• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA (Halaman 39-45)

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

2. Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa adat di Desa Tenganan yang berada di wilayah Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Propinsi Bali. Desa Tenganan Pegringsingan memiliki luas + 917,218 ha dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Bebandem dan Desa Macang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Asak, Desa Timbrah dan Desa Bugbug, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pesedahan dan Desa Sengkidu sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Ngis.

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali Mule yang memiliki sejarah yang cukup menarik untuk diketahui, terutamanya mengenai asal muasalnya. Desa Tenganan khususnya Tenganan Pegringsingan sebagai pusat desa diperkirakan telah ada sejak 11 Masehi. Menurut sejarahnya masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan konon berasal dari Desa Peneges

33 (Bedahulu) Kabupaten Gianyar. Dahulu kala ada seorang raja bernama Maya Denawa yang memerintah Bedahulu dan melarang warga Desa Peneges untuk melakukan persembahyangan sehingga para Dewa menjadi murka. Oleh karena itu kemudian turunlah Dewa Indra untuk memberikan pelajaran kepada Maya Denawa. Dalam kisahnya Maya Denawa dapat dikalahkan oleh Dewa Indra dan masyarakat Desa Peneges diminta untuk kembali membuat tempat pemujaan dan melakukan yadnya (persembahan). Selain itu Dewa Indra juga mengadakan sebuah upacara kemenangan dengan menggunakan korban kuda berwarna hitam dan putih yang disebut dengan upacara Aswamedha Yadnya. Diceritakan kemudian, kuda tersebut kemudian menghilang dan membuat Dewa Indra menyuruh masyarakat Desa Peneges untuk melakukan pencarian hingga ke arah timur laut. Dalam upaya pencarian tersebut, masyarakat Desa Peneges membagi dirinya atas dua kelompok dan dalam pencarian tersebutlah kemudian diketahui bahwa ada satu kelompok masyarakat Desa Peneges yang menetap di Beratan lantaran tidak berhasil menemukan kuda Dewa Indra. Sedangkan kelompok lainnya dikabarkan menemukan kuda tersebut dalam keadaan sudah tidak bernyawa atau mati sehingga menimbulkan kedukaan yang dalam pada masyarakat tersebut. Dewa Indra kemudian bersabda agar masyarakat Desa Peneges tersebut tidak berduka karena kematian sang kuda dan untuk membesarkan hati masyarakat Desa Peneges yang berduka tersebut, Dewa Indra mengeluarkan sabdanya bahwa masyarakat Desa Peneges diberikan wilayah untuk menetap di tempat kuda tersebut ditemukan dengan memberikan batas-batas sesuai dengan sejauhmana bau bangkai kuda tersebut tercium. Hingga akhirnya

34 menurut cerita leluhur dikatakanlah bahwa luas wilayah Desa yang kemudian diberi nama Tenganan tersebut adalah kaki kiri terletak di Penimbalan Kauh, kaki kanan di Penimbalan Kangin, perut besarnya diletakkan di Pura Batu Keben, kotorannya terletak di Pura Taikik, kemaluannya diletakkan di Pura Kaki Dukun, ekornya diletakkan di Pura Rambut Pule.

Kisah lain yang menarik selain mengenai asal muasal masyarakat Desa Tenganan adalah mengenai nama desa tersebut. Menurut kisahnya, sejak diberikan wilayah tinggal, masyarakat Desa Peneges kemudian membuat sebuah desa dan menamakannya Desa Tenganan. Nama Desa Tenganan konon berasal dari kata “tengah” atau “ngetengahan”, ini sesuai dengan lokasi desa yang berada di tengah-tengah di antara perbukitan dan juga terletak jauh kedalam dari bibir pantai. Sedangkan tambahan kata Pegringsingan diduga karena adanya kekhasan dalam hal pengelolaan kain adat dari desa tersebut yang tidak dimiliki desa-desa lainnya. Masyarakat Desa Peneges sendiri kemudian lebih dikenal sebagai masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan.

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan desa tua yang sangat unik. Jumlah penduduk tetap di desa tersebut diperkirakan ada sekitar 300 jiwa dengan 120 kepala keluarga. Perekonomian penduduk Desa Tenganan Pegringsingan dapat dikatakan relative rendah dan kurang merata. Sebagian besar dari masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan berprofesi sebagai petani dan penekun kerajinan meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa penduduk telah menempuh pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana.

35 Desa Tenganan Pegringsingan sebagaimana Desa Bali Aga atau Desa Bali Mula pada umumnya masih bersifat konservatif dalam menjalankan tata kehidupannya dengan menjaga nilai-nilai warisan leluhur. Mereka juga memiliki paradigma yang kuat mengenai konsep Tri Hita Karana yang tergambar dalam tata kehidupan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan yang sangat menghormati alam, manusia dan juga Tuhan.

Di Desa Tenganan Pegringsingan diketahui tidak dikenal stratifikasi sosial seperti pembagian kasta layaknya desa-desa adat umumnya di Bali. Hal ini dapat dimaklumi mengingat untuk desa-desa Bali Aga atau Bali Mula memang tidak mendapat pengaruh dari Majapahit yang mengenal adanya strata sosial. Sekalipun tidak mendapat pengaruh Hindu Jawa Majapahit, tidak menampik bahwa di Desa Tenganan Pegringsingan terdapat strata sosial yang berkaitan dengan kewajiban seseorang berdasarkan peran seseorang terhadap desa dan memiliki fungsi serta tugasnya masing-masing. Semua golongan tersebut dikatakan dapat menjadi pemimpin dengan berdasar pada senioritas perkawinan. Jadi untuk menjadi pemimpin di desa yang dilihat bukanlah usia dari calon pemimpin melainkan usia dari perkawinannya.

Desa Tenganan Pegringsingan dalam sistem garis keturunan menganut sistem parental atau patrilineal sehingga disana terdapat persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan. Sistem perkawinan yang dianut adalah sistem endogamy dimana perkawinan yang dibenarkan terjadi adalah perkawinan antar sesama warga Tenganan sebagaimana yang diatur oleh awig-awig. Perkawinan yang dilakukan dengan orang dari luar desa akan dikenakan sanksi adat meselong. Hal

36 ini hingga saat ini masih tetap dipatuhi oleh masyarakat sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini banyak juga terjadi perkawinan dengan orang luar desa. Tata cara perkawinan di Desa Tenganan Pegringsingan dilakukan dengan tanpa memperhatikan stratifikasi sosial yang ada di desa tersebut. Dengan kata lain, rangkaian acara perkawinan dilakukan oleh seluruh masyarakat desa tanpa memperhatikan status sosial yang menikah sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Satu-satunya yang membedakan perkawinan adalah perekonomian dari sang empunya acara. Demikian juga dalam hal kematian, masyarakat Desa Tenganan umumnya mengambil tanggungjawab bersama tanpa memperhatikan status sosial yang meninggal dan upacara pengabenan juga dilakukan dengan berdasar pada tingkat perekonomian sang meninggal.

Wilayah pemukiman di Desa Tenganan Pegringsingan adalah 78,23 ha atau sekitar 8% dari luas wilayahnya sedangkan luas sawah kira-kira 255 ha dan sebanyak 583 ha merupakan lahan kering berupa hutan dan tegalan. Bagi masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan tanah memiliki arti yang sangat penting. Bagi mereka, tanah adalah harta kekayaan yang tidak akan berubah sekalipun menghadapi situasi apapun, tanah memiliki sifat yang tetap. Selain itu tanah juga memiliki fungsi yang amat besar bagi masyarakat selain tempat tinggal persekutuan, tanah juga memberikan nafkah kehidupan pada masyarakat, tempat peristirahatan terakhir bagi yang meninggal. Dapat dikatakan antara tanah dan masyarakat persekutuan terdapat hubungan religious magis yang tidak dapat dipisahkan.

37 Pola pemukiman di Desa Tenganan Pegringsingan juga tidak berbeda jauh dengan Desa Penglipuran Bangli. Pemukiman dibuat sama atau tidak ada perbedaan antara satu rumah dengan rumah lainnya. Tiap-tiap penduduk diberikan petak-petak tanah yang sama dengan bangunan yang sama pada tiap rumah yang terdiri atas bale meten, bale tengah, bale bunga dan paon. Tanah yang ditempati oleh masing-masing kepala keluarga tersebut tidak bisa ditambah dan juga tidak bisa dikurangi.

Demikianlah sekilas gambaran deskriptif tentang sejarah, situasi dan kondisi di Desa Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan yang merupakan objek penelitian ini.

b. Eksistensi Delik Adat pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan Karangasem

Sebagaimana telah diketahui, pada prinsipnya hukum adat tidak mengenal adanya pembidangan-pembidangan hukum seperti layaknya dalam hukum positif lainnya. Oleh karenanya di dalam hukum adat, tidak ada istilah hukum pidana adat namun dalam konteks akademis untuk memudahkan mempelajari dan memahami aturan-aturan yang berkaitan perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar hukum adat dan dapat diberikan sanksi adat atau reaksi adat maka diperkenalkanlah istilah hukum pidana adat.

Hukum pidana adat sendiri dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum adat dan memiliki nuansa

38 pidana sehingga dapat dikenakan suatu sanksi adat atau reaksi adat. Dalam konteks ini, perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum adat yang bernuansa pidana dapat disebut delik adat. Akan tetapi seperti layaknya hukum pidana adat, pada prinsipnya delik adat juga tidak dikenal dalam hukum adat. Istilah yang lazim dipergunakan dalam dunia teoritis adalah pelanggaran adat.

Di dalam masing-masing masyarakat adat terdapat istilah yang berbeda-beda mengenai pelanggaran adat. Dalam masyarakat adat Batak misalnya pelanggaran adat diistilahkan dengan “sala tu adat”, di Bali dikenal dengan istilah wicara lan pamidanda. Pelanggaran-pelanggaran adat ini umumnya tidak dibedakan antara pelanggaran adat perdata ataupun pidana.

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA (Halaman 39-45)

Dokumen terkait