol berbeda dengan kecerahan dari bakso A1, A2, dan A3. Kecerahan bakso

Dokumen terkait