• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

Oleh

NANDA HADITTAMA F24050806

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

NANDA HADITTAMA F24050806

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

NANDA HADITTAMA F24050806

Dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi

Tanggal Lulus : 1 September 2009

Menyetujui, Bogor, Oktober 2009

Dr. Ir. Joko Hermanianto Tjahja Muhandri, STP, MT Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(4)

Nanda Hadittama. F24050806. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. Di bawah bimbingan : Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. 2009

RINGKASAN

Pengawet merupakan salah satu kategori bahan tambahan pangan. Salah satu pengawet yang sering digunakan adalah asam organik, contohnya asam asetat. Asam asetat memiliki kelemahan saat digunakan ke bahan pangan yaitu aroma dan rasa asam yang tidak disukai. Penambahan bahan lain dibutuhkan sebagai penutup aroma dan rasa asam, salah satunya dengan penggunaan rempah. Bawang putih memiliki komponen citarasa yang khas dan kuat. Pencampuran asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menjadi pengawet yang efektif dan diterima secara sensori.

Penelitian bertujuan untuk menemukan pengawet yang aman bagi kesehatan, diterima secara sensori, dan relatif murah untuk diaplikasikan pada bakso. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat mengawetkan bakso selama minimal 4 hari pada suhu ruang tanpa terjadinya perubahan mutu bakso.

Penelitian dibagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan biang pengawet, dan melihat pengaruh pengawetan terhadap umur simpan bakso. Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi pengenceran terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan. Lama perlakuan perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso yang telah direbus atau direndam dengan larutan pengawet dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan selama 4 hari atau lebih singkat karena terdeteksinya kerusakan pada bakso seperti terbentuknya lendir atau tumbuhnya miselium kapang. Pengamatan meliputi total mikroba, pengukuran pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, uji organoleptik, dan analisis biaya sederhana.

Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol, karena ekstrak yang dihasilkan memiliki aroma dan rasa yang kuat dibandingkan dengan penggunaan pelarut lain seperti heksan dan etil asetat. Pengukuran kadar air terhadap bawang putih menunjukkan bahwa kadar air bawang putih cukup tinggi yaitu 69.18%, sehingga dilakukan pengeringan bawang putih terlebih dahulu agar kandungan air yang tinggi tidak mengganggu penetrasi pelarut dalam mengekstrak komponen citarasanya. Pengeringan dilakukan menggunakan oven vakum suhu 60oC dengan tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Kadar air bawang putih setelah pengeringan menjadi 46.33%. Rendemen ekstraksi dengan etanol 70% yaitu sekitar 75.18% (KA ekstrak bawang putih 66.48%). Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih yang terpilih berdasarkan nilai pH dan uji organoleptik yaitu kombinasi 60:40, dengan pH 3.02 dan intensitas rasa asam yang paling rendah. Pengamatan menunjukkan metode pengawetan dengan perendaman dan perebusan memperpanjang umur simpan bakso. Perendaman dengan konsentrasi 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 3 hari, perendaman dengan larutan konsentrasi 15% mampu memenuhi target

(5)

penyimpanan 4 hari. Pengawetan dengan perebusan menunjukkan keefektifan yang lebih besar dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan dengan konsentrasi larutan 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 6 hari. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1 pengamatan.

Uji mikrobiologi menunjukkan pengawetan dengan perendaman (konsentrasi 15% dan 20% larutan biang) dan dengan perebusan (konsentrasi 10%, 15%, dan 20% larutan biang) dapat mempertahankan total mikroba pada bakso dibawah 1x105 koloni/g sampai penyimpanan hari ke-4 di suhu ruang. Uji organoleptik yang dilakukan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan biang yang digunakan menurunkan penerimaan untuk parameter aroma, rasa, dan keseluruhan. Pengawetan dengan konsentrasi terendah yang diujikan yaitu 10% larutan biang menunjukkan penerimaan tertinggi untuk pengawetan dengan metode perendaman dan perebusan. Berdasarkan uji mikrobiologi dan organoleptik, metode pengawetan dan konsentrasi yang memenuhi target penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang adalah metode perendaman dengan konsentrasi minimal 15% larutan biang dan metode perebusan dengan konsentrasi 10% larutan biang. Biaya pengawetan dengan metode perendaman adalah Rp.360,00 per kg bakso dan dengan metode perebusan Rp.516,92 per kg bakso.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi. Penulis adalah putra pertama dari

pasangan Bapak Yoer Sofyan dan Ibu Elisri Nelhuda. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 30 ATTS, Bukittinggi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan studi di SLTP Negeri 4 Bukittinggi pada tahun 1999-2002 dan di SMA Negeri 5 Bukittinggi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dibidang akademik dan non akademik. Dibidang non akademik, penulis aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti penulis adalah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang) sebagai BPA (Badan Perwakilan Anggota) periode 2006-2007 dan sebagai Ketua pada periode 2008-2009, HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai Staff Departemen Hubungan Luar periode 2007-2008, dan Food Processing Club pada divisi Ice Cream. Beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti adalah sebagai Ketua Pelaksana ”Baur” (Masa Perkenalan Departemen dan Himpunan Mahasiswa ITP) pada tahun 2007 dan sebagai staff Public Relation HACCP pada tahun 2007.

Penulis juga pernah menjadi trainer pembuatan produk sari buah dan mi jagung tahun 2008, menjadi penyuluh keamanan pangan pada tahun yang sama. Menjuarai cabang basket pada Olimpiade Fateta dari tahun 2006-2009.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis telah menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di laboratorium ITP FATETA IPB mulai bulan Desember 2008 sampai bulan Mei 2009, dengan judul Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. STP, MT

(7)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat”, Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. 

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril, materi dan waktu kepada :

1. Mama dan Ayah tercinta yang telah memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan kami baik moril dan materil selama ini, Rifqi, Arif yang memberi semangat dan Nenek untuk kasih sayangnya.

2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik pertama, yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan, terutama selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Tjahja Muhandri STP, MT, yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing akademik kedua dan memberikan arahan serta bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum M. Sc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberi masukan untuk penyelesaian skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang

telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.

6. Sari Sulistyawati dan Try Aprianti Utami, yang telah memberikan perhatian, dukungan, dan semangat selama ini.

7. Teman-teman terbaik selama di ITP 42 yaitu Aji, Ardi, Wiwi, Hesti, Haris, Midun, Beqi, Caca, Fera, Fuad, Juju, Nina, Umam, Ikhwan, Wahyu,

(8)

ii 

Venty, Muji, Tyu, Adi Leo, Santi, Galih, Arya, Suhe, Olo dan teman-teman ITP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

8. Muji, Nina, Tyu, Kak Cici, Dody dan Indi, teman-teman sebimbingan yang senasib dan sepenanggungan di ITP, dan telah banyak membantu dari awal penelitian sampai skripsi ini selesai.

9. Teman-teman Sarang Rayap, Aji, Haris, Juju, Fuad dan Mas Bowo.

10. Para Laboran yang sangat membantu selama penelitian, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu Antin, Mba Ida dan Mba Ari.

11. Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 42, 43, 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

Bogor, Oktober 2009

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I. PENDAHULUAN…... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 3

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN... 3

D. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. ASAM ORGANIK ... 4

B. REMPAH... 8

C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)... 9

D. EKSTRAKSI ... 12

E. BAKSO... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 19

A. BAHAN DAN ALAT ... 19

B. METODE PENELITIAN ... 19

1. Penelitian Pendahuluan ... 20

2. Penelitian Utama ... 21

C. PERLAKUAN... 24

1. Metode Pengawetan... 24

2. Konsentrasi Larutan Pengawet... 24

3. Kondisi Pengemasan... 25

D. PENGAMATAN... 25

1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45,1999)………...……. 25

(10)

3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)... 26

4. Warna (Pomeranz et. al., 1978)... 26

5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)... 27

6. Tekstur (Penetrometer)... 28

7. Total Mikroba (Fardiaz, 1992)... 29

8. Pendugaan Umur Simpan Secara Visual... 29

9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)... 29

10. Analisis Biaya... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

A. PENELITIAN PENDAHULUAN... 32

1. Ektraksi Bawang Putih... 32

2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih sebagai Larutan Biang... 35

3. Pengaruh Pegawetan terhadap Umur Simpan Bakso…... 36

B. PENELITIAN UTAMA ... 39

1. Mikrobiologi... 39

2. Derajat Keasaman (pH)... 42

3. Total Asam Tertitrasi... 48

4. Tekstur... 52

5. Warna... 57

6. Uji Organoleptik... 64

7. Analisis Biaya... 71

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75

A. KESIMPULAN... 75

B. SARAN... 76

DAFTAR PUSTAKA... 77

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan

(ICSMF, 1982)... 5

Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per hari oleh manusia………... 6

Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme…... 7

Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat…... 8

Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi... 11

Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi... 13

Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI... 18

Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso... 18

Tabel 9. Intrepretasi nilai oHue... 27

Tabel 10. Kadar air bawang putih... 34

Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air Bawang putih... 34

Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih... 36

Tabel 13. Pengaruh metode pengawetan dan konsentrasi larutan pengawet terhadap TPC... 39

Tabel 14. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi terhadap nilai pH selama penyimpanan... 44

Tabel 15. Pengaruh perebusan baksodengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan………... 46

Tabel 16. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan 49 Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan... 51

(12)

Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan... 61 Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan

pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 63 Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan... 72 Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih 72 Tabel 22. Pembuatan larutan biang dan pertambahan nilai per kg bakso.. 73

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bawang Putih... 10 Gambar 2. Struktur kimia Allisin... 11 Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih... 22 Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat

dan ekstrak bawang putih... 23 Gambar 5. Diagram alir penelitian utama ………... 24 Gambar 6. Hasil ekstraksi dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksana 33 Gambar 7. Umur simpan bakso berdasarkan pengamatan visual... 37 Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi

terhadap nilai pH selama penyimpanan... 43 Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap nilai pH selama

penyimpanan... 45 Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan 48 Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan.... 50 Gambar12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan 53 Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan.... 55 Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan 58 Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 60 Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan... 62 Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 63 Gambar 18. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap penerimaan panelis... 65 Gambar 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi

larutan pengawet terhadap penerimaan panelis... 68

(14)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Form Uji Organoleptik..………...…. 82 Lampiran 2. Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan... 83 Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan

perendaman pada hari ke-0... 84 Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol H0-H1.... 84 Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10%

H0-H4... 85 Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15%

H0-H4... 86 Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 20%

H0-H4... 87 Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan

perebusan pada H-0... 88 Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10%

H0-H4... 89 Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15%

H0-H4... 90 Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 20%

H0-H4... 91 Lampiran 12. Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan

perendaman... 92 Lampiran 13. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan

perendaman H-0... 93 Lampiran 14. Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1... 94 Lampiran 15. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10%

H0-H4... 95 Lampiran 16. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15%

H0-H4... 96 Lampiran 17. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20%

H0-H4... 97 Lampiran 18. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan

perebusan H-0... 98 Lampiran 19. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10%

H0-H4... 99 Lampiran 20. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 15%

H0-H4... 100 Lampiran 21. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 20%

(15)

Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan (celup dan rebus)... 102 Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol

dan perendaman H0... 102 Lampiran 24. Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol

H0-H1... 103 Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perendaman 10% H0-H4... 104 Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perendaman 15% H0-H4... 105 Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perendaman 20% H0-H4... 106 Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol

dan perebusan H0... 107 Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perebusan 10% H0-H4... 108 Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perebusan 15% H0-H4... 109 Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso

perebusan 20% H0-H4... 110 Lampiran 32. Data warna kontrol dan perlakuan (perendaman dan

perebusan)... 112 Lampiran 33. Nilai 0hue kontrol dan perlakuan (perendaman dan

perebusan)... 112 Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan

perendaman H0... 113 Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness bakso kontrol H0-H1... 113 Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

perendaman 10% H0-H4... 114 Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

perendaman 15% H0-H4... 115 Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

perendaman 20% H0-H4... 116 Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan

perebusan H0... 117 Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

perebusan 10% H0-H4... 118 Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

perebusan 15% H0-H4... 119 Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso

(16)

ix Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso

perendaman... 121 Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso

perendaman... 122 Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso

perendaman... 123 Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso

perebusan... 124 Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso

perebusan... 125 Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso

perebusan... 126 Lampiran 49. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan

perendaman... 127 Lampiran 50. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan

perendaman... 127 Lampiran 51. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol

dan perebusan... 128 Lampiran 52. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan

perebusan... 129 Lampiran 53. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan

perebusan... 129 Lampiran 54. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol

(17)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengawet termasuk ke dalam salah satu kategori bahan tambahan pangan, namun dalam penggunaannya sering terjadi pelanggaran seperti penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat atau penggunaan bahan lain yang bukan bahan tambahan pangan. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kurangnya pengetahuan, efektifitas, dan harga dari pengawet, mempengaruhi pemilihan bahan pengawet untuk digunakan.

Keberadaan mikroorganisme di alam tersebar luas sehingga produk pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis mikroba (Rahmawati, 2004). Mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen atau akibat toksin yang dihasilkan sebagai produk sekunder metabolismenya, sehingga keberadaan mikroba sangat berpengaruh terhadap umur simpan dan tingkat keamanan produk pangan saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba produk berada dalam batas aman, seperti angka lempeng total bakso menurut SNI yaitu maksimal 1x105 koloni/gram.

Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat pada umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada suhu kamar. Menurut survei yang dilakukan Andayani (1999), sebagian besar konsumen bakso adalah pelajar dan mahasiswa yang merupakan usia produktif (usia di bawah 21 tahun), sehingga keamanan bakso sebagai bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh konsumen usia produktif ini perlu diperhatikan. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral, kadar air dan Aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya relatif singkat yaitu sekitar 12 jam sampai 1 hari, sehingga banyak produsen atau pedagang bakso menggunakan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso, bahkan menggunakan pengawet yang dilarang seperti

(18)

2 boraks dan formalin. Boraks dan formalin diketahui dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, apabila terakumulasi di dalam tubuh dalam waktu yang lama.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap keamanan makanan yang mereka konsumsi, penelitian telah banyak diarahkan untuk menemukan bahan pengawet baru yang dapat mengawetkan produk pangan dengan baik dan aman bagi kesehatan. Saat ini sedang dikembangkan metode pengawetan dengan menggunakan asam-asam organik, karena dengan menurunkan pH menciptakan lingkungan yang tidak disukai oleh mikroba untuk tumbuh. Asam organik yang sering digunakan untuk mengawetkan seperti asam askorbat, asam asetat, asam sitrat, dan asam laktat. Asam organik yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat (cuka pasar).

Rempah digunakan sebagai pemberi citarasa yang khas pada produk kulinari dan telah banyak penelitian berusaha membuktikan bahwa rempah juga dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan alami. Hasil penelitian menunjukkan sifat antibakteri dan antioksidan rempah memang ada tetapi masih kurang efektif dibandingkan dengan senyawa sintetis yang beredar di pasaran. Penggunaan rempah pada penelitian ini dititikberatkan kepada sifat rempah yang memiliki citarasa yang kuat dan khas, digunakan untuk menutupi rasa asam dari asam organik, dan tidak mempengaruhi sifat antimikroba dari asam organik itu sendiri. Rempah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum LINN) yang merupakan ingredien umum dalam pembuatan bakso.

Pembuatan pengawet yang merupakan paduan antara asam asetat (cuka pasar) dan ekstrak bawang putih diharapkan efektif meningkatkan umur simpan bakso dan penggunaannya lebih murah secara ekonomi dibandingkan dengan pengawet sintetik yang beredar di pasaran dan diterima secara sensori, sehingga penggunaan pengawet yang dilarang dan membahayakan kesehatan dapat dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan dari tengah masyarakat.

(19)

3 B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan : 1. Tujuan umum:

a. Memperoleh bahan pengawet yang sesuai untuk bakso

b. Menemukan bahan pengawet yang efektif untuk mengawetkan produk pangan sehingga dapat menggantikan bahan pengawet yang dilarang. c. Menemukan bahan pengawet yang murah sehingga dapat diaplikasikan

oleh industri-industri kecil. 2. Tujuan khusus:

a. Menemukan bahan pengawet yang dapat mengawetkan bakso minimal empat hari penyimpanan dalam suhu ruang.

b. Menemukan rempah yang dapat menutupi rasa asam dari asam organik yang digunakan.

c. Memperoleh kombinasi yang tepat antara rempah dan asam organik sehingga pengawet yang dibentuk tidak terasa asam dan tetap memiliki aktivitas antimikroba.

d. Menemukan bahan pengawet yang diterima oleh konsumen secara organoleptik

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN

Penggunaan kombinasi antara asam asetat dan ekstrak bawang putih mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari dan diterima secara sensori.

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan bahan pengawet yang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, meningkatkan umur simpan, dapat diaplikasikan oleh produsen bakso, tidak berdampak negatif terhadap kesehatan, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan pengawet makanan yang beredar sekarang.

(20)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ASAM ORGANIK

Asam organik adalah asam yang secara alami dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup. Sifat antimikroba asam organik disebabkan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba dan pengaruhnya terhadap pH. Beberapa asam organik yang sering digunakan untuk makanan yaitu asam sitrat, asam laktat, asam askorbat, asam propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam asetat. Kisaran pH menentukan jenis mikroorganisme yang tumbuh pada suatu lingkungan, sehingga pengaturan pH akan mempengaruhi pertumbuhan dari mikroorganisme. Nilai pH menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh dominan pada suatu produk pangan, karena setiap mikroorganisme memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai pH, misalnya kapang yang masih dapat tumbuh pada pH 4.0 (Doores, 1993), sedangkan bakteri tumbuh pada pH mendekati netral yaitu pH 6.5-7.5 (Davidson et al., 2005).

Penurunan pH dilakukan dengan penambahan asidulan atau dengan fermentasi alami. Pengasaman atau penambahan asidulan cenderung bersifat mikrostatik atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme daripada bersifat mikrosidal atau membunuh mikroorganisme. Pemberian asam organik diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine, 1992).

Pemilihan dan penggunaan asam organik perlu mempertimbangkan banyak faktor. Beberapa faktor pertimbangan dalam pemilihan asam organik yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain asam organik; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba di dalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk.

Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba di dalam bahan pangan juga tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas, komposisi nutrisi di dalam bahan pangan, juga tergantung pada

(21)

5 faktor lainnya seperti suhu, metode pengawetan, proses pengolahan, pengemasan, dan penanganan pasca pengolahan.

Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan dan toksisitasnya yang rendah. Asam organik kebanyakan mudah larut dalam air, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Menurut FAO/WHO (ICMSF, 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan pengawet makanan yang dianggap aman.

Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan (ICMSF, 1980) Asam organik pKa Solubilitas a (g/100g) ADb (mg/kg berat badan) Konsentrasi maksimum yang digunakan (mg/kg) Asam asetat 4.75 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas Asam sitrat 3.1 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas Asam laktat 3.1 Mudah larut Tidak Terbatas Tidak Terbatas

Asam sorbat 4.8 0.16 (20oC) 25 1-2000

Keterangan : a Solubilitas dalam air

b Jumlah yang dapat dimakan per hari (FAO/WHO, 1979)

Asam organik telah sering digunakan sebagai pengawet untuk makanan, karena selain memiliki aktivitas antimikroba, asam organik tersebut aman untuk dikonsumsi karena bersifat food grade. Penggunaan beberapa jenis asam organik pada makanan sebagai bahan pengawet memiliki batas maksimal penggunaan. Batas maksimal penggunaan beberapa asam organik dapat dilihat pada Tabel 2.

(22)

6 Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per

hari oleh manusia

No Asam Organik Batasan

(mg/kg berat badan) 1 Asam asetat Tidak terbatas

2 Sodium diasetat 0-15

3 Asam fumarat 0-6

4 Asam laktat Tidak terbatas 5 Asam propionat Tidak terbatas

6 Asam tartarat 0-30

Sumber : Doores (1993)

Keberhasilan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme, jenis dan konsentrasi asidulan, waktu kontak, kapasitas buffer pada makanan, dan kondisi lain pada makanan yang mampu meningkatkan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tersebut (Doores, 1993). Konsentrasi hambatan asam organik terhadap pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3.

Aktivitas antimikroba asam organik ditentukan oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Masing-masing jenis asam organik memiliki nilai pKa yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 1 (ICMSF, 1980). Nilai

pKa akan menentukan kisaran pH efektif dari asam organik untuk dapat bersifat mikrostatis.

Bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikroba juga akan meningkat. Kemampuan asam sebagai anti mikroorganisme didasarkan atas dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH lingkungan dan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi untuk meracuni mikroba (Buckle et al., 1987).

Proses penghambatan dari asam tidak terdisosiasi yang merupakan asam organik adalah dengan berpenetrasi ke dalam membran sel dengan

(23)

7 mudah karena sifat lipofilik dari rantai karbon pada asam organik. Di dalam sel, asam organik akan terdisosiasi karena pH di sitoplasma yang netral, disosiasi asam organik menurunkan pH di sitoplasma. Sel harus mempertahankan netralitas pH di dalam sitoplasma agar tidak terjadi perubahan bentuk dari protein, enzim, asam nukleat dan fosfolipid. Proton yang dihasilkan dari disosiasi asam organik harus dikeluarkan dari dalam sel, proses pengeluaran proton dari sitoplasma sel menggunakan ATP sebagai sumber energi karena melawan gradien konsentrasi, sehingga pada akhirnya sel akan kehabisan energi (ATP) dan tidak dapat tumbuh (Davidson et al., 2005).

S. aureus adalah bakteri yang paling sensitif terhadap asam asetat, diikuti oleh asam sitrat, asam laktat, asam malat, asam tartarat, dan asam hidroklorat (Nunheimer dan Fabian 1940 di dalam Davidson et al., 2005). Anderson dan Marshall (1989) di dalam Davidson et al., (2005) menunjukkan penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi jumlah bakteri pada daging sebesar 99.6%.

Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme Asam organik Asam tidak terdisosiasi yang diperlukan untuk menghambat (%)

Bakteri Gram

positif Gram negatif Bakteri Ragi Kapang

Asam asetat 0.1 0.05 0.5 0.1

Asam

propionat 0.1 0.05 0.2 0.05

Asam laktat >0.03 >0.01 >0.01 >0.01 Sumber : Ray dan Sandine (1992)

Asam asetat merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan memiliki bau asam yang menusuk. Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol, lemak, dan gliserol. Selain itu asam jenis ini juga dikenal sebagai pelarut yang baik untuk bahan organik (Marshall et al., 2000). Asam asetat selain digunakan sebagai sanitaiser, juga dapat digunakan pada makanan sebagai penegas rasa, penegas warna, bahan pengawet, penyelubung after taste yang tidak disukai, dan sebagai bahan pengembang (Winarno, 1997). Sifat dari asam asetat dapat dilihat pada Tabel 4.

(24)

8 Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat

No Sifat Fisik Karakteristik

1 Rumus Kimia CH3COOH

2 Berat Molekul 60.03

3 Aspek Fisik Cairan tidak berwarna 4 Titik Didih 119oC

5 Titik Beku 16.6oC

6 Konstanta Ionisasi 1.75 x 10-5

7 Bau Menyengat

8 Rasa Asam

9 Kelarutan Larut dalam air, alkohol, gliserin 10 Commercial grades Larutan aqueous 99.5 % dan 36 % 11 Densitas larutan 99.5 % 1045 g/l

12 Densitas larutan 36 % 376 g/l 13 pH larutan 1 % 2.78 Sumber : Furia (1972)

Asam asetat termasuk ke dalam gugus asam karboksilat. Asam karboksilat berwujud cairan tidak berwarna dengan bau tajam atau tidak enak (Hart, 2003). Asam karboksilat tergolong polar dan larut air disebabkan gugus hidrogen pada molekul asam yang berbobot molekul rendah seperti asam asetat. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah.

Asam asetat memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan asam asetat sebagai sanitaiser antara lain : 1) termasuk kelompok GRAS (Generally Recognize As Safe) sehingga aman digunakan pada makanan; 2) harganya relatif murah; 3) memiliki toksisitas yang rendah (Marshall et al., 2000). Kekurangan asam asetat adalah bau dan rasanya yang asam, sehingga sebelum digunakan asam asetat ini biasanya diencerkan terlebih dahulu. Sifat hidrofilik yang dimiliki asam asetat juga mendukung proses pengawetan, karena fase air merupakan tempat mikroorganisme tumbuh.

B. REMPAH

Rempah-rempah adalah bahan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberi aroma atau flavor dan membangkitkan selera makan. Rempah-rempah diklasifikasikan menjadi

(25)

9 4 kategori, yaitu: 1) species Aromata yaitu rempah-rempah yang digunakan sebagai wangi-wangian, seperti kapulaga, kayu manis, dan sweet marjoram; 2) species Thumiamata yaitu rempah yang digunakan untuk dupa dan kemenyan, seperti thyme, kayu manis, dan rosemary; 3) species Condimenta yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk pembalseman dan pengawetan, seperti kayu manis, jinten, adas, cengkeh, dan sweet marjoram; 4) species Theriaca yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk menetralkan racun, seperti adas, ketumbar, bawang putih, dan oregano (Farrel, 1985).

Peran rempah sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan rempah yang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan. Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan (Pelczar dan Reid, 1972). Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat terjadinya proses oksidasi.

Menurut Ardiansyah (2007), efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan Sacharomyces cerevisiae. Komponen-komponen aktif pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0.5-2.0 mg/mL.

C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)

Bawang putih termasuk famili Liliaceae, ordo Liliflorae, kelas Monocotyledone, Genus Allium, dan spesies Sativum (Wibowo, 1991). Menurut Morton dan Macleod (1982), bawang putih merupakan umbi tanaman yang berukuran kecil dan sedikit keras, warnanya berbeda-beda (putih, merah muda, dan kuning) tergantung varietasnya. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Bawang putih pada awalnya merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, namun sekarang di Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah (Anonima, 2005).

(26)

10 Di bidang pangan, bawang putih banyak digunakan sebagai penyedap masakan, sedangkan di bidang farmasi bawang putih digunakan sebagai bahan pencampur obat-obatan. Bawang putih digunakan untuk mencegah infeksi lanjut pada penyakit batuk dan sebagai disinfektan bagi sejumlah penyakit (Farrell, 1985).

Gambar 1. Bawang Putih

Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992, bawang putih adalah umbi tanaman bawang putih (Allium sativum Linn.) yang terdiri dari siung-siung, kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dengan air sebagai komponen dengan jumlah terbesar. Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5.

Bawang putih mempunyai karakter bau sulfur yang khas yang akan keluar setelah bawang putih dipotong atau dihancurkan. Bawang putih mengandung minyak volatil kurang dari 0.2% (w/w). Komponen-komponen yang terdapat dalam minyak bawang putih adalah dialil disulfida (60.0%), dialil trisulfida (20.0%), alil propil disulfida (6.0%), dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin, serta allisin dalam jumlah kecil (Farrell, 1985).

Menurut Guenther (1952), allisin tidak terdapat pada umbi bawang putih yang utuh, tetapi dalam bentuk prekursor yang tahan panas yaitu alliin. Senyawa alliin sendiri tidak mempunyai sifat bakterisidal. Pada saat umbi bawang putih dihancurkan allisin akan terbentuk dari alliin dengan bantuan dari enzim alliinase. Hal ini terjadi karena alliin dan enzim alliinase berada di dalam kompartemen sel yang berbeda, ketika bawang putih dihancurkan kompartemen ini pecah, substrat alliin dan enzim alliinase akan membentuk

(27)

11 produk yaitu allisin. Allisin selanjutnya akan terdekomposisi menjadi dialil sulfida dan sulfida-sulfida lain pada destilasi uap dengan tekanan atmosfer.

Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi Komposisi Jumlah (per 100g)

Protein 4.5 g Lemak 0.20 g Karbohidrat 23.10 g Vitamin B1 0.22 g Vitamin C 15 mg Kalori 95 kal Fosfor 134 mg Kalsium 42 mg Besi 1 mg Air 71 g Sumber : Anonima (2005)

Bawang putih termasuk salah satu rempah yang telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Golongan senyawa yang diperkirakan memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa yang mengandung 2 atom belerang yang saling berikatan rangkap dengan atom oksigen seperti allisin.

Gambar 2. Struktur kimia Allisin

Struktur kimia allisin dapat dilihat pada Gambar 2. Allisin adalah komponen utama hasil degradasi secara enzimatis dari prekursor pembentuk citarasa (Alliin) bawang putih yang tidak stabil dan sangat reaktif yang disebabkan lemahnya ikatan S-S (Block, 1992). Kestabilan senyawa tiosulfinat tergantung dari pelarut, suhu, konsentrasi, dan kemurnian.

CH

2

=CHCH

2

S-SCH

2

CH=CH

2

O

(28)

12 Tiosulfinat mengalami beberapa perubahan yang tergantung pada suhu, pH, dan kondisi pelarut untuk membentuk senyawa yang lebih stabil, seperti disulfida, trisulfida, alilsulfida, vinil dithiins, ajoene, dan merkaptosistein (Nagpurkar et al., 2000).

Allisin (dialil tiosulfinat) pertama kali ditemukan oleh Cavalito dan Bailey pada tahun 1944. Sifat-sifatnya antara lain tidak stabil terhadap panas, stabil dalam asam dan basa pada konsentrasi rendah, larut air (2.5% pada 10oC), tidak larut dalam larutan karbon alifatik (n-heksan) (Whitmore dan Naidu, 2000). Allisin adalah cairan kuning berminyak, berbau tajam, bersifat sangat reaktif, sedikit larut air, larut alkohol dan merupakan oksidator kuat. Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang larut dalam air. Komponen larut air allisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya.

Amagase et al., (2001) mengemukakan bahwa allisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Diallil sufida merupakan komponen yang paling dominan dalam bawang putih (Fenwick dan Hanley, 1985) dan merupkan komponen yang sangat menentukan citarasa dan aroma bawang putih. Menurut Purnowati et al., (1992), allisin adalah komponen terbesar yang menentukan rasa bawang putih segar, sedangkan disulfida dan trisulfida mendukung bau bawang putih yang dimasak.

Suharti (2004) meneliti tentang sifat antibakteri bawang putih terhadap Salmonella typhirium. Hasilnya adalah serbuk bawang dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang setara dengan tetrasiklin 100 µg/ml. Whitmore dan Naidu (2000) mengemukakan bahwa allisin dalam bawang putih dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak untuk menghambat mikroba pada medium cair dibandingkan dengan medium padat.

D. EKSTRAKSI

Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang saling tidak bercampur. Menurut Harborne (1987), ektraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu contoh dengan menggunakan pelarut tertentu.

(29)

13 Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen aktif.

Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain yang diinginkan (Nielsen, 2003). Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi

pelarut polaritas konstanta titik didih kelarutan (ε)a) dielektrik (oC)a) dalam air

(Debye)b) (%)b) karbondioksida 0,00 - -56,60 - pentana 0,00 1,84 36,20 0,01 heksana 0,00 2,00 68,70 0,01 toluena 0,29 2,40 11,06 0,05 benzena 0,32 2,30 80,10 0,06 etil asetat 0,38 6,00 77,10 9,80 aseton 0,47 20,70 56,20 larut

propan-2-ol (IPA) 0,63 18,30 82,30 larut

etanol 0,68 24,30 78,30 larut

metanol 0,73 32,60 64,80 larut

air 0,90 78,50 100,00

Sumber : a)Moyler (1995); b)Houghton dan Raman (1998)

Proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut. McCabe dan Smith (1974) menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk melarutkan komponen yang larut dari zat padat yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu disebut dengan leaching atau ekstraksi padat/ cairan (solid/liquid extraction). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s, 1954).

(30)

14 Proses pemindahan komponen bioaktif dari bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi, proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi, 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir apabila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan terjadi apabila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini tercapai dengan cepat atau lambat tergantung dari struktur zat padatnya.

Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke permukaan padatan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses ini berlangsung secara seri. Bila salah satu proses berlangsung lebih cepat maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lebih lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan reaksi tergantung dari kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997).

Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982). Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh konstanta dielektriknya, semakin besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar komponen tersebut.

(31)

15 Penggunaan metode ekstraksi yang akan dilakukan bergantung pada beberapa hal, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan sifat pelarut yang diinginkan (Hougton dan Raman, 1998). Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh oleh lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi.

Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat atau disebut dengan ekstraksi bertingkat. Menggunakan metode maserasi atau dengan perendaman bahan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran, dimulai dengan pelarut non-polar ke pelarut polar. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992).

Penelitian ini menggunakan pelarut non-polar yaitu heksana yang berfungsi melarutkan lemak, heksana merupakan hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14, pelarut semi-polar yaitu etil asetat dengan rumus

molekul C4H8O2, dan pelarut polar yaitu etanol dengan rumus molekul

C2H5OH yang bersifat volatil.

E. BAKSO

Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan. Menurut Tarwotjo et al. (1971), Bakso berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya maksimal 12%.

(32)

16 Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang (Widyaningsih, 2006). Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging sapi. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung yang digunakan, Elviera (1988) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso juga dapat dikelompokkan berdasarkan daging yang digunakan, seperti bakso sapi, bakso ikan, bakso babi, dan bakso ayam.

Proses pembuatan bakso dibagi menjadi 4 tahap yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi, garam, es, dan ingredien lain (seperti bawang putih, MSG, merica).

Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim, 1992). Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding capacity masih tinggi (jumlah ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor, akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1) memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich, 1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Jumlah garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam penggilingan daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama

(33)

17 penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi (lebih dari 15-20oC) akan menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson, 1981). Selain itu es juga berfungsi memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering, dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10%-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging.

Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk sistem emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma yang larut air, (2) aktin miosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981).

Karakteristik bakso sapi yang disukai oleh konsumen berdasarkan survei yang dilakukan Andayani (1999) adalah rasanya gurih (sedang), agak asin, rasa daging kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan kenyal, bentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3 -5 cm). Syarat mutu bakso menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 7.

Banyak pengusaha bakso yang ingin meningkatkan produksinya terbentur masalah keawetan dari produk bakso yang hanya berkisar 12 jam dan maksimal 1 hari pada suhu ruang, sehingga mereka menggunakan bahan yang dapat memperpanjang umur simpan dari bakso, termasuk penggunaan bahan pengawet yang dilarang seperti penggunaan boraks dan formalin. Menurut Sendih (1998), 63% pedagang bakso di kota Bogor menggunakan formalin untuk mengawetkan bakso. Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui berdasarkan lima parameter sensori utamanya seperti tercantum pada Tabel 8. Bakso memiliki kadar air dan Aw yang tinggi yaitu 80% dan 0.99 sehingga rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.

(34)

18 Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Air % b/b Maks. 70.0

2 Abu % b/b Maks. 3.0

3 Protein % b/b Min. 9.0

4 Lemak % b/b Maks. 2.0

5 Boraks - Tidak boleh ada

6 Cemaran mikroba - -

6.1 Angka Lempeng Total Koloni / g Maks. 1.0 x 105 6.2 Escherichia coli APM / g < 3 6.3 Staphylococcus

aureus

Koloni / g Maks. 1.0 x 102

Sumber : SNI No. 01-3818-1995 Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso

Parameter Ciri-ciri Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan

cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, tidak berlendir.

Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur).

Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.

(35)

19 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakso dan bawang putih (Allium sativum LINN). Senyawa organik yang digunakan yaitu asam asetat (CH3COOH) merupakan cuka pasar. Bahan-bahan yang digunakan

dalam proses ekstraksi adalah pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat, pelarut teknis etanol. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu media PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer (buffer fosfat, KH2PO4), alkohol 70%, dan aquades. Bahan–bahan yang digunakan untuk

analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0,1N, asam potasium phtalate (KHP), dan indikator phenoftalein (PP).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pisau, pengaduk, penyaring, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah oven, oven vakum, pH meter, stomacher, bunsen, inkubator, rotary vaccum evaporator, penyaring vakum, shaker, buret, erlenmeyer, gelas piala, Chromameter, Texture Analyzer, cawan petri, mikro pipet, gelas ukur, balep, tabung reaksi, tabung pengencer, autoklaf, dan labu takar.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan pelarut yang efektif untuk ekstraksi komponen citarasa dari bawang putih dan menentukan fraksi yang mampu menghilangkan atau mereduksi rasa asam dari asam asetat, yaitu fraksi polar, semi-polar, non-polar, atau kombinasi ketiga fraksi tersebut, juga membandingkan rendemen ekstraksi dari masing-masing pelarut.

Penelitian dilanjutkan dengan penentuan formula dari ekstrak bawang putih dan asam asetat yang dapat mengurangi rasa dan aroma asam, dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih dengan asam asetat pada berbagai perbandingan. Formula larutan biang juga diujikan terhadap bakso untuk melihat pengaruh larutan biang terhadap umur simpan bakso.

(36)

20 Pengawetan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan perendaman dan perebusan. Pada penelitian utama, dilakukan penentuan konsentrasi terbaik dari asam asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian dilakukan terhadap bakso perlakuan dengan beberapa konsentrasi larutan pengawet. Pengamatan dilakukan terhadap bakso yang telah diberi perlakuan, untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama empat hari penyimpanan. 1. Penelitian Pendahuluan

Ekstraksi bawang putih dilakukan dengan ekstraksi bertingkat metode maserasi (perendaman) menggunakan pelarut yang berbeda-beda tingkat kepolarannya, kemudian dinilai keefektifan dan rendemen ekstraksinya. Pelarut terpilih digunakan untuk ekstraksi bawang putih selanjutnya.

Bawang putih dibersihkan lapisan luarnya, diiris melintang, dan kemudian dikeringkan dengan oven vakum suhu 600C tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Pengeringan dilakukan untuk mencegah kandungan air yang terlalu tinggi pada ekstrak.

Selanjutnya bawang putih dihancurkan dengan blender sehingga diperoleh bawang putih yang telah menjadi potongan-potongan atau bentuk yang lebih kecil. Semakin halus hancuran bawang putih maka semakin luas permukaan yang kontak dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat berlangsung lebih efektif dan cepat. Metode ekstraksi ini berdasarkan penelitian Leomitro (2007) yang mengekstraksi biji Lotus (Nelumbium nelumbo). Perbandingan bawang putih dengan pelarut adalah 1:4, yaitu 60 g bawang putih dengan 240 ml pelarut dalam erlenmeyer dan ditempatkan di atas inkubator bergoyang dengan kecepatan 30 rpm pada suhu ruang selama 24 jam untuk masing-masing pelarut yang digunakan.

Filtrat yang telah diperoleh dipekatkan dengan rotary vaccum evaporator pada suhu 55oC dengan kecepatan 75 rpm hingga sebagian besar pelarut terpisah dari ekstrak. Volume akhir filtrat yaitu sekitar seperempat volume sebelum dipekatkan. Filtrat ditempatkan semalam di ruang asam untuk menghilangkan sisa pelarut.

Padatan yang diperoleh dari penyaringan vakum kembali diekstraksi dengan pelarut berikutnya dengan tahapan proses yang sama. Pelarut yang

(37)

21 digunakan pertama adalah pelarut nonpolar yaitu heksana, pelarut selanjutnya adalah pelarut semipolar yaitu etil asetat, dan terakhir pelarut polar yaitu etanol. Tiap larutan hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut kemudian disaring vakum untuk memisahkan padatan dan filtrat, filtrat diuapkan dengan rotary vaccum evaporator untuk menghilangkan pelarutnya. Diagram proses ektraksi yang lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.

Ekstrak bawang putih yang diperoleh dicampurkan dengan asam organik yaitu asam asetat. Penentuan konsentrasi yang tepat dilakukan secara objektif dengan pengukuran pH yaitu campuran dengan pH ≤ 3.0 dan secara subjektif dengan organoleptik yaitu kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih yang menghasilkan rasa asam paling rendah dibandingkan dengan larutan asam dengan konsentrasi yang sama tapi tanpa penambahan ekstrak rempah. Campuran ini akan digunakan pada penelitian utama. Diagram proses penentuan konsentrasi rempah yang tepat dapat dilihat pada Gambar 4.

Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengamatan terhadap kemampuan antimikroba dari kombinasi asam asetat dan bawang putih yang telah diencerkan menjadi beberapa konsentrasi. Kemampuan antimikroba ini dinyatakan sebagai umur simpan bakso. Parameter subjektif (visual) yang diukur adalah terbentuknya lendir, tumbuhnya miselium kapang, dan perubahan aroma.

2. Penelitian Utama

Pada penelitian utama campuran asam asetat dan ekstrak bawang putih yang terpilih ditentukan konsentrasi terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari penyimpanan pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi pengenceran tertentu. Konsentrasi pengenceran yang dibuat adalah 10%, 15%, dan 20%. Waktu perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso dikemas dengan plastik HDPE dan di-seal. Kemudian dilakukan pengujian terhadap bakso yang diberi perlakuan pengawetan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi selama

(38)

22 penyimpanan. Parameter yang diuji adalah total mikroba, pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, dan uji organoleptik. Diagram penentuan konsentrasi pengenceran optimum dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih

Evaporasi, 550C Bawang putih

Dihaluskan dengan blender Diekstrak dengan heksana,

selama 24 jam Disaring vakum padatan filtrat Dihembus N2 / diuapkan di ruang asam Ekstrak heksana Diekstrak dengan etilasetat,

24 jam Disaring vakum

filtrat

padatan

Ekstrak etil asetat Evaporasi, 550C

Dihembus N2 /

diuapkan di ruang asam Diekstrak dengan etanol,

24 jam Disaring vakum filtrat padatan Ekstrak etanol Evaporasi, 550C Dihembus N2 / diuapkan di ruang asam Diiris melintang

Dikeringkan dengan oven vakum, suhu 60oC, 400 mmHg,

selama 3 jam

Ekstrak Bawang putih

(39)

23 Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat

dan ekstrak bawang putih Mixing

Larutan asam asetat 25% Ekstrak bawang putih

Dibuat berbagai kombinasi konsentrasi 60:40, 70:30, 80:20

Dilakukan pengukuran pH untuk masing-masing kombinasi

Diperoleh larutan pengawet dengan pH ≤ 3, rasa dan aroma asam dapat direduksi

Pengamatan terhadap kerusakan visual dan aroma dari bakso

Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih terpilih

Diujikan pada bakso dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20%

(40)

24 C. PERLAKUAN

1. Metode Pengawetan

K : Kontrol, tidak mendapat perlakuan dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih.

A : Perendaman bakso ke dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit. B : Perebusan bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang

putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit. 2. Konsentrasi Larutan Pengawet

A0 : Kontrol, tanpa perendaman dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih

A1 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%.

Gambar 5. Diagram alir penelitian utama

Larutan pengawet diencerkan menjadi konsentrasi 10%, 15%, dan 20%

Perendaman atau perebusan bakso pada larutan pengawet

selama 10 menit

Pengamatan terhadap perubahan mutu bakso

Disimpan dalam suhu ruang Dikemas dan di-seal dalam plastik HDPE

Formula larutan pengawet terpilih

Bakso matang Penggilingan daging Pembuatan adonan Pencetakan Perebusan 2x (60-80oC & 100oC)

(41)

25 A2 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang

putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.

A3 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.

B0 :Kontrol, tanpa perebusan dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih

B1 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%.

B2 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.

B3 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.

3. Kondisi Pengemasan

Penyimpanan bakso dilakukan pada kondisi suhu ruang selama maksimal 4 hari dengan menggunakan kemasan plastik HDPE untuk melihat tingkat efektifitas dari masing-masing formula larutan pengawet dalam mengawetkan bakso.

D. PENGAMATAN

Pengamatan dilakukan dari hari ke-0 sampai hari ke-4 atau sampai hari terdeteksinya kerusakan pada bakso. Pengamatan yang dilakukan meliputi :

1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45, 1999) Kadar air awal bawang putih diukur untuk menentukan besarnya kadar air dari bahan mentah, sehingga dapat diketahui perlakuan pendahuluan seperti pengeringan. Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven vakum untuk mencegah kehilangan komponen volatil yang terdapat pada bawang putih. Bawang putih ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dikeringkan dengan oven vakum dengan suhu 60oC dengan tekanan 400 mmHg selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik sampai tercapai bobot tetap (<0.0005 g).

(42)

26 2. Rendemen Ekstraksi

Rendemen ekstraksi diukur dengan menimbang jumlah bahan awal sebelum proses ekstraksi, kemudian diukur jumlah ekstrak yang diperoleh setelah proses penghilangan pelarut. Rendemen ekstraksi adalah perbandingan bahan awal dengan hasil ekstraksi yang dinyatakan dalam persen (%).

Rendemen Ekstraksi (%) = Ekstrak yang didapatkan x 100% Berat bawang setelah pengeringan 3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)

Nilai pH bakso diukur menggunakan pH meter. Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Bakso yang akan dianalisis, ditimbang sebanyak 1 gram dan dicampur dengan akuades sebanyak 10 ml, dihancurkan dengan tangan selama 1 menit dengan memasukkan bakso dan akuades ke dalam plastik HDPE. Setelah campuran homogen baru dilakukan pengukuran pH. Pengukuran pH dilakukan dengan merendam elektroda pH meter ke dalam larutan sampai alat menunjukkan nilai pH terukur, elektroda kemudian dibilas dengan akuades, dikeringkan dan digunakan untuk pengukuran pH selanjutnya.

4. Warna (Pomeranz et al., 1978)

Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter CR-200 merek “Minolta”. Pada Chromameter ini menggunakan sistem Y, x, dan y. Pengukuran warna dari bakso dimulai dengan kalibrasi alat dengan menggunakan lempeng warna yang mendekati warna sampel uji. Nilai kalibrasi yang digunakan yaitu Y = 25.3, x = 0.363, dan y = 0.336. Nilai Yxy yang diperoleh dari pengukuran, kemudian dikonversi menjadi nilai L, a, dan b. Y = Y (Luminan) X = Y (x/y) Z = Y (

I

1-(x+y)

I

/y) L = 10 (Y0.5) a = 17.5 (1.02X - Y)/Y0.5 b = 7.0 (Y - 0.847Z)/Y0.5

(43)

27 Nilai L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatis dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah (a positif) dan b untuk biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan warnanya, L bernilai 0-100, yang mewakili warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus:

oHue = tan-1 b/a

Pengukuran tiap produk dilakukan sebanyak 2 kali. Data perhitungan nilai oHue dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Interpretasi nilai oHue

Hasil Perhitungan Warna

18o-54o Merah 54o-90o Merah – Kuning 90o-126 o Kuning 126o-162o Kuning –Hijau 162o-198o Hijau 198o-234o Hijau – Biru 234o-270o Biru 270o-306o Biru – Ungu 306o-342o Ungu 342o-18o Ungu – Merah

5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)

Penentuan total asam tertitrasi dimulai dengan standarisasi NaOH yang dijadikan sebagai basa standar, standarisasi dilakukan dengan mentitrasi asam potassium phtalate dengan larutan NaOH, dan dilakukan

(44)

28 penentuan normalitas NaOH. Analisis terhadap bakso dilakukan dengan menimbang 4 gram bakso, ditambahkan dengan sedikit air, dan dihancurkan sampai menjadi bubur. Setelah itu, campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan akuades sampai tanda tera, diambil 50 ml larutan dan diberi 3 tetes indikator fenolftalein. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0.01 N sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi. 

 

100

Keterangan : TAT dinyatakan dalam ml NaOH 0.1 N/100ml atau 100g larutan contoh

V = volume NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi FP = faktor pengenceran

W = berat contoh atau volume contoh (g atau ml)

6. Tekstur (Penetrometer)

Tekstur bakso dianalisis dengan menggunakan penetrometer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tusuk pada bahan pangan dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu tertentu. Dihasilkan nilai kedalaman tusukan terhadap sampel dalam satuan mm, dengan waktu pengamatan yang telah ditentukan yaitu 5 detik. Jarum yang digunakan memiliki berat 1.4 gram.

Sampel bakso diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tusuk pada sampel. Pada layar penetrometer akan menunjukkan penghitungan mundur waktu, setelah itu dapat dilihat berapa kedalaman jarum menembus sampel. Nilainya dinyatakan dalam mm per 5 detik. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali pada bagian yang lonjong dari bakso.

(45)

29 7. Total mikroba (Fardiaz, 1992)

Sebanyak 10 gram sampel ditimbang secara aseptik dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril, ditambahkan 90 ml larutan pengencer fisiologis (NaCl), dan dihancurkan selama 1 menit. Sampel yang telah dihancurkan dengan stomacher, kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-4 dan dilakukan pemupukan duplo 10-3 dan 10-4.

Dilakukan penambahan media PCA cair untuk menguji total mikroba. Setelah media membeku, cawan diinkubasi pada suhu 30oC selama 2 hari dengan posisi terbalik. Penghitungan total koloni dilakukan dengan metode Harrigan seperti di bawah ini:

Batas koloni yang dihitung : 25 – 250 cfu Keterangan :

N : Total koloni per ml atau gram sampel

C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan

8. Umur Simpan (Secara Visual)

Sampel bakso diamati secara visual. Parameter-parameter yang menunjukkan mutu bakso yang menurun adalah (1) adanya lendir, (2) teksturnya lunak, (3) adanya kapang, dan (4) berbau asam atau bau yang menyimpang.

9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Pengujian organoleptik terhadap bakso dilakukan terhadap 3 parameter yaitu aroma, rasa, dan keseluruhan (tekstur, warna, penampakan, aroma, rasa). Uji yang dilakukan adalah uji kesukaan (rating hedonik). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Skala hedonik yang digunakan terdiri dari 7 skala, dari sangat tidak suka pada

N = C [(1 * n1) + (0.1 * n2)] * d

Gambar

Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan  (ICMSF, 1980)  Asam  organik  pKa  Solubilitas a(g/100g)  AD b (mg/kg berat  badan)  Konsentrasi  maksimum yang digunakan  (mg/kg)  Asam asetat  4.75  Mudah larut  Tidak terbatas  Tidak terb
Tabel 3.  Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme   Asam organik  Asam tidak terdisosiasi yang diperlukan untuk menghambat (%)
Gambar 1. Bawang Putih
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

TPA di Kabupaten Kediri adalah TPA Sekoto yang berada di Desa Sekoto Kecamatan Badas. Sedangkan persebaran TPS dapat dilihat pada

Diarahkan sebagai pengeluaran/ belanja pemerintah daerah yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis belanja pegawai (1) s.d hibah (7) seperti belanja tidak tersangka

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Peraturan di CV Mekar Jaya Sentosa Pekalongan, telah sesuai dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan

Dengan demikian, musik dapat mempengaruhi emosi dan emosi yang merupakan hasil dari pengaruh musik tersebut dapat mempengaruhi kognisi.. Ketika beberapa stimulus muncul

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan pengangguran terhadap tingkat konsumsi masyarakat di Provinsi Jawa

Sudah banyak penelitan yang telah dilakukan dengan menggunakan bahanbahan alami yang terdapat di alam dengan komposit resin poliester tak jenuh, untuk memperbaiki

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

pembelajaran di kelas terutama dalam mata pelajaran IPS sebab tanpa memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap pembelajaran IPS, tujuan pembelajaran yang