• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Profil Desa Pa’rappunganta

Desa Pa’rappunganta merupakan salah satu dari lima belas desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar dengan luas 5,25 km2 (2,47% dari luas wilayah kecamatan Polombangkeng Utara) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa. Jarak Desa Pa’rappunganta dari Ibukota Kabupaten Takalar yaitu 13 km (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010). Letak Kecamatan Polombangkeng Utara dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Kabupaten Takalar Sumber : Google Map (2012)

Batas-batas wilayah Desa Pa’rappunganta sebagai berikut : (1) sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Parangluara dan Desa Parangbaddo’, (2) sebelah Timur berbatasan dengan Desa Massamaturu, (3) sebelah Selatan berbatasan dengan Keluarahan Panrannuangku, (4) sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Palleko dan Kelurahan Matompodalle. Secara administrasi, Desa Pa’rappunganta terdiri atas 5 dusun yaitu : (1) Dusun Bontosunggu, (2) Dusun Batunipa, (3) Dusun Lerekang, (4) Dusun Massalongko, (5) Dusun Pa’bulaengan.

(2)

17

Keadaan Topografi

Dilihat dari keadaan topografinya, Desa Pa’rappunganta memiliki bentuk wilayah yang datar (Gambar 5) dan didominasi oleh hamparan sawah dan kebun dengan ketinggian desa 200-499 meter di atas permukaan laut. Bentuk wilayah yang rata dimanfaatkan warga desa sebagai sumber mata pencaharian yaitu melalui pertanian (sawah) dan perkebunan.

(a) (b)

Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah

Luas lahan di Desa Pa’rappunganta sebesar 950 ha yang didominasi perkebunan seluas 492,42 ha. Jenis tanaman kebun yang banyak terdapat di Desa Pa’rappunganta adalah tanaman tebu. Luas lahan sawah 151 ha, pekarangan seluas 139,10 ha, tegalan seluas 78,86 ha dan lain-lainnya 88,62 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Seluruh sawah di Desa Pa’rappunganta adalah sawah tadah hujan dan terdapat masa saat sawah diberakan (dikosongkan) setelah panen. Panen padi di lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam setahun. Sawah yang diberakan biasanya ditanami dengan tanaman kacang hijau oleh penduduk setempat dengan panen kacang hijau dua kali dalam setahun.

Desa Pa’rappunganta beriklim tropis dengan suhu rata-rata tahun 2010-2011 mencapai 22-32 oC (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010) dengan 2 tipe musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di Desa Pa’rappunganta cenderung bervariasi setiap bulan. Perbedaan curah hujan per-bulan dari Januari hingga Desember dari tahun 2007 sampai 2009 di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 1.

(3)

18 Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Per-Bulan Desa Pa’rappunganta (mm)

Bulan Tahun 2007 2008 2009 Januari 863 0 792 Februari 639 0 413 Maret 219 17 94 April 348 90 161 Mei 51 4 12 Juni 112 41 2 Juli 0 1 83 Agustus 11 23 0 September 0 13 0 Oktober 0 119 20 November 225 384 67 Desember 473 667 397 2941 1359 2041

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar (2010)

Keadaan Demografi

Jumlah penduduk Desa Pa’rappunganta tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1245 jiwa dan perempuan 1289 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Pa’rappunganta sebanyak 725 KK. Rincian jumlah penduduk dan kepala keluarga di Desa Pa’rappunganta disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun 2010

Dusun Jumlah Kepala Keluarga (KK) Penduduk Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Bontosunggu 165 279 280 559 Batunipa 147 224 254 478 Lerekang 158 258 292 550 Massalongko 212 391 387 778 Pa'bulaengan 43 93 76 169 Jumlah 725 1245 1289 2534

(4)

19 Penduduk Desa Pa’rappunganta didominasi masyarakat suku Makassar yang seluruhnya beragama Islam. Budaya atau tradisi masyarakat Desa Pa’rappunganta yaitu kebiasaan mengadakan pa’bunting (pesta pernikahan) atau sunna’ (khitanan) secara besar-besaran (meriah) dengan menggunakan daging ternak besar seperti sapi atau kuda sebagai menu utama dalam pesta. Kebiasaan ini tidak terbatas pada warga dengan tingkat ekonomi yang tinggi, namun masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah juga mengadakan pesta tersebut.

Mata Pencaharian

Desa Pa’rappunganta didominasi oleh masyarakat yang bekerja di bidang pertanian terutama petani sawah, kemudian disusul oleh pekerja di bidang perdagangan, jasa pemerintahan, transportasi, industri kerajinan, konstruksi jasa sosial, jasa perseorangan, keuangan dan warung makan. Perincian mata pencaharian penduduk di Desa Pa’rappunganta tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010

Pekerjaan Pokok Jumlah Persentase (%)

Pertanian 930 36,7 Industri Kerajinan 18 0,71 Konstruksi 17 0,67 Perdagangan 96 3,79 Warung Makan 1 0,04 Transportasi 41 1,62 Keuangan 2 0,08 Jasa Pemerintahan 43 1,69 Jasa Sosial 12 0,47 Jasa Perorangan 9 0,35

Tidak atau Belum Bekerja 1365 53,87

Jumlah 2534 100

Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar ( 2010)

Bidang pertanian telah menjadi mata pencaharian masyarakat di Desa Pa’rappunganta secara turun-temurun, baik bagi penduduk yang memiliki lahan

(5)

20 sendiri maupun sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan pertanian memberikan keuntungan bagi usaha ternak sapi bali di desa tersebut. Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pakan sapi bali. Selain bertani, masyarakat juga beternak sebagai usaha sambilan. Hewan yang diternakkan seperti ayam, itik, sapi bali dan kuda. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Daryanto (2009) bahwa pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sekitar 45% tenaga kerja di Indonesia. Kaitannya dengan pakan, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak.

Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali

Karakteristik peternak merupakan hal yang penting untuk diketahui karena karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan sapi bali. Kemampuan dalam pemeliharaan sapi bali merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh karakteristik peternak. Pengamatan karakteristik peternak di Desa Pa’rappunganta dibedakan berdasarkan umur peternak, tingkat pendidikan, motivasi beternak, pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi bali.

Umur Peternak

Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar berumur antara 41-50 tahun (33,33%), Peternak yang berumur 20-30 tahun sebanyak 3 orang (7,14%). Peternak berumur 31-40 tahun sebesar 23,81%, umur 51-60 tahun sebesar 23,81%, dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 11,90%. Sebaran peternak berdasarkan umur ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sebaran Peternak berdasarkan Umur Sumber : Data yang diolah (2011)

7,14% 23,81% 33,33% 23,81% 11,90% 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun

(6)

21 Hasil penelitian menunjukkan umumnya peternak responden masih dalam umur produktif. Selang umur produktif di Indonesia yaitu 15-64 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Umur peternak yang produktif merupakan salah satu potensi dalam pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Peternak yang masih produktif di Desa Pa’rappunganta diharapkan memiliki kemampuan pemeliharaan dan penye-diaan pakan ternak yang lebih baik dibandingkan umur tidak produktif.

Tingkat Pendidikan

Saleh (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan peternak juga berhubungan sangat nyata dengan perilaku membuat jejaring komunikasi antar peternak sendiri, aktif mencari, mengklarifikasi dan memanfaatkan informasi peternakan sapi potong sesuai kebutuhan. Peternak yang diwawancarai sebagian besar tidak pernah sekolah dengan persentase sebesar 40,48%. Pendidikan formal tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan persentase sebesar 4,76%. Rendahnya tingkat pendidikan peternak mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan peternak masih kurang. Contoh dalam pemberian pakan jerami padi, peternak tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu seperti amoniasi atau silase sehingga kecernaan dan palatabilitasnya relatif rendah. Manajemen reproduksi sapi bali belum dilaksanakan dengan baik. Peternak belum mengetahui cara pencatatan siklus reproduksi sapi bali sehingga kurang tepat untuk mendeteksi birahi, kebuntingan atau kemajiran pada ternaknya. Kebersihan kandang dan kesehatan ternak kurang diperhatikan oleh peternak seperti vaksinasi dan pengobatan penyakit sapi bali. Hal-hal tersebut merupakan contoh kurangnya keterampilan peternak di Desa Pa’rappunganta.

Keterampilan peternak selain diperoleh dari pendidikan formal juga dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal seperti penyuluhan dan pembinaan. Program-program penyuluhan dan pembinaan peternak sudah diadakan namun belum merata. Masih banyak peternak yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan non-formal tersebut. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan ataupun pelatihan mengenai manajemen beternak yang baik termasuk bagaimana pemberian pakan sesuai status fisiologis sapi bali, pengolahan jerami, pencatatan siklus reproduksi sapi bali, pencegahan penyakit, kebersihan kandang dan lain-lain.

(7)

22 Penyuluhan dan pelatihan tersebut sebaiknya dilakukan secara berkala dan dapat diikuti oleh seluruh peternak.

Penyaluran informasi mengenai pemeliharaan sapi bali di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki. Pemberdayaan kelompok petani-peternak sangat diperlukan agar dapat menjadi tempat bagi peternak memperoleh informasi, mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan beternak sapi bali. Selama ini kelompok peternak yang telah dibentuk tidak terorganisir dengan baik, anggota kelompok jarang melakukan pertemuan untuk berdiskusi atau berbagi informasi mengenai pemeliharaan sapi bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsu et al. (2006) bahwa masalah dalam pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan adalah lemahnya kelembagaan di tingkat kelompok tani dan peternak. Kondisi tersebut di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki dengan mengaktifkan kembali kelompok melalui kegiatan-kegiatan kelompok yang terencana dan berkala seperti pelatihan, diskusi kelompok dan lain-lain. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persentase

Tidak sekolah 17 40,48

Sekolah Dasar 14 33,33

Sekolah Menengah Pertama 9 21,43

Sekolah Menengah Atas 2 4,76

Sarjana 0 0,00

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Tingkat pendidikan yang rendah juga berpengaruh terhadap penguasaan peternak terhadap istilah dalam peternakan. Beberapa peternak tidak menguasai Bahasa Indonesia sehingga dalam melakukan wawancara, peneliti harus menggunakan bahasa daerah Makassar. Istilah-istilah dalam bidang peternakan juga tidak diketahui oleh para peternak sehingga peneliti harus menjelaskan pengertian dari istilah tersebut dalam Bahasa Makassar terlebih dahulu atau menggunakan istilah Bahasa Makassar yang umum digunakan oleh para peternak.

(8)

23

Motivasi Beternak

Motivasi yang dimiliki oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi bali cenderung seragam. Sebanyak 39 orang atau 92,85% responden yang diwawancarai dalam penelitian ini menyatakan motivasi mereka beternak sapi bali adalah untuk menambah penghasilan. Sisanya sebanyak 3 orang responden (7,14%) menyatakan alasan mereka beternak sapi bali adalah sebagai tabungan masa depan.

Beternak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah peng-hasilan. Banyaknya peternak yang beternak sapi bali sebagai pekerjaan sambilan didorong oleh biaya pemeliharaan sapi bali yang relatif kecil karena sistem peternakan semi intensif yang diterapkan oleh peternak. Peternak hanya butuh tenaga untuk mencari pakan dan biaya untuk membuat kandang sederhana serta biaya pembelian garam. Sapi bali juga menjadi tabungan masa depan karena peternak dapat menjual sapi bali yang dimilikinya sewaktu-waktu jika membutuhkan uang untuk berbagai keperluan misalnya biaya sekolah anak dan biaya pengobatan. Hal tersebut sejalan dengan laporan Sudardjat dan Pambudy (2003) yakni peternak tradisional masih lebih senang memilih ternak sebagai alternatif usaha menyimpan dana. Hal tersebut sebenarnya merupakan alternatif tepat karena menabung dalam bentuk ternak akan memperoleh “bunga” yaitu dari anak sapi yang dapat dicapai bila manajemen ternak dilakukan dengan baik. Sebaran peternak berdasarkan motivasi beternak sapi bali disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Peternak berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali Sumber : Data yang diolah (2011)

Seluruh responden yang diwawancarai menjual ternaknya pada pedagang pengumpul yang sekaligus berperan sebagai belantik. Harga jual sapi bali di lokasi penelitian relatif stabil. Sapi bali berumur 1 tahun berkisar 3-4 juta rupiah sedangkan

93%

7% Tambahan penghasilan Tabungan masa depan

(9)

24 sapi bali yang berumur 2 tahun dijual pada kisaran harga 4-5 juta rupiah. Bagi responden, harga jual ini sudah menguntungkan karena responden tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja, biaya penyusutan peralatan dan biaya-biaya lainnya. Tenaga kerja usaha ternak sapi bali berasal dari tenaga kerja keluarga sehingga peternak tidak menghitung upah tenaga kerja.

Pengalaman Beternak

Pengalaman responden dalam beternak sapi bali bervariasi (Tabel 5). Peternak di lokasi penelitian telah mengetahui cara beternak yang diperoleh dari keluarga secara turun-temurun. Cara beternak yang diketahui masih bersifat tradisional, namun sudah cukup baik sebagai modal untuk pengelolaan dan pengembangan usaha ternak sapi bali. Febrina dan Liana (2008) menyatakan bahwa pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha.

Tabel 5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak

Lama Beternak Sapi Bali (tahun) Jumlah Responden Persentase

1 sampai 10 15 35,71

11 sampai 20 15 35,71

21 sampai 30 7 16,67

31 sampai 40 5 11,90

Jumlah 42 100,00

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan sapi bali paling banyak antara 1-5 ekor (76,19%). Jumlah sapi bali yang dipelihara responden dapat dilihat pada Tabel 6. Kepemilikan sapi bali relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama yang telah lama menjalankan usaha ternak sapi bali. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya modal peternak untuk membeli bibit atau sapi dara dan pola pemeliharaan yang masih tradisional.

(10)

25 Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara

Jumlah ternak Sapi Bali Responden Persentase

1 sampai 5 32 76,19

6 sampai 10 8 19,05

>10 2 4,76

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kairupan (2011) menyatakan bahwa peternakan sapi memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal tersebut mengingat sebagian besar sapi di Indonesia ada pada tingkat petani kecil yang dikelola dalam skala usaha peternakan rakyat, namun umumnya para peternak yang memelihara sapi bali tidak mengembangkan populasi ternaknya dan dijual apabila membutuhkan uang dalam kondisi mendesak. Syamsu et al. (2006) menjelaskan permasalahan peternakan di Sulawesi Selatan adalah skala usaha kecil, umumnya masih terbatas pada skala usaha sambilan sehingga kurang kompetitif.

Sapi bali yang dipelihara peternak tidak seluruhnya merupakan kepemilikan peternak sendiri, namun juga ada yang berupa sapi bali yang dititipkan atau sapi bali gaduhan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memelihara sapi bali milik sendiri dan milik orang lain lebih dominan.

Tabel 7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan Sapi Bali Responden Persentase

Milik sendiri 14 33,33

Gaduhan 9 21,43

Milik sendiri dan gaduhan 19 45,24

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Sistem gaduhan di Desa Pa’rappunganta menguntungkan peternak dengan modal kecil karena mereka memperoleh bibit sapi bali tanpa membeli. Bibit sapi bali yang dipelihara oleh peternak responden umumnya berasal dari sapi yang dititipkan oleh orang lain. Sistem penitipan ini dalam Bahasa Makassar disebut “ni tesang”

(11)

26 atau dikenal juga dengan menggaduh atau bagi hasil. Sistem ini dijalankan berdasarkan kesepakatan antara pemilik sapi bali dan peternak yang memelihara. Kesepakatan yang umum yaitu anak pertama dari sapi tersebut menjadi milik orang yang menitipkan sedangkan anak kedua menjadi milik peternak yang memelihara dan begitu seterusnya. Sapi bali yang dititipkan ke peternak umumnya berjenis kelamin betina untuk digunakan sebagai bibit. Sistem gaduhan sapi bali tersebut dapat mengembangkan sapi bali di Desa Pa’rappunganta apabila peternak yang dititipi sapi bali mampu melakukan pemeliharaan dengan baik dan memproduksi anak sapi atau pedet satu ekor per tahun (produktivitas baik).

Populasi Sapi Bali

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta berasal dari wilayah Kabupaten Takalar yang dibeli oleh penduduk desa kemudian diternakkan. Populasi sapi bali mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahun. Kepadatan sapi bali Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 mencapai 150 ekor/km2

. Tahun 2008 hingga tahun 2010 jumlah sapi bali mengalami peningkatan. Sapi bali betina jumlahnya lebih besar dibandingkan sapi bali jantan karena sapi bali jantan umumnya dijual oleh peternak ketika umurnya telah mencapai 1-2 tahun. Peternak tidak menjual sapi betina karena diharapkan dapat menghasilkan anak tiap tahunnya, kecuali jika sapi betina tersebut sudah afkir atau sakit.

Peningkatan populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 6,48% terjadi di tahun 2009 jika tahun 2008 diasumsikan sebagai tahun awal. Tahun 2010 terjadi peningkatan populasi sebesar 4,75%, namun laju perkembangan populasi mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,73%. Peningkatan populasi sapi bali di lokasi penelitian lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi sapi nasional tahun 2008-2010. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) menunjukkan populasi sapi tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,01% dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 meningkat sebesar 3,12% dari tahun 2009.

Populasi sapi bali yang meningkat tahun 2008 ke 2009 didorong oleh adanya program bantuan sapi bali melalui Sarjana Membangun Desa (SMD) yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan. Diharapkan prospek pengembangan sapi bali dapat semakin baik setiap tahun dengan pengoptimalan produktivitas, potensi dan

(12)

27 penerapan strategi pengembangan yang tepat. Perkembangan populasi sapi bali mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

Tahun Jumlah Ternak (ekor) Laju Perkembangan (%)

Jantan Betina

2008 151 571 -

2009 160 662 6,48

2010 186 718 4,75

Jumlah 2448 1951

Sumber : Data diolah dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2010)

Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali Perkandangan

Kandang sapi bali di Desa Pa’rappunganta berada di sekitar rumah atau di bawah rumah jika rumah peternaknya merupakan rumah panggung. Konstruksi kandang sangat sederhana, dibangun dari bambu atau potongan kayu, atap dari bahan rumbia atau seng dan lantai tanah. Beberapa kandang tidak beratap dan hanya berupa pembatas yang mencegah sapi lepas. Hal tersebut berkaitan dengan pemeliharaan semi intensif dimana ternak tidak dikandangkan saat siang hari sehingga peternak merasa tidak perlu memberikan naungan di kandang. Konstruksi kandang sapi bali dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Kandang Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta, (a) Kandang dengan Atap (b) Kandang Tanpa Atap

(13)

28 Tempat pakan berupa wadah yang terbuat dari papan ataupun bahan lain yang mudah diperoleh peternak dan tidak membutuhkan biaya pembelian yang besar. Tempat pakan umumnya terbuat dari papan atau wadah lainnya. Ember untuk air minum sapi menggunakan ember plastik atau memanfaatkan ember bekas cat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9. Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali, (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan

Sudardjat dan Pambudy (2003) menjelaskan bahwa pola pemeliharaan dan usaha ternak potong di Indonesia masih merupakan usaha tani, yang berarti usaha pokok peternak adalah bertani dan usaha sambilan adalah beternak. Sapi, kerbau maupun ternak lainnya sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri, di tanah gembalaan umum, di tepi jalan atau pinggir sungai yang ditumbuhi banyak rumput. Ternak sore hari kemudian dikandangkan di kandang yang sederhana.

Jenis kandang yang umum di lokasi penelitian adalah kandang kelompok dan tidak dijumpai adanya kandang individu yang dimiliki peternak. Peternak tidak memperhatikan ukuran luas dan kepadatan kandang. Kandang dibuat hanya berdasarkan luas lahan yang dimiliki peternak, ketersediaan bahan pembuat kandang dan biaya yang dimiliki oleh peternak untuk pembuatan kandang. Luas kandang sapi bali di lokasi penelitian sangat bervariasi dan terkadang juga berfungsi sebagai pagar pembatas pekarangan rumah. Kandang tersebut memiliki pengamanan yang sangat minim. Pintu kandang biasanya terbuat dari potongan kayu yang dibentuk menyerupai pagar/gerbang sederhana dan umumnya tidak dapat dikunci. Kondisi tersebut menyebabkan rawan terjadi pencurian sapi bali.

(14)

29 Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar memiliki kompleks kandang individu yang dapat menampung hingga 88 ekor ternak sapi yang terletak di Desa Pa’rappunganta (Gambar 10)

Gambar 10. Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta

Kandang individu tersebut merupakan kandang permanen yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum namun peternak belum memanfaatkannya karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa kandang. Biaya penyewaan kandang disesuaikan dengan kesepakatan peternak dan pihak dinas peternakan. Alasan keamanan juga menjadi pertimbangan peternak tidak meng-gunakan kandang tersebut karena letak kandang yang jauh dari rumah akan menyulitkan pengawasan. Kandang terletak di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk dan dari pinggir jalan desa.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan sapi bali yang dilakukan oleh peternak adalah sistem semi-intensif. Ternak biasanya dikeluarkan dari kandang pada pukul 6 pagi kemudian digembalakan (Gambar 11). Siang hari peternak menambatkan ternak sapi di bawah pohon atau naungan yang berada di sekitar lahan penggembalaan dan pada sore hari sekitar pukul 5 sore, sapi bali dikandangkan kembali. Mathius (2008) menjelaskan bahwa untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari dan digembalakan secara terbatas (dengan pengawasan/diikat) pada siang hari.

(15)

30 Penggembalaan harus diatur agar daya dukung pakan hijauan lokal tersedia sepanjang tahun. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari kerusakan kebun akibat kelebihan daya tampung (over-grazing). Sapi bali yang sedang bernaung dan di kandangkan dapat dilihat pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 11. Sapi Bali yang Digembalakan, (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera

Gambar 12. Sapi Bali yang Dinaungkan

Sapi bali digembalakan di lahan kosong yang ditumbuhi rumput lapang atau sawah yang sedang tidak ditanami (diberakan). Alasan peternak menerapkan pola pemeliharaan semi-intensif adalah agar ternak dapat memakan rumput lapang di lokasi penggembalaannya selain dari pakan yang diberikan. Sapi bali yang digembalakan di sawah bera dapat mengonsumsi limbah berupa jerami padi yang ketersediaannya melimpah saat musim panen. Sistem produksi yang dilaksanakan peternak adalah sistem campuran. Sistem produksi campuran sapi bali di Desa

(16)

31 Pa’rappunganta mencakup pembibitan, produksi bakalan, pembesaran dan sekaligus penggemukan.

Pakan

Sapi bali di lokasi penelitian diberi pakan yang terdiri dari dua jenis yaitu rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Pakan utama yang diberikan oleh peternak yaitu rumput dan alang-alang yang banyak tumbuh di lokasi penelitian. Ketersediaan pakan didukung oleh kondisi iklim yang cukup baik dan lahan yang luas sehingga tersedia hijauan sepanjang tahun dan meminimalkan biaya pakan yang harus dikeluarkan peternak.

Peternak umumnya melakukan sistem cut and carry yakni mengambil pakan yang diperoleh dengan mengarit dari sekitar kebun tebu atau lokasi lain untuk mencegah sapi bali kekurangan pakan terutama saat musim kemarau dimana rumput produksi hijauan lahan penggembalaan lebih sedikit. Pakan diangkut dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan seperti gerobak, sepeda, sepeda motor dan traktor seperti terlihat pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 13. Cara Pengangkutan Pakan oleh Peternak Sapi Bali, (a) Menggunakan Gerobak (b) Berjalan Kaki

Jumlah pakan rumput yang diberikan pada sapi bali oleh peternak di lokasi penelitian rata-rata 18±7 kg/ekor/hari. Kebutuhan hijauan sapi potong perhari adalah 10%-12% dari bobot badan, dengan kebutuhan bahan kering (BK) ransum menurut National Research Council (1984) adalah 3% dari bobot badan sapi. Persentase BK rumput berdasarkan hasil penelitian Paat dan Winugroho (1990) yang diberikan pada

(17)

32 sapi bali di Sulawesi Selatan (diistilahkan dengan hijauan pedesaan) adalah antara 18,5%-32,5% dengan rata-rata 25% BK per-kilogram hijauan pedesaan. Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam masih diperlukan untuk mengetahui kandungan nutrisi dari seluruh sumber pakan yang ada di desa tersebut serta menghitung hijauan yang diperoleh sapi dari aktivitas merumput (saat digembalakan) untuk mengetahui keterpenuhan nutrisi sapi bali.

Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan responden bervariasi yaitu 3 kali sehari (45,24%), 2 kali sehari (45,24%) dan terus-menerus (9,52%). Pemberian pakan 2 kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari menjelang malam. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dilakukan peternak dengan pemberian pakan pada pagi, siang dan sore menjelang malam. Pemberian pakan dua kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari. Peternak di lokasi penelitian tidak memberikan pakan saat sapi bali berada di kandang pada malam hari, sehingga pakan yang diberikan pada sore hari akan lebih banyak.

Pakan di Desa Pa’rappunganta selain dari hijauan berupa rumput, juga berupa limbah pertanian. Sumber limbah pertanian menurut Syamsu et al. (2003) diperoleh dari komoditi tanaman pangan yang ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas panen di suatu wilayah. Beberapa hal yang menjadi faktor pembatas pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia seperti produksi limbah pertanian yang musiman atau tidak kontinyu sepanjang tahun sehingga memerlukan fasilitas tempat penyimpanan. Disamping itu kualitas nutrisi yang rendah dan bervariasi tergantung dari spesiesnya sehingga perlu upaya peningkatan nilai nutrisi melalui penggunaan teknologi pakan yang mudah, murah dan dapat diadopsi oleh peternak.

Jerami padi jumlahnya meningkat saat musim panen padi. Peternak menggembalakan sapi bali di sawah yang telah dipanen sehingga sapi bali bisa langsung mengonsumsi sisa jerami padi saat digembalakan. Amril et al. (1990) menyatakan bahwa produksi jerami padi di Sulawesi Selatan memiliki potensi yang cukup besar. Produksi jerami padi yang bersamaan dengan musim kemarau merupakan saat produksi hijauan sangat rendah sehingga jerami padi dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber pakan hijauan.

(18)

33 Pakan sapi bali di Desa Pa’rappunganta yang berasal dari limbah pertanian diantaranya jerami padi, dedak padi, jerami tebu dan jerami kacang hijau. Sebaran peternak berdasarkan jenis pakan tambahan yang diberikan pada sapi bali peliharaannya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Peternak Berdasarkan Pakan Tambahan yang Digunakan

Pemberian Pakan Tambahan Jumlah Responden Persentase

Dedak padi 21 50,00

Dedak padi + jagung 3 7,14

Dedak padi + ampas tebu 1 2,38

Jagung + ampas tebu 1 2,38

Dedak padi + jagung + ampas tebu 2 4,76

Molases 2 4,76

Tidak diberi pakan tambahan 12 28,57

Jumlah 42 100,00

Sumber : Data yang diolah (2011)

Jumlah pakan tambahan yang diberikan peternak pada sapi bali sulit untuk dihitung jumlahnya. Hal tersebut karena jenis pakan yang diberikan sangat bervariasi dan pemberian pakan tambahan tidak setiap hari. Pakan yang diberikan tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi bali. Faktor jenis kelamin, status fisiologis (bunting, menyusui dan lain-lain) dan umur sapi bali (anak, muda atau dewasa) tidak diperhatikan dalam pemberian pakan. Hal tersebut disebabkan peternak di memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pemenuhan nutrisi sapi bali, sehingga perlu dilakukan penyuluhan maupun pelatihan mengenai pakan.

Kebutuhan sapi bali terhadap mineral dipenuhi dengan memberikan garam. Garam dicampurkan dengan air minum sapi bali. Peternak meyakini garam dapat meningkatkan konsumsi air minum dan berefek baik bagi ternak sapi. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa kebutuhan ruminansia terhadap garam (NaCl) sudah dipahami peternak. Garam dapur umum digunakan karena harganya murah dan mudah digunakan. Batas toleransi kandungan garam ternak dalam air minum sapi maksimal 7000 ppm dan maksimum 4% dalam pakan agar sapi bali tidak keracunan NaCl. Jumlah garam yang diberikan responden pada sapi bali sekitar ±250 gram

(19)

34 sehari yang dicampur 10 liter air untuk diminum satu ekor sapi. Pemberian minum yang dicampur garam dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari.

Perawatan Sapi Bali

Memandikan sapi bali sangat penting untuk menjaga kebersihannya. Sapi bali yang dipelihara tidak dimandikan secara teratur. Peternak memandikan sapi bali jika cuaca panas atau saat musim kemarau untuk mencegah stres panas pada sapi. Cara memandikan sapi yang sering dilakukan oleh peternak yaitu dengan membawa sapi ke pinggir sungai atau ke sumur untuk dimandikan.

Perawatan juga dilakukan peternak dengan menjaga kebersihan kandang. Melihat kondisi kandang di lokasi penelitian, cukup sulit untuk menjaga kandang tetap dalam kondisi kering karena lantai kandang umumnya terbuat dari tanah. Kegiatan pembersihan kandang yang dilakukan peternak adalah membersihkan kotoran sapi dengan alat serok. Frekuensi pembersihan kandang cenderung bervariasi. Sebanyak 26 orang atau 61,90% responden tidak teratur dalam membersihkan kandang. Kandang hanya dibersihkan saat kotoran atau feses sapi sudah menumpuk. Frekuensi pembersihan kandang akan meningkat saat musim hujan tiba karena peternak mencegah bau tidak sedap utamanya jika kandang sapi terletak sangat dekat dengan rumah peternaknya. Sebanyak 23,81% (10 orang responden) membersihkan kandang setiap hari yaitu setiap pagi setelah sapi bali dikeluarkan dari kandang. Sisanya sebesar 14,28% atau sebanyak 6 responden tidak pernah membersihkan kandang sapinya.

Wawancara dengan responden menunjukkan penyakit yang paling banyak menyerang sapi bali milik responden adalah penyakit diare berdarah, dialami oleh sapi bali dari 22 responden (52,38%) yang terdiri dari 6 responden yang membersihkan kandang setiap hari, 13 responden yang membersihkan kandang tidak tentu, dan 3 responden yang tidak pernah membersihkan kandang sapi bali peliharaannya. Penyakit lain yang menyerang adalah penyakit ngorok atau SE (septichaemia epizootica) yang dialami oleh sapi bali milik 1 orang responden (2,38%), dan cacingan dialami sapi bali milik 20 reponden (47,62%) yang terdiri atas 13 responden yang membersihkan kandang tidak tentu, 4 responden yang membersihkan kandang setiap hari dan 3 responden yang tidak pernah membersihkan kandang sapi miliknya.

(20)

35 Dijelaskan oleh Chotiah (2008), penyakit diare berdarah disebabkan oleh

enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) yang memproduksi verotoksin sehingga

menyebabkan kerusakan pembuluhdarah di daerah kolon sapi, terutama menyerang anak sapi, ditandai dengan adanya darah pada feses. Penyakit cacingan menurut Ahmad (2008) disebabkan oleh parasit cacing yang menyerang sapi bali. Ternak yang cacingan akan kurus, konversi pakan buruk, mencret, anemia, bengkak dan dapat menyebabkan kematian. Ngorok atau SE memiliki gejala demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas, mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Penyebab penyakit ini adalah bakteri P. multocida (Priadi dan Natalia, 2000).

Hasil penelitian di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa frekuensi pembersihan kandang yang dilakukan peternak tidak berpengaruh pada penyakit yang menyerang sapi bali yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Seluruh responden menyatakan sapi bali peliharaannya pernah terkena penyakit diare berdarah, ngorok atau SE dan cacingan. Manajemen kesehatan ternak dan lingkungan yang baik merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam meminimalisasi penyakit tersebut.

Performa Sifat Reproduksi Sapi Bali

Reproduksi didefinisikan sebagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Reproduksi pada hewan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dan berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas (Toelihere, 1979). Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dibanding sapi potong lainnya yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang di beberapa wilayah di Indonesia (Romjali dan Rasyid, 2007).

Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran (calving rate). Hasil penelitian terhadap sifat reproduksi sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.

(21)

36 Tabel 10. Sifat Reproduksi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

Sifat Reproduksi Rata-rata Literatur

Umur berahi pertama/puberty (tahun) 2,1 ±0,52 >2a Umur kawin pertama/first mating (tahun) 2,2 ±0,51 2-3b

Service per Conception (kali) 1,9 ±0,94 2c

Tingkat kelahiran anak/calving rate (%) 98,1 60-70d Umur induk beranak pertama/ first parturition (tahun) 3,1 ±0,59 3,48±0,15e Berahi setelah beranak/oestrus postpartum (hari) 82±36,09 70f Selang Beranak /calving interval (hari) 370±36 471±54g

Kematian anak/calf mortality (%) 5,8 8.3e

Keterangan : aToelihere (1981); bHardjopranjoto (1995); cFordyce (2003); dBall dan Peters (2004);

eLiwa (1990); f Salisbury dan VanDemark (1985); gWirdahayati dan Bamualim (2003)

Umur Berahi Pertama (Puberty)

Betina-betina yang dapat dikawinkan adalah betina yang telah mencapai pubertas. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa pubertas merupakan waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi. Umur berahi pertama sapi bali betina pada penelitian ini yaitu 2,1 tahun, sesuai dengan Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa kondisi makanan yang kurang baik menyebabkan sapi bali pubertas pada umur di atas 2 tahun. Faktor suhu lingkungan juga mempengaruhi waktu pubertas. Umur pubertas sapi bali dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Fordyce et al. (2003) yang menyatakan sapi umumnya mencapai pubertas antara 12-24 bulan. Pubertas sapi bali di Desa Pa’rappunganta yang terjadi rata-rata di atas umur 2 tahun disebabkan oleh kekurangan nutrisi. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan sapi bali cenderung lambat sehingga menyebabkan pubertas dicapai pada umur di atas 2 tahun. Diperlukan perbaikan nutrisi induk sapi bali dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan agar birahi pertama dapat tercapai lebih cepat. Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Ball dan Peters (2004) menyatakan faktor yang mempengaruhi umur berahi pertama sapi bali adalah jenis ternak, status nutrisi serta kehadiran pejantan disekitar betina.

(22)

37

Umur Kawin Pertama (First Mating)

Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Responden akan mengawinkan sapi bali saat mengalami pubertas, sehingga umur kawin pertama sangat bergantung pada umur berahi pertama. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi bali betina kawin pertama rata-rata pada umur 2,2 tahun atau 25,8 bulan. Umur kawin pertama sapi bali di Desa Pa’rappunganta sejalan dengan Hardjopranjoto (1995) yang menyatakan bahwa sapi dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun, mengingat pertumbuhan betina perlu mencapai kondisi optimum untuk bunting dan beranak.

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta dikawinkan dengan kawin alam yang dilakukan dengan membawa sapi betina yang sedang birahi ke tempat sapi jantan berada. Sapi betina kemudian dilepaskan/dibiarkan bersama sapi jantan agar dapat dikawini oleh pejantan tersebut. Tanda-tanda sapi bali birahi yang diketahui peternak di lokasi penelitian yaitu sapi gelisah dan menaiki sapi lain. Tanda-tanda birahi lainnya belum dipahami oleh peternak. Tidak tepatnya pendeteksian birahi menyebabkan selang beranak akan semakin panjang. Akibatnya adalah kerugian peternak sehingga dibutuhkan peningkatan pemahaman peternak mengenai berbagai tanda birahi dan pencatatan siklus berahi sapi bali melalui penyuluhan. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi.

Service per Conception (S/C)

Service per conception (S/C) sapi bali betina di lokasi penelitian rata-rata 1,9 kali. Hal ini berarti untuk terjadinya kebuntingan, induk sapi bali butuh 1,88 kali pengawinan. Semakin dekat dengan angka 1 berarti produktivitas sapi bali dalam hal pengawinan semakin baik. Nilai S/C sapi bali di Desa Pa’rappunganta dipengaruhi oleh pendeteksian berahi yang kurang tepat sehingga terjadi kegagalan pembuahan oleh jantan. Hasil penelitian Supriyantono et al. (2008) di Bali menunjukkan nilai S/C sapi antara 1,02–1,23 kali. Nilai S/C dipengaruhi oleh berbagai faktor di

(23)

38 antaranya manajemen pemeliharaan, kondisi induk dan pejantan serta keterampilan inseminator. Fordyce et al. (2003) menyatakan kebuntingan rata-rata terjadi setelah 2 kali perkawinan dan hal ini lazim di daerah tropis. Diduga 30% penyebabnya adalah kematian embrionik. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini.

Umur Beranak Pertama (First Mating)

Hasil penelitian menunjukkan umur beranak pertama sapi bali adalah 3,1±0,59 tahun atau 37,44 bulan. Sama halnya dengan umur kawin pertama, umur beranak pertama sapi bali dipengaruhi oleh umur berahi pertama, umur kawin pertama dan nilai service per conception. Hasil penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan yang menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali dan menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan.

Tingkat Kelahiran (Calving Rate)

Tingkat kelahiran anak sapi bali hasil penelitian ini sebesar 98,1%. Tingkat kelahiran dihitung dari jumlah total anak yang lahir dari jumlah induk dalam satu tahun. Kematian janin atau abortus menjadi penyebab utama tingkat kelahiran di lokasi penelitian tidak mencapai 100%. Optimalnya hanya 60%-70% pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa walaupun dibawah kondisi ideal dan efisiensi deteksi birahi, tingkat kelahiran anak sapi tidak akan mencapai 100%. Penyebabnya adalah kegagalan saat pengawinan ternak dan kematian janin. Hal tersebut merupakan akibat dari interaksi antara genetik, lingkungan dan manajemen. Persentase kelahiran di Desa Pa’rappunganta cukup tinggi bila dibandingkan hasil hasil penelitian Pane (1990) di Sulawesi Selatan sebesar 76%. Sariubang et al. (2009) yang juga melakukan penelitian di Kabupaten Takalar menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar 66,7%.

(24)

39

Berahi Kembali Setelah Beranak (Oestrus Postpartum)

Lama berahi kembali setelah beranak atau oestrus postpartum sapi bali pada penelitian ini berkisar 45,86-118,04 hari dengan rata-rata 82 hari. Salisbury dan VanDemark (1985) menjelaskan bahwa sapi-sapi betina sebagian besar akan kembali birahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari. Berbeda dengan hasil penelitian Sariubang et al. (2009) di Desa Manongkoki, Kabupaten Takalar yaitu sapi bali menunjukkan berahi kembali 107 hari setelah beranak pada sistem beternak tradisional. Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi potong yang kekurangan makanan, interval partus ke berahinya lebih lama. Rangsangan menyusu juga mempengaruhi lama waktu berahi kembali setelah beranak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wiltbank (1970) bahwa sapi induk yang menyusui, umur induk dan tingkat nutrisi merupakan variabel penting yang mempengaruhi oestrus post partum.

Selang Beranak (Calving Interval)

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta memiliki selang beranak rata-rata 370±36 hari. Selang beranak hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (2003) yaitu 15,71±1,8 bulan atau sekitar 471 hari. Selang beranak merupakan sifat reproduksi yang sangat dipengaruhi oleh siklus reproduksi sapi bali. Sutan (1988) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting dan lama kebuntingan.

Kematian Anak (Calf Mortality)

Calf mortality atau kematian anak sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 5,8%. Kematian anak sapi di lokasi penelitian diantaranya disebabkan oleh anak sapi tidak menyusu karena lahir dalam kondisi lemah dan stress panas. Tingkat kematian anak sapi bali tersebut dapat diturunkan dengan pemenuhan nutrisi induk selama kebuntingan serta penanganan pasca kelahiran seperti menyediakan tempat yang nyaman bagi anak sapi yang baru lahir.

Gunawan et al. (2011) menyatakan bahwa sifat keindukan yang rendah dan manajemen dapat menjadi penyebab tingginya jumlah kematian anak sapi bali. Musim kering dimana sumber pakan rendah kualitasnya juga menjadi faktor penyebab karena akan mempengaruhi produksi susu induk. Hal tersebut sejalan

(25)

40 dengan hasil penelitian Sariubang et al. (2009) di Kabupaten Takalar yaitu sapi bali yang digembalakan tanpa pemberian pakan tambahan, tingkat kematian anak mencapai 14%. Kematian anak sapi yang tinggi tersebut disebabkan kekurangan gizi terutama vitamin dan mineral sehingga anak sapi lahir cacat ataupun lemah. Bamualim dan Wirdahayati (1990) serta Kadarsih (2004) menyatakan stress panas juga menyebabkan kematian anak.

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Populasi riil ternak ruminansia di Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 sebesar 787 ekor atau 499 satuan ternak (ST) yang seluruhnya merupakan sapi bali. Ternak pemakan hijauan lainnya adalah kuda dengan populasi 83 ST, sehingga populasi riil ternak pemakan hijauan adalah 582 ST. Hasil analisis KPPTR Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai KPPTR di Desa Pa’rappunganta

Peubah Nilai (ST)

Populasi riil ternak (serta ternak pemakan hijauan) 582 Kapasitas tampung ternak ruminansia (serta ternak pemakan hijauan) 719,97 Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (serta ternak

pemakan hijauan) berdasarkan sumberdaya lahan 137,97 Sumber : Data yang diolah (2011)

Kapasitas tampung ternak di Desa Pa’rappunganta berdasarkan metode Nell dan Rollinson (1974) sebesar 719,97 ST. Kapasitas tampung dipengaruhi oleh ketersediaan sumber hijauan rumput dan hijauan sisa pertanian. Sariubang et al. (2009) menyatakan bahwa pemeliharaan induk sapi pola petani (tradisional) di Kabupaten Takalar menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi akan mengikuti pola tanam. Saat musim tanam padi, sapi mendapat rumput dari lahan kosong, seperti pinggir kebun, pinggir jalan, pematang sawah dan lain-lain, sedangkan pada musim panen padi, mendapat pakan dari jerami dan digembalakan pada sawah yang kosong. Hasil perhitungan KPPTR sumberdaya lahan di Desa Pa’rappunganta bernilai positif, artinya berdasarkan analisis, lokasi penelitian masih dapat menampung ternak ruminansia beserta kuda sebesar 137,97 ST. Nilai KPPTR yang positif menunjukkan potensi Desa Pa’rappunganta untuk pengembangan populasi ternak ruminansia

(26)

41 utamanya sapi bali masih tinggi. Hasil perhitungan nilai KPPTR di lokasi penelitian yang bernilai positif, sejalan dengan hasil penelitian Syamsu et al. (2006) di Kabupaten Takalar. Nilai KPPTR Kabupaten Takalar tahun 2006 bernilai positif sebesar 61.217 ST, yang dihitung berdasarkan ketersediaan limbah tanaman pangan.

Sumber hijauan di Desa Pa’rappunganta diperoleh peternak dari lahan persawahan, perkebunan, tegalan dan pinggir jalan. Hijauan hasil sisa pertanian terdiri atas jerami padi, jerami kacang hijau dan jerami tebu. Syamsu et al. (2003) menyatakan bahwa tingginya pemenuhan kebutuhan pakan dari limbah pertanian harus tetap memperhatikan faktor pembatas. Faktor pembatas tersebut seperti produksi limbah pertanian yang musiman sehingga perlu fasilitas penyimpanan. Disamping itu kualitas nutrisi limbah pertanian yang rendah dan bervariasi memerlukan peningkatan nutrisi melalui teknologi pakan yang mudah, murah dan dapat diadopsi oleh peternak.

Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan analisis yang dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dengan berdasarkan logika sehingga kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) dapat dimaksimalkan serta meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT didasarkan pada logika dan merupakan model analisis situasi yang paling populer (Rangkuti, 1997). Analisis situasi menyangkut data dari berbagai faktor baik yang berpengaruh positif atau negatif serta peluang untuk mengembangkannya di masa yang akan datang (Fletcher, 1990).

Faktor internal terbagi atas faktor kekuatan dan faktor kelemahan yang mendukung dan menghambat prospek pengembangan sapi bali di lokasi penelitian. Faktor internal tersebut masing-masing diberi skor dan nilai untuk dapat mengetahui posisi strategis pengembangan sapi bali. Faktor internal peternakan sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 12.

(27)

42 Tabel 12. Faktor Internal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

No Faktor Internal Bobot (B) Rating (R) Nilai (B x R)

Kekuatan (Strenght)

1 Motivasi beternak tinggi 0,11 3 0,34

2 Ketersediaan lahan luas 0,09 3 0,26

3 Ketersediaan hijauan tinggi 0,11 4 0,46

4 Ketersediaan sumber air tinggi 0,06 2 0,11

5 Ketersediaan limbah pertanian tinggi 0,09 4 0,34

6 Ketersediaan fasilitas 0,09 3 0,26

Jumlah 0,54 19 1,77

Kelemahan (Weakness)

1 Terbatasnya modal peternak 0,11 4 0,46

2 Kurangnya sapi pejantan 0,06 3 0,17

3 Peternak tidak percaya pada teknologi IB 0,11 3 0,34

4 Kurangnya keterampilan peternak 0,11 3 0,34

5 Terjadi seleksi negatif 0,06 2,5 0,14

Jumlah 0,46 1,46

Skor 1,00 0,31

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam usaha peternakan yang dijalankan masyarakat Desa Pa’rappunganta adalah motivasi beternak yang tinggi karena memberikan tambahan pendapatan bagi peternak. Tingginya motivasi beternak menunjukkan prospek pengembangan sapi bali yang besar di lokasi penelitian karena telah didukung oleh kemauan penduduk untuk beternak khususnya beternak sapi bali. Hal ini didukung dengan tingginya ketersediaan lahan di lokasi penelitian baik untuk penggembalaan maupun untuk kandang. Lahan kosong di Desa Pa’rappunganta termasuk tegalan seluas 78,9 hektar yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan sapi bali.

Sumberdaya alam berupa rumput lapang, sumber air, dan limbah pertanian juga melimpah. Hijauan rumput diperoleh peternak dari perkebunan, sawah bera, pinggir jalan, tegalan dan galengan sawah. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan peternak adalah dedak padi, jerami padi, jerami kacang dan limbah tebu. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan usahatani menjadi strength atau kekuatan yang mendukung sistem beternak semi intensif yang dijalankan oleh masyarakat setempat. Wardhani (1990) menyatakan bahwa

(28)

43 peningkatan populasi ternak dapat memanfaatkan limbah pertanian dan industri sebagai bahan pakan pengganti rumput atau penyusun konsentrat.

Ketersediaan fasilitas berupa kandang individu permanen, poskeswan, pos IB maupun kebun rumput gajah/raja juga menjadi faktor yang mendukung pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Sarana tersebut sebagai pusat pelayanan peternakan terpadu yang dibangun oleh pemerintah untuk memfasilitasi peternak. Kandang individu dapat digunakan oleh peternak yang ingin mengintensifkan usaha peternakannya. Kebun rumput gajah/raja menjadi sumber hijauan yang sangat baik bagi peternak di lokasi penelitian yang umumnya masih beternak secara semi-intensif dengan pakan rumput lapang. Poskeswan berperan dalam penyediaan sarana kesehatan bagi sapi bali dan memudahkan pencegahan, pengontrolan serta pengobatan penyakit ternak. Pos IB memberikan pelayanan reproduksi ternak yaitu inseminasi buatan dengan tenaga inseminator yang ahli serta fasilitas yang lengkap dan mudah menjangkau peternak yang tinggal di desa.

Kelemahan dalam usaha ternak di lokasi penelitian yaitu terbatasnya modal peternak. Keterbatasan modal menyebabkan usaha ternak sapi bali sulit untuk berkembang. Peternak di Desa Pa’rappunganta umumnya berpenghasilan kecil dan memelihara serta memperoleh sapi bali dari hasil gaduhan. Peternak tidak mampu membeli pakan komersial sehingga memanfaatkan pakan berupa rumput lapang dan limbah pertanian. Kondisi kandang yang kurang memadai juga karena terkendala biaya pembuatan kandang. Sastradipraja (1990) menyatakan bahwa bagi petani yang berada di daerah kering, sapi potong menjadi sumber penghasilan. Masalahnya terletak pada modal. Rendahnya pendapatan petani menyebabkan ketidakmampuan petani untuk menabung. Tidak adanya uang tunai menyebabkan petani tidak mampu membeli barang modal (misalnya sapi) untuk perluasan usahanya guna meningkatkan pendapatan.

Sumberdaya peternak dari segi keterampilan belum optimal. Peternak perlu mendapatkan penyuluhan atau pelatihan mengenai manajemen pemeliharaan sapi bali yang efisien dan ekonomis, termasuk penerapan recording atau pencatatan sapi bali, pencegahan serta penanganan penyakit, perawatan kebersihan serta penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB). IB (inseminasi buatan) adalah cara perkawinan pada sapi dengan teknik tertentu yang bertujuan untuk memasukkan semen beku atau

(29)

44 semen cair ke dalam saluran reproduksi sapi betina birahi oleh inseminator (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Keterampilan dari segi pemanfaatan pakan limbah pertanian juga masih relatif rendah. Jerami padi langsung diberikan kepada ternak sapi bali tanpa diolah terlebih dahulu sehingga kecernaannya rendah. Dedak padi yang merupakan pakan konsentrat sebagian besar dijual. Menurut Syamsu et al. (2003), usaha pemanfaatan limbah pertanian perlu diperhatikan mengingat sumber penyediaan rumput dan hijauan lainnya sebagai pakan sangat terbatas.

Kelemahan selanjutnya dalam usaha pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta adalah ketersediaan pejantan yang kurang karena sapi bali jantan umumnya dijual ketika telah mencapai umur lepas sapih (sekitar 1 tahun). Peternak yang memiliki sapi betina yang sedang berahi akan mengalami kesulitan mengawinkan ternaknya karena sapi jantan dewasa jumlahnya sedikit sehingga sulit untuk menemukan sapi jantan yang sudah siap untuk mengawini sapi betina berahi.

Kelemahan dari segi jumlah pejantan dapat diatasi dengan IB yang sudah berkembang hingga ke desa-desa. Toelihere (1981b) menyatakan bahwa inseminasi buatan sangat mempertinggi pemanfaatan pejantan-pejantan unggul dengan maksimal. Inseminasi buatan juga memungkinkan perkawinan antara hewan ternak yang terpisah lokasi sehingga dapat mengatasi kurangnya sapi pejantan. Inseminasi buatan belum diterapkan karena ketidakpercayaan peternak terhadap teknologi IB di Desa Pa’rappunganta. Peternak tidak mempercayai IB karena di desa tersebut pernah terjadi kematian anak dan induk sapi hasil IB akibat distokia atau kesulitan beranak. Hal tersebut disebabkan kurangnya keterampilan inseminator dalam menyesuaikan antara induk sapi bali yang akan diinseminasi dengan jenis sperma pejantan, sehingga ukuran anak terlalu besar bagi induk sehingga mengakibatkan distokia.

Ketidakpercayaan peternak terhadap inseminasi buatan tersebut merupakan kelemahan karena di Desa Pa’rappunganta cenderung terjadi seleksi negatif. Seleksi negatif terjadi disebabkan sapi-sapi bali khususnya pejantan yang berkualitas baik dengan postur tubuh besar dijual oleh peternak sehingga pejantan yang tersisa adalah yang kualitasnya rendah dan jumlahnya sedikit. Anak sapi bali yang dihasilkan kualitasnya akan semakin menurun disebabkan rendahnya kualitas pejantan maupun induk.

(30)

45 Faktor eksternal dibagi menjadi peluang yang mendukung pengembangan dan ancaman yang menjadi penghambat pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Setiap faktor diberi skor dan nilai yang menentukan strategi pengembangan sapi bali. Faktor-faktor eksternal pengembangan sapi bali disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta No Faktor Eksternal Bobot (B) Rating (R) Nilai (BxR)

Peluang (Opportunities)

1 Permintaan sapi bali yang tinggi 0,15 4 0,60

2 Teknologi IB 0,11 3 0,34

3 Kerjasama dengan pemerintah 0,15 2,5 0,38

4 Program SMD 0,11 2 0,23

5 Pinjaman dari bank 0,15 3 0,45

Jumlah 0,68 14,5 2,00

Ancaman (Threats)

1 Penyakit 0,11 3 0,34

2 Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi

potong 0,08 2,5 0,19

3 Daging sapi impor sudah marak di pasaran 0,13 4 0,53

Jumlah 0,32 9,5 1,06

Skor 1,00 0,94

Konsumsi pangan asal ternak yang memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun adalah daging dan telur. Hal ini menunjukkan konsumsi masyarakat semakin baik dan menjadi peluang bagi agribisnis peternakan (Daryanto, 2009). Peningkatan permintaan daging sapi potong menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha peternakan sapi bali. Data dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2011) menunjukkan bahwa tingkat permintaan sapi potong di dalam Kabupaten Takalar mencapai 99% atau sebesar 34.742 ekor dibeli oleh konsumen dalam kabupaten dari 34.987 ekor sapi yang dijual. Hal ini didukung oleh tradisi di masyarakat Kabupaten Takalar yaitu melakukan acara pernikahan, khitanan maupun acara adat lainnya dengan menyembelih sapi. Menyembelih sapi dalam Bahasa Makassar yaitu ammolong sapi yang berarti sapi disembelih dan diolah menjadi lauk bagi tamu yang hadir dalam acara tersebut. Hari raya umat Islam yaitu Idul Adha juga menjadi peluang besar bagi usaha peternakan sapi bali, karena masyarakat di Kabupaten Takalar yang berkurban daging sapi umumnya

(31)

46 menggunakan sapi bali. Penyembelihan ternak sapi yang lazim dilakukan oleh masyarakat ini menjadi peluang yang berpengaruh terhadap usaha peternakan sapi bali

Adanya teknologi IB merupakan peluang yang baik bagi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Inseminasi buatan dapat menjadi solusi bagi rendahnya kualitas dan kuantitas pejantan. Noor (2003) menjelaskan kegunaan IB adalah menyediakan pejantan unggul, memudahkan penggunaan pejantan unggul, pengontrolan penyakit, mendatangkan bangsa baru, mengurangi biaya pemeliharaan pejantan dan menghasilkan keturunan yang lebih seragam.

Pelaksanaan IB perlu didahului dengan penyuluhan, perbaikan kualitas inseminator serta percontohan sapi bali yang di-IB dan menghasilkan keturunan yang sehat mengingat rendahnya kepercayaan peternak di Desa Pa’rappunganta terhadap IB. Teknologi IB memungkinkan adanya peningkatan kualitas genetik sapi bali di lokasi penelitian. Kerjasama dengan pemerintah setempat berupa penyelenggaraan vaksinasi berkala, penyediaan sarana usaha ternak, bantuan bibit rumput gajah/raja, penyelamatan betina produktif maupun penyuluhan dan pelatihan merupakan peluang yang dapat meningkatkan prospek pengembangan usaha sapi bali masyarakat desa.

Peluang lain yang dapat membantu pengembangan populasi sapi bali yaitu bantuan pengadaan sapi bali. Bantuan yang diperoleh masyarakat di lokasi penelitian sejauh ini hanya berasal dari SMD (Sarjana Membangun Desa). Bantuan lain belum diterima oleh peternak setempat namun bantuan semacam ini berpengaruh langsung terhadap pengembangan populasi sapi bali. Bantuan pinjaman modal dari perbankan seperti juga dapat dimanfaatkan oleh peternak yang bekerjasama pemerintah setempat atau melalui kelompok peternak yang dibentuk untuk pengadaan agunan/jaminan peminjaman modal dari bank contohnya KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi). Daryanto (2009) menyatakan bahwa perlu dukungan pemerintah sebagai fasilitator agar memudahkan akses peternak kepada lembaga-lembaga sumber pembiayaan seperti perbankan untuk meningkatkan produktivitas usaha.

Ancaman penyakit sapi bali yang dihadapi oleh peternak di Desa Pa’rappunganta seperti ngorok dan cacingan. Penyakit yang menyerang sapi bali tersebut dapat menyebabkan kematian yang merugikan peternak sehingga perlu

(32)

47 dilakukan pencegahan maupun penanganan penyakit baik berupa vaksinasi berkala maupun pengobatan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Daryanto (2009) bahwa usaha peternakan memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibanding usaha lainnya. Berbagai penyakit hewan yang mewabah mampu menyebabkan kematian ternak dan menjadi masalah dalam pengembangan komoditas peternakan.

Maraknya daging sapi impor di Kabupaten Takalar juga menjadi ancaman. Persaingan harga dengan daging sapi impor perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi pemasaran daging sapi lokal seperti sapi bali. Impor daging sapi nasional tahun 2010 sebesar 90.505,738 ton, untuk membantu memenuhi konsumsi daging sapi masyarakat sebesar 1,2 kg perkapita pertahun sementaran produksi daging sapi nasional sebesar 436.452 ton (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011).

Persaingan dengan Kabupaten Gowa dalam menghasilkan sapi potong sebagai daerah penghasil sapi potong terbesar ketiga di Sulawesi Selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Takalar, juga menjadi ancaman walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar karena permintaan dalam kabupaten masih terbilang besar. Data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan tahun 2012 menunjukkan penjualan sapi potong dalam kota di Kabupaten Takalar mencapai 99,30% dan sisanya dijual di luar wilayah Kabupaten Takalar.

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa nilai untuk faktor internal adalah 0,31 dan faktor eksternal adalah 0,94. Nilai tersebut pada matriks grand strategy menunjukkan posisi strategis berada di kuadran I karena faktor internal dan eksternal bernilai positif. Hal tersebut berarti strategi yang harus diambil untuk pengembangan sapi bali adalah strategi agresif. Strategi agresif menunjukkan faktor kekuatan dan peluang mendominasi dalam pengembangan sapi bali sehingga prospek pengem-bangannya di Desa Pa’rappunganta besar.

Kekuatan utama yang mendukung prospek pengembangan sapi bali yaitu motivasi beternak tinggi dan ketersediaan hijauan makanan ternak yang tinggi sedangkan peluang utama yang dapat diraih adalah tingginya permintaan daging sapi bali. Posisi strategi agresif untuk pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Gambar 14.

(33)

48 Gambar 14. Matriks Grand Strategy Pengembangan Sapi Bali

Peluang Kekuatan Ancaman Kelemahan [(0.31),(0.94)] IV I III II

Gambar

Gambar 4.  Peta Kabupaten Takalar
Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah  Luas  lahan  di  Desa  Pa’rappunganta  sebesar  950  ha  yang  didominasi  perkebunan  seluas  492,42  ha
Tabel  2.    Jumlah  Penduduk  dan  Kepala  Keluarga  di  Desa  Pa’rappunganta  Tahun  2010
Tabel 3.    Sebaran  Penduduk  Desa  Pa’rappunganta  berdasarkan  Mata  Pencaharian  Tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dimulai dari mengatur “Nilai Dasar”, kemudian dilanjutkan dengan membuat sebuah skenario “Reference” yang akan digunakan untuk menguji perubahan pola konsumsi energi pada masa

Universitas Muhammadiyah Pruworejo, Vol.. menyaksikan upacara tersebut, penulis baru bisa memberikan kesimpulan bahwa upacara tersebut adalah upacara adat pernikahan

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan pola pencampuran lahan yang ada di Kota Makassar, (2) Menganalisis pengaruh pola spasial

Bismillahhirrahmanirrahim.  Puji  dan  syukur  penulis  ucapkan  atas  segala  nikmat,  kemudahan,  petunjuk,  dan  berbagai  hal  yang  telah  ALLAH 

Sudaryanto mengungkapakan “Di samping perekaman itu, dapat pula dilakukan pecatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi” (Sudaryanto, 1993 :135),

(1) Asisten Sekretaris Daerah atas nama Bupati menandatangani naskah dinas dalam bentuk dan susunan surat yang materinya merupakan penjelasan atau petunjuk pelaksanaan dari

Jumlah mahasiswa yang mengisi instrumen untuk setiap mata kuliah sangat beragam, baik menurut fakultas maupun berdasarkan seksi mata kuliah. Kenyataan menunjukkan masih ada

Sementara itu, pertambahan negatif yang terjadi pada sapi perlakuan R3K2, R3K3, R3K4 dan R4K3 lebih disebabkan oleh posisi sapi ketika diukur pada suatu waktu tidak dalam posisi