• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa dan kemiskinan

Dalam dokumen Jurnal mandatory 10 edisi 01 (Halaman 118-122)

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi desa dan warganya. Semenjak lahirnya negeri ini, desa sudah diberi predikat miskin dan belum beranjak keluar hingga sekarang. Apalagi dengan keberadaan 2 Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS Phase II) adalah program pemberdayaan warga dan organisasinya yang didanai oleh hibah

sumberdaya desa yang semakin habis digerogoti oleh masuknya modal yang tidak dapat dibendung. Seolah sudah menjadi stigma bahwa desa identik dengan ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan, sehingga jika ingin menjadi kaya, pindahlah ke kota, atau jadilah orang kota.

Demikian pula halnya ketika peluang menjadi tenaga kerja di luar negeri terbuka, orang desa berbondong-bondong menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri, meskipun di sana mereka hanya sebagai pembantu rumah tangga atau hanya bekerja di perkebunan yang tidak lebih baik dari suasana desa. Ini ibarat mimpi menjadi sejahtera tapi dengan mengorbankan harga diri di mata orang asing. Pada tahun 2012, jumlah TKI sudah mencapai 494.609 orang (Kemenakertrans, 2013). Desa dianggap tidak menjanjikan masa depan lebih baik, tidak mempunyai harapan. Kira-kira demikianlah yang telah meracuni pikiran masyarakat umum. Entah siapa yang mulai menghembuskan pikiran ini, tetapi pikiran tersebut banyak dialami warga desa yang semakin tipis kebanggaannya terhadap desanya.

Data resmi pemerintah menjelaskan bahwa jumlah penduduk miskin desa saat ini berjumlah 18,08 juta orang (63,23%) dari total sebanyak 28,59 juta (11,66%) penduduk miskin nasional (BPS, September 2012).

Program penanggulangan kemiskinan yang dananya meningkat dari tahun ke tahun tidak signiikan terhadap pengentasan kemiskinan struktural yang masyarakat alami. Graik di bawah menjelaskan tingginya alokasi anggaran negara untuk penanggulangan kemiskinan yang tidak sebanding dengan presentasi turunnya angka kemiskinan.

Membangun Berbasis Aset; Upaya Membangkitkan Warga Desa yang Berdaya dan ...

Graik Anggaran Pengentasan Kemiskinan Vs Angka Kemiskinan3

Alokasi APBN dari tahun 2004 hingga tahun 2010 melonjak dari Rp. 18 triliun ke Rp. 94 triliun atau meningkat lebih lima kali sementara angka kemiskinan hanya turun 3,3% dari 16,7% ke 13,3%.

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Relative Poverty (percentage of population)  16.0  17.8  16.6  15.4  14.2  13.3  12.5  11.7* Absolute Poverty (in millions)    35    39    37    35    33    31    30    29* Rural Poverty

(percentage living below

rural poverty line)  20.0  21.8  20.4  18.9  17.4  16.6  15.7  14.7* Urban Poverty

(percentage living below

urban poverty line)  11.7  13.5  12.5  11.6  10.7   9.9   9.2   8.6* Sumber: World Bank dan BPS *September 2012

Sementara data Bank Dunia dan BPS menggambarkan bahwa semenjak tahun 2006 ada penurunan kemiskinan secara kontinyu, namun persentase kemiskinan desa relatif selalu di atas garis kemiskinan nasional. Data juga mengindikasikan laju penurunan yang lebih lambat terhadap kemiskinan kota dibandingkan desa. Dari 2006 kemiskinan desa menurun sebesar 7,1%, dari 21,8% menjadi 14,7%, sedang kemiskinan kota hanya turun 4,9%, dari 13,5% menjadi 8,6%. Hal yang belum diungkapkan adalah kemungkinan terjadi 3 Dicuplik dari presentasi B. Herry Priyono dalam acara Workshop Persiapan Pelaksanaan

pemindahan kemiskinan dari desa ke kota yang disebabkan oleh arus urbanisasi yang tetap tinggi dari tahun ke tahun.

Diramalkan persentase penduduk kota akan mencapai 57,39% pada tahun 20254. Pertumbuhan penduduk perkotaan pada periode 1971-1980 adalah 4,60% per tahun kemudian pada periode 1981-1990 meningkat menjadi 5,36% per tahun. Laju pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan pada 1980- 1990 ini mencapai dua setengah kali lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk (1,97% per tahun). Pertambahan penduduk kota dipengaruhi faktor migrasi warga desa yang sebagian menyerbu kota karena kondisi desa yang sudah tidak sanggup lagi menghidupi warganya (Lawang, 2003).

Terdapat berbagai program masuk desa untuk memperbaiki kesejahteraan warganya. Rerata ada sekitar Rp. 1,04 milyar uang yang masuk ke desa yang berasal dari berbagai program kementerian5. Dana tersebut dikelola dengan model proyek yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah desa yang terumuskan. Namun pada kenyataannya tidak banyak yang dapat diinisiasi desa karena rata-rata proyek dari atas tersebut sudah ditentukan peruntukan dananya. Desa hanya dapat menerima atau berperan serta. Satu-satunya dana yang agak leluasa dikelola oleh desa adalah Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh daerah. Besarnya ADD minimal 10% setelah dikurangi operasional daerah. ADD yang bersifat residual ini belum mampu mengungkit kesejahteraan desa secara signiikan, namun kelebihannya desa lebih bebas mengelola ADD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). ADD adalah bagian dari pos penerimaan desa. Varian besaran ADD per desa antar daerah sangat lebar. Misalnya, Desa di Buton hanya menerima ADD 10 juta per tahun sementara desa di Kabupaten Kutai Kartanegara menerima ADD di atas Rp. 1 milyar per tahun.

4 Hasil penelitian Soegijoko dan Bulkin (1994), sebagaimana dikutip dalam Tjiptoherijanto (1999).

5 Data dikumpulkan dan dianalisis oleh FPPD-IRE-STPMD-ACCESS, dalam Policy Paper RUU Desa, 2013

Membangun Berbasis Aset; Upaya Membangkitkan Warga Desa yang Berdaya dan ...

Kemandirian yang dikekang oleh pendekatan proyek tidak disadari menciptakan ketergantungan desa terhadap pihak ketiga. Hampir semua program yang dilaksanakan oleh proyek dari atas adalah berbasis usulan desa yang dirumuskan secara partisipatif. Program ini bagus dalam menghimpun proses prioritisasi didasarkan pada partisipasi warga, namun ia sangat lemah karena desa tidak mengeksekusinya sendiri. Usulan desa tersebut disampaikan kepada SKPD atau pihak ketiga. Tidak banyak disadari bahwa pola semacam ini menciptakan ketergantungan. Inisiatif warga untuk bergotongroyong semakin menurun dari waktu ke waktu karena terdidik untuk menggantungkan diri kepada datangnya proyek dari luar desa.

Ada juga program yang menggalang proses partisipasi secara detil dan mendalam, dan cenderung mekanistis atau dimobilisasi. Kemudian hasilnya diajukan menjadi usulan yang dikompetisikan dengan usulan-usulan dari desa lainnya. Pemberdayaan diterjemahkan bahwa ia harus berani berkompetisi secara jujur dan terbuka dengan para kompetitor yang sama-sama membutuhkan pembangunan. Hasilnya, bagi warga desa yang tidak pernah memenangkan kompetisi tersebut ia akan menjadi frustasi dan semakin tidak percaya diri, sementara yang mampu bernegosiasi dengan meyakinkan dianggap semakin berdaya. Kekecewaan yang lahir dari proses pemberdayaan dengan cara demikian tidak mengapresiasi upaya yang dihasilkan oleh kerja keras aktor yang kalah tersebut dalam menggalang partisipasi sehingga dapat menghancurkan motivasi baik individu maupun kelompok.

Dalam dokumen Jurnal mandatory 10 edisi 01 (Halaman 118-122)