UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA
(Kajian Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam Pernikahan Adat Jawa
Di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik)
Fatichatus Sa’diyah
Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam Bangkalan, Indonesia Email: faticha.sadiyah@gmail.com
Abstrak: Pada umumnya, adat pernikahan Jawa berkiblat pada adat Yogyakarta atau
Solo. Masing-masing dari keduanya memiliki karakteristik, dan perbedaan antara satu dengan lainnya. Berdasarkan deskripsi terkait kiblat pernikahan Jawa adat Yogyakarta dan Surakarta, penulis menemukan beberapa perbedaan pelaksanaan pernikahan antara kiblat adat pernikahan Yogyakarta dan Surakarta dengan adat pernikahan yang disaksikan penulis di desa Jatirembe Kecamatan Benjeng kabupaten Gresik.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Berdasarkan tempatnya dan sumbernya, penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang bagaimana pelaksaan pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe, nilai-nilai apa yag terkandung dalam upacara tersebut dan apa perbedaan antara pernikahan adat di Jatirembe dengan kiblat pernikahan adat (Yogyakarta dan Surakarta). Berdasarkan hasil penelitian ini, upacara pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe lebih berkiblat pada Mazhab Surakarta, meski terdapat beberapa perbedaan. Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara pernikahan adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang istri terhadap suaminya yang tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak seorang anak kepada kedua orang tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kata Kunci: Upacara Pernikahan, Akulturasi Budaya, Jatirembe Benjeng Gresik. Pendahuluan
Perkawinan adalah suatu yang sakral, agung dan monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu, perkawinan bukan hanya sekadar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan
172 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
hubungan yang sah antara pria dan wanita, namun juga memiliki arti yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera kehidupan seperti yang dicita-citakannya.1 Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma dan tata cara kehidupan masyarakat.2 Selanjutnya,
budaya atau tradisi perkawinan ini, setiap kelompok, golongan atau suku memiliki identitas atau ciri khas tersendiri.
Masyarakat Jawa termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya meskipun terkadang mereka sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa secara Jawa secara aktif, serta tidak begitu paham dengan kebudayaannya.3
Perkawinan merupakan peristiwa yang dianggap penting oleh masyarakat Jawa sebelum kelahiran dan kematian. Masyarakat jawa memiliki sebuah tradisi atau adat tersendiri dalam melaksanakan upacara perkawinan yang lengkap dengan semua prosesi masih digunakan serta dilestarikan dan menjadi suatu upacara sakral.4
Penulis dapat dikatakan baru mengenal secara langsung adat pernikahan Jawa pada awal bulan Januari 2017. Hari itu tepatnya bulan mawlid menurut kalender Islam, yang menurut perhitungan Jawa merupakan hari baik untuk melaksanakan hajatan seperti pernikahan. Saat itu, penulis diundang pada resepsi pernikahan teman Penulis di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Penulis menemukan hal yang berbeda dengan resepsi pernikahan yang biasa diketahui penulis. Sepengetahuan penulis, acara resepsi ketika pihak kedua mempelai bertemu hanya ada acara formal saja, seperti pembukaan dari Master of Ceremony (MC), kemudian disusul dengan sambutan penyerahan dan penerimaan dari masing-masing wakil pihak mempelai, dan diakhiri dengan doa. Pada resepsi pernikahan teman penulis tersebut, sebelum memasuki upacara inti, ada semacam runtutan panjang upacara pernikahan, seperti menginjak telur, membasuh kaki dengan air kembang, dan lain sebagainya. Setelah
1 Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan
Yogyakarta (Studi Komparasi)” (Skripsi—UIN Walisongo, Semarang, 2015), 1.
2 Linda Puji Astuti, “Upacara Adat Perkawinan Priyayi di Desan Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan” (Skripsi--Universitas Negri Malang, Desember, 2010), 6.
3 Ni Wayan Sartini, “Menggali Nilai kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan
Paribasa)” Logat (Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra), Vol. V, No. 1 (April, 2009), 29.
4 Mentari Nurul Nafifa, “Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Bubak Kawah di Desa Kabekalan
Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen”, Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
menyaksikan upacara tersebut, penulis baru bisa memberikan kesimpulan bahwa upacara tersebut adalah upacara adat pernikahan Jawa. Beberapa hari kemudian, penulis juga diundang oleh salah seorang teman yang juga berada di desa tersebut. Akan tetapi, penulis tidak menemukan rentetan upacara panjang yang serupa sebelum acara inti seperti yang ditemukan penulis di resepsi sebelumnya.
Pada umumnya, adat pernikahan Jawa berkiblat pada adat Yogyakarta atau Solo. Tahapan pernikahan adat Jawa yang lebih sistematis yakni; 1) tahap pembicaraan antara pihak yang akan berhajat dengan pihak calon besan, mulai dari pembicaraan pertama sampai tingkat melamar dan menentukan hari; 2) tahap kesaksian merupakan peneguhan pembicaraan yang disaksikan oleh pihak ketiga, yaitu warga kerabat atau para sesepuh di kanan-kiri tempat tinggalnya melalui acara srah-srahan, peningset, asok
tukon, dan gethok dino; 3) tahap siaga yaitu pemilik hajat mengundang para sesepuh dan
sanak saudara untuk membentuk panitia guna melaksanakan kegiatan acara-acara pada waktu sebelum, bertepatan, dan sesudah hajatan, yang dalam masa itu dijumpai istilah
sedhahan, kumbakarnan, dan jonggolan; 4) tahap rangkaian upacara bertujuan untuk
menciptakan nuansa bahwa hajatan mantu sudah tiba yaitu pasang tarub, membuat
kembar mayang, pasang tuwuhan, siraman, adol dawet, dan midodareni; 5) tahap puncak acara,
yaitu ijab kabul, upacara panggih, dan sungkeman.5
Beberapa upacara tersebut, tidak lain merupakan hasil dari akulturasi budaya. Akulturasi budaya Jawa dan Islam di Jawa mengambil bentuk dialogis. Islam dihadapkan pada resistensi tradisi dan budaya lokal, sehingga ketegangan dan konflik Islam versus kejawen menjadi salah satu ciri utama perkembangan Islam di Jawa, terutama pada abad ke-19 atau masa kolonial. Akulturasi budaya Jawa dan Islam dengan pola dialogis, dipahami bahwa Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bentuk struktur sosial-agama.6
Setelah mengetahui beberapa paparan terkait kiblat pernikahan Jawa adat Yogyakarta dan Surakarta, penulis menemukan beberapa perbedaan pelaksanaan pernikahan antara kiblat adat pernikahan Yogyakarta dan Surakarta dengan adat
5 Moch Lukluil Maknun, “Adat Pernikahan di Kota Pekalongan” Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2
(November, 2013), 295.
6 Ummi Sumbulah, “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya; Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif”
174 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
pernikahan yang disaksikan penulis di desa Jatirembe Kecamatan Benjeng kabupaten Gresik.
Karena keterbatasan waktu, di sini penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada pelaksanaan pernikahannya saja, tanpa menyinggung pembahasan sebelum pernikahan, menjelang pernikahan ataupun pasca pernikahan berlangsung.
Adapun pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan bagi pemeluk agama Islam di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik, bukan pernikahan agama selain Islam.
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang bagaimana pelaksaan pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe, nilai-nilai apa yag terkandung dalam upacara tersebut dan apa perbedaan antara pernikahan adat di Jatirembe dengan kiblat pernikahan adat (Yogyakarta dan Surakarta).
Peneliti mengambil upacara adat pernikahan Jawa ini karena dianggap menarik. Sebab, saat ini banyak generasi muda yang tidak mengetahui maksud dan makna di balik adat pernikahan Jawa, yang sejatinya juga terkandung nilai-nilai Islaminya. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan banyak pembaca yang mengetahui adat atau tradisi yang masih terjaga kelestariannya.
Akulturasi Budaya
Dalam penulisan historiografi yang dilakukan oleh Barat terhadap Islam di Indonesia, ada beberapa sikap yang cenderung mempengaruhi penulisan historiografi Nasional. Pertama, historiografi Nasional telah mengalami keterputusan (discontinuity) dengan masuknya Islam dan jatuhnya Kerajaan Hindu Jawa (Majapahit). Mereka beranggapan bahwa sejak tahun 1500 M hingga sekarang penduduk pribumi khususnya di Jawa harus dipandang sebagai orang Islam. Kedua, menekankan tidak adanya keterputusan sejarah, yang ada hanya kesinambungan. Mereka mengambil kesimpulan bahwa datangnya Islam hanya menyentuh bagian-bagian atas dari kehidupan, tidak merambah jauh ke dalam dan bahkan tidak terpantul secara merata dalam struktur sosial.7
Berbeda dengan Hary J Benda, seorang sejarawan yang menekankan kembali hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu asing dalam pemikiran sejarah yaitu sejarah sebagai medan di mana kedua unsur perubahan dan persambungan sering bertemu.
7 Lebba Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal, bahan kuliah Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: t.p,
Dengan kata lain, datangnya Islam tidak dapat begitu saja dikatakan berakhir suasana kultural dan politik kehidupan. Sebaliknya, tidak dapat juga dikatakan sebagai bekas-bekas Hindu Jawa yang masih kelihatan. Dalam sistem politik, kesultanan Islam dianggap sebagai bukti dari berlanjutnya zaman Hindu Jawa, meskipun kekuasaan politik Islam telah bercokol.8
Salah satu hal yang penting dalam catatan sejarah adalah memperhatikan dinamika dari pembentukan interpretasi dan perjalanan dalam pola perilaku. Islamisasi yang terjadi di Jawa bukan Arabisasi, namun lebih kepada pribumisasi Islam, agar nilai-nilai Islam dapat masuk kepada budaya yang telah berkembang di Jawa.9
Istilah pribumisasi Islam dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Guz Dur) pada era 1980-an. Tentu saja istilah tersebut secara praksis jauh lebih tua. Dakwah Walisongo di Pulau Jawa misalnya, telah menggunakan kearifan-kearifan lokal dan tradisi sebagai metode. Walisongo tidak menghapus seluruhnya tradisi-tradisi lokal dan menggantinya dengan Islam. Walisongo mempertahankan segi-segi tradisi dan mencoba mengadaptasinya dengan ajaran Islam tanpa merusak nilai substansialnya.10
Pribumisasi berarti transformasi unsur-unsur Islam pada unsur-unsur budaya pribumi. Jika diperluas lagi, pribumisasi adalah kelanjutan dari proses akulturasi budaya. Yakni, sebuah proses di mana unsur-unsur luar diterima oleh unsur-unsur lokal atau sebaliknya.11
Jika pribumisasi diletakkan dalam konteks budaya Jawa, maka ia dapat diartikan sebagai suatu proses pertemuan atau saling adopsi antara unsur Islam dan unsur-unsur lokal Jawa. Dua entitas tidak saling meniadakan, tetapi saling memperkaya. Di sini peran pembawa Islam ke Nusantara, khususnya ke Jawa -para Walisongo- sangat penting. Mereka telah memilih tafsir Islam yang memperhatikan lokalitas. Pemahaman Islam dirujukkan pada konteks-konteks budaya Jawa.12
Hal senada juga dijelaskan oleh Koentjaraningrat, bahwa akulturasi budaya dalam pengertian Antropologi acculturation atau culture contact yang menyangkut proses
8 Ibid., 9 Ibid.,
10 Mudhofir Abdullah, “Pribumisasi Islam Dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi Bangsa”
Indo-Islamika, Vol. 4, No. 1 (Januari-Juni, 2014), 68.
11 Ibid., 70. 12Ibid., 70.
176 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
percampuran dua budaya atau lebih yang terjadi di dalam masyarakat dan saling mempengaruhi. Salah satu dari kebudayaan tersebut akan lebih dominan dan diadopsi menjadi kebudayan sendiri tanpa menghilangkan identitas dari kebudayaan tersebut. Unsur-unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam satu gabungan atau kompleks yang terpadu.13
Islam dan budaya Jawa telah mengalami proses interaksi yang panjang. Keduanya telah saling belajar dan menghargai. Budaya Jawa telah memerankan diri sebagai “komplementer” bagi visi Islam tentang rah{mat li al `a>lami>n. Di sisi lain, Islam telah tampil dengan sangat efektif di nusantara karena memperhatikan unsur-unsur lokal sebagai sarana penjabaran operasional universalitas ajarannya. Dengan argumen lain, Islam telah menyatakan dirinya tepat dengan ruang dan waktu, termasuk dengan nilai-nilai nusantara, khususnya nilai-nilai Jawa.14
Karena itu, Islam bukan ancaman bagi nilai-nilai Jawa. Sebaliknya, budaya Jawa bukan pula ancaman bagi Islam. Justru dengan titik-titik taut nilai universal yang dimiliki keduanya, maka konsep rah{mat li al `a>lami>n yang denganya Nabi Muhammad SAW diutus menemukan maknanya secara baik. Di sinilah pribumisasi Islam dalam konteks budaya Jawa dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, sosiologis, dan filosofis.15
Adat Pernikahan Jawa
Upacara pernikahan adat Jawa pada umumnya berkiblat pada Mazhab Surakarta atau Mazhab Yogyakarta. Keduanya akan diulas secara ringkas di bawah ini.
Di antara rentetan upacara pernikahan adat Surakarta sebagai berikut16:
Pertama, Ijab Kabul. Pada upacara ini, orang tua pengantin putra boleh
mengikuti juga boleh tidak mengikuti, biasanya diwakilkan oleh sesepuh dari pihak keluarga mempelai putra. Upacara ini adalah upacara serah terima pernikahan disertai dengan penyerahan maskawin.
13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi dalam Rendra Khaldun, “Akulturasi Islam dan Budaya
Lokal” Komunitas (Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam), Vol. 8, No. 1 (Juni, 2016), 61.
14 Abdullah, “Pribumisasi Islam”, 87. 15 Ibid., 87.
16 Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan
Kedua, liru kembar mayang. Proses ini dilakukan sebelum temu manten, di mana kembar mayang kakung ditukarkan dengan kembar mayang putri.
Ketiga, panggih. Kedua pengantin dipertemukan. Proses ini mengandung arti
bahwa keduanya telah resmi menjadi suami istri. Setelah siap, kemudian dilanjutkan dengan beberapa upacara lain.
Keempat, balang suruh. Suatu proses di mana kedua mempelai saling melempar
bungkusan yang berisi daun sirih yang diikat dengan benang putih. Daun tersebut melambangkan kasih sayang dan kesetiaan, sedangkan saling melempar melambangkan bahwa kedua pengantin adalah manusia sejati.
Kelima, mecah wiji dadi. Yakni suatu prosesi memecah telur oleh pengantin pria,
kemudian kakinya dibasuh pengantin putri dengan air bunga. Hal ini melambangkan bahwa seorang suami harus bertanggung jawab terhadap keluarganya dan seorang istri harus taat melayani suaminya.
Keenam, pupuk yakni suatu proses di mana ibu pengantin wanita mengusap
pengantin pria sebagai tanda ikhlas menerimanya menjadi bagian dari keluarga.
Ketujuh, sindur binayung suatu proses di mana ibu pengantin putri menyampirkan sindur (kain selendang yang berwarna merah dan putih). Proses ini melambangkan
pengharapan kedua pengantin memperoleh siraman kebahagiaan dan melambangkan bahwa pasangan itu sudah disatukan menjadi anaknya.
Kedelapan, timbang (pangkon) suatu proses di mana kedua pengantin duduk di
pangkuan ayah pengantin wanita, kemudian sang ayah berkata bahwa berat mereka sama, yang berarti cinta mereka sama kuat, juga melambangkan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
Kesembilan, tanem juga disebut dengan tandur pengantin atau wisuda pengantin
di mana ayah pengantin wanita menundukkan kedua pengantin di pelaminan sebagai tanda merestui pernikahan mereka.
Kesepuluh, tukar kalpika yakni proses tukar cincin sebagai tanda cinta kedua
mempelai. Sebelas, kacar kucur, yakni prosesi menuangkan bahan-bahan atau barang-barang yang telah disiapkan sebelumnya oleh pengantin pria ke pengantin wanita. Hal ini melambangkan sifat tanggung jawab suami terhadap istri dalam memberi nafkah.
Dua belas, dahar kembul (dahar walimah) yakni prosesi saling menyuapi antara kedua
178 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
Tiga belas, rujak degan, bubak kawah, dan tumplak punjen. Pelaksanaan upacara rujak degan mengandung makna agar kedua mempelai selalu sehat dan sejahtera serta
segera dikaruniai anak. Bubak kawah adalah upacara perebutan alat-alat dapur apabila yang dinikahkan adalah anak pertama. Sedangkan tumplak punjen adalah upacara untuk anak bungsu, yang berarti segala kekayaan ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
Empat belas, mertui yakni penjemputan orang tua pengantin wanita terhadap
orang tua pengantin pria di depan rumah, kemudian berjalan bersama ke tempat upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua bapak berjalan di belakang. Sesampai di pelaminan, orang tua pengantin pria duduk di sebelah kiri mempelai, sedangkan orang tua pengantin wanita duduk di sebelah kanan mempelai. Lima belas, sungkeman kedua pengantin bersimpuh memohon doa restu kepada orang tua mereka diawali dengan bersimpuh kepada orang tua pengantin wanita.
Enam belas, resepsi di mana para undangan mengucapkan selamat kepada kedua
pengantin dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Terakhir, para tamu menikmati hidangan yang telah disediakan, biasanya berupa makanan dan minuman tradisional Solo. Selama prosesi ini, biasanya sambil diiringi musik gamelan, ada juga yang menggunakan organ tunggal, campur sari, dan sebagainya.
Berikut serentetan uapacara pernikahan adat Yogyakarta17;
Pertama, ijab kabul, di mana wali pengantin wanita menyerahkan anak gadisnya
kepada pengantin pria, dan pengantin pria menerimanya. Setelah ijab kabul dilanjutkan dengan doa, khutbah nikah, dan penyerahan mas kawin. Setelah selesai, keduanya telah sah menjadi suami istri baik secara agama maupun negara. Kedua, tukar cincin. Proses ini bisa dilakukan dalam satu rangkaian acara ijab. Pertukaran cincin melambangkan tanda cinta kedua pengantin.
Ketiga, panggih. Setelah ijab kabul selesai, kedua pengantin dipertemukan
dengan memakai busana khas Yogyakarta dan diiringi dengan gendhing. Kehadiran pengantin wanita menurut adat Yogyakarta didahului tarian empat pasang penari yang disebut beksan edan-edanan. Sedangkan, kehadiran pengantin pria didahului dua pasang
beksan edan-edanan yang diiringi oleh gendhing bindri. Tarian ini memiliki makna sebagai
sarana untuk mengusir balak roh yang bergentayangan yang akan mengganggu jalannya upacara panggih.
Keempat, balangan suruh. Ketika kedua pengantin bertemu, keduanya mendekat
sekitar tiga meter kemudian keduanya mulai melempar sebundel daun suruh dan daun jeruk yang diikat dengan benang putih. Keduanya melakukan dengan antusiasme serta kebahagaiaan, dan semua orang tersenyum bahagia. Daun suruh yang digunakan diyakini memiliki kekuatan untuk menolak dari berbagai gangguan buruk. Dengan saling melempar daun suruh menunjukkan bahwa kedua pengantin benar-benar manusia sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin pria atau wanita.
Kelima, wiji dadi yakni prosesi memecah telur. Kaki kanan pengantin pria
menginjak telur hingga pecah kemudian kakinya dibasuh oleh pengantin wanita dengan menggunakan air yang telah diisi dengan kembang setaman. Hal ini mengandung arti bahwa pengantin pria siap untuk menjadi ayah dan suami yang bertanggung jawab, sedangkan pengantin wanita akan melayani suaminya dengan setia.
Keenam, dahar klimah ini melambangkan kerukunan keluarga, menikmati karunia
Tuhan, dan tercukupi sandang pangan. Lauk pindang atau ati melambangkan kemantapan hati atas pilihannya untuk hidup bersama membangun keluarga, juga melambangkan harapan suami yang memiliki keteguhan hati dan seorang istri yang dapat menjaga rahasia keluarga.
Ketujuh, sungkeman di mana kedua pengantin bersimpuh kepada kedua orang tua
untuk memohon doa restu yang diawali dengan sungkeman kepada orang tua pengantin wanita dan diakhiri dengan pesta perkawinan di mana para tamu dan undangan mengucapkan selamat kepada kedua pengantin.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa responden atau informan, ada sejumlah rentetan dalam upacara pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Di antaranya sebagai berikut:
1. Akad nikah. Di Jatirembe, dalam upacara ini, ada pernkahan yang menggunakan khutbah nikah, ada pula yang tidak menggunakannya. Seusai kedua pengantin dinyatakan sah, disusul upacara tukar cincin yang melambangkan ikatan suami istri di antara mereka. Saat akad nikah berlangsung, orang tua pengantin putra diperbolehkan mengikuti,ada juga yang tidak diperbolehkan mengikuti.
180 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020 2. Temu manten atau panggih manten
Setelah akad nikah selesai, pengantin putra dan pengantin putri dipertemukan, inilah yang disebut panggih manten. Prosesinya adalah posisi kedua mempelai diiringi oleh masing-masing keluarga dan didampingi oleh kembar mayang serta diiringi dengan alunan gending. Dulu, gending secara lagsung dialunkan dengan gamelan. Tetapi sekarang –di Desa Jatirembe- alunan gending berasal dari file MC yang telah tersimpan dalam laptop, lalu diberi pengeras suara.
3. Tukar kembar mayang
Tukar kembar mayang adalah upacara saling menukar kembar mayang. Di mana keluarga atau pengiring mempelai putra membawa sepasang kembar mayang
kakung yang dibawa oleh dua satriya kembar dan keluarga mempelai putri
membawa sepasang kembar mayang putri yang dibawa oleh putri domas. Dua
putri domas di-make up dengan tatanan busana yang sama, begitu juga dengan satriya kembar. Mereka diibaratkan putri dan putra kembar yang mengantar
pengantin. Setelah kedua pihak keluarga atau pengiring berhadap-hadapan,
kembar mayang dari kedua pihak ditukar, yakni satriya kembar menukarkan kembar mayangnya kepada putri domas. Dalam upacara ini masih diiringi alunan gendhing.
4. Melempar hantalan
Hantalan adalah daun sirih yang diikat dengan daun pisang. Di era sekarang, ada juga yang mengganti daun sirih menjadi bunga setaman. Daun sirih yang bersirip lima berarti kehidupan rumah tangga mereka berasas Rukun Islam, sedangkan ikatan daun pisang berarti apapun permasalahan dalam rumah tangga mereka harus dibungkus rapat-rapat dan tidak dipublikasikan.
Prosesinya adalah mempelai putra membawa seikat hantalan, begitu juga dengan mempelai putri. Kemudian keduanya saling melempar hantalan yang telah dibawanya dengan diiringi alunan gendhing.
5. Jabat tangan
Setelah melempar hantalan selesai, kemudian pengantin putra dan pengantin putri maju dan berjabat tangan.
6. Injak telur
Upacara ini dilakukan dengan posisi mempelai putri duduk berjongkok, kemudian kaki kanan pengantin putra menginjak telur. Setelah telur pecah, kaki mempelai putra dibasuh oleh mempelai putri dengan air yang telah dipenuhi
dengan bunga setaman dalam keadaan mempelai putri masih duduk berjongkok. Kemudian, mempelai putri dibantu berdiri oleh mempelai putra.
Upacara ini berarti dalam hidup berumah tangga nanti, kehidupan tidak selamanya berjalan lancar. Oleh karenanya, sang istri bertugas melayani dan membantu sang suami dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
7. Putaran tiga kali
Prosesi ini dilaksanakan pengantin putri yang mengitari pengantin putra sebanyak tiga kali dan pada putaran ketiga, posisi pengantin putri harus tepat berada di sisi kiri pengantin putra, kemudian keduanya berdiri berjajar.
Upacara ini mengandung arti bahwa di manapun pengantin putra atau suami berada, maka pengantin putri atau istri juga harus “ada”. “ada” di sini dapat diartikan secara hakiki, juga bisa diartikan secara majazi. Secara hakiki, “ada” dapat diartikan istri harus mendampingi suami ke manapun dia pergi. Sedangkan, secara majazi di sini, “ada” dapat diartikan istri harus memberi dukungan atau mendoakan segala tujuan kepergian suami, seperti kerja atau lainnya.
8. Memberi minum
Prosesinya yakni ayah dan ibu dari mempelai putri memberi minum segelas air putih, bisa juga diganti dengan air kelapa. Ayah dan ibu memberi minum kepada pengantin putra dan pengantin putri. Dalam artian, ayah memberi minum kepada pengantin putra, sedangkan ibu memberi minum kepada pengantin putri kemudian ayah dan ibu bertukar posisi.
Upacara ini berarti sambutan kedatangan dari orang tua pengantin putra kepada anak laki-lakinya.
9. Sinduran
Sindur adalah sebutan sebuah kain yang dibalutkan dari sebelah kiri pengantin
putri hingga sebelah kanan pengantin putra. Dalam upacara ini, kedua mempelai dibawa menuju ke pelaminan oleh kedua orang tua mempelai putri, dengan posisi ayah berada di depan kedua mempelai, sedangkan sang ibu berada di belakang dan kedua mempelai yang dibalut sindur.
Upacara ini sinduran ini mengandung arti kedua orang tua akan membimbing pengantin putri dan pengantin putra dalam menjalankan bahtera rumah tangga,
182 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
sebab mereka lebih memiliki banyak pengalaman dalam melalui manis-pahit kehidupan berumah tangga.
10. Bobot timbang
Sesampai di pelaminan, ada upacara bobot timbang yakni ayah menimbang kedua mempelai dengan posisi ayah pengantin putri berada di tengah, pengantin putra berada di pangkuan ayah sebelah kanan, sedangkan pengantin putri berada di pangkuan sebelah kiri sang ayah dan ibu pengantin putri berdiri di samping mereka. Menurut adat pernikahan Jawa, dalam upacara ini ayah mengatakan bahwa pengantin putra dan pengantin putri sama beratnya. Akan tetapi, di desa Jatirembe ujaran-ujaran ayah dikatakan oleh MC dengan pengeras suara. Setelah selesai, kedua mempelai didudukkan oleh sang ayah di pelaminan. Timbangan berat dalam hal ini berarti pengantin putra dan putri beratnya sama, artinya ketika mereka telah menjadi sepasang suami istri orang tua menganggap keduanya adalah anak kandungnya, tidak ada lagi istilah anak kandung dan anak
mantu. 11. Kacar kucur
Kacar kucur adalah beras kuning yang telah dicampur dengan uang receh dan rempah-rempah dan ditaruh di wadah kacar kucur dari kloso bongko, yakni kloso rangkap yang di dalamnya terdapat rempah-rempah.
Prosesinya adalah mempelai putra mengucurkan wadah yang telah diisi dengan kacar kucur tadi kepada mempelai putri yang telah membawa alat untuk menadah.
Setelah upacara kacar kucur selesai, kedua mempelai menitipkan hasil kacar kucur kepada kepada kedua orang tua pengantin putri. Hal ini sebagai lambang bahwa sebesar dan sekecil apapun penghasilan (gaji/ upah) mempelai putra, harus diterima oleh mempelai putri dengan ikhlas.
Adapun penitipan hasil kacar kucur kepada kedua orang tua mempelai berarti orang tua ikut andil mengawasi anak-anaknya dalam menjalankan roda perekonomian rumah tangganya.
12. Dulang-dulangan
Dulang-dulangan adalah saling menyuapi. Kedua mempelai diberi sepiring nasi
beserta lauknya, kemudian keduanya saling menyuapi dan member minum. Upacara ini berarti antara pegantin putra dan pengantin putri saling menyayangi, saling mengasihi, dan saling menjaga.
13. Sungkeman
Sungkeman adalah meminta maaf atau meminta restu. Prosesinya adalah
pengantin putra bersimpuh di pangkuan orang tua laki-laki, dan pengantin putra bersimpuh di pangkuan orang tua perempuan, dan sebaliknya yakni pengantin putra berpindah kemudian bersimpuh di pangkuan orang tua perempuan, sedangkan pengantin putri berpindah kemudian bersimpuh di pangkuan orang tua laki-laki.
Upacara ini berarti pengantin putra dan pengantin putri meminta doa restu kepada orang tua untuk menjalankan kehidupan baru selanjutnya, agar doa keduanya juga selalu menyertai setiap langkah kedua mempelai.
14. Bubak kawah
Upacara ini dilakukan jika orang tua mempelai putri baru pertama kali melaksanakan hajatan. Dengan kata lain, pernikahan tersebut adalah pernikahan anak perempuan sulung. Namun, apabila bukan anak sulung yang menikah, maka upacara adat Jawa pra acara inti telah selesai setelah sungkeman. Di desa Jatirembe, upacara bubak kawah dilakukan seperti udik-udikan. Pihak keluarga menyiapkan beberapa peralatan dapur, seperti peggorengan, alat merebus, tempat air, piring, saringan santan, dan beberapa peralatan lain yang telah tertata rapi pada sebuah kayu yang bisa dipikul untuk dua orang. Kemudian, dua kembar mayang laki-laki membawa kayu beserta isinya tersebut ke atas pelaminan. Dengan diiringi musik untuk memeriahkan upacara tersebut, barang-barang peralatan dapur tadi diperebutkan oleh para pengiring pengantin putra dan masyarakat sekitar yang menyaksikan upacara tersebut. Setelah barang-barang yang ada di kayu tadi habis, pertanda upacara bubak
kawah selesai.
Setelah bubak kawah selesai, kemudian dilanjutkan dengan acara inti yang biasa dipandu oleh Master of Ceremony (MC) dan berisi sambutan penyerahan dari pihak mempelai putra, sambutan penerimaan dari pihak mempelai putri, serta
mauidhotul hasanah (jika ada), kemudian ditutup dengan doa.
15. Resepsi di mana para tamu undangan memenuhi undangan kedua pengantin, mengucapkan selamat kepada mereka, dan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan oleh panitia acara. Sajian hidangan di Jatirembe tidak
184 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
ditentukan. Artinya, sohibul hajat menyediakan hidangan yang dianggap pantas menjadi hidangan para tamu dan undangan.
Persepsi masyarakat Desa Jatirembe tentang Adat Pernikahan Jawa
Setelah penulis mengadakan wawancara kepada beberapa warga, ternyata adat pernikahan Jawa ini tidak selalu digunakan pada setiap pernikahan di Desa Jatirembe. Ada beberapa di antara mereka yang menggunakan adat pernikahan Islami. Meskipun demikian, pelaksanaan adat pernikahan Jawa di Desa Jatirembe masih mendominasi.
Dalam resepsi upacara pernikahan adat Islami, setelah akad nikah, pengantin dikirab dengan salawat Nabi dengan musik banjari. Tahapan upacaranya pun tidak sebanyak rentetan upacara adat Jawa. Setelah kedua mempelai berada di pelaminan, acara inti segera dilangsungkan, seperti pembukaan dari MC, sambutan penyerahan dan penerimaan dari kedua pengantin, dan diakhiri dengan doa. Ada juga adat pernikahan Jawa, tetapi sebelum upacara pernikahan berlangsung terdapat acara shalawat Nabi yang diiringi dengan musik banjari.
Mereka yang menggunakan adat pernikahan Jawa berpendapat bahwa adat Jawa harus dilestarikan, agar tidak tergerus oleh budaya-budaya baru yang justru tidak difilter dengan baik oleh masyarakat. Mereka lebih sering mempertahankan adat tersebut, sebab mereka percaya bahwa rangkaian upacara pernikahan tersebut membawa manfaat bagi kehidupan mereka selanjutnya. Jika tidak melaksanakan rangkaian tersebut, akan mendapat akibat yang tidak disangka. Sedangkan, mereka yang menggunakan adat Islami berpendapat bahwa pelaksanaan adat Islami lebih simpel, dan rentetan upacara tidak sepanjang dalam pelaksanaan adat Jawa. Meskipun terdapat dua model pernikahan di Desa Jatirembe ini, pada kenyataannya mereka masih hidup bersejajar dengan harmonis, tidak ada ungkapan saling menyalahkan atau saling menjatuhkan.
Unsur upacara pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe tidak ada yang menyimpang dari ajaran Islam, justru di dalamnya terkandung nilai-nilai Islami. Di antaranya dalam beberapa upacara yang meminta pengantin wanita menundukkan diri di depan pengantin pria, atau yang meminta pengantin pria bergerak lebih banyak dari pada pengantin wanita, di dalamnya mengandung nilai bahwa apapun keadaan, status, derajat wanita sejatinya masih di bawah lelaki. Wanita harus taat dan hormat kepadanya, hal ini sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Dalam beberapa upacara juga melibatkan andil orang tua, hal ini mengandung nilai bahwa sampai kapanpun, dalam keadaan bagaimanapun harus menghormati kedua orang tua.
Upacara pernikahan adat Jawa di desa Jatirembe berbeda dengan adat pernikahan di luar Jawa, di Sulawesi misalkan. Di Sulawesi, sebelum pernikahan berlangsung, ada beberapa persyaratan untuk calon suami yang cenderung memberatkan calon suami, maka hal ini termasuk menyimpang, berbeda dengan adat pernikahan Jawa.
Analisis
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan Surakarta, Yogyakarta dan Jatirembe, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Perbedaan rincian upacara antara lain sebagai berikut:
No. Adat Surakarta Adat Yogyakarta Adat Jatirembe 1. Ijab Kabul dan
penyerahan mas kawin
Ijab Kabul dan tukar
cincin Akad nikah
2. Liru kembar mayang Panggih
3. Panggih Panggih (ada tarian
beksan edan-edanan) Tukar kembang mayang 4. Balang suruh Balang suruh Melempar hantalan 5. Mecah wiji dadi Wiji dadi Injak telur
6. Pupuk Putaran tiga kali
7. Memberi minum
8. Sindur binayung Sinduran
9. Timbang (pangkon) Bobot timbang
10. Tanem (wisuda pengantin) 11. Tukar kalpika
12. Kacar kucur Kacar-kucur
13. Dahar kembul (klimah) Dahar klimah Dulang-dulangan 14. Rujak degan, bubak kawah,
dan tumplek punjen 15. Mertui
16. Sungkeman Sungkeman
Sungkeman dilanjutkan bubak kawah (jika mengikuti)
186 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
Setelah melihat persamaan dan perbedaan di atas, dapat diketahui bahwa adat pernikahan di desa Jatirembe lebih berkiblat pada mazhab atau Adat Surakarta, meskipun dalam pelaksanaan juga terdapat beberapa perbedaan.
Dalam upacara adat Surakarta, tukar cincin adalah rangkaian upacara setelah
panggih. Sedangkan, dalam adat Jatirembe, tukar cincin dilaksanakan setelah akad nikah
atau setelah kedua pengantin dinyatakan sah. Selain itu, dalam upacara balang suruh, adat surakarta menggunakan daun suruh dan daun jeruk kemudian diikat dengan menggunakan benang putih sedangkan, adat pernikahan di Desa Jatirembe menggunakan daun sirih yang diikat dengan daun pisang. Secara esensi, keduanya sama-sama mengandung makna. Benang putih berarti segala permasalahan dalam rumah tangga mereka nanti harus dicari benang putihnya. Sedangkan, daun pisang berarti, segala permasalahan dalam kehidupan mereka nanti merupakan privasi mereka dan tidak layak dipublikasikan.
Dalam prosesi timbang pangkon, ayah mengatakan bahwa berat kedua anaknya sama pada adat Surakarta sedangkan dalam adat Jatirembe, semua perkataan pelaku upacara dikatakan oleh MC melalui MC dengan nada tembang.
Dari segi hidangan ketika resepsi, adat pernikahan Surakarta biasa menyajikan hidangan-hidangan khas Solo, tetapi di adat pernikahan Jatirembe sajian hidangan tidak ditentukan. Mereka biasa mengambil bagaimana baik dan pantasnya untuk para tamu. Dari segi iringan musik, di Surakarta biasa diiringi gamelan, campur sari dan lain sebagainya, tetapi di Jatirembe biasa diiringi musik dangdut agar acara lebih terlihat meriah.
Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara pernikahan adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang istri terhadap suaminya yang tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak seorang anak kepada kedua orang tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana dalam ayat:
ىَضَقَو
َكُّبَر
لاَأ
اوُدُبْعَ ت
لاِإ
ُهايَِّإ
ِنْيَدِلاَوْلِبَِو
ًناَسْحِإ
اامِإ
انَغُلْ بَ ي
َكَدْنِع
ََبِكْلا
اَُهُُدَحَأ
ْوَأ
اَُهُلاِك
لاَف
ْلُقَ ت
اَمَُلَ
فُأ
لاَو
اَُهُْرَهْ نَ ت
ْلُقَو
اَمَُلَ
لاْوَ ق
اًيمِرَك
18 18 QS: al-Isra>’, 23.Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Di dalam ayat tersebut mengandung perintah bahwa seorang anak harus berbuat baik dan menghormati kedua orang tuanya serta selalu menjaga ucapan, agar tidak sampai menyakiti hati mereka.
Di antara anjuran menghormati kedua orang tua sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi:
رب
نيدلاولا
لضفأ
نم
ةلاصلا
و
ةقدصلا
و
موصلا
و
جلحا
و
ةرمعلا
و
داهلجا
في
ليبس
الل
19Bersikap (berbuat) baik kepada kedua orang tua adalah lebih baik dari pada salat sunnat, sedekah sunnah, puasa sunnah, haji sunnah, umrah sunnah, dan berjuang di jalan Allah.
Di antara perintah al-Qur’an yang menunjukkan tentang disyariatkannya ketaatan istri terhadap suami:
ُلاَج ِرلا
َنوُمااوَ ق
ىَلَع
ِءاَس ِنلا
اَِبِ
َلاضَف
ُاللَا
ْمُهَضْعَ ب
ىَلَع
ضْعَ ب
اَِبَِو
اوُقَفْ نَأ
ْنِم
ْمِِلَاَوْمَأ
ُتاَِلحااصلاَف
تاَتِناَق
تاَظِفاَح
ِبْيَغْلِل
اَِبِ
َظِفَح
ُاللَا
ِتلالاَو
َنوُفاََتَ
انُهَزوُشُن
انُهوُظِعَف
انُهوُرُجْهاَو
ِفي
ِع ِجاَضَمْلا
انُهوُبِرْضاَو
ْنِإَف
ْمُكَنْعَطَأ
لاَف
اوُغْ بَ ت
انِهْيَلَع
لايِبَس
انِإ
َاللَا
َناَك
اًّيِلَع
اًيرِبَك
20Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
19 Nawawi> bin `Umar, Mahligai 77 Cabang Iman, terj. Achmad Labib Asrori, cetakan pertama (Surabaya:
Pelita Dunia, 1996), 69.
188 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
اذإ
تلص
ةأرلما
اهسخم
,
و
تماص
اهرهش
,
و
تن صح
اهجرف
,
و
تعاطأ
اهلعب
تلخد
نم
يأ
باوبأ
ة نلجا
تئاش
Jika seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.
Kesimpulan
Dari penelitian tentang upacara pernikahan Jawa di Desa Jatirembe, terdapat beberapa rentetan upacara, di antaranya; akad nikah, panggih, tukar kembang mayang, melempar hantalan, menginjak telur, memutari pengantin pria tiga kali, memberi minum, sinduran, bobot timbang, kacar-kucur, dulang-dulangan, sungkeman, dan resepsi.
Upacara pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe lebih berkiblat pada Mazhab Surakarta, meski terdapat beberapa perbedaan. Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara pernikahan adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang istri terhadap suaminya yang tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak seorang anak kepada kedua orang tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis.
Daftar Pustaka
`Umar, Nawawi> bin. Mahligai 77 Cabang Iman. terj. Achmad Labib Asrori. cetakan pertama. Surabaya: Pelita Dunia, 1996.
Abdullah, Mudhofir. “Pribumisasi Islam Dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi Bangsa”, Indo-Islamika, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2014.
Aditya, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020. Afiyah, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020.
Astuti, Linda Puji. “Upacara Adat Perkawinan Priyayi di Desan Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan”. Skripsi--Universitas Negri Malang, Desember, 2010.
Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. cetakan kelima. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Khaldun, Rendra. “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal”, Komunitas (Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam), Vol. 8, No. 1, Juni, 2016.
Madkan, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020.
Maknun, Moch Lukluil. “Adat Pernikahan di Kota Pekalongan”, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2. November, 2013.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000. Nafifa, Mentari Nurul. “Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Bubak Kawah di Desa
Kabekalan Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen”, Jurnal Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah Pruworejo, Vol. 06,
No. 02, April 2015.
Pongsibanne, Lebba. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: t.p, 2012.
Rohman, Fatkhur. “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan Yogyakarta (Studi Komparasi)”. Skripsi—UIN Walisongo, Semarang, 2015.
Sartini, Ni Wayan. “Menggali Nilai kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasa)” Logat (Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra), Vol. V, No. 1, April, 2009.
Sukaini
Sumbulah, Ummi. “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya; Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif”, el Harakah, Vol. 14, No. 1, tb, 2012.