• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

JUDUL PENELITIAN

EKSISTENSI PENGATURAN DELIK ADAT DALAM AWIG-AWIG PADA DESA TUA PENGLIPURAN BANGLI DAN TENGANAN

PEGRINGSINGAN KARANGASEM PROPINSI BALI

TIM PENGUSUL

I GUSTI AGUNG AYU DIKE WIDHIYAASTUTI, SH, MH (0014078004) Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, SH. MH (0009075702)

Dibiayai Oleh

DIPA PNBP Universitas Udayana TA

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian Nomor :……….., Tanggal………..

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA SEPTEMBER 2018

(2)
(3)

iii RINGKASAN

Penelitian ini mengambil judul tentang Eksistensi Pengaturan Delik Adat dalam Awig-Awig Pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem Propinsi Bali. Latar Belakang pemikiran dalam penelitian ini adalah perlunya suatu kajian terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat adat saat ini. Mengingat, adanya perkembangan-perkembangan yang terjadi didalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa dihindari dan ditolak.

Perkembangan mana menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi masyarakat adat dan juga hukum adat yang berlaku pada mereka. Terutama dalam hal ini adalah hukum pidana adat yang memang telah mengalami intimidasi dan desakan hukum modern sejak jaman penjajahan Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut peneliti merasa perlu melakukan penelitian terhadap eksistensi hukum pidana adat, delik adat dan pengaturannya di dalam awig-awig pada desa tua di Bali antara lain Desa Tua Penglipuran Bangli dan Desa Tua Tenganan Pegringsingan. Untuk menemukan jawaban terhadap persoalan tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan melakukan suatu studi dokumentasi terhadap awig-awig pada desa-desa bersangkutan yang kemudian diperkuat dengan pelaksanaan wawancara kepada para bendesa adat di desa Penglipuran dan Tenganan Pegringsingan. Dengan menggunakan metode penelitian tersebut diharapkan akan ditemukan jawaban yang nantinya akan dapat memberikan jawaban berupa fakta-fakta tentang eksistensi hukum pidana adat, delik adat dan juga pengaturannya di dalam awig-awig. Setelah menemukan jawaban maka hasil penelitian akan dipublikasikan secara ilmiah baik itu melalui seminar, jurnal dan pencetakan buku.

(4)

iv PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat asung kertha wara nugraha-NYA maka kami tim peneliti dari penelitian yang mengambil judul “Eksistensi Pengaturan Delik Adat dalam Awig-Awig Pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan Karangasem Propinsi Bali” dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun sebuah Laporan Akhir Penelitian yang mengambil skim Penelitian Unggulan Udayana di tahun 2018.

Penelitian ini pada prinsipnya ingin melakukan identifikasi hukum khususnya pada eksistensi hukum pidana adat dalam masyarakat adat di desa-desa tua di Bali. Terutamanya berkaitan dengan eksistensi delik adat pada awig-awig di desa tua.

Tim peneliti menyadari bahwa Laporan Akhir Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu segala bentuk kritik dan saran pun sangat tim peneliti harapkan dan akhir kata ijinkan tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana beserta Wakil Rektor dan staf.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta Wakil Dekan dan staf.

3. Ketua LPPM dan staf serta

4. Para pihak yang tidak dapat tim sebutkan satu per satu,

Atas segala bentuk kerjasama dan bantuannya sampai pada akhir diperolehnya data primer di lapangan.

Denpasar, 24 September 2018 Tim Peneliti

(5)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

RINGKASAN ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

a. Latar Belakang ... 1

b. Rumusan Masalah………. 5

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ……… 7

a. Masyarakat adat ……… 7

b. Hukum Adat ……….. ... 10

c. Hukum Pidana Adat ……… 13

d. Delik Adat ……… 16

e. Awig-Awig ………. 19

(6)

vi

f. Desa Adat di Bali ……… 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

a. Jenis Penelitian ……….. 25

b. Sumber Data ……….. 26

c. Teknik Pengumpulan Data ……… 27

d. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……… 28

BAB IV HASIL DAN LUARAN ... 29

a. Profil Desa Adat Penglipuran Bangli dan Desa Adat Tenganan Pegringsingan Karangasem ……… 29

1. Desa Penglipuran Bangli ………. 29

2. Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem ……… 32

b. Eksistensi Delik Adat di Desa Tua Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem ……… 38

c. Pengaturan Delik Adat di Desa Tua Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem ……… 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….………… 43

(7)

vii

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Perkembangan jaman seringkali membawa perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Perubahan merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan manusia. Perubahan tidak dapat ditolak, dihindari apalagi dinafikan sebagai suatu bentuk perkembangan. Perubahan seringkali membawa suatu pengaruh pada kehidupan manusia, seperti misalnya globalisasi.

Globalisasi merupakan suatu bentuk perkembangan yang membawa cukup banyak perubahan pada kehidupan manusia. Globalisasi memiliki sisi positif dan juga sisi negatif yang tidak dapat dihindari manusia. Dalam pandangan Tjok Istri Putra Astiti, globalisasi membawa sebuah pengaruh berupa kekuatan global yang mempengaruhi berbagai tingkatan dari pandangan hidup sampai pada tataran sikap dan perilaku masyarakat, juga alam fisik.1 Terutamanya munculnya nilai- nilai hedonisme, materialistis, individualistis dan pragmatis yang merupakan muatan kekuatan global.2 Dalam konteks ini globalisasi menjadi suatu tantangan bagi setiap aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan lokal indigenous atau masyarakat tradisional.

Tantangan globalisasi terhadap kehidupan lokal indigenous di Indonesia tentunya dirasakan oleh masyarakat adat yang ada di Indonesia. sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara dengan karakter masyarakat pluralis dan

1 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Mengugat dan Digugat, Udayana University Press, Denpasar, hal. 18

2 Ibid.

(9)

2 majemuk yang dapat dilihat dari keragaman masyarakat yang hidup di Indonesia baik itu berdasarkan suku, ras, agama ataupun golongan. Sifat pluralis dan majemuk itu tergambar jelas dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia yang tidak hanya terdiri atas satu jenis masyarakat adat melainkan ada beberapa jenis masyarakat adat yang hidup di Indonesia.

Bagi masyarakat adat di Indonesia, globalisasi merupakan tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai adiluhung atau kearifan lokal yang telah terwarisi secara turun temurun. Masyarakat adat di Indonesia di satu sisi memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan tradisi nenek moyang sedang di sisi lain desakan globalisasi harus dapat diterima sebagai suatu bentuk kedinamisan dalam tatanan kehidupan.

Globalisasi sesungguhnya bukanlah tantangan pertama yang dihadapi oleh masyarakat adat di Indonesia. Berabad-abad silam, masyarakat adat di Indonesia telah memperoleh tantangan dengan kedatangan kolonial Belanda ke tanah Indonesia. Sebagaimana diketahui, kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia pada mulanya membawa misi perdagangan namun lama kelamaan misi tersebut berubah menjadi misi penjajahan dikarenakan kekayaan yang dimiliki oleh alam Indonesia dirasa begitu menggiurkan dan menjanjikan bagi perekonomian Belanda.

Pada masa tersebut, masyarakat adat di Indonesia mengalami intimidasi tidak hanya terhadap kehidupannya semata melainkan juga terhadap sistem hukumnya.

Kolonial Belanda mulai menerapkan sistem hukum barat di Indonesia dan hanya memberi sedikit tempat pada hukum adat. Penerapan sistem hukum barat ini

(10)

3 menjadi tantangan bagi masyarakat adat kala itu. Daya tahan masyarakat adat dalam menghadapi tantangan teruji dengan tetap hidupnya hukum adat dan membawa dualisme hukum di Indonesia hingga Konstitusi UUD NRI 1945 dalam Pasal 18b pun menegaskan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hukum adat sepanjang masih berlaku.

Hukum mengalami perkembangan dan perkembangan hukum cenderung mengikuti perkembangan masyarakatnya. Adagium ini menjadi salah satu dasar penting dari pelaksanaan penelitian ini, terutamanya yang berkaitan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat adat dan hukum adatnya dalam era globalisasi saat ini. Penelitian ini akan berfokus untuk melihat eksistensi dari hukum adat di era globalisasi yang juga masih harus selalu bersinergi dengan hukum positif. Salah satu bagian hukum adat yang menarik untuk dikaji eksistensinya pada era globalisasi ini adalah hukum pelanggaran adat atau umum disebut sebagai hukum pidana adat.

Hukum pidana adat merupakan hukum pidana yang tidak tertulis dan dalam bahasa Belanda dikenal sebagai ongeschreven strafrecht.3 Hukum pidana adat merupakan hukum adat yang memiliki nuansa pidana dengan adanya nestapa yang disebut dengan reaksi adat yang dijatuhkan sebagai suatu bentuk koreksi adat.

Secara sederhana, hukum pidana adat disebut sebagai hukum pelanggaran adat yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar adat yang dapat dikenakan suatu reaksi adat.

3 E Utrecht, 1994, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 7

(11)

4 Dalam perkembangannya, hukum pidana adat ini mengalami desakan dari hukum pidana positif yaitu KUHP dan menurut Soerojo Wignjodipuro diantara bidang hukum adat, hukum pidana adat adalah bidang hukum adat yang eksistensinya terdesak oleh keberadaan hukum kolonial.4 Pandangan tersebut nampaknya tidak dapat dipungkiri kebenaranya bahkan hingga saat ini hukum pidana adat masih terdesak oleh keberadaan hukum kolonial dan juga ditambah terdesak oleh arus globalisasi yang membawa nilai-nilai modernitas pada kehidupan masyarakat adat. Hukum pidana adat saat ini hanya dapat dilihat dan dijumpai pada masyarakat adat yang hukum adatnya masih hidup dan dipatuhi sebagai aturan tidak tertulis bagi masyarakatnya, contohnya hukum adat Bali yang ada dalam masyarakat adat Bali.

Pada masyarakat adat Bali, hukum pidana adat diklausulakan dengan istilah wicara lan pamidanda yang diatur dalam awig-awig atau perarem dalam masyarakat adat Bali. Awig-awig atau perarem dapat dikatakan sebagai bentuk pengejawantahan dari hukum yang hidup dalam masyarakat adat Bali. Di dalam awig-awig atau perarem inilah biasanya terdapat pengaturan-pengaturan jenis- jenis wicara atau delik adat.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka penelitian ini mencoba menelusuri lebih dalam mengenai eksistensi pengaturan delik adat dalam awig- awig atau perarem. Khususnya di dalam awig-awig atau perarem-perarem desa tua seperti Desa Penglipuran di Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan di Karangasem. Pemilihan terhadap kedua desa tua tersebut didasarkan pada

4 Soerojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, hal. 18

(12)

5 pertimbangan bahwa desa tua umumnya masih mempertahankan kearifan lokalnya tanpa mengabaikan perubahan dan perkembangan jaman yang terjadi.

Dalam konteks ini dapat dikatakan desa tua di Bali seringkali dan telah berkali- kali menghadapi perubahan dan tetap bisa bertahan dalam setiap perubahan itu tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Pertimbangan-pertimbangan dalam latar belakang tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran untuk melaksanakan suatu penelitian yang berjudul “Eksistensi Pengaturan Delik Adat dalam Awig-Awig pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan Karangasem Propinsi Bali”.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas terdapat beberapa rumusan permasalahan :

1. Bagaimanakah eksistensi delik adat di Desa Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan saat ini?

2. Bagaimanakah eksistensi pengaturan delik adat dalam awig-awig pada Desa Penglipuran dan Desa Tenganan Pegringsingan saat ini?

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini pada prinsipnya memiliki beberapa tujuan antara lain :

a. Mendeskripsi serta menganalisis dan mendokumentasikan eksistensi atau keberadaan delik adat di desa-desa tua seperti Penglipuran dan

(13)

6 Tenganan Pegringsingan dalam konteks globalisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia dan juga Bali.

b. Mendeskripsi serta menganalisis dan mendokumentasikan eksistensi peraturan delik adat saat ini dalam awig-awig di desa-desa tua seperti Penglipuran dan Tenganan Pegringsingan.

Dengan tujuan demikian maka manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah:

a. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana dan pembaharuan hukum pidana.

b. Manfaat bagi peneliti khususnya dalam menambah khasanah wawasan pengetahuan tentang hukum yang hidup yang berkorelasi dengan hukum positif dalam hal ini antara hukum adat dan hukum pidana.

c. Manfaat pengetahuan bagi khalayak luas baik itu mahasiswa maupun akademisi dan juga pemerhati hukum.

(14)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Masyarakat Adat

Sebagaimana lazim diketahui, hukum dan masyarakat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Segala bentuk gejala hukum dan aspeknya selalu bersinggungan dengan masyarakat dimana hukum tersebut hidup, tumbuh dan berkembang. Hal ini terdeskripsi dalam pernyataan Soerjono Soekanto yang menyebutkan hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari sudut tertentu, sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi dan lain sebagainya.5 Dengan demikian, sebelum berbicara hukum terlebih dahulu perlu dipahami tentang konsep masyarakat.

Pengertian masyarakat menurut G Suncan Mitchell sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto sangatlah sulit untuk dirumuskan.6 Namun demikian ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai acuan mengenai pengertian masyarakat:

1. E. Hiller menyatakan “a society is a people leading an integrated life by means of the culture”. (terjemahan bebas oleh peneliti:

masyarakat adalah orang yang berada/berkumpul dalam suatu kehidupan bersama berdasarkan pada budaya)

2. R. Thomlinson menyatakan “a society is a large, continuing, organized group or people, it is the fundamental largescale human

5 Soerjono Soekanto, 2011, Hukum Adat Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1

6 Ibid., hal. 2

(15)

8 group”. (terjemahan bebas oleh peneliti: masyarakat adalah orang atau sekumpulan orang yang terorganisir secara terus menerus dan besar, merupakan fundamen kelompok manusia berskala besar) 3. T. Parsons and E. Shils menyatakan “a society is the type of social

system which contains within itself all the essential prerequisites for its maintenance as a self – subsistent – system”.7 (terjemahan bebas peneliti: masyarakat adalah suatu bentuk sistem sosial yang didalamnya terdapat suatu esensi prasyarat untuk mengatur dirinya dalam suatu subsisten system).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, Soerjono Soekanto kemudian memberikan suatu ciri masyarakat sebagai berikut:

1. Manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya,

2. Manusia-manusia tersebut bergaul dan hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama,

3. Mereka sadar, bahwa manusia-manusia tersebut merupakan bagian dari suatu kesatuan,

4. Mereka merupakan suatu sistem kehidupan bersama, yang menghasilkan kebudayaan.8

Berdasarkan ciri-ciri tersebutlah Soerjono Soekanto berpendapat bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial.9 Dan apabila unsur-unsur dari sistem

7 Ibid.

8 Ibid., hal. 2-3

(16)

9 sosial tersebut diterapkan pada suatu masyarakat hukum adat maka penjabaran semacam di atas juga mungkin akan dijumpai.10

Berbicara tentang masyarakat hukum adat, maka pendeskripsian yang baik dapat dijumpai pada penguraian Hazairin mengenai masyarakat hukum adat yang dinyatakan sebagai berikut:

“Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan, untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bangi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya mempengaruhi sistem pemerintahannya dan sistem umum kemasyarakatannya. Sistem perekonomiannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan.

Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.”11

Selain Hazairin dapat pula dijumpai pengertian masyarakat hukum adat yang dikembangkan oleh Ter Haar misalnya. Ter Haar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok teratur

9 Ibid.

10 Ibid., hal. 11

11 Ibid.

(17)

10 yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materiil maupun immateriil (….geordende groepen van blijvend karakter met eigen bewind en eigen materiel en immaterieel vermogen).12 Definisi Ter Haar tentang masyarakat hukum adat sangatlah pendek namun untuk semakin dapat mempermudah pemahaman tentang masyarakat hukum adat dalam definisinya Ter Haar menambahkan beberapa penjelasan-penjelasan yang disertai contoh-contoh tentang masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Indonesia.

Menurut Tjok Istri Putra Astiti di seluruh pelosok Indonesia pada dasarnya telah ada lebih kurang 250 masyarakat hukum kecil-kecil yang mempunyai otonomi asli. 13 Dalam pandangan beliau masyarakat hukum ini hidup berkelompok, ada yang berdasarkan keturunan (genealogis), ada yang berdasarkan tempat (territorial). Mereka mempunyai sejumlah warga dan seorang/lebih pemimpin, mempunyai pemerintahan sendiri, menguasai harta kekayaan baik material maupun immaterial, juga mempunyai hukum sendiri yang tidak tertulis, yang mereka taati bersama yang disebut hukum adat dan mereka pun punya cara- cara (mekanisme) penyelesaian sengketa yang terjadi antar warganya.14 Secara umum Tjok Istri Putra Astiti menggambarkan tentang apa yang disebut dengan masyarakat hukum adat dengan ciri dan karakter yang khas sekaligus membedakannya dengan masyarakat hukum umum.

b. Hukum Adat

12 Ter Haar Bzn, 1960, Asas-Asas Hukum Adat, Terjemahan K.Ng Soebakti P, Pradnya Paramita, hal. 16

13 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Press, Denpasar, hal. 9

14 ibis

(18)

11 Terminologi hukum adat pertama kalinya dimunculkan oleh Snouck Hurgronje saat menulis buku “De Atjehers/The Acehness” yang diterbitkan pada tahun 1893. Kemudian terminologi ini terus dipergunakan oleh van Vollenhoven untuk mengistilahkan hukum yang hidup dalam masyarakat tradisional di Indonesia. Dalam perkembangannya, istilah hukum adat muncul dalam beberapa terminologi atau istilah seperti “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “the living law”, “hukum tidak tertulis”, “nilai-nilai hukum yang hidup”bahkan ada yang menyebutnya sebagai “hukum kebiasaan”.

Hukum adat juga diberikan definisi yang berbeda-beda oleh para sarjana adat.

Contohnya van Vollenhoven yang merumuskan adatrecht sebagai “dat samen stel van voor inlanders en vreemde oosterlingen geldende gedragdregels, die eenerzijds sanctie hebben (daarom “recht”) en anderzijdz in ongencodificeerden staat verkeeren (daarom “adat”).15 Oleh I Gusti Ketut Sutha pendapat van Vollenhoven tentang adatrecht diterjemahkan sebagai keseluruhan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan orang timur asing yang mempunyai upaya pemaksa lagi pula tidak dikodifikasikan.16

Soepomo yang mengartikan hukum adat sebagai “suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.17 Sedangkan Soekanto dalam bukunya menyebutkan bahwa jika

15 I Gusti Ketut Sutha, 1987, Bunga Rampaii Beberapa Aspekta Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, hal. 11

16 Ibid.

17 Soepomo, 1982, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 7

(19)

12 kita menyelidiki adat istiadat ini terdapat peraturan-peraturan yang bersangsi;

kaedah-kaedah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum. Komplek adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan (“ongecodificeerd”) dan bersifat memaksa (dwang) mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi mempunyai akibat hukum (“rechtsgevoelg”) kompleks ini disebut hukum adat.18

Dalam beberapa penelusuran kepustakaan, dijumpai adanya polemic dalam mengartikan hukum adat dengan hukum kebiasaan (customary law). van Dijk adalah salah satu sarjana yang merasa keberatan mempersamakan hukum adat dengan hukum kebiasaan. Dalam pandangannya, ia melihat bahwa penerjemahan adatrecht sebagai hukum kebiasaan sungguhlah tidak tepat karena ada perbedaan makna antara hukum kebiasaan dan hukum adat.19 Menurutnya yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan sedangkan hukum adat lebih bersumber pada adanya alat kekuasaan dalam bentuk suatu perlengkapan masyarakat sebagai pangkalnya.20

Dominikus Rato juga menyebutkan bahwa hukum adalah hukum yang khas Indonesia atau Melayu Polinesia, sementara hukum kebiasaan berada di mana- mana di seluruh dunia. Hukum kebiasaan di Belanda dikenal sebagai

18 I Gusti Ketut Sutha, OpCit., hal 19

19 I Gede A.B Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9-10

20 Ibid.

(20)

13 gewoonterecht yaitu kebiasaan yang mempunyai daya paksa atau yang bersifat hukum dan yang berhadapan denganh hukum undang-undang (wettenrecht).21

Di sisi lain, Roelof H Haveman mencoba memberikan pandangan bahwa hukum adat adalah hukum kebiasaan/customary law dan ia menegaskan bahwa hukum adat adalah salah satu jenis hukum kebiasaan. Dalam catatan kakinya, ia menerankan bahwa kata adat berasal dari bahasa arab yang berarti kebiasaan, meskipun demikian harus dipahami bahwa hukum adat hanyalah sebagian kecil dari hukum kebiasaan, sebab menurut Roelof H Haveman dalam hukum adat terdapa beberapa elemen-elemen yang tidak didasarkan pada kebiasaan misalnya peraturan desa.22

Menengahi polemic ini, penelusuran kepustakaan menemukan pandangan van Vollenhoven yang menyatakan bahwa hukum adat adalah hal lain dari pada hukum kebiasaan (gewoonterecht) karena termasuk sebagai sumber-sumbernya adalah peraturan-peraturan desa, peraturan-peraturan dari raja-raja bumi putera, dan peraturan-peraturan fiqh.23

c. Hukum Pidana Adat

Secara prinsipal amatlah perlu dipahami bahwa dalam hukum adat tidak terdapat pembedaan lapangan hukum seperti halnya dalam hukum positif. Hal ini dapat dijumpai dalam pernyataan Soepomo yang menjelaskan bahwa hukum adat

21 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, hal. 5

22 Roelof H Haveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tatanusa, Jakarta, hal. 5

23 I Gusti Ketut Sutha, 1987, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, hal. 11

(21)

14 tidak memisahkan antara pelanggaran (perkosaan) hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum didalam lapangan hukum pidana (dimuka hakim pidana) dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan hukm perdata (di muka hakim perdata).24 Namun demikian untuk memudahkan melihat perbuatan-perbuatan bernuansakan pidana yang melanggar adat maka dimunculkanlah istilah hukum pidana adat.

Terkait dengan itu, dapat diketahui bahwa para sarjana pun memberikan terminologinya masing-masing mengenai hukum pidana adat. Dalam buku Utrecht, istilah hukum pidana adat muncul dalam bahasa Belanda sebagai ongeschreven strafrecht atau disebutnya sebagai hukum pidana yang tidak tertulis.25 Sedangkan Ter Haar Bzn secara konsisten menggunakan istilah delik adat dalam mendeskripsikan adanya pelanggaran adat bernuansakan pidana.

Soerjono Soekanto lebih memilih menggunakan istilah hukum penyelewengan adat.

Keragaman terminologi tersebut sebenarnya tidaklah menjadi masalah karena semua sarjana mendeskripsikan hukum pidana adat yang memang pada prinsipnya tidak dikenal di dalam hukum adat. sehubungan dengan itu, berikut akan diuraikan beberapa deskripsi pengertian mengenai terminologi-terminologi hukum pidana adat.

Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak

24 Soepomo, Opcit., hal. 110

25 E Utrecht, 1994, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal, 7

(22)

15 akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskanya, akan percuma juga. Malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dibandingkan perundang-undangan.26

I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.27

Hukum pidana adat menurut Hilman Hadikusuma dikatakan memiliki beberapa sifat antara lain menyeluruh dan menyatukan, sifat ketentuan yang terbuka, sifat membeda-bedakan permasalahan, sifat peradilan yang terbuka dan adanya tindakan atau koreksi.28 Sifat-sifat ini sesungguhnya bertolak pada sifat- sifat hukum adat itu sendiri.

Hukum pidana adat umumnya berlaku pada mereka yang terikat pada hukum adat tertentu. Artinya tidak diterapkan secara serta merta kepada semua orang layaknya hukum pidana nasional. Berlakunya hukum pidana adat ini juga

26 Hilman Hadikusuma, 1961, Hukum Pidana Adat, CV Rajawali, Jakarta, hal 307

27 I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, hal 4

28 Ibid

(23)

16 mengikuti prinsip berlakunya hukum adat bagi masyarakat adat dimana pun masyarakata adat itu berada sehingga bagi masyarakat adat yang kebetulan berada di luar dari lingkungan adatnya namun tetap terikat pada aturan-aturan adat tersebut padanya akan tetap berlaku hukum pidana adatnya.

Dalam konteks ini hukum pidana adat akan tetap ada dan berlaku kepada siapa saja sepanjang hukum ini masih hidup dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Berlakunya hukum pidana adat juga didasarkan pada tempat, waktu dan keadaan pada suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu. Jadi misalkan pada mulanya suatu perbuatan tidak dipandang sebagai delik adat namun dalam pertimbangan rasa masyarakat adat kemudian perbuatan itu dirasakan melanggar ketentuan adat maka pada saat itu akan terbentuk delik adat. Demikian pula sebaliknya bilamana tadinya perbuatan itu dianggap selbagai perbuatan yang melanggar ketentuan adat tapi dalam perkembangan rasa dalam masyarakat tidak lagi dirasakan melanggar adat maka pada saat itu perbuatan tersebut dapat dihapus dan tidak dikenakan reaksi adat.

d. Delik Adat

Delik adat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan adat yang dapat dikenakan sanksi berupa reaksi adat. Delik adat dapat terjadi krena adanya permasalahan-permasalahan sosial yang menimbulkan pelanggaran adat oleh seseorang ataupun sekelompok orang. Pelanggaran adat yang terjadi ini dapat dipulihkan dengan pemberian sanksi adat atau reaksi adat.

(24)

17 Salah satu definisi delik adat dikemukakan oleh Bushar Muhammad sebagai suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.29

Sedangkan Soepomo berpandangan bahwa menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (rechtssherstel) jika hukum itu dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut dengan delik adat.30

Ter Haar menyebutkan bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada barang-barang kehidupan materiil orang seorang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah realsi adat (adat reaksi) karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus diplihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).31

29 Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 67

30 Soepomo, OpCit,, hal 110

31 Ter Haar, 1960, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Kng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 128

(25)

18 Berdasarkan pandangan tersebut di atas, I Made Widnyana mengatakan bahwa delik adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatuhan, kerukunan, ketertiban, keamanan rasa keadilan dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagi akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan pengurus adat itu sendiri, perbuatan mana dipandang dapat menimbulkan kegincangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.32

I Made Widnyana juga menyebutkan bahwa pada pokoknya terdapat empat unsur penting dalam suatu delik adat, yaitu: (1) ada perbuatan yang dilakukan perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri; (2) perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat; (3) perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat; dan (4) atas perbuatan itu timbul reaksi dari masayrkat yang berupa sanksi adat.33

Sanksi adat sendiri pada prinsipnya diadakan untuk memulihkan kembali keseimbangan alam makro dan mikro kosmos yang telah dirusak oleh adanya suatu pelanggaran adat. Hal ini sesuai dengan alam pikir tradisional Indonesia yang cenderung bersifat kosmis, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap tercpitanya suatu keseimbangan (evenwicht, harmonic) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya, dan orang seorang, antara

32 I Made Widnyana, OpCit., hal. 6

33 Ibid.

(26)

19 persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukm dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum.34

e. Awig-Awig

Dalam kehidupan masyarakat adat Bali, awig-awig memiliki peranan penting sebagai pedoman dalam melaksanakan kehidupannya. Dengan kata lain, masyarakat adat Bali sangat berpegang teguh pada ketentuan awig-awig dalam melaksanakan kehidupan adatnya. Sehubungan dengan itu, Tjok Istri Putra Astiti menyebutkan bahwa awig-awig merupakan salah satu identitas Bali yang perlu ditegakkan atau diajegkan selain desa adat, banjar, subak, agama Hindu.

Awig-awig pada prinsipnya merupakan serangkaian norma yang lahir dari naluri alamiah masyarakat adat tentang kebutuhannya sendiri mengenai tata hidup (pedoman hidup) tentang apa yang boleh dan tidak boleh yang disepakati bersama-sama. Awig-awig bekerja sebagai alat kontrol sosial sekaligus sebagai alat rekayasa sosial. Hal ini menunjukkan bahwa awig-awig diadakan untuk mengatur tata hidup masyarakat berdasarkan nilai-nilai tradisional sekaligus berfungsi untuk membantu terjadinya harmonisasi dalam kehidupan adat dengan perkembangan jaman.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa awig-awig tersebut diadakan karena kebutuhan masyarakat bukan karena adanya kepentingan individual. Oleh karena

34 Soepomo, OpCit., hal. 112

(27)

20 itu awig-awig di Bali cenderung sangat fleksibel dan responsive dalam menjawab kebutuhan masyarakat adat. Dalam konteks itu, awig-awig bukanlah seperangkat peraturan yang bersifat statis. Awig-awig cenderung bersifat dinamis karena dalam awig-awig selalu berlaku suatu klausula “nguwah nguwuhing awig-awig”

yang diterjemahkan Tjok Istri Putra Astiti sebagai awig-awig boleh dikurangi dan ditambahkan.

f. Desa Adat di Bali

Secara umum, masyarakat yang bergerombol dengan sistem hukum adat seperti tersebut di atas sering disebut sebagai masyarakat adat. Di Bali, masyarakat adat tergabung dalam satu wadah yang disebut dengan desa adat (desa pakramaan).

Desa adat di Bali masih memiliki eksistensi yang sangat kuat. Hal ini dapat terlihat dari masih dipertahankannya pola-pola budaya dan nilai-nilai adiluhung dari para leluhur ditengah-tengah kemajuan jaman. Disamping itu desa adat di Bali memiliki landasan yang kuat untuk tetap dipertahankan karena adanya pengakuan konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 yang dikonkritisasi dengan dibentuknya Perda No. 3 Tahun 2001. Dengan kata lain, desa adat di Bali memiliki otonomi-nya sendiri yang diakui oleh undang-undang.

Desa adat di Bali pada dasarnya merupakan wadah tempat hidup suburnya pengamalan ajaran-ajaran agama Hindu, yang umumnya diwujudkan dalam pelaksanaan adat istiadat di Bali. Dalam hal ini antara adat dan agama Hindu

(28)

21 merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Berbicara mengenai masalah adat maka tidak bisa dilepaskan dari membicarakan ajaran-ajaran agama Hindu. Begitulah hubungan harmonisasi antara adat dan agama Hindu di Bali.

Berdasarkan sistem dan struktur organisasinya, desa adat di Bali dapat dibedakan atas dua tipe yaitu desa apanaga dan desa Bali Aga (Bali Mula).

Desa apanaga yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Di dalam kitab Nagarakertagama 79,3 disebutkan bahwa Bali mengikuti tata cara kehidupan di Majapahit.35 Desa- desa itu sebagian besar terletak di daerah Bali dataran, meliputi sebagian dari kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng dan Jembrana. Sedangkan Desa Bali Aga (Bali Mula) yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem serta adat-istiadatnya dan tidak atau sedikit kena pengaruh Majapahit. Desa-desa seperti itu masih banyak terdapat di Bali pegunungan meliputi sebagian dari daerah Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, Bangli dan Karangasem.

Sistem pemerintahan desa adat di Bali menganut suatu sistem yang tidak memisahkan antara mereka yang diperintah dengan perangkat desa adat yang memerintah. Kekuasaan tertinggi terletak pada sangkepan krama desa adat atau rapat warga desa adat yang menghimpun semua pendapat termasuk pendapat dari kepala desa adat itu sendiri. Namun demikian, sistem pemerintahan desa adat

35 Pigaeud dalam I Wayan Surpha, 2006, Seputar Desa Pekraman dan Adat Bali, PT. Offset BP, Denpasar, hal. 57

(29)

22 tetap dapat dibagi atas tige tipe pemerintahan berdasarkan banyaknya susunan pemimpin desa adat. Ketiga tipe tersebut adalah:

1. Pemerintahan Tunggal. Yaitu desa adat yang pejabat puncaknya terdiri dari satu orang saja (seorang bendesa), seperti yang pada umumnya terdapat pada desa-desa di daerah Bali dataran. Desa ini disebut desa adat yang menganut sistem pemerintahan tunggal.

2. Pemerintahan Kembar. Desa yang pejabat puncaknya terdiri dari dua orang seperti yang terdapat pada desa Margatengah, Panyabangan, Bayung Gede dan lain-lainnya dimana pimpinan desa adat berada pada dua orang bayan. Desa ini disebut suatu desa adat yang menganut sistem pemerintahan kembar.

3. Pemerintahan Kolektif. Desa adat yang pejabat puncaknya terdiri dari suatu dewan seperti yang terdapat pada Desa Tenganan Pegringsingan. Desa ini disebut suatu desa yang menganut sistem pemerintahan kolektif.36

Dalam struktur kehidupan desa adat, warga desa adat atau desa pekraman memiliki sejumlah kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut I Wayan Surpha, kewajiban dalam hidup bermasyarakat pada dasarnya merupakan kewajiban sosial yang patut dilaksanakan oleh manusia sebagai mahluk sosial yang menginginkan keserasian dan keseimbangan hidup sebagai landasan untuk mewujudkan ketentraman, keadilan dan kesejahteraan lahir-batin dalam

36 Ibid., hal 62

(30)

23 persekutuan hidup bersama.37 Beliau menerangkan kewajiban warga desa adat meliputi:

1. Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa)

Ayahan desa berupa: kerja bakti memperbaiki/membangun pura- pura desa adat, menyelenggarakan upacara Dewa Yajna (ngodalin) di pura milik desa, menyelenggarakan Bhuta Yajna (mecaru) di desa setiap tilem kesanga, melaksanakan upacara mekiyis, menyelenggarakan pembangunan-pembangunan untuk kepentingan desa adat dan melaksanakan tugas-tugas lainnya bagi desa adat.

2. Wajib tunduk dan menaati peraturan-peraturan yang berlaku bagi desa adat yaitu: awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang telah berlaku. Selain itu warga desa adat berkewajiban pula menjaga keamanan dan ketentraman bersama, menjaga nama baik desanya dan melaksanakan suka duka (gotong royong) antar sesamanya.38

Di samping kewajiban yang dimiliki oleh warga desa adat juga memiliki hak sebagai warga desa adat. Dalam mekanisme kehidupa desa adat, maka warga desa adat memiliki hak-hak tertentu sebagai imbangan atas kewajiban-kewajibannya yaitu: berhak untuk memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepan (rapat)

37 Ibid., hal. 56

38 Ibid., hal. 56

(31)

24 desa adat, ikut serta dalam pemerintahan desa adat bersama-sama dengan prajuru lainya berhak dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya.39

Demikian sekilas tentang desa adat.

39 Ibid., hal. 57

(32)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian dalam bahasa Inggris berarti “research”. Istilah ini dapat dimaknai berasal dari kata “re” yang berarti kembali dan “search” yang berarti mencari atau menyelidiki.40 Dengan demikian, penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses mencari jawaban atas suatu permasalahan dengan menggunakan metode ilmiah.

Penelitian juga diartikan sebagai sekumpulan metode yang digunakan secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan. 41

a. Jenis Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya adalah penelitian ilmu sosial. Edy Yuwono menjelaskan bahwa penelitian dalam ilmu sosial dapat diklasifikasikan menjadi penelitian kuantitatif dan kualitatif.42 Penelitian kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa angka, atau data berupa kata-kata atau kalimat yang dikonversi menjadi data yang berbentuk angka. Sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan kata-kata atau kalimat dari individu, buku, dan sumber lain. Penelitian kualitatif memiliki banyak varian, seperti grounded research, perbandingan sejarah (comparative history), life history, analisis wacana, dan sebagainya.43

40 Nanang Martono, 2016, Metode Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8

41 ibid

42 Edy Yuwono, dalam kata pengantar, ibid., hal vii

43 H. Zainuddin Ali, 2017, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21

(33)

26 Penelitian tentang Eksistensi Pengaturan Delik Adat Dalam Awig-Awig Pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringisngan Karangaem Provinsi Bali merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum empiris. Pemilihan pada metode penelitian hukum empiris ini didasarkan pada permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan hukum yang tidak tertulis. Dalam penelitian hukum empiris, penelitian yang berkaitan dengan hukum tidak tertulis masuk dalam kategori penelitian terhadap identifikasi hukum yang dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat.44 Oleh karena itu penelitian hukum empiris ini akan bersifat penelitian deskriptif kualitatif.

b. Sumber Data

Sumber Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi:

1. Bahan Hukum Primer

44 Nanang Martono, OpCit., hal. 30

(34)

27 Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian dan juga putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan- tulisan ilmiah yang terkait dengan objek penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan lain sebagainya.45

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi dan studi lapangan.

Studi dokumentasi dilakukan untuk menemukan data primer yang berkaitan dengan bahan-bahan hukum primer yang dibutuhkan seperti awig-awig yang dimiliki oleh desa tua. Sedangkan studi lapangan dilakukan dengan mencari data penunjang yang diperoleh dari informasi dan pendapat-pendapat narasumber yang ditentukan dengan teknik non probability sampling (sampel tidak berpeluang) dengan cara purposive sampling (sampel bertujuan).

45 H Zainuddin Ali, OpCit., hal. 106

(35)

28 Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Kita memilih orang sebagai sampel dengan memilih orang yang benar-benar mengetahui atau memiliki kompetensi dengan topik penelitian kita. Dalam hal ini penelitian akan menentukan narasumber yang dapat memberikan informasi tentang eksistensi pengaturan delik adat dalam awig-awig baik itu di Desa tua Penglipuran Bangli ataupun Desa tua Tenganan Pegringsingan Karangasem.

d. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menjurus pada penelitian deskriptif kualitatif maka data-data dan bahan hukum yang terkumpul dalam penelitian ini akan diolah dan dianalisis secara deskriptif analitis dan juga argumentative.

(36)

29 BAB IV

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

a. Profil Desa Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan Karangasem

1. Desa Penglipuran Bangli

Desa Penglipuran Bangli terletak di Kelurahan Kubu Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Desa ini memiliki luas 112 Ha dengan batas- batas wilayah yang berbatasan dengan Desa Adat Kubu di sebelah timur, Desa Adat Gunaksa di sebelah selatan, Desa Adat Kayang di sebelah utara dan Tukad Sangsang di sebelah barat. Desa ini terletak pada ketinggian 700 dpl dengan koordinat 8,0292893 LS dan 115, 03036 BT berjarak sekitar 5 km dari Kota Bangli dan 45 km dari Kota Denpasar. Saat ini jumlah penduduk Desa Penglipuran tercatat ada 240 kk dan 1008 jiwa.

Desa Penglipuran merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Bangli dan memiliki sejarah yang menarik untuk diketahui. Menurut sejarahnya, leluhur masyarakat Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede yang juga merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Bangli dan berada di Kecamatan Kintamani. Dikisahkan bahwa para leluhur masyarakat Desa Penglipuran yang berasal dari Bayung Gede diperintahkan oleh raja untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan di Kubu Bayung. Para leluhur masyarakat Desa Penglipuran ini berjalan cukup jauh dari Desa Bayung Gede Kintamani menuju Kubu Bayung yang

(37)

30 terletak dekat dengan Kota Bangli hingga akhirnya memutuskan untuk menetap di Kubu Bayung yang kemudian diberi nama Penglipuran.

Penglipuran konon memiliki dua pengertian yaitu “pengeling” “pura” dan

“panglipur”. Keduanya memiliki makna berbeda sesuai dengan historis Desa Penglipuran. Dalam pengertian “pengeling” “pura”, Desa Penglipuran pada prinsipnya ingin selalu mengingat bahwa para leluhurnya berasal dari Desa Bayung Gede Kintamani. Oleh karena itu mereka membuat tempat suci di Kubu Bayung dalam upaya menjaga ingatan mereka pada leluhurnya dengan nama”pengeling” yang artinya eling dan “pura” yang diartikan sebagai tempat pemujaan leluhur. Untuk selanjutnya disebut dengan Penglipuran. sedangkan dalam pengertian “panglipur” dikaitkan dengan Raja Bangli yang merasa sedih karena tidak ada orang yang bisa dipercayainya dan beliau mencari orang yang jujur. Saat itu sedang merenung itulah beliau konon melihat sekelompok masyarakat yang bersahaja sehingga akhirnya memutuskan menjadikan tempat dimana sekelompok orang tersebut ada sebagai tempat peristirahatan beliau ngelimuran manah (menghibur diri).

Sistem sosial di Desa Penglipuran tertata cukup baik yang bisa dilihat dari tata kelola hubungan sosial kemasyarakatannya. Sistem pemerintahannya dipimpin oleh prajuru Hulu Apad dan prajuru adat. Prajuru Hulu Apad terdiri dari Jero Kubayan, Jero Kubahu, Jero Singgukan, Jero Cacar, Jero Balung dan Jero Pati yang masing-masing telah memiliki tugasnya masing-masing. Prajuru Hulu Apad ini ditentukan dengan berdasar pada usia perkawinan khususnya usia perkawinan yang belum ngelad atau pensiun lantaran semua anak sudah menikah

(38)

31 dan atau seorang cucu telah menikah. Dalam tatanan keanggotaan di Desa Penglipuran, usia perkawinan termuda atau baru menikah mendapat posisi terbawah dalam keanggotaan desa adat dan pantang bagi mereka untuk melangkahi yang lebih tua. Desa Adat Penglipuran juga tidak mengenal stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Dengan kata lain, kasta yang ada di dalam wilayah Desa Penglipuran hanyalah kasta sudra. Berdasarkan sistem perkawinannya, Desa Penglipuran tidak membenarkan adanya perkawinan poligami atau perkawinan lebih dari satu istri/suami dan perkawinan antar tetangga sebelah kanan kiri dan depan rumahnya karena telah dianggap sebagai saudara.

Di Desa Penglipuran, konsep tata ruang yang dikaitkan dengan Tri Mandala (Utama, Madya, Nista) dapat terlihat jelas dari pola pengaturan tata ruang desa.

Bagian Utama terletak pada sisi utara yang ditunjukkan dengan adanya bangunan pura, bagian Madya terlihat dari susunan rumah masyarakat yang membentang di bagian tengah dari sisi utara tepat dibawah pura hingga selatan yang berakhir di Karang Memadu sedangkan bagian Nista adalah kuburan/setra yang diletakkan disebelah selatan. Selain konsep tata ruang yang mengedepankan konsep Tri Mandala, pengelolaan tata ruang juga terlihat dari bangunan rumah tempat tinggal masyarakat yang dibuat sama tanpa ada perbedaan. Setiap rumah diwajibkan untuk memiliki sebuah Bale adat dan Dapur adat yang memiliki kesamaan bentuk dan fungsi. Selain itu setiap rumah diwajibkan untuk memiliki jalan penghubung antara rumah satu dengan rumah lainnya sebagai suatu bentuk filosofi hidup bersama bahwa masyarakat satu tidak dapat terpisah dengan masyarakat lainnya.

(39)

32 Dilihat dari sudut perekonomian, sebagian besar masyarakat Desa Penglipuran masih berprofesi sebagai petani, peladang, pedagang serta pengerajin bambu yang merupakan komoditi utama dari Desa Penglipuran. Sisanya telah berprofesi sebagai PNS, guru dan karyawan swasta.

Pada tahun 2013, Desa Penglipuran Bangli dinobatkan sebagai desa terbersih sedunia dikarenakan baiknya sistem pengelolaan lingkungannya. Desa ini juga telah lama berkembang sebagai desa wisata yang tidak hanya menarik wisatawan domestik tetapi juga mancanegara. Pada prinsipnya ada banyak hal yang menarik yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran Bangli sebagai salah satu desa tua di Bali.

2. Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa adat di Desa Tenganan yang berada di wilayah Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Propinsi Bali. Desa Tenganan Pegringsingan memiliki luas + 917,218 ha dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Bebandem dan Desa Macang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Asak, Desa Timbrah dan Desa Bugbug, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pesedahan dan Desa Sengkidu sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Ngis.

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali Mule yang memiliki sejarah yang cukup menarik untuk diketahui, terutamanya mengenai asal muasalnya. Desa Tenganan khususnya Tenganan Pegringsingan sebagai pusat desa diperkirakan telah ada sejak 11 Masehi. Menurut sejarahnya masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan konon berasal dari Desa Peneges

(40)

33 (Bedahulu) Kabupaten Gianyar. Dahulu kala ada seorang raja bernama Maya Denawa yang memerintah Bedahulu dan melarang warga Desa Peneges untuk melakukan persembahyangan sehingga para Dewa menjadi murka. Oleh karena itu kemudian turunlah Dewa Indra untuk memberikan pelajaran kepada Maya Denawa. Dalam kisahnya Maya Denawa dapat dikalahkan oleh Dewa Indra dan masyarakat Desa Peneges diminta untuk kembali membuat tempat pemujaan dan melakukan yadnya (persembahan). Selain itu Dewa Indra juga mengadakan sebuah upacara kemenangan dengan menggunakan korban kuda berwarna hitam dan putih yang disebut dengan upacara Aswamedha Yadnya. Diceritakan kemudian, kuda tersebut kemudian menghilang dan membuat Dewa Indra menyuruh masyarakat Desa Peneges untuk melakukan pencarian hingga ke arah timur laut. Dalam upaya pencarian tersebut, masyarakat Desa Peneges membagi dirinya atas dua kelompok dan dalam pencarian tersebutlah kemudian diketahui bahwa ada satu kelompok masyarakat Desa Peneges yang menetap di Beratan lantaran tidak berhasil menemukan kuda Dewa Indra. Sedangkan kelompok lainnya dikabarkan menemukan kuda tersebut dalam keadaan sudah tidak bernyawa atau mati sehingga menimbulkan kedukaan yang dalam pada masyarakat tersebut. Dewa Indra kemudian bersabda agar masyarakat Desa Peneges tersebut tidak berduka karena kematian sang kuda dan untuk membesarkan hati masyarakat Desa Peneges yang berduka tersebut, Dewa Indra mengeluarkan sabdanya bahwa masyarakat Desa Peneges diberikan wilayah untuk menetap di tempat kuda tersebut ditemukan dengan memberikan batas-batas sesuai dengan sejauhmana bau bangkai kuda tersebut tercium. Hingga akhirnya

(41)

34 menurut cerita leluhur dikatakanlah bahwa luas wilayah Desa yang kemudian diberi nama Tenganan tersebut adalah kaki kiri terletak di Penimbalan Kauh, kaki kanan di Penimbalan Kangin, perut besarnya diletakkan di Pura Batu Keben, kotorannya terletak di Pura Taikik, kemaluannya diletakkan di Pura Kaki Dukun, ekornya diletakkan di Pura Rambut Pule.

Kisah lain yang menarik selain mengenai asal muasal masyarakat Desa Tenganan adalah mengenai nama desa tersebut. Menurut kisahnya, sejak diberikan wilayah tinggal, masyarakat Desa Peneges kemudian membuat sebuah desa dan menamakannya Desa Tenganan. Nama Desa Tenganan konon berasal dari kata “tengah” atau “ngetengahan”, ini sesuai dengan lokasi desa yang berada di tengah-tengah di antara perbukitan dan juga terletak jauh kedalam dari bibir pantai. Sedangkan tambahan kata Pegringsingan diduga karena adanya kekhasan dalam hal pengelolaan kain adat dari desa tersebut yang tidak dimiliki desa-desa lainnya. Masyarakat Desa Peneges sendiri kemudian lebih dikenal sebagai masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan.

Desa Tenganan Pegringsingan merupakan desa tua yang sangat unik. Jumlah penduduk tetap di desa tersebut diperkirakan ada sekitar 300 jiwa dengan 120 kepala keluarga. Perekonomian penduduk Desa Tenganan Pegringsingan dapat dikatakan relative rendah dan kurang merata. Sebagian besar dari masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan berprofesi sebagai petani dan penekun kerajinan meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa penduduk telah menempuh pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana.

(42)

35 Desa Tenganan Pegringsingan sebagaimana Desa Bali Aga atau Desa Bali Mula pada umumnya masih bersifat konservatif dalam menjalankan tata kehidupannya dengan menjaga nilai-nilai warisan leluhur. Mereka juga memiliki paradigma yang kuat mengenai konsep Tri Hita Karana yang tergambar dalam tata kehidupan masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan yang sangat menghormati alam, manusia dan juga Tuhan.

Di Desa Tenganan Pegringsingan diketahui tidak dikenal stratifikasi sosial seperti pembagian kasta layaknya desa-desa adat umumnya di Bali. Hal ini dapat dimaklumi mengingat untuk desa-desa Bali Aga atau Bali Mula memang tidak mendapat pengaruh dari Majapahit yang mengenal adanya strata sosial. Sekalipun tidak mendapat pengaruh Hindu Jawa Majapahit, tidak menampik bahwa di Desa Tenganan Pegringsingan terdapat strata sosial yang berkaitan dengan kewajiban seseorang berdasarkan peran seseorang terhadap desa dan memiliki fungsi serta tugasnya masing-masing. Semua golongan tersebut dikatakan dapat menjadi pemimpin dengan berdasar pada senioritas perkawinan. Jadi untuk menjadi pemimpin di desa yang dilihat bukanlah usia dari calon pemimpin melainkan usia dari perkawinannya.

Desa Tenganan Pegringsingan dalam sistem garis keturunan menganut sistem parental atau patrilineal sehingga disana terdapat persamaan hak waris antara laki- laki dan perempuan. Sistem perkawinan yang dianut adalah sistem endogamy dimana perkawinan yang dibenarkan terjadi adalah perkawinan antar sesama warga Tenganan sebagaimana yang diatur oleh awig-awig. Perkawinan yang dilakukan dengan orang dari luar desa akan dikenakan sanksi adat meselong. Hal

(43)

36 ini hingga saat ini masih tetap dipatuhi oleh masyarakat sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini banyak juga terjadi perkawinan dengan orang luar desa. Tata cara perkawinan di Desa Tenganan Pegringsingan dilakukan dengan tanpa memperhatikan stratifikasi sosial yang ada di desa tersebut. Dengan kata lain, rangkaian acara perkawinan dilakukan oleh seluruh masyarakat desa tanpa memperhatikan status sosial yang menikah sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Satu-satunya yang membedakan perkawinan adalah perekonomian dari sang empunya acara. Demikian juga dalam hal kematian, masyarakat Desa Tenganan umumnya mengambil tanggungjawab bersama tanpa memperhatikan status sosial yang meninggal dan upacara pengabenan juga dilakukan dengan berdasar pada tingkat perekonomian sang meninggal.

Wilayah pemukiman di Desa Tenganan Pegringsingan adalah 78,23 ha atau sekitar 8% dari luas wilayahnya sedangkan luas sawah kira-kira 255 ha dan sebanyak 583 ha merupakan lahan kering berupa hutan dan tegalan. Bagi masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan tanah memiliki arti yang sangat penting. Bagi mereka, tanah adalah harta kekayaan yang tidak akan berubah sekalipun menghadapi situasi apapun, tanah memiliki sifat yang tetap. Selain itu tanah juga memiliki fungsi yang amat besar bagi masyarakat selain tempat tinggal persekutuan, tanah juga memberikan nafkah kehidupan pada masyarakat, tempat peristirahatan terakhir bagi yang meninggal. Dapat dikatakan antara tanah dan masyarakat persekutuan terdapat hubungan religious magis yang tidak dapat dipisahkan.

(44)

37 Pola pemukiman di Desa Tenganan Pegringsingan juga tidak berbeda jauh dengan Desa Penglipuran Bangli. Pemukiman dibuat sama atau tidak ada perbedaan antara satu rumah dengan rumah lainnya. Tiap-tiap penduduk diberikan petak-petak tanah yang sama dengan bangunan yang sama pada tiap rumah yang terdiri atas bale meten, bale tengah, bale bunga dan paon. Tanah yang ditempati oleh masing-masing kepala keluarga tersebut tidak bisa ditambah dan juga tidak bisa dikurangi.

Demikianlah sekilas gambaran deskriptif tentang sejarah, situasi dan kondisi di Desa Penglipuran Bangli dan Desa Tenganan Pegringsingan yang merupakan objek penelitian ini.

b. Eksistensi Delik Adat pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan Karangasem

Sebagaimana telah diketahui, pada prinsipnya hukum adat tidak mengenal adanya pembidangan-pembidangan hukum seperti layaknya dalam hukum positif lainnya. Oleh karenanya di dalam hukum adat, tidak ada istilah hukum pidana adat namun dalam konteks akademis untuk memudahkan mempelajari dan memahami aturan-aturan yang berkaitan perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar hukum adat dan dapat diberikan sanksi adat atau reaksi adat maka diperkenalkanlah istilah hukum pidana adat.

Hukum pidana adat sendiri dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum adat dan memiliki nuansa

(45)

38 pidana sehingga dapat dikenakan suatu sanksi adat atau reaksi adat. Dalam konteks ini, perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum adat yang bernuansa pidana dapat disebut delik adat. Akan tetapi seperti layaknya hukum pidana adat, pada prinsipnya delik adat juga tidak dikenal dalam hukum adat. Istilah yang lazim dipergunakan dalam dunia teoritis adalah pelanggaran adat.

Di dalam masing-masing masyarakat adat terdapat istilah yang berbeda-beda mengenai pelanggaran adat. Dalam masyarakat adat Batak misalnya pelanggaran adat diistilahkan dengan “sala tu adat”, di Bali dikenal dengan istilah wicara lan pamidanda. Pelanggaran-pelanggaran adat ini umumnya tidak dibedakan antara pelanggaran adat perdata ataupun pidana.

1. Eksistensi Delik Adat di Desa Penglipuran Bangli

Masyarakat Desa Penglipuran Bangli pada umumnya sangat taat dan patuh pada aturan-aturan yang ada berlaku di desa tersebut. Berdasarkan wawancara dengan salah satu Jro Kubayan Bapak Moneng. Disebutkan bahwa di desa Penglipuran jarang terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan adat. Menurutnya, masyarakat Penglipuran telah memahami konsekuensi dari setiap pelanggaran adat dan umumnya mereka sangat menghindari konsekuensi tersebut.

Konsekuensi sebagaimana dimaksud adalah sanksi adat.

Contohnya saja berkaitan dengan aturan yang melarang masyarakat adat Desa Penglipuran untuk berpoligami dan hanya boleh memiliki satu istri. Apabila hal tersebut langgar maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi adat kasepekang ke sebuah tempat yang disebut Karang Memadu. Sehubungan dengan

(46)

39 adanya aturan ini menurut Jero Kubayan dan salah seorang masyarakat di desa tersebut tidak pernah terjadi pelanggaran. Hampir semua masyarakat taat dan patuh pada aturan berkaitan dengan larangan berpoligami.

Selain itu, di Desa Penglipuran terdapat larangan memotong bambu secara sembarangan. Dengan kata lain bagi setiap warga yang hendak memotong bambu wajib untuk melapor kepada tokoh masyarakat.

Hal lainnya yang berkaitan dengan pelanggaran adat, di Desa Penglipuran juga aturan mengenai pencurian yang bilamana dilakukan maka pencuri akan dikenakan sanksi berupa sesajen dengan lima ekor ayam yang memiliki warna berbeda serta diletakkan di 4 (empat) pura leluhur. Konon dengan cara ini maka masyarakat akan mengetahui siapa yang melakukan pencurian dan dengan cara ini maka akan diperoleh efek malu.

Sanksi adat juga akan diberikan kepada mereka yang membuang sampah secara sembarang di wilayah Desa Penglipuran Bangli. Adapun sanksi adat yang akan dijatuhkan adalah askara danda untuk melaksanakan pecaruan atau pebersihan. Pelanggar diwajibkan untuk menghaturkan sesajen berupa bakti pecaruan panca sata yang diletakkan di pura khayangan tiga yang ada di Desa Penglipuran serta di catus pata.

2. Eksistensi Delik Adat di Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem

Seperti halnya dengan Desa Penglipuran Bangli, Desa Tenganan Pegringsingan juga masih memegang kuat tradisi warisan leluhur mereka dengan tetap mematuhi aturan-aturan adat yang berlaku. Hal itu pula yang menyebabkan

(47)

40 di Desa Tenganan Pegringsingan jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran adat apalagi yang bernuansa pidana sebagaimana diungkapkan oleh kelian adat Bapak Ketut Sudiastika dan Bapak Kariada.

Dalam sejarah perjalanan kehidupan masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan diterangkan hanya terjadi 1 (satu) kali tindak pidana pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan illegal loging atau pembalakan liar. Bapak Ketut Sudiastika dan Bapak Kariada secara khusus memberikan penekanan pembalakan liar atau illegal loging. Penebangan pohon sangat mengkhawatirkan mengingat penebangan pohon secara berlebihan akan merusak ekosistem serta dapat menyebabkan hilangnya keseimbangan alam yang sangat dijaga oleh masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan, terlebih lagi jika penebangan tersebut dilakukan dengan cara mencuri.

Berbicara mengenai delik adat, masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan mengenal beberapa jenis delik adat antara lain perzinahan, pengerusakan, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan dan pencurian.

c. Eksistensi Pengaturan Delik Adat pada Desa Tua Penglipuran Bangli dan Tenganan Pegringsingan

Berdasarkan wawancara terakhir, belum diberikan jawaban lebih lanjut mengenai pengaturan delik adat di dalam awig-awig namun telah diberikan gambaran singkat bahwa pada prinsipnya baik di Desa Penglipuran Bangli

(48)

41 maupun di Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem, ada pengaturan terhadap pelanggaran adat.

Peraturan tersebut dikatakan mengikat bagi para warga adat sepanjang peraturan tersebut sesuai dengan adat istiadat yang berlaku secara turun temurun di kedua desa tersebut. Selain itu juga dikatakan bahwa peraturan adat untuk dapat ditaati dan dipatuhi haruslah memiliki rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat, mampu menjawab permasalahan adat yang selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan jaman dan tetap mengutamakan prinsip- prinsip kemanusiaan.

Hal-hal yang disampaikan adalah berkaitan dengan pentingnya peran daripada kepala adat sebagai hakim desa. Seorang atau lebih hakim desa dalam melaksanakan tugasnya harus berpegang teguh pada adat istiadat yang telah berlaku secara turun temurun di desa tersebut. Dalam memutus suatu pelanggaran adat sangat penting untuk memperhatikan putusan kepala adat yang telah ada terdahulu dan juga wajib untuk menggali terus nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Untuk pengaturan delik adat atau pelanggaran adat yang bernuansakan pidana, contohnya dapat diketemukan dalam awig-awig desa adat Tenganan Pegringsingan yang menuliskan beberapa jenis delik adat sebagai berikut:

- Perzinahan diatur dalam Pasal 15 Awig-awig Desa Tengananan Pegringsingan

- Pengerusakan diatur dalam Pasal 27

(49)

42 - Pemerkosaan dalam Pasal 32

- Perampokan dalam Pasal 33 - Pembunuhan dalam Pasal 46 - Pencurian dalam Pasal 55-61

Referensi

Dokumen terkait

(3) ada pengaruh yang signifikan penggunaan model Make A Match terhadap kemampuan menghitung luas persegi dan persegi panjang siswa kelas III SDN Gampeng 2 Ngluyu Nganjuk Tahun

Data diambil dari pengunjung perpustakaan dalam rentang waktu sekitar 1 bulan, setelah dilakukan pendataan maka kesimpulan yang bisa didapatkan bahwa pengunjung

Dan kedua contoh di atas cukup memberi gambaran kepada kita, peranan lingkungan yang mirip telah menyebabkan dua spesies yang berasal dari nenek moyang yang berbeda

Kuantitas lindi yang dihasilkan tergantung pada jum- lah masuknya air dari luar, terutama air hujan, disam- ping dipengaruhi oleh aspek operasional yang dite- rapkan seperti

Ketika masalah Indonesia diterima masuk dalam agenda Dewan Keamanan PBB pada tanggal 30 Juli 1947, Australia menyerahkan rancangan resolusi' yang menyerukan agar semua

Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di daerah Kecamatan Dukun Kabupaten MAgelang adalah Jatilan, Reog, Ketoprak, Kerawitan, Campursari, Macapatan, Gangsir

Kepercayaan dan solidaritas yang dibangun didalam penanggulang bencana merapi yaitu masyarakat mempercayai bahwa setiap warga antar desa terdampak harus dilindungi

Pada suhu 450 dan 500 0 C terdapat penyimpangan dimana nilai karbon justru mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya suhu dan waktu karbonisasi, hal ini