• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Lingkungan Restoratif (RED) 1. Pendahuluan

Dalam dokumen BAB II. TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 22-48)

RED memiliki kaitan dengan bidang ilmu psikologi lingkungan.

Psikologi lingkungan adalah studi tentang hubungan antara individu dengan lingkungan fisiknya (Gifford, 2007 dalam Martin et al., 2011, p. 440). Psikologi lingkungan bekerja dalam tiga level analisis ini: (1) proses dasar psikologis seperti persepsi terhadap lingkungan, kognisi spasial, dan kepribadian karena

29 mereka menyaring dan menyusu pengalaman dan perilaku manusia, (2) manajemen spasi sosial, spasi personal, territorial, keramaian, dan privasi, dan aspek lingkungan fisik dari perilaku kompleks sehari-hari, seperti bekerja, belajar, hidup di dalam komunitas dan tempat tinggal, dan (3) interaksi manusia dengan alam dan peras psikologi dalam perubahan iklim. (Gifford, 2007 dalam Martin et al., 2011, p. 440) Robert Gifford menyatakan bahwa psikologi lingkungan bisa tumbuh berkat adanya gerakan lingkungan berkelanjutan (sustainability) karena studi ini, yang dibawakan melalui perantara psikolog lingkungan, dapat menunjukkan hubungan antara individu (sebagai level analisis tradisional mereka) dengan pembuat kebijakan, dalam pandangan bahwa mereka bisa membantu mengevaluasi penerimaan terhadap perubahan struktur yang diajukan, serta menilai dampak dari perubahan ini dalam perilaku, kesejahteraan, stres, dan kualitas hidup individu (Gifford, 2007, p.

206).

Beberapa teori psikologi lingkungan yang ada yaitu teori beban lingkungan (environmental-load theory), teori hambatan perilaku (behaviour constraints theory), teori level adaptasi (adaptation level theory), dan teori stres lingkungan (environment stress theory). Kelima teori di atas menurut Helmi (1999, pp. 2–8) adalah sebagai berikut.

a. Teori beban lingkungan

Manusia mempunyai kapasitas yang terbatas dalam melakukan pemrosesan informasi. Jika informasi yang didapat lebih besar dari kapasitasnya, ada dua hal yang dilakukan individu; jika informasi tersebut bermakna, individu akan memberi perhatian lebih pada informasi itu, jika informasi tersebut tidak bermakna, individu akan mengabaikannya. Jika informasi yang didapat lebih kecil dari kapasitasnya, individu akan mengalami deprivasi sensori yang bisa menghambat perkembangan yang optimal.

b. Teori hambatan perilaku

Bagaimana manusia memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh. Stimulasi yang berlangsung berlebih atau tak diinginkan menyebabkan arousal (hambatan) dalam kapasitas pemrosesan informasi yang memicu hilangnya kontrol manusia akan situasi yang sedang berlangsung. Untuk mengatasinya, individu akan menegaskan

30 kembali kontrolnya melalui privasi agar individu bisa bebas dan bisa mengontrol dirinya kembali. Dinamika psikologis dari privasi merupakan proses sosial antara privasi, teritorial, dan ruang personal. Privasi yang terlalu besar menyebabkan individu merasa terasing, sedangkan privasi yang terlalu sedikit menyebabkan individu merasa sesak.

c. Teori level adaptasi

Adanya perbedaan individu dalam beradaptasi yang bisa dilihat melalui 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan, yaitu stimulasi (terlalu banyak menyebabkan perasaan sesak, terlalu sedikit menyebabkan perasaan terasing), keanekaragaman (terlalu banyak menyebabkan perasaan overload, terlalu sedikit menyebabkan perasaan monoton), dan keterpolaan (terlalu rumit menyebabkan stimulus susah diprediksi, terlalu jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi).

d. Teori stres lingkungan

Adanya 3 komponen stres, yaitu stressor, proses, dan respon, dan stres terjadi dalam keterkaitan antara ketiganya. Jika sumber stres lebih besar dari kapasitas diri, maka stres negatif akan muncul. Jika sumber stres sama dengan atau lebih sedikit dari kapasitas diri, maka stres positif akan muncul.

Kaitannya dengan stres lingkungan adalah adanya transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stres atau tidak.

e. Teori ekologi

Kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang diakomodasikan dalam lingkungan tersebut. Hubungan antara manusia dan lingkungan lebih dijelaskan dari sisi sifat atau karakteristik sosial (menekankan perilaku kolektif), dan dengan mengetahui setting tempat maka dapat diprediksikan perilaku atau aktivitas yang terjadi.

Bisa dilihat bahwa teori-teori dalam psikologi lingkungan pada dasarnya adalah mekanisme reaksi individu dalam merespon lingkungannya.

Manusia senantiasa merespon lingkungan sekitarnya dan sedikit banyak terpengaruh oleh itu. Oleh karena itu, lingkungan sekitar sebenarnya bisa mengubah keadaan mental manusia mungkin tanpa manusia sadari. Menurut

31 Augustin (2009, p. 28), lingkungan mempengaruhi seberapa efektif manusia menjalani hidup. Sebuah tempat memang tidak bisa menentukan baik buruknya hari yang dialami seseorang, tapi sebuah tempat dapat mempengaruhi seseorang menuju hari baik atau buruk.

Lingkungan hidup memiliki pengaruh sangat besar terhadap kesejahteraan hidup manusia. Menurut penelitian, manusia sebenarnya menghabiskan sekitar 90% waktu sehari untuk beraktivitas di dalam ruangan.

Desain tempat-tempat manusia beraktivitas ini kebanyakan tidak didesain secara restoratif, melainkan dengan efisiensi, nilai ekonomi, dan kegunaan/fungsi. Tidak banyak perancang yang sadar akan fakta bahwa lingkungan hidup kita memengaruhi mood, kesehatan, dan perilaku manusia.

Segala pilihan yang dipilih dalam mendesain, seperti material, bentuk, dan warna, mempengaruhi kita tanpa disadari, dan mereka membentuk pengalaman spasial (meruang) kita. (Nousiainen et al., 2016, p. 15)

Manusia sejatinya adalah bagian dari alam. Munculnya kemampuan manusia untuk beradaptasi, memproses informasi, atau menjaga privasinya, semuanya akibat manusia yang terbiasa merespon alam yang memiliki fenomenanya sendiri. Oleh karenanya, keadaan mental manusia terbentuk berdasarkan proses evolusi itu. Fenomena ini disebut dengan istilah ‘biophilia hypothesis’ (Nousiainen et al., 2016, p. 16). Manusia masih membawa kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan nenek moyang, contohnya seperti menolak untuk memunggungi pintu yang terbuka atau spasi yang luas karena takut ada bahaya yang bisa menyergap seperti serangan hewan buas (Augustin, 2009, p. 25). Dari sinilah muncul teori mengenai ‘desain restoratif’ alias desain yang membawa kembali manusia untuk hidup selaras dengan alam dan mengembalikan atau memulihkan keadaan mental manusia seperti sediakala atau sesuai dengan kapasitasnya.

2. Pengertian dan Pemicu Desain Lingkungan Restoratif

Desain Lingkungan Restoratif (Restorative Environmental Design) adalah teori pendekatan desain yang tertuju pada dua hal, yaitu strategi dampak-rendah-pada-lingkungan (low-environmental-impact) yang meminimalisir dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan alam, serta

32 dampak lingkungan yang positif atau desain biofilik (biophilic) yang mendorong kontak menguntungkan antara manusia dan alam dalam bangunan dan lanskap modern (Kellert et al., 2008, p. 5). Restoratif itu sendiri yang dalam bahasa Inggrisnya ‘restorative’, menurut Cambridge Dictionary artinya

‘sesuatu yang membuat kita merasa lebih baik atau lebih bertenaga ketika kita sedang merasa lelah atau sakit’. Pengertian ini memiliki makna bahwa

‘restoratif’ punya kemampuan untuk ‘menyembuhkan atau mengembalikan keadaan kita seperti sedia kala’. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa ‘restoratif’

artinya ‘yang menyembuhkan, yang memulihkan, yang mengembalikan’. Jadi, poin penting dalam RED adalah bagaimana desain suatu lingkungan buatan dapat membantu manusia untuk tetap terhubung dengan alam sebagai suatu kebutuhan dasar untuk menyembuhkan atau memulihkan manusia, tanpa mengabaikan pentingnya keberlangsungan bangunan atau lanskap modern itu sendiri sebagai bagian dari alam.

Teori ini muncul akibat menjauhnya hubungan manusia dan alam akibat rancangan lingkungan buatan yang terlalu ‘asing’. Hasil dari berkembangnya teknologi modern membuat manusia percaya bahwa mereka dapat melampaui warisan alami dan genetik mereka. Anggapan ini mendorong pandangan manusia sebagai organisme yang telah lolos dari aturan alam, dengan kemajuan manusia dan peradaban yang diukur dari kapasitasnya untuk mengubah dunia alami secara fundamental. Ilusi berbahaya ini telah meningkatkan praktik arsitektural yang memicu eksploitasi berlebihan, degradasi lingkungan, dan pemisahan manusia dari sistem dan proses alam. (Kellert et al., 2008, p. viii)

Urbanisasi juga mendorong perubahan keberagaman alami menjadi homogen, mengonsumsi banyak sumber daya dan material, serta membuat banyak sekali polutan dan limbah. Saat ini, lingkungan urban modern mengonsumsi sekitar 40% sumber energi, 30% sumber daya alam, dan 25% air bersih sementara menghasilkan sepertiga polutan udara dan air dan 25% limbah padat. (Kellert, 2005:2)

33 3. Konsep Desain Lingkungan Restoratif

a. Kombinasi dari Desain Berkelanjutan dan Desain Biofilik

RED merupakan konsep baru dari desain berkelanjutan (sustainability design) yang fokus pada isu terputusnya koneksi antara manusia dan alam dan juga praktik dari bangunan-bangunan berkelanjutan (Ibrahim, 2018, pp. 16–17). Menurut Kellert (2005, p. 4), pendekatan berkelanjutan hanya sebatas fokus pada peran manusia terhadap alam, belum mempertimbangkan bahwa manusia sebagai salah satu komponen sistem alam juga butuh untuk dipedulikan dengan mempertimbangkan apa yang alam bisa berikan kepada manusia. Dalam jajak pendapat yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara lainnya, kebanyakan responden berkata bahwa lingkungan itu penting. Manusia sangat percaya bahwa lingkungan alam sangat memengaruhi kesejahteraan fisik, psikologis, dan moral mereka, sampai kepercayaan itu tercermin pada preferensi, kreasi budaya, dan konstruksi manusia. (Kellert, 2005, p. 2)

Oleh karena itu, Kellert mencetuskan ide desain biofilik sebagai solusi atas permasalahan tersebut, sehingga RED merupakan kombinasi dari ide desain berkelanjutan (sustainable design), atau yang Kellert sebut sebagai desain yang berdampak rendah pada lingkungan (low-environmental-impact design), dan desain biofilik (biophilic design) (Kellert, 2005:4), seperti yang tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 2.5. Perbandingan fitur desain berkelanjutan dan desain biofilik.

Jenis Sumber

Daya Desain Berkelanjutan Desain Biofilik

Material

Menggunakan material

daur ulang Material alami

Massa termal tinggi Bentuk dan fitur alami Penggunaan energi rendah Transformabilitas Material bangunan alami

Energi Energi terbarukan Pola cahaya yang bervariasi

34 Jenis Sumber

Daya Desain Berkelanjutan Desain Biofilik

Solar pasif Cahaya alami

Cahaya siang hari Hubungan dengan tempat

Sumber: (Kellert & Derr, 2013, p. 3)

1) Desain yang Berdampak Rendah pada Lingkungan/Berkelanjutan Menurut Kellert (2005b, pp. 102–120) desain berkelanjutan memiliki lima kategori dampak, yaitu:

a) Pemakaian dan efisiensi energi (Kellert, 2005b, p. 106)

Cara efektif untuk mencapai efisiensi energi adalah dengan melalui desain bangunan pintar yang menggunakan dan bergantung pada lebih sedikit sistem intensif mekanikal energi, dilabeli dengan istilah

‘desain pasif’. Desain pasif bertujuan untuk mencapai efisiensi penggunaan energi dengan memanfaatkan bentuk, orientasi, aliran udara, dan material bangunan untuk mengontrol dan memanipulasi suhu air, cahaya, panas, angin, udara, iklim, dan tanah. Contohnya, mengoptimalkan orientasi bangunan ke arah matahari, membuatnya menyimpan dan mengeluarkan udara panas dan dingin melalui penggunaan material dan bentuk tertentu. Energi juga bisa disimpan menggunakan material berat (seperti bata dan batu) dalam struktur bangunan yang ketika dikombinasikan dengan inovasi desain seperti

35 ventilasi atrium (aula besar tanpa atap) dan cerobong asap, dapat mendistribusikan udara panas dan dingin dan mengontrol perubahan suhu dengan lebih efisien.

b) Penggunaan produk, material, dan sumber daya (Kellert, 2005b, p.

111)

Harus mengikuti:

• Sedikit atau tiadanya emisi berbahaya.

• Sedikit atau tiadanya bahan kimia yang mengubah iklim atau merusak ozon.

• Banyak menggunakan material yang bisa didaur ulang atau digunakan kembali.

• Material yang mudah diurai secara biologis (biodegradable).

• Material yang tahan lama dengan perawatan minimal.

• Sumber daya yang dapat dipanen secara berkelanjutan.

• Memilih sumber daya lokal daripada sumber daya yang dikirim atau dibuat jarak jauh.

c) Limbah dan pengelolaannya (Kellert, 2005b, p. 115)

Air limbah berpotensi untuk didaur ulang di tempat dari lubang pembuangan, shower, air hujan dan bahkan air selokan. Air hujan dapat dimanfaatkan dengan memasang tadah di rooftop, tangki penampung bawah tanah, dan lingkungan air buatan yang menangkap dan memanen presipitasi, yang kemudian digunakan dalam operasional eksternal atau internal bangunan. Salah satu contoh inovatif pengolahan limbah air bekas adalah pengaplikasian sistem ‘mesin hidup’ yang dikembangkan oleh John dan Nancy Todd, yang memproses air limbah tersebut melalui beberapa langkah metabolik. Sistem ini meliputi mikroorganisme dan tumbuhan yang ‘mencerna’ dan ‘menjernihkan’ limbah air, kemudian airnya digunakan dalam bangunan, seperti untuk toilet, irigasi, estetika dan rekreasi, bahkan produksi ikan. Mikroorganisme dan tumbuhan tersebut meliputi bakteri aerobik dan anaerobik, alga, tumbuhan, bahkan ikan dan udang-udangan (Crustacea).

36 Gambar 2.3. Sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan

mikroorganisme dan tumbuhan.

Sumber: (Kellert, 2005b, p. 116)

d) Kualitas lingkungan indoor atau IEQ (indoor environmental quality) (Kellert, 2005b, p. 117)

IEQ dicapai dengan semaksimal mungkin mengurangi penggunaan produk yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti formaldehida atau bahan karsinogenik, karena tidak mungkin kita mengecek satu-satu bahan pembuatan material atau produk yang digunakan. Yang terpenting kita memaksimalkan pergantian udara dengan menggunakan sistem ventilasi yang tepat sekaligus untuk meminimalisir ruang yang terlalu lembab.

e) Dampak ekologis dan alam liar (Kellert, 2005b, p. 118)

Dengan meminimalkan efek merugikan bangunan terhadap sistem ekologi dan keanekaragaman biologis. Bangunan dapat memberi pengaruh dengan cara membuat lingkungan air buatan atau menyisihkan area untuk hewan dapat makan dan berkembang biak, lalu memodifikasi desain untuk mengurangi dampak langsung kematian hewan liar, seperti penggunaan kaca yang kurang reflektif untuk meminimalisir kematian burung akibat menabrak kaca pada bangunan tinggi.

2) Desain Biofilik

Menurut Kellert (2008, pp. 5–6) desain biofilik memiliki dua dimensi, yaitu:

37 a) Dimensi organik

Dimensi organik didefinisikan sebagai bentuk dalam lingkungan buatan yang secara langsung, tidak langsung, atau simbolik mencerminkan ketertarikan manusia pada alam. Pengalaman langsung mengacu pada kontak tidak terstruktur dengan fitur lingkungan alam yang berdiri sendiri seperti cahaya siang hari, tumbuhan, hewan, habitat alami, dan ekosistem. Pengalaman langsung manusia ke alam meliputi kontak langsung seperti cahaya matahari, tumbuhan, hewan, habitat alami, dan ekosistem.

Pengalaman tak langsung meliputi kontak dengan alam yang membutuhkan tangan manusia untuk bertahan hidup seperti tumbuhan dalam pot, air mancur, atau akuarium. Sedangkan pengalaman simbolik meliputi representasi alam melalui gambar, lukisan, video, metafor, dan sebagainya.

b) Dimensi vernakuler

Dimensi vernakuler definisikan sebagai bangunan dan lanskap yang terhubung ke budaya dan ekologi dari suatu area geografis atau lokal. Dimensi ini mencakup apa yang disebut indra atau, apa yang disebut oleh seorang biolog pemenang Penghargaan Nobel René Dubos dan seorang arsitek Frederick Law Olmsted, ‘semangat suatu tempat’, menggarisbawahi bagaimana bangunan dan lanskap yang berharga bagi masyarakat menjadi satu dengan identitas individu atau kolektif mereka, secara metaforik mengubah hal tak bergerak menjadi sesuatu yang terlihat hidup dan seringkali mempertahankan hidup. (Kellert et al., 2008, p. 165) Tanpa hubungan vernakuler terhadap budaya dan ekologi tempat tersebut, bangunan dan lanskap terbangun jarang bertahan dalam jangka waktu yang lama. Tanpa komitmen mendalam dan perasaan ingin merawat tempat tersebut, manusia umumnya tidak mencurahkan sumber daya fisik, emosional, maupun intelektual yang diperlukan untuk mempertahankan pencapaian arsitektural ini dalam jangka waktu yang lama (Kellert et al., 2008, p. 165).

38 b. Kenyamanan dan Stres dalam RED

1) Kenyamanan

Kenyamanan sebenarnya memiliki banyak definisi dan banyak faktor yang bisa membuat seseorang merasa nyaman, bahkan justru tingkat kenyamanan itu menjadi sesuatu yang sulit diukur jika tidak ada variabel pasti karena sifatnya yang subjektif. Sanders dan McCormick mengilustrasikan kenyamanan sebagai suatu kondisi perasaan dan sangat tergantung pada orang yang mengalami situasi tersebut. (Sanders dan McCormick, 1993, dalam Iskak & Andriani, 2015, p. 33) Hal ini dijelaskan salah satunya oleh Ortiz dkk. (2017, p. 324) yang mengemukakan bahwa kenyamanan pada bangunan dipelajari secara tradisional dari perspektif fisika lingkungan dan fisiologi penghuni.

Ortiz dkk. (2017, p. 324) menulis berbagai definisi kenyamanan dari berbagai disiplin ilmu, yaitu:

a) IEQ (Indoor Environment Quality)

Kenyamanan dipandang dari perspektif fisiologis-teknologi dan dideskripsikan melalui parameter berikut: visual (dengan aspek seperti pemandangan, iluminansi, dan pantulan), termal (kecepatan udara, kelembaban, dan suhu), akustik (kontrol suara yang tak diinginkan, getaran, dan gema), dan kualitas udara (bau, iritan atau hal yang mengganggu, udara di luar (outdoor), dan ventilasi).

(Bluyssen, 2009 dalam Ortiz et al., 2017, p. 324) b) Kesehatan masyarakat

Kenyamanan merupakan konsep dari dua dimensi. Dimensi pertama terdiri dari tiga tingkat: ‘lega’ yang berupa perasaan terpenuhinya kebutuhan tertentu, ‘ringan’ yang berupa kondisi tenang dan bahagia, dan ‘transenden’ merujuk pada kondisi di mana pasien lepas dari masalah atau rasa sakit. Dimensi kedua berhubungan dengan konteks ketika kenyamanan itu terjadi, bisa berupa fisik (perasaan tubuh), psikospiritual (inner self), sosial (hubungan dengan keluarga atau budaya), maupun lingkungan (cahaya. bising, suhu, sensasi). (Kolcaba, 1994 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) c) Ergonomi

39 Kenyamanan adalah kemudahan dan kepuasan terhadap lingkungan atau produk yang memfasilitasi kinerja. (Kolcaba, 1991 dalam Ortiz dkk) Dalam ilmu ergonomi, kenyamanan didominasi oleh

‘kenyamanan ketika duduk’ dalam ergonomi kursi, merujuk pada

‘estetika dan keempukan, relaksasi, sejahtera, perasaan lega, dan energi’. (Helander, 2003 Ortiz et al., 2017, p. 325)

d) Holistik (keseluruhan)

Beberapa penulis mengemukakan definisi integratif tentang kenyamanan yang juga mencakup dimensi kognitif. Slater (1985 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengemukakan bahwa kenyamanan adalah ‘kondisi fisiologis, psikologis, dan harmoni fisik yang menyenangkan antara manusia dan lingkungannya’. De Looze dkk (2003 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengemukakan bahwa di antara berbagai definisi tentang kenyamanan, ada tiga elemen yang selalu muncul, yaitu ‘konstruksi dari alam personal subjek yang terdefinisikan’, ‘terpengaruhi oleh faktor dari bermacam-macam sifat (fisik, fisiologis, psikologis), dan ‘merupakan reaksi dari lingkungan’.

e) Domestik

Heijs dan Stringer (1987 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengajukan elemen spesifik kenyamanan dalam konteks domestik, mengimplikasikan tempat tinggal. Elemen tersebut adalah kenyamanan perseptual, kenyamanan interaktif, kenyamanan fasilitatif, dan kenyamanan personalisasi. Elemen ini merujuk pada kemampuan kontekstual yang membuat penghuni mampu mengeluarkan perilaku terkait tempat tinggalnya melalui ikatan emosional dan identifikasi diri.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, karena RED mengikutsertakan elemen manusia dan alam lingkungan dalam konsepnya, maka konsep kenyamanan berdasarkan disiplin ilmu IEQ dan holistik adalah konsep yang sejalan dengan maksud dan tujuan RED. Sehingga kenyamanan dilihat dari disiplin ilmu RED bisa didefinisikan sebagai ‘kondisi

40 fisiologis, psikologis, dan harmoni fisik yang menyenangkan individu terhadap dirinya dan lingkungannya yang mencakup visual, termal, akustik, dan kualitas udara’.

2) Stres

Seperti kenyamanan, istilah ‘stres’ juga memiliki banyak definisi. Orang yang pertama kali mengembangkan teori tentang stres adalah Hans Selye, seorang endrokinolog berkebangsaan Hungaria-Kanada yang hidup dari tahun 1907 sampai 1982. Menurut Selye (Selye, 1956 dalam Charlton, 1992, p. 156), stres adalah respon non-spesifik tubuh terhadap sebuah permintaan. Stres terbagi menjadi 3, yaitu stres sebagai stimulus, respon non-spesifik, dan kombinasi keduanya. (Charlton, 1992, p. 156)

Augustin (Augustin, 2009, p. 46) mengemukakan bahwa stres punya sedikit pengaruh dalam restorasi, namun karena stres dan restorasi sering membuat bingung, maka diperlukan definisi jelas tentang stres dalam konsep restorasi atau RED. Menurut Evans dan Cohens (1987 dalam Augustin, 2009, p. 46) stres terjadi ketika sesuatu yang terjadi di lingkungan seorang individu mengalihkan dia dari melakukan apa yang dia suka. Pengalihan ini membuat individu stres karena ketika kejadian tersebut sifatnya tidak biasa atau tidak terduga, bahkan membuat tidak nyaman, individu akan memusatkan perhatian pada kejadian tersebut dan ketika pengalihan itu membuat individu tidak fokus terhadap apa yang mau dia lakukan, itu membuat stres (Augustin, 2009, p. 46). Seperti halnya juga kenyamanan, stres itu subjektif. Jika individu mengalami hal yang menurutnya membuat stres, dia akan stres (Augustin, 2009, p. 46). Sehingga, pengertian stres dalam konsep RED adalah ‘segala hal yang membuat individu merespon secara non-spesifik sehingga tidak bisa memfokuskan diri kepada kegiatan yang sedang dilakukan’.

Dari definisi di atas, RED membantu menghadirkan lingkungan yang dapat membantu membuat manusia rileks karena salah satu prinsip RED adalah ‘membawa kembali manusia ke alam karena hubungan

41 manusia dan alam selama ini terputus akibat eksploitasi lingkungan’.

Seperti yang dikemukakan oleh Augustin (2009, p. 25) manusia masih membawa kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan nenek moyang, contohnya seperti menolak untuk memunggungi pintu yang terbuka atau spasi yang luas karena takut ada bahaya yang bisa menyergap seperti serangan hewan buas. Dengan membawa manusia kembali ke alam, manusia diajak untuk mengingat kembali hakekat mereka, sehingga mengurangi penyebab stres yang dewasa ini sering terjadi dalam kesibukan sehari-hari dan muncul rasa nyaman.

c. Bukti Empiris Manfaat RED (Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, pp.

110–111)

1) Peneliti dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, menemukan bahwa pasien yang melihat pemandangan alam sebelum melakukan prosedur bronkoskopi (pemeriksaan paru-paru dan saluran udara menggunakan alat bernama bronkoskop) dan mendengarkan suara gelembung air selama prosedur, memiliki kontrol sakit yang sangat baik mencapai 50%, dibanding pasien yang tidak melihat dan mendengarnya sebelum dan selama prosedur. (Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, p. 110)

2) Frances Kuo, William Sullivan, dan teman kampusnya di Universitas Illinois, Amerika Serikat, mempelajari studi kasus di sebuah komplek apartemen bernama Chicago’s Robert Taylor Homes di Amerika Serikat. Komplek tersebut memiliki 28 bangunan tinggi yang terbangun sepanjang lahan sepanjang 3 mil (kurang lebih 4,8 km). Beberapa di antaranya dikelilingi oleh pepohonan yang sejuk, sedangkan sisanya berhadapan dengan tanah tandus. Penelitian dibatasi kepada penghuni apartemen lantai bawah untuk memastikan bahwa mereka bisa melihat pepohonan itu. Hasilnya, penghuni yang ada di bangunan yang dikelilingi oleh pepohonan memiliki tingkat disiplin dan konsentrasi yang lebih tinggi, kekerasan dan tindakan agresif lainnya berkurang, tingkat kriminal rendah, dan relasi interpersonal yang lebih baik. ((Kuo

42 2001, Kuo dan Sullivan 2001a, 2001b, Taylor dkk. 2002 dalam Frumkin dalam Kellert et al., 2008, pp. 110–111)

3) Ernest Moore, seorang arsitek dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, pada tahun 1981 melakukan eksperimen di Penjara Negara Bagian Michigan Selatan. Setengah dari narapidana (kelompok pertama) dimasukkan dalam sel penjara yang menghadap dinding luar penjara, jendelanya menampilkan pemandangan berupa pertanian aktif dan pepohonan, dan setengahnya lagi (kelompok kedua) ke dalam sel yang menghadap lapangan penjara. Narapidana kelompok kedua memiliki frekuensi permintaan layanan kesehatan 24% lebih banyak dibanding kelompok pertama. Pada waktu itu karena Moore tidak bisa mengidentifikasi fitur desain yang bisa menjelaskan fenomena ini, Moore mengatakan bahwa pemandangan itu ‘mungkin bisa menurunkan stres’. (Moore, 1981 dalam Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, p.

111)

4) Roger Ulrich meneliti sebuah rumah sakit di pinggiran Pennsylvania, Amerika Serikat. Pada lantai bedah yang memiliki sekitar 200 ranjang pasien, beberapa ruangan di antaranya menghadap pepohonan yang gugur, sedangkan ruangan lainnya menghadap dinding bata coklat.

4) Roger Ulrich meneliti sebuah rumah sakit di pinggiran Pennsylvania, Amerika Serikat. Pada lantai bedah yang memiliki sekitar 200 ranjang pasien, beberapa ruangan di antaranya menghadap pepohonan yang gugur, sedangkan ruangan lainnya menghadap dinding bata coklat.

Dalam dokumen BAB II. TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 22-48)

Dokumen terkait