7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan perihal tinjauan pustaka mengenai perpustakaan masa kini, sistem dasar perpustakaan, standar perpustakaan ideal di Indonesia, serta restorative environment design (RED).
A. Perpustakaan Masa Kini
Perpustakaan adalah koleksi yang terdiri dari bahan-bahan tertulis, tercetak ataupun grafis lainnya seperti film, slide, dalam ruangan atau gedung yang diatur dan diorganisasikan dengan sistem tertentu agar dapat digunakan untuk keperluan studi, penelitian, pembacaan, dan lain sebagainya.
Perpustakaan di masa kini perlu dilihat dari sudut pandang lain.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang standar ideal perpustakaan masa kini yang dikemukakan baik oleh institusi resmi maupun dari para ahli seperti pustakawan atau ilmuwan lainnya, perpustakaan kini bergeser fungsinya dari single-use building menjadi mixed-use building. Perpustakaan kini tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk baca buku saja, melainkan sebagai tempat komunal di mana orang- orang berinteraksi dan berbagi pikiran, melahirkan diskusi, kerjasama, atau bahkan revolusi baru.
Meskipun sumber pengetahuan masa kini tergeser oleh teknologi, tidak berarti perpustakaan harus hilang. Argumen yang menyatakan bahwa “Media elektronik akan menggeser perpustakaan sebagai tempat yang spesial” gagal mengakui aspek perpustakaan sebagai domain simbol – tempat publik bertemu, tempat melarikan diri dari komersialisasi perkotaan (Edwards, 2009, p. 245).
Menurut Edwards, meskipun semakin hari media elektronik semakin berkembang, bukan berarti penikmat buku konvensional berkurang. Akan selalu ada komunitas pecinta buku di mana pun, dan inilah yang dihadirkan oleh perpustakaan. Kegiatan membaca itu sendiri tidak hanya sekedar aktivitas fisik seperti duduk dan melihat buku saja, ada aspek emosional dan spiritual yang secara setengah sadar dibutuhkan oleh pengguna dan hal tersebut bisa dihadirkan melaui eksterior dan interior perpustakaan. Oleh karena itulah, perpustakaan masa kini memiliki pendekatan yang berbeda dalam perancangannya.
8 Pergeseran inilah yang menyebabkan perpustakaan masa kini tidak harus dilihat dari segi perpustakaan sebagai penyedia layanan saja. Pihak-pihak lain yang berkontribusi dalam pembangunan perpustakaan juga membantu, seperti pihak pembangun (arsitek dan insinyur bangunan) maupun pengguna dengan memberi saran dan masukan agar operasional dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Tim dari Lithuania yang beranggotakan K. Jakovlevas-Mateckis, Lina Kostinaité, dan Janina Pupeliené, meneliti tentang kebutuhan perpustakaan modern di Lithuania setelah negara mereka mengalami reformasi sosial pada tahun 2004.
Hasilnya, perencanaan dan perancangan perpustakaan umum modern melibatkan interaksi seperti yang tergambar dalam diagram berikut.
Bagan 2.1. Penggabungan faktor perpustakaan dan arsitektur dalam perancangan perpustakaan.
Sumber: (Jakovlevas-Mateckis et al., 2004, p. 3)
Terlihat adanya interaksi dari bidang ilmu perpustakaan dan bidang ilmu arsitektur yang menyampaikan gagasannya melalui bahasanya masing-masing.
Ilmu perpustakaan memberikan masukan berupa fungsi perpustakaan, teknologi perpustaaan, dan media informasi, sedangkan ilmu arsitektur memberikan masukan berupa solusi perencanaan ruang.
9 Berikut adalah penjelasan dari masukan-masukan tersebut (Jakovlevas- Mateckis et al., 2004, pp. 3–4)
Dari sudut pandang perpustakaan:
a. Fungsi perpustakaan
Sekarang ini perpustakaan menjalani fungsi utama dan tambahan. Fungsi utama yaitu layanan umum, pemrosesan media, preservasi, dan fungsi layanan organisasional. Berdasarkan fungsi utama ini, perpustakaan dibagi menjadi 3 ruang, yaitu ruang untuk layanan umum, ruang untuk media (koleksi) perpustakaan, dan ruang untuk staf perpustakaan. Selama ini layanan perpustakaan terorientasi pada pengguna rata-rata, tapi sekarang perpustakaan memperlakukan pengguna sebagai individu dengan kebutuhan dan pendekatan pribadi serta kebutuhan psikologisnya masing-masing.
b. Teknologi perpustakaan
Teknologi perpustakaan merupakan faktor penting dalam merencanakan ruang untuk ketiga hal di atas. Proses teknologi perpustakaan ini dapat dibedakan menjadi 3 skema, yaitu skema ‘way of the media’, skema ‘way of the orders’, dan skema ‘way of the information’. Skema ‘way of the media’
fokus pada bagaimana sistem masuknya koleksi ke dalam perpustakaan, skema ‘way of the orders’ fokus pada bagaimana cara koleksi perpustakaan diolah dan disampaikan kepada pengguna, dan skema ‘way of the information’ fokus pada bagaimana cara perpustakaan mengolah koleksi menjadi bentuk ‘informasi sekunder’ seperti materi audiovisual, dan sebagainya. Di Indonesia, proses ini bisa ditambah dengan skema ‘way of the maintenance’ karena perawatan perpustakaan biasanya merupakan tanggung jawab perpustakaan itu sendiri.
c. Bentuk media informasi
Bentuk media informasi juga menjadi salah satu faktor penting dalam perencanaan perpustakaan. Koleksi seperti apa yang akan disajikan kepada pengguna? Bentuk yang bervariasi akan melahirkan aktivitas yang berbeda- beda dan hal ini membuat perpustakaan menjadi punya lebih banyak macam pengguna, otomatis kebutuhan ruang juga akan bertambah.
10 Dari sudut pandang arsitektur:
d. Solusi perencanaan ruang
Perencanaan ruang untuk perpustakaan dikategorikan dalam tiga struktur umum, yaitu area untuk layanan umum, ruang simpan untuk media informasi, dan area untuk staf perpustakaan. Berdasarkan pengamatan Jakovlevas-Mateckis dan tim terhadap berbagai perpustakaan umum, perpustakaan umum setidaknya berbentuk segi empat dan masif atau monumental, menggunakan kombinasi beton dan baja (kadang ditambahkan kaca untuk menunjukkan transparansi dan keterbukaan) sebagai materialnya, dan memiliki antara satu sampai empat lantai.
Hipotesis serupa juga pernah dikemukakan oleh beberapa ahli maupun orang yang berkecimpung di dunia perpustakaan di Indonesia. Contoh yang penulis temukan adalah jurnal yang ditulis oleh Widiyastuti, seorang mahasiswa Pasca Sarjana Perpustakaan dari UIN Sunan Kalijaga, dan Supardi, seorang pustakawan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam bahasa yang berbeda, Widiyastuti juga menjelaskan adanya interaksi antara bidang ilmu perpustakaan dan bidang ilmu arsitektur ketika menciptakan standar ideal perpustakaan masa kini, yaitu melalui desain interior perpustakaan, kompetensi pustakawan, dan layanan perpustakaan. Layanan perpustakaan itu sendiri terdiri dari layanan koleksi digital, layanan audio-visual, learning common, multitasking, library 2.0, library 3.0, maker space, dan layanan lain. (Widiyastuti, 2017, pp. 5–9)
Sedangkan Supardi menitikberatkan pada teknologi informasi yang sudah seharusnya ada dalam sistem perpustakaan, baik dari koleksi maupun layanan umum, karena teknologi komunikasi sekarang telah menjadi bagian dari gaya hidup. Menurutnya (2018, pp. 47–52), berkembangnya teknologi informasi ini menyebabkan munculnya 2 kategori umum pengguna perpustakaan masa kini, yaitu digital native dan digital immigrant. Kedua istilah ini dikemukakan oleh Marc Prensky pada tahun 2001. Yang disebut digital native adalah istilah yang merujuk pada generasi yang lahir di tengah teknologi yang sedang berkembang atau sudah melaju pesat. Sedangkan yang disebut digital immigrant adalah istilah yang merujuk pada generasi yang hidup sebelum generasi digital berkembang,
11 sehingga semasa hidupnya mereka perlu beradaptasi dengan berkembangnya teknologi yang menyebabkan mereka terlihat gaptek (gagap teknologi). Contohnya adalah orang tua berumur dan kakek nenek. Menyikapi pengguna seperti ini, perpustakaan masa kini perlu menerapkan otomatisasi data untuk mempermudah dan mempercepat sistem pemeliharaan dan penyajian koleksi kepada pengguna.
Hal tersebut memicu munculnya 2 macam perpustakaan masa kini, yaitu perpustakaan digital yaitu perpustakaan serba digital tanpa koleksi fisik dan bisa diakses dari mana pun, dan perpustakaan hibrida yaitu perpustakaan yang menggabungkan koleksi fisik dan koleksi digital.
Kesimpulannya, dari beberapa hipotesis di atas, ada beberapa persamaan yang bisa ditarik sebagai inti hipotesis. Pertama adalah pentingnya interaksi antara ilmu perpustakaan dan ilmu arsitektur untuk menghasilkan desain perpustakaan masa kini yang tepat guna, kedua adalah digitalisasi perpustakaan, dan ketiga adalah pentingnya variasi kegiatan perpustakaan sebagai bangunan yang telah bergeser dari single-use building menjadi mixed-use building.
B. Sistem Dasar Perpustakaan (Sumardji, 1988) 1. Koleksi Perpustakaan
Berdasarkan bentuknya, koleksi perpustakaan terdiri dari:
a. Buku, seperti buku teks, fiksi maupun non-fiksi, dan buku referensi seperti kamus, ensiklopedia, buku pegangan, bibliografi, indek, abstrak, peta, dan sebagainya
b. Penerbitan pemerintah, seperti Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Tambahan Berita Negara, Himpunan Peraturan- peraturan Pemerintah, dan sebagainya
c. Laporan penelitian, paper skripsi, tesis, disertasi d. Majalah, baik yang umum maupun yang khusus e. Surat kabar
f. Karya alihan tulisan-tulisan ataupun cetakan-cetakan yang telah dibuat menjadi film, slide, piringan hitam, tape, dan sebagainya
g. Manuskrip
12 Berikut adalah tabel standar koleksi perpustakaan umum menurut Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2011.
Tabel 2.1. Standar Koleksi Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota
Koleksi
Perpustakaan Perpustakaan Kabupaten/Kota Jumlah (judul)
koleksi perkapita
Sekurang-kurangnya 0,025 per kapita dikalikan jumlah penduduk di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan
Contoh:
< 200.000 jiwa = 5.000 judul 200.000-300.000 jiwa = 7.500 judul 300.000-400.000 jiwa = 10.000
dst (kelipatan 100.000) = penambahan 2.500 judul setiap kelipatannya
Usia koleksi Dalam 5 (lima) tahun terakhir memiliki koleksi sekurang-kurangnya 10% dari jumlah koleksi.
Jenis koleksi Perpustakaan memiliki jenis koleksi anak, koleksi remaja, dewasa, koleksi referensi anak, koleksi referensi remaja/dewasa, koleksi khusus, surat kabar, majalah, dan koleksi non-cetak.
Jenis koleksi perpustakaan mengakomodasikan semua kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan penyandang cacat.
Perpustakaan menyediakan koleksi terbitan lokal dan koleksi muatan lokal.
Koleksi perpustakaan terdiri dari berbagai disiplin ilmu sesuai kebutuhan masyarakat.
Komposisi dan jumlah masing-masing jenis koleksi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pembangunan daerah.
Koleksi referensi Sekurang-kurangnya terdiri dari ensiklopedia, direktori, handbook/manual, kamus, dan majalah indeks.
Sumber: (Sumekar, 2011, p. 33)
13 2. Kegiatan Pokok dalam Perpustakaan
a. Pengadaan Bahan Koleksi
Kegiatan pengadaan bahan koleksi adalah kegiatan mengadakan bahan koleksi untuk dijadikan koleksi perpustakaan. Adapun macam-macam kegiatannya yaitu:
1) Kegiatan pemilihan bahan koleksi, yaitu kegiatan memilih bahan koleksi berdasarkan profesi atau kedudukan para pemakai, macam bahan koleksi, dan bidang ilmu.
2) Kegiatan pelaksanaan pengadaan bahan koleksi, yaitu kegiatan mengusahakan adanya bahan koleksi dengan berbagai macam cara seperti membeli dari penerbit atau sumber tertentu, menerima sumbangan kepada pihak lain, dan tukar-menukar dengan perpustakaan lain.
3) Kegiatan-kegiatan lain, misalnya pendataan mengenai informasi dan sumber bahan, pembaharuan daftar bahan koleksi yang dibutuhkan, membuat laporan pengadaan, dan sebagainya.
b. Pengolahan Bahan Koleksi
Kegiatan pengolahan bahan koleksi ialah kegiatan mempersiapkan bahan koleksi yang telah diperoleh, agar dengan mudah dapat diatur di tempat- tempat atau rak-rak penyimpanan sehingga memudahkan pula untuk dilayankan kepada para pemakai koleksi perpustakaan. Adapun macam- macam kegiatannya yaitu:
1) Klasifikasi, ialah kegiatan mengelompokkan bahan koleksi sesuai dengan macamnya dan bidang ilmunya masing-masing.
2) Katalogisasi, ialah kegiatan membuat kartu-kartu katalog untuk setiap bahan koleksi (buku/pustaka). Sekarang ini katalogisasi juga dilakukan di dalam komputer dengan tujuan agar pengunjung dapat mencari buku dengan lebih mudah.
3) Pelabelan, ialah kegiatan membuat/menulis nomor penempatan (call number) setiap bahan koleksi (buku/pustaka) pada label tertentu,
14 kemudian menempelkannya pada punggungnya masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4) Penyimpanan dan penyusunan koleksi (shelving), ialah kegiatan menyimpan koleksi (bahan koleksi yang telah diolah/diproses sedemkian rupa di atas sampai selesai berarti sudah menjadi koleksi perpustakaan) pada rak-rak buku/pustaka berdasarkan susunan menurut kelompok macamnya dan bidang ilmunya masing-masing maupun urutan nomor penempatan (call number), dan lain-lainnya.
5) Penyimpanan dan penyusunan kartu katalog (filing), ialah kegiatan menyimpan kartu-kartu katalog ke dalam almari katalog (catalog drawer). Jika menggunakan komputer maka katalog akan dimasukkan ke dalam jaringan internal perpustakaan.
6) Kegiatan-kegiatan lain, misalnya melakukan perawatan, pengawetan dan perbaikan bahan pustaka, membuat laporan kegiatan pengolahan, dan lain sebagainya.
Berikut merupakan standar kegiatan perawatan koleksi berdasarkan Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2011.
Tabel 2.2. Standar Operasional Perawatan Koleksi Perpustakaan Umum
Perawatan
koleksi Perpustakaan kabupaten/kota Perawatan
koleksi
Pembasmian serangga perusak bahan pustaka setiap 3 (tiga) tahun sekali.
Perpustakaan menjaga temperatur, cahaya, dan kelembaban ruangan.
Perpustakaan melakukan penjilidan bahan pustaka surat kabar dan majalah sekurang- kurangnya 1 (satu) kali setahun.
Perpustakaan melakukan perbaikan bahan pustaka yang sudah rusak 1 (satu) kali setahun.
Cacah ulang dan penyiangan
Dilakukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali. Jumlah koleksi yang disiangi sekurang-kurangnya berjumlah 0,0125 eksemplar per kapita per tahun.
Sumber: (Sumekar, 2011, p. 34)
15 c. Pelayanan Sirkulasi
Kegiatan pelayanan sirkulasi ialah kegiatan melayankan koleksi perpustakaan kepada para pemakai (pengunjung). Adapun macam-macam kegiatannya yaitu:
1) Membuat peraturan mengenai pemakaian/peminjaman koleksi.
2) Membuat pengumuman tentang pendaftaran anggota perpustakaan (pemakai fasilitas perpustakaan), langsung tertulis di perpustakaan atau lewat iklan pada media massa.
3) Melakukan pendaftaran peminat yang akan menjadi anggota perpustakaan (pemakai fasilitas perpustakaan).
4) Memproses dan mengorganisasikan kartu-kartu keanggotaan perpustakaan.
5) Melayani peminjaman koleksi sirkulasi (koleksi pustaka yang boleh beredar atau boleh dibawa pulang oleh anggota perpustakaan), terutama koleksi buku teks.
6) Memproses kegiatan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota perpustakaan, misalnya menarik denda ketika pengembalian terlambat, 7) Menarik denda terhadap para anggota perpustakaan yang terlambat
mengembalikan pinjamannya, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
8) Mencatat dengan tertib dan teratur semua pemasukan uang pendaftaran anggota perpustakaan maupun uang denda keterlambatan pengembalian koleksi pustaka, untuk kemudian menyetorkannya kepada pejabat/petugas yang berwenang ataupun pimpinan perpustakaan.
9) Melayani permintaan “Surat Bebas Pinjam Pustaka (SBPP)” kepada para anggota perpustakaan yang memerlukan untuk keperluan wisuda/kelulusan, dan lain-lainnya.
10) Membuat laporan tertulis secara berkala tentang kegiatan-kegiatan yang telah dlakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pelayanan sirkulasi.
d. Pelayanan Referensi
Kegiatan pelayanan referensi ialah kegiatan melayankan koleksi perpustakaan, terutama koleksi pustaka acuan (reference books) atau
16 koleksi yang tidak boleh dibawa pulang oleh anggota perpustakaan. Adapun macam-macam kegiatannya yaitu:
1) Melayani para anggota perpustakaan yang memerlukan koleksi pustaka acuan/referensi (reference books).
2) Melayani permintaan fotokopi yang diajukan oleh para anggota perpustakaan sehubungan dengan pemakaian koleksi referensi tersebut.
3) Melayani permintaan penelusuran informasi yang diajukan oleh para anggota perpustakaan ataupun siapa saja yang mengajukan permintaan meskipun bukan anggota perpustaan, dengan syarat-syarat tertentu.
4) Melakukan penyimpanan dan pengaturan kembali (reshelving) koleksi pustaka acuan yang telah dibaca oleh para anggota perpustakaan.
5) Membuat laporan tertulis secara berkala tentang kegiatan-kegiatan yang telah dlakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pelayanan referensi.
e. Pelayanan Administrasi (Umum)
Kegiatan pelayanan administrasi (umum) ialah kegiatan menunjang (perbantuan) kepada semua kegiatan yang dilakukan di dalam perpustakaan.
Adapun macam-macam kegiatannya adalah:
1) Melakukan kegiatan pelaksanaan pekerjaan yang menunjang kegiatan unit lainnya. Kegiatannya terkait dengan pelayanan permintaan/penyediaan seperti barang-barang habis pakai, barang- barang tahan lama, perabotan perpustakaan, dan barang keperluan rumah tangga perpustakaan.
2) Melakukan kegiatan melaksanakan kegiatan yang bersangkutan dengan urusan keuangan.
3) Melakukan kegiatan melaksanakan pekerjaan yang bersangkutan dengan urusan personalia.
4) Melakukan kegiatan melaksanakan pekerjaan yang bersangkutan dengan urusan ketatausahaan (kearsipan) perpustakaan.
5) Melakukan kegiatan melaksanakaan pekerjaan yang bersangkutan dengan pelayanan umum.
17 6) Melakukan kegiatan melaksanakan pekerjaan yang bersangkutan dengan pembuatan laporan tertulis secara menyeluruh mengenai perpustakaan.
3. Struktur Organisasi Perpustakaan
Pada umumnya struktur organisasi perpustakaan terdiri dari:
a. Pimpinan Perpustakaan, yang melakukan kegiatan memimpin seluruh kegiatan yang dilakukan dalam perpustakaan.
b. Unit (Satuan Organisasi/Urusan) Pengadaan Bahan Koleksi.
c. Unit (Satuan Organisasi/Urusan) Pengolahan Bahan Koleksi.
d. Unit (Satuan Organisasi/Urusan) Pelayanan Sirkulasi.
e. Unit (Satuan Organisasi/Urusan) Pelayanan Referensi.
f. Unit (Satuan Organisasi/Urusan) Pelayanan Administrasi.
Struktur organisasi dapat berbeda-beda pada masing-masing perpustakaan, tergantung kebutuhannya. Berikut merupakan struktur organisasi perpustakaan umum kabupaten/kota menurut Standar Perpustakaan Nasional Tahun 2011.
Bagan 2.2. Struktur Organisasi Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota Sumber: (Sumekar, 2011, p. 38)
4. Sarana dan Prasarana Perpustakaan
Berikut adalah tabel standar sarana dan prasarana perpustakaan umum menurut Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2011.
18 Tabel 2.3. Sarana dan Prasarana Perpustakaan
Sarana dan
Prasarana Perpustakaan Kabupaten/Kota
Gedung Luas gedung sekurang-kurangnya 0,008 m2 per kapita dikalikan jumlah penduduk.
Memenuhi standar kesehatan, keselamatan, kenyamanan, ketenangan, keindahan, pencahayaan, keamanan, dan sirkulasi udara.
Perencanaan gedung memungkinkan pengembangan fisik.
Memenuhi aspek teknologi, ergonomik, konstruksi, lingkungan, efektifitas, efisiensi, dan kecukupan.
Berbentuk permanen.
Memperhatikan kekuatan dan memenuhi persyaratan konstruksi lantai untuk ruang koleksi perpustakaan (minimal 400 kg/m2).
Lokasi dan/atau lahan
Berada pada lokasi yang mudah dilihat, dikenal, dan dijangkau masyarakat.
Di bawah kepemilikan atau kekuasaan pihak pemerintah daerah.
Memiliki status hukum yang jelas.
Jauh dari lokasi rawan bencana.
Ruang perpustakaan
Sekurang-kurangnya terdiri dari:
Ruang koleksi.
Ruang baca.
Ruang kepala.
Ruang staf.
Ruang pengolahan.
Ruang serba guna.
Area publik (mushala dan toilet tidak berada di dalam ruang koleksi).
Sarana layanan dan sarana kerja
Sekurang-kurangnya meliputi:
Rak buku (30 buah).
Rak majalah (3 buah).
19 Sarana dan
Prasarana Perpustakaan Kabupaten/Kota Rak audio-visual (2 buah).
Rak buku referensi (7 buah).
Meja baca (100 buah).
Meja kerja (20 buah).
Laci katalog (2 buah).
Kursi baca (100 buah).
Perangkat komputer (5 unit).
Alat baca tuna netra (5 unit).
AC (1 buah).
Rak display buku baru (1 buah).
Rak surat kabar (2 buah).
Jaringan internet.
Lemari penitipan tas (2 buah).
Penyediaan komputer internet
Setiap 100.000 jumlah penduduk, sekurang-kurangnya disediakan 1 unit komputer yang terkoneksi dengan internet.
Perpustakaan memanfaatkan dan mendayagunakan sarana komputer untuk mengembangkan e-library (perpustakaan digital) dan kepentingan pelayanan akses informasi.
Sumber: (Sumekar, 2011, p. 34)
C. Standar Perpustakaan Ideal di Indonesia (Atmodiwirjo & Yatmo, 2009)
1. Kebutuhan dan Tata Ruang dalam Perpustakaan
a. Kebutuhan Ruang sesuai Ruang Lingkup Pelayanan
Secara umum, minimum luas ruang yang dibutuhkan untuk sebuah perpustakaan umum kabupaten/kota adalah 600 m2. Pada dasarnya, setiap perpustakaan umum terdiri dari beberapa kelompok ruang:
1) Ruang Koleksi, dengan ragam jenis koleksi yang terdiri dari koleksi tercetak untuk umum, remaja, anak-anak, koleksi rujukan (referensi), koleksi majalah dan surat kabar, serta koleksi pandang dengar (audio
20 visual) dan akses terhadap koleksi perpustakaan digital (digital library).
Idealnya luas ruang ini dialokasikan sebesar 70% (bersamaan dengan ruang pengguna) dari luas keseluruhan perpustakaan dengan sistem terbuka, sedangkan sistem tertutup sebesar 45%.
2) Ruang Pemanfaatan Koleksi, baik berupa ruang baca ataupun ruang pemanfaatan koleksi pandang dengar dan perpustakaan digital. Pada perpustakaan umum yang menggunakan sistem terbuka (open access), maka ruang pemanfaatan koleksi ini tidak perlu dipisahkan dengan ruang koleksi. Idealnya luas ruang ini dialokasikan sebesar 70%
(bersamaan dengan ruang koleksi) dari luas keseluruhan perpustakaan dengan sistem terbuka, sedangkan sistem tertutup sebesar 25%.
3) Ruang Kerja Petugas, yang disesuaikan dengan besarnya perpustakaan, jumlah petugas yang ada dan jenis layanan yang diberikan di perpustakaan tersebut. Idealnya luas ruang ini dialokasikan sebesar 20%
dari luas keseluruhan perpustakaan.
4) Ruang Penunjang, yang terdiri dari WC, gudang, lobi, ruang pamer, dan ruang pertemuan untuk kegiatan-kegiatan insidentil. Idealnya luas ruang ini dialokasikan sebesar 10% dari luas keseluruhan perpustakaan.
Secara garis besar, ruang-ruang yang minimal diperlukan untuk perpustakaan umum kabupaten/kota menurut Standar Nasional Perpustakaan Tahun 2011 yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.4. Ruang-ruang yang minimal diperlukan dalam perpustakaan. Jenis Ruang Perpustakaan Kabupaten/Kota
Ruang koleksi dan ruang pemanfaatan koleksi
Bahan pustaka umum berkapasitas 30 orang Bahan pustaka remaja berkapasitas 30 orang Bahan pustaka anak berkapasitas 20 orang
Bahan pustaka rujukan (referensi) berkapasitas 20 orang
Ruang koleksi majalah dan surat kabar berkapasitas 20 orang
Ruang koleksi bahan pustaka pandang dengar (audio visual) berkapasitas 20 orang
21 Jenis Ruang Perpustakaan Kabupaten/Kota
Ruang petugas Ruang kerja kepala perpustakaan Ruang kerja tata usaha
Ruang kerja pengelolaan bahan pustaka Ruang kerja pengembangan koleksi
Ruang pelayanan, katalog, dan penitipan tas Ruang
penunjang
Lobi dan ruang pamer
Ruang pertemuan berkapasitas 100 orang Gudang
WC
Lapangan parkir untuk 20 mobil Garasi untuk 4-8 mobil keliling
Sumber: (Sumekar, 2011, p. 35)
b. Prinsip Umum Penempatan Ruang 1) Sistem terbuka (open access)
Perpustakaan umum menggunakan sistem terbuka (open access) di mana pengunjung dapat mencari sendiri koleksi dan memanfaatkannya, sehingga tidak diperlukan adanya pemisahan antara area koleksi dan area pemanfaatan koleksi.
2) Penempatan menurut karakteristik kelompok pengguna
Pengguna perpustakaan umum terdiri dari berbagai kelompok masyarakat dengan berbagai tujuan. Oleh karena itu, penempatan ruang perpustakaan umum perlu adanya kejelasan antara area membaca untuk pembaca serius, area membaca yang memungkinkan diskusi, serta area untuk membaca santai.
3) Penempatan area anak, remaja, dan dewasa
Area untuk anak umumnya lebih didominasi oleh kegiatan membaca santai, diskusi dan pemanfaatan audio visual atau internet. Kegiatan membaca serius umumnya lebih banyak ditemui di area koleksi umum.
Penempatan ruang perlu mempertimbangkan pemisahan antara area untuk kelompok usia yang berbeda, sehingga tidak saling mengganggu.
22 Namun pemisahan tersebut tidak harus dilakukan secara kaku.
Diupayakan agar tetap memungkinkan terjadinya kontak antar area, sehingga orangtua dan anak dapat memanfaatkan area masing-masing dengan bebas namun tetap terhubung satu sama lain.
4) Pemisahan area layanan perpustakaan dan area kegiatan insidentil Pada perpustakaan yang menyediakan fasilitas untuk kegiatan insidentil, seperti ruang pertemuan, lobi, dan ruang pameran, penempatan ruang harus diupayakan agar kegiatan insidentil tidak mengganggu kenyamanan pengguna layanan perpustakaan sehari-hari.
5) Penempatan ruang penunjang
Ruang-ruang penunjang harus mudah dicapai oleh pemakainya dan sesuai dengan karakteristik kegiatan yang didukungnya.
c. Bentuk Ruang Perpustakaan
Pembangunan bentuk perpustakaan hendaknya memperhatikan bentuk ruang yang paling efektif dan ergonomis. Pada umumnya adalah bentuk bujur sangkar, karena paling mudah dan fleksibel dalam pengaturan perabot atau mebel, apalagi bila rak buku yang dimiliki banyak yang lalu lintas yang ramai. Bentuk ini juga paling baik dan mudah dalam pengaturan pencahayaan/penerangan.
Contoh Tata Ruang Perpustakaan Umum
Gambar 2.1. Alternatif 1 Contoh Tata Ruang Perpustakaan Umum Sumber: (Atmodiwirjo & Yatmo, 2009, p. 32)
23 Gambar 2.2. Alternatif 2 Contoh Tata Ruang Perpustakaan Umum
Sumber: (Atmodiwirjo & Yatmo, 2009, p. 34)
2. Prinsip Memenuhi Kenyamanan Pengguna Perpustakaan (Atmodiwirjo &
Yatmo, 2009) a. Pencahayaan
1) Secara umum pencahayaan minimum yang diperlukan untuk ruang perpustakaan adalah sekitar 200 lux. Ruang perpustakaan membutuhkan pencahayaan yang merata pada seluruh area, baik pada area koleksi maupun pada area membaca.
2) Penggunaan sumber cahaya alami perlu dimaksimalkan untuk memberikan penerangan pada siang hari. Namun perlu dipertimbangkan juga agar bukaan jendela tidak terlalu banyak di seluruh dinding, karena bukaan jendela yang terlalu banyak akan mengakibatkan silau.
3) Cahaya matahari yang masuk melalui bukaan jendela harus dapat menyinari ruangan tanpa terhalang.
4) Penggunaan sumber cahaya buatan dapat diterapkan pada saat tertentu, misalnya saat hari mendung atau hujan.
5) Penempatan sumber cahaya tidak boleh langsung menyinari koleksi perpustakaan, karena akan menyebabkan koleksi cepat rusak. Selain itu juga sumber cahaya tidak boleh langsung jatuh menyinari layar monitor,
24 karena akan langsung dipantulkan dan dapat mengakibatkan silau bagi pengguna.
b. Pengudaraan
1) Idealnya sebuah ruang perpustakaan memiliki suhu ruang 20-24°C dan kelembaban berkisar 40-60%. Di Indonesia yang memiliki iklim tropis, pengudaraan buatan dapat diterapkan.
2) Pengudaraan alami dapat diupayakan melalui bukaan jendela atau lubang ventilasi yang memadai. Selain ventilasi atau lubang udara, ketinggian ruangan yang tepat juga dapat mempengaruhi pengudaraan alami dengan sirkulasi udara. Ruangan dengan ketinggian 4 m sudah memiliki sirkulasi udara yang baik.
3) Kondisi pengudaraan yang baik sangat diharapkan pada sebagian besar ruang perpustakaan. Untuk itu maka penempatan perabot dan benda- benda lain dalam ruangan perlu dipertimbangkan agar tidak menghalangi aliran angin dalam ruangan.
c. Kebisingan
Permasalahan kebisingan yang mungkin dapat ditimbulkan dari luar perpustakaan dapat diatasi dengan adanya peredam kebisingan dalam perpustakaan, misalnya tembok yang dilapisi peredam khusus, pepohonan di sekitar perpustakaan, dan lokasi perpustakaan yang agak jauh dari tepi jalan.
d. Warna
1) Warna yang dipilih harus sesuai dengan jiwa pengguna perpustakaan.
Pada bagian untuk anak-anak dapat digunakan warna-warna yang cerah.
Sementara pada bagian untuk remaja dan umum dapat digunakan warna yang memberikan kesan lebih serius tetapi tetap menyenangkan.
2) Ruang perpustakaan umum dapat menggunakan warna-warna netral seperti putih dan krem, serta warna alami kayu yang cukup terang untuk digunakan pada sebagian ruang atau perabot. Penggunaan warna netral seperti ini dapat menjadi latar belakang yang baik bagi bahan koleksi
25 atau materi display yang memiliki berbagai warna dan selalu berubah- ubah. Agar lebih menarik, penggunaan warna netral dapat dilengkapi dengan tambahan satu atau beberapa warna yang cerah di beberapa bagian tertentu untuk memberikan aksen pada ruang.
3) Ruang perpustakaan dapat menggunakan lebih dari satu warna yang dipadukan untuk mewarnai berbagai bagian perpustakaan.
4) Warna-warna yang perlu dihindari adalah warna-warna yang terlalu terang atau menyilaukan. Selain itu warna-warna yang terlalu gelap seperti hitam, abu-abu gelap atau coklat tua juga sebaiknya dihindari.
5) Pada perpustakaan umum yang cukup luas, warna dapat digunakan untuk menandai bagian perpustakaan yang berbeda. Pembedaan ini dapat memudahkan pengguna untuk mencari area yang diperlukannya.
e. Aksesibilitas
1) Ruang perpustakaan harus dapat dicapai dengan mudah oleh pengguna.
Bila perpustakaan hanya terdiri dari satu atau beberapa ruang, sebaiknya ditempatkan pada lantai dasar bangunan, atau menempati bagian bangunan yang mudah dicapai. Pada bangunan perpustakaan yang lebih dari satu lantai, perlu dipertimbangkan akses oleh pengguna kursi roda.
2) Koleksi perpustakaan harus dapat dicapai dengan mudah, baik oleh anak-anak maupun dewasa, sehingga ukuran tinggi rak penyimpanan koleksi harus disesuaikan.
3) Petunjuk-petunjuk yang ada di dalam ruang perpustakaan harus dapat terlihat dengan mudah, baik oleh anak-anak maupun dewasa.
4) Tata letak perabot dalam perpustakaan tidak boleh mempersulit gerak bagi pengguna perpustakaan.
f. Keamanan dan keselamatan
1) Segala kegiatan yang berlangsung di perpustakaan harus dapat diawasi dengan baik oleh petugas perpustakaan harus dapat melakukan pengawasan terhadap pengunjung. Untuk itu maka petugas harus dapat
26 melihat keseluruhan ruang perpustakaan tanpa terhalang perabot atau benda lain.
2) Petugas perpustakaan harus dapat mengawasi keluar masuknya pengunjung, serta mengelola keluar masuknya koleksi perpustakaan.
Untuk itu sebaiknya hanya terdapat satu pintu masuk/keluar perpustakaan.
3) Tempat masuk dan area tangga perpustakaan harus terang, tidak licin, dan tidak terdapat perbedaan ketinggian lantai yang tidak wajar yang dapat mengakibatkan pengguna mudah jatuh atau tergelincir.
4) Tindakan antisipasi perlu dilakukan dalam perencanaan tata ruang perpustakaan untuk menghadapi atau mencegah bahaya-bahaya seperti berikut:
i. Bahaya kebakaran
• Penempatan jalan darurat ke arah luar pada tempat-tempat strategis yang mudah dicapai.
• Pemilihan bahan bangunan yang tidak mudah terbakar.
• Penyediaan alat-alat pemadam kebakaran.
• Alat pendeteksi kebakaran (sistem alarm).
• Pengecekan alat-alat yang mudah mengalami korsleting listrik.
ii. Bencana alam (gempa bumi, angin topan, air hujan, banjir, petir, dan sebagainya)
• Perencanaan ketinggian permukaan lantai dasar lebih tinggi daripada tanah di sekitar bangunan akan menjauhkan dari risiko banjir.
• Sistem drainase pembuangan air hujan tidak boleh menimbulkan genangan pada halaman perpustakaan.
• Perencanaan bangunan yang tahan gempa dengan memenuhi persyaratan material yang kokoh.
• Memasang sistem penangkal petir terutama pada bangunan bertingkat.
iii. Serangan hama
• Pemilihan bahan bangunan yang tahan lama.
27
• Mengurangi celah-celah kecil pada bangunan yang dapat dijadikan rumah tikus.
• Memberikan suntikan anti rayap di sekeliling bangunan.
3. Tata Ruang dan Perabot dalam Perpustakaan (Atmodiwirjo & Yatmo, 2009) a. Area Penerimaan
Area penerimaan merupakan bagian terdepan dari sebuah perpustakaan umum sehingga penataannya akan mencerminkan citra dari keseluruhan layanan perpustakaan. Area penerimaan harus ditata sehingga memberikan kesan menarik dan mengundang, serta memberika berbagai informasi singkat yang membuat pengunjung dapat menangkap keseluruhan layanan perpustakaan.
b. Area Koleksi
Perpustakaan umum menerapkan sistem layanan terbuka, yaitu pengguna perpustakaan dapat memilih dan mengambil sendiri koleksi yang ingin digunakannya. Dalam penataan ruang untuk sistem layanan terbuka, koleksi perpustakaan dapat dikelompokkan tersendiri terpisah dari area membaca, ataupun terintegrasi dengan area membaca.
c. Area Membaca
Area membaca merupakan area penting karena di sinilah pengguna menghabiskan sebagian besar waktunya saat mengakses informasi di perpustakaan. Pada perpustakaan umum dapat disediakan berbagai jenis area membaca, yaitu:
1) Area membaca individu yang ditujukan untuk pembaca serius yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau menggunakan koleksi perpustakaan untuk menyelesaikan tugas tertentu.
2) Area membaca berkelompok yang memungkinkan pembaca untuk melakukan diskusi.
3) Area membaca santai yang disediakan untuk kegiatan membaca yang semata-mata bertujuan untuk rekreasi dan kesenangan.
d. Area Multimedia/Audio-visual
Area ini umumnya ditempatkan dalam satu kelompok tersendiri yang terpisah dari area lain. Pada perpustakaan yang memiliki perlengkapan
28 elektronik cukup banyak maka dapat disediakan area khusus untuk tiap perlengkapan elektronik (misalnya area komputer, area tape recorder, area TV/video) yang dapat diakses kapan saja oleh pengguna. Sedangkan pada perpustakaan dengan peralatan terbatas umumnya peralatan tape, video, dan TV disimpan atau dikunci oleh petugas perpustakaan dan hanya digunakan pada waktu tertentu.
e. Area Kerja Petugas
Pada perpustakaan yang kecil, hanya diperlukan satu area untuk seluruh kegiatan pelayanan, sekaligus sebagai pusat informasi pengguna dan pusat pengawasan seluruh kegiatan perpustakaan. Sebaiknya area pelayanan ditempatkan di dekat pintu masuk sehingga memungkinkan petugas mengawasi keluar masuk pengguna dan kegiatan di seluruh area perpustakaan. Pada perpustakaan yang besar, perlu disediakan area yang berkaitan dengan pelayanan pengguna (seperti meja informasi, meja sirkulasi) yang harus mudah diakses oleh pengguna, serta area kerja yang tidak berhubungan langsung dengan pengguna (ruang kerja, ruang pengolahan koleksi) yang dapat ditempatkan lebih tersembunyi.
f. Area Penunjang
Area-area penunjang ini diperlukan untuk mendukung kenyamanan pengguna perpustakaan, serta mendukung kelancaran kegiatan sehari-hari perpustakaan, contohnya WC dan gudang. Untuk menunjang peranan perpustakaan sebagai pusat kegiatan masyarakat, pada perpustakaan umum dapat disediakan ruang penunjang lain berupa ruang pertemuan serbaguna untuk kegiatan insidentil seperti seminar, workshop, kursus-kursus, dan pameran.
D. Desain Lingkungan Restoratif (RED) 1. Pendahuluan
RED memiliki kaitan dengan bidang ilmu psikologi lingkungan.
Psikologi lingkungan adalah studi tentang hubungan antara individu dengan lingkungan fisiknya (Gifford, 2007 dalam Martin et al., 2011, p. 440). Psikologi lingkungan bekerja dalam tiga level analisis ini: (1) proses dasar psikologis seperti persepsi terhadap lingkungan, kognisi spasial, dan kepribadian karena
29 mereka menyaring dan menyusu pengalaman dan perilaku manusia, (2) manajemen spasi sosial, spasi personal, territorial, keramaian, dan privasi, dan aspek lingkungan fisik dari perilaku kompleks sehari-hari, seperti bekerja, belajar, hidup di dalam komunitas dan tempat tinggal, dan (3) interaksi manusia dengan alam dan peras psikologi dalam perubahan iklim. (Gifford, 2007 dalam Martin et al., 2011, p. 440) Robert Gifford menyatakan bahwa psikologi lingkungan bisa tumbuh berkat adanya gerakan lingkungan berkelanjutan (sustainability) karena studi ini, yang dibawakan melalui perantara psikolog lingkungan, dapat menunjukkan hubungan antara individu (sebagai level analisis tradisional mereka) dengan pembuat kebijakan, dalam pandangan bahwa mereka bisa membantu mengevaluasi penerimaan terhadap perubahan struktur yang diajukan, serta menilai dampak dari perubahan ini dalam perilaku, kesejahteraan, stres, dan kualitas hidup individu (Gifford, 2007, p.
206).
Beberapa teori psikologi lingkungan yang ada yaitu teori beban lingkungan (environmental-load theory), teori hambatan perilaku (behaviour constraints theory), teori level adaptasi (adaptation level theory), dan teori stres lingkungan (environment stress theory). Kelima teori di atas menurut Helmi (1999, pp. 2–8) adalah sebagai berikut.
a. Teori beban lingkungan
Manusia mempunyai kapasitas yang terbatas dalam melakukan pemrosesan informasi. Jika informasi yang didapat lebih besar dari kapasitasnya, ada dua hal yang dilakukan individu; jika informasi tersebut bermakna, individu akan memberi perhatian lebih pada informasi itu, jika informasi tersebut tidak bermakna, individu akan mengabaikannya. Jika informasi yang didapat lebih kecil dari kapasitasnya, individu akan mengalami deprivasi sensori yang bisa menghambat perkembangan yang optimal.
b. Teori hambatan perilaku
Bagaimana manusia memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh. Stimulasi yang berlangsung berlebih atau tak diinginkan menyebabkan arousal (hambatan) dalam kapasitas pemrosesan informasi yang memicu hilangnya kontrol manusia akan situasi yang sedang berlangsung. Untuk mengatasinya, individu akan menegaskan
30 kembali kontrolnya melalui privasi agar individu bisa bebas dan bisa mengontrol dirinya kembali. Dinamika psikologis dari privasi merupakan proses sosial antara privasi, teritorial, dan ruang personal. Privasi yang terlalu besar menyebabkan individu merasa terasing, sedangkan privasi yang terlalu sedikit menyebabkan individu merasa sesak.
c. Teori level adaptasi
Adanya perbedaan individu dalam beradaptasi yang bisa dilihat melalui 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan, yaitu stimulasi (terlalu banyak menyebabkan perasaan sesak, terlalu sedikit menyebabkan perasaan terasing), keanekaragaman (terlalu banyak menyebabkan perasaan overload, terlalu sedikit menyebabkan perasaan monoton), dan keterpolaan (terlalu rumit menyebabkan stimulus susah diprediksi, terlalu jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi).
d. Teori stres lingkungan
Adanya 3 komponen stres, yaitu stressor, proses, dan respon, dan stres terjadi dalam keterkaitan antara ketiganya. Jika sumber stres lebih besar dari kapasitas diri, maka stres negatif akan muncul. Jika sumber stres sama dengan atau lebih sedikit dari kapasitas diri, maka stres positif akan muncul.
Kaitannya dengan stres lingkungan adalah adanya transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stres atau tidak.
e. Teori ekologi
Kesesuaian antara rancangan lingkungan dengan perilaku yang diakomodasikan dalam lingkungan tersebut. Hubungan antara manusia dan lingkungan lebih dijelaskan dari sisi sifat atau karakteristik sosial (menekankan perilaku kolektif), dan dengan mengetahui setting tempat maka dapat diprediksikan perilaku atau aktivitas yang terjadi.
Bisa dilihat bahwa teori-teori dalam psikologi lingkungan pada dasarnya adalah mekanisme reaksi individu dalam merespon lingkungannya.
Manusia senantiasa merespon lingkungan sekitarnya dan sedikit banyak terpengaruh oleh itu. Oleh karena itu, lingkungan sekitar sebenarnya bisa mengubah keadaan mental manusia mungkin tanpa manusia sadari. Menurut
31 Augustin (2009, p. 28), lingkungan mempengaruhi seberapa efektif manusia menjalani hidup. Sebuah tempat memang tidak bisa menentukan baik buruknya hari yang dialami seseorang, tapi sebuah tempat dapat mempengaruhi seseorang menuju hari baik atau buruk.
Lingkungan hidup memiliki pengaruh sangat besar terhadap kesejahteraan hidup manusia. Menurut penelitian, manusia sebenarnya menghabiskan sekitar 90% waktu sehari untuk beraktivitas di dalam ruangan.
Desain tempat-tempat manusia beraktivitas ini kebanyakan tidak didesain secara restoratif, melainkan dengan efisiensi, nilai ekonomi, dan kegunaan/fungsi. Tidak banyak perancang yang sadar akan fakta bahwa lingkungan hidup kita memengaruhi mood, kesehatan, dan perilaku manusia.
Segala pilihan yang dipilih dalam mendesain, seperti material, bentuk, dan warna, mempengaruhi kita tanpa disadari, dan mereka membentuk pengalaman spasial (meruang) kita. (Nousiainen et al., 2016, p. 15)
Manusia sejatinya adalah bagian dari alam. Munculnya kemampuan manusia untuk beradaptasi, memproses informasi, atau menjaga privasinya, semuanya akibat manusia yang terbiasa merespon alam yang memiliki fenomenanya sendiri. Oleh karenanya, keadaan mental manusia terbentuk berdasarkan proses evolusi itu. Fenomena ini disebut dengan istilah ‘biophilia hypothesis’ (Nousiainen et al., 2016, p. 16). Manusia masih membawa kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan nenek moyang, contohnya seperti menolak untuk memunggungi pintu yang terbuka atau spasi yang luas karena takut ada bahaya yang bisa menyergap seperti serangan hewan buas (Augustin, 2009, p. 25). Dari sinilah muncul teori mengenai ‘desain restoratif’ alias desain yang membawa kembali manusia untuk hidup selaras dengan alam dan mengembalikan atau memulihkan keadaan mental manusia seperti sediakala atau sesuai dengan kapasitasnya.
2. Pengertian dan Pemicu Desain Lingkungan Restoratif
Desain Lingkungan Restoratif (Restorative Environmental Design) adalah teori pendekatan desain yang tertuju pada dua hal, yaitu strategi dampak-rendah-pada-lingkungan (low-environmental-impact) yang meminimalisir dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan alam, serta
32 dampak lingkungan yang positif atau desain biofilik (biophilic) yang mendorong kontak menguntungkan antara manusia dan alam dalam bangunan dan lanskap modern (Kellert et al., 2008, p. 5). Restoratif itu sendiri yang dalam bahasa Inggrisnya ‘restorative’, menurut Cambridge Dictionary artinya
‘sesuatu yang membuat kita merasa lebih baik atau lebih bertenaga ketika kita sedang merasa lelah atau sakit’. Pengertian ini memiliki makna bahwa
‘restoratif’ punya kemampuan untuk ‘menyembuhkan atau mengembalikan keadaan kita seperti sedia kala’. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa ‘restoratif’
artinya ‘yang menyembuhkan, yang memulihkan, yang mengembalikan’. Jadi, poin penting dalam RED adalah bagaimana desain suatu lingkungan buatan dapat membantu manusia untuk tetap terhubung dengan alam sebagai suatu kebutuhan dasar untuk menyembuhkan atau memulihkan manusia, tanpa mengabaikan pentingnya keberlangsungan bangunan atau lanskap modern itu sendiri sebagai bagian dari alam.
Teori ini muncul akibat menjauhnya hubungan manusia dan alam akibat rancangan lingkungan buatan yang terlalu ‘asing’. Hasil dari berkembangnya teknologi modern membuat manusia percaya bahwa mereka dapat melampaui warisan alami dan genetik mereka. Anggapan ini mendorong pandangan manusia sebagai organisme yang telah lolos dari aturan alam, dengan kemajuan manusia dan peradaban yang diukur dari kapasitasnya untuk mengubah dunia alami secara fundamental. Ilusi berbahaya ini telah meningkatkan praktik arsitektural yang memicu eksploitasi berlebihan, degradasi lingkungan, dan pemisahan manusia dari sistem dan proses alam. (Kellert et al., 2008, p. viii)
Urbanisasi juga mendorong perubahan keberagaman alami menjadi homogen, mengonsumsi banyak sumber daya dan material, serta membuat banyak sekali polutan dan limbah. Saat ini, lingkungan urban modern mengonsumsi sekitar 40% sumber energi, 30% sumber daya alam, dan 25% air bersih sementara menghasilkan sepertiga polutan udara dan air dan 25% limbah padat. (Kellert, 2005:2)
33 3. Konsep Desain Lingkungan Restoratif
a. Kombinasi dari Desain Berkelanjutan dan Desain Biofilik
RED merupakan konsep baru dari desain berkelanjutan (sustainability design) yang fokus pada isu terputusnya koneksi antara manusia dan alam dan juga praktik dari bangunan-bangunan berkelanjutan (Ibrahim, 2018, pp. 16–17). Menurut Kellert (2005, p. 4), pendekatan berkelanjutan hanya sebatas fokus pada peran manusia terhadap alam, belum mempertimbangkan bahwa manusia sebagai salah satu komponen sistem alam juga butuh untuk dipedulikan dengan mempertimbangkan apa yang alam bisa berikan kepada manusia. Dalam jajak pendapat yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara lainnya, kebanyakan responden berkata bahwa lingkungan itu penting. Manusia sangat percaya bahwa lingkungan alam sangat memengaruhi kesejahteraan fisik, psikologis, dan moral mereka, sampai kepercayaan itu tercermin pada preferensi, kreasi budaya, dan konstruksi manusia. (Kellert, 2005, p. 2)
Oleh karena itu, Kellert mencetuskan ide desain biofilik sebagai solusi atas permasalahan tersebut, sehingga RED merupakan kombinasi dari ide desain berkelanjutan (sustainable design), atau yang Kellert sebut sebagai desain yang berdampak rendah pada lingkungan (low- environmental-impact design), dan desain biofilik (biophilic design) (Kellert, 2005:4), seperti yang tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 2.5. Perbandingan fitur desain berkelanjutan dan desain biofilik.
Jenis Sumber
Daya Desain Berkelanjutan Desain Biofilik
Material
Menggunakan material
daur ulang Material alami
Massa termal tinggi Bentuk dan fitur alami Penggunaan energi rendah Transformabilitas Material bangunan alami
Air
Pemeliharaan dan daur ulang air
Langsung ke alam (seperti kolam atau lingkungan basah buatan)
Pengumpulan air hujan
Energi Energi terbarukan Pola cahaya yang bervariasi
34 Jenis Sumber
Daya Desain Berkelanjutan Desain Biofilik
Solar pasif Cahaya alami
Cahaya siang hari Hubungan dengan tempat
Pekerja lokal
Tanah dan ekosistem
Meminimalisir gangguan tanah, bekerja sesuai bentuk dan proses alami tanah
Hubungan ekologi dengan tempat Atap hijau (green roofs)
dan taman vertikal (vertical gardens)
Berhadapan langsung dengan tumbuhan dan hewan
Membangkitkan (suasana) alam melalui bentuk dan fitur alami
Transformabilitas
Sumber: (Kellert & Derr, 2013, p. 3)
1) Desain yang Berdampak Rendah pada Lingkungan/Berkelanjutan Menurut Kellert (2005b, pp. 102–120) desain berkelanjutan memiliki lima kategori dampak, yaitu:
a) Pemakaian dan efisiensi energi (Kellert, 2005b, p. 106)
Cara efektif untuk mencapai efisiensi energi adalah dengan melalui desain bangunan pintar yang menggunakan dan bergantung pada lebih sedikit sistem intensif mekanikal energi, dilabeli dengan istilah
‘desain pasif’. Desain pasif bertujuan untuk mencapai efisiensi penggunaan energi dengan memanfaatkan bentuk, orientasi, aliran udara, dan material bangunan untuk mengontrol dan memanipulasi suhu air, cahaya, panas, angin, udara, iklim, dan tanah. Contohnya, mengoptimalkan orientasi bangunan ke arah matahari, membuatnya menyimpan dan mengeluarkan udara panas dan dingin melalui penggunaan material dan bentuk tertentu. Energi juga bisa disimpan menggunakan material berat (seperti bata dan batu) dalam struktur bangunan yang ketika dikombinasikan dengan inovasi desain seperti
35 ventilasi atrium (aula besar tanpa atap) dan cerobong asap, dapat mendistribusikan udara panas dan dingin dan mengontrol perubahan suhu dengan lebih efisien.
b) Penggunaan produk, material, dan sumber daya (Kellert, 2005b, p.
111)
Harus mengikuti:
• Sedikit atau tiadanya emisi berbahaya.
• Sedikit atau tiadanya bahan kimia yang mengubah iklim atau merusak ozon.
• Banyak menggunakan material yang bisa didaur ulang atau digunakan kembali.
• Material yang mudah diurai secara biologis (biodegradable).
• Material yang tahan lama dengan perawatan minimal.
• Sumber daya yang dapat dipanen secara berkelanjutan.
• Memilih sumber daya lokal daripada sumber daya yang dikirim atau dibuat jarak jauh.
c) Limbah dan pengelolaannya (Kellert, 2005b, p. 115)
Air limbah berpotensi untuk didaur ulang di tempat dari lubang pembuangan, shower, air hujan dan bahkan air selokan. Air hujan dapat dimanfaatkan dengan memasang tadah di rooftop, tangki penampung bawah tanah, dan lingkungan air buatan yang menangkap dan memanen presipitasi, yang kemudian digunakan dalam operasional eksternal atau internal bangunan. Salah satu contoh inovatif pengolahan limbah air bekas adalah pengaplikasian sistem ‘mesin hidup’ yang dikembangkan oleh John dan Nancy Todd, yang memproses air limbah tersebut melalui beberapa langkah metabolik. Sistem ini meliputi mikroorganisme dan tumbuhan yang ‘mencerna’ dan ‘menjernihkan’ limbah air, kemudian airnya digunakan dalam bangunan, seperti untuk toilet, irigasi, estetika dan rekreasi, bahkan produksi ikan. Mikroorganisme dan tumbuhan tersebut meliputi bakteri aerobik dan anaerobik, alga, tumbuhan, bahkan ikan dan udang-udangan (Crustacea).
36 Gambar 2.3. Sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan
mikroorganisme dan tumbuhan.
Sumber: (Kellert, 2005b, p. 116)
d) Kualitas lingkungan indoor atau IEQ (indoor environmental quality) (Kellert, 2005b, p. 117)
IEQ dicapai dengan semaksimal mungkin mengurangi penggunaan produk yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti formaldehida atau bahan karsinogenik, karena tidak mungkin kita mengecek satu-satu bahan pembuatan material atau produk yang digunakan. Yang terpenting kita memaksimalkan pergantian udara dengan menggunakan sistem ventilasi yang tepat sekaligus untuk meminimalisir ruang yang terlalu lembab.
e) Dampak ekologis dan alam liar (Kellert, 2005b, p. 118)
Dengan meminimalkan efek merugikan bangunan terhadap sistem ekologi dan keanekaragaman biologis. Bangunan dapat memberi pengaruh dengan cara membuat lingkungan air buatan atau menyisihkan area untuk hewan dapat makan dan berkembang biak, lalu memodifikasi desain untuk mengurangi dampak langsung kematian hewan liar, seperti penggunaan kaca yang kurang reflektif untuk meminimalisir kematian burung akibat menabrak kaca pada bangunan tinggi.
2) Desain Biofilik
Menurut Kellert (2008, pp. 5–6) desain biofilik memiliki dua dimensi, yaitu:
37 a) Dimensi organik
Dimensi organik didefinisikan sebagai bentuk dalam lingkungan buatan yang secara langsung, tidak langsung, atau simbolik mencerminkan ketertarikan manusia pada alam. Pengalaman langsung mengacu pada kontak tidak terstruktur dengan fitur lingkungan alam yang berdiri sendiri seperti cahaya siang hari, tumbuhan, hewan, habitat alami, dan ekosistem. Pengalaman langsung manusia ke alam meliputi kontak langsung seperti cahaya matahari, tumbuhan, hewan, habitat alami, dan ekosistem.
Pengalaman tak langsung meliputi kontak dengan alam yang membutuhkan tangan manusia untuk bertahan hidup seperti tumbuhan dalam pot, air mancur, atau akuarium. Sedangkan pengalaman simbolik meliputi representasi alam melalui gambar, lukisan, video, metafor, dan sebagainya.
b) Dimensi vernakuler
Dimensi vernakuler definisikan sebagai bangunan dan lanskap yang terhubung ke budaya dan ekologi dari suatu area geografis atau lokal. Dimensi ini mencakup apa yang disebut indra atau, apa yang disebut oleh seorang biolog pemenang Penghargaan Nobel René Dubos dan seorang arsitek Frederick Law Olmsted, ‘semangat suatu tempat’, menggarisbawahi bagaimana bangunan dan lanskap yang berharga bagi masyarakat menjadi satu dengan identitas individu atau kolektif mereka, secara metaforik mengubah hal tak bergerak menjadi sesuatu yang terlihat hidup dan seringkali mempertahankan hidup. (Kellert et al., 2008, p. 165) Tanpa hubungan vernakuler terhadap budaya dan ekologi tempat tersebut, bangunan dan lanskap terbangun jarang bertahan dalam jangka waktu yang lama. Tanpa komitmen mendalam dan perasaan ingin merawat tempat tersebut, manusia umumnya tidak mencurahkan sumber daya fisik, emosional, maupun intelektual yang diperlukan untuk mempertahankan pencapaian arsitektural ini dalam jangka waktu yang lama (Kellert et al., 2008, p. 165).
38 b. Kenyamanan dan Stres dalam RED
1) Kenyamanan
Kenyamanan sebenarnya memiliki banyak definisi dan banyak faktor yang bisa membuat seseorang merasa nyaman, bahkan justru tingkat kenyamanan itu menjadi sesuatu yang sulit diukur jika tidak ada variabel pasti karena sifatnya yang subjektif. Sanders dan McCormick mengilustrasikan kenyamanan sebagai suatu kondisi perasaan dan sangat tergantung pada orang yang mengalami situasi tersebut. (Sanders dan McCormick, 1993, dalam Iskak & Andriani, 2015, p. 33) Hal ini dijelaskan salah satunya oleh Ortiz dkk. (2017, p. 324) yang mengemukakan bahwa kenyamanan pada bangunan dipelajari secara tradisional dari perspektif fisika lingkungan dan fisiologi penghuni.
Ortiz dkk. (2017, p. 324) menulis berbagai definisi kenyamanan dari berbagai disiplin ilmu, yaitu:
a) IEQ (Indoor Environment Quality)
Kenyamanan dipandang dari perspektif fisiologis-teknologi dan dideskripsikan melalui parameter berikut: visual (dengan aspek seperti pemandangan, iluminansi, dan pantulan), termal (kecepatan udara, kelembaban, dan suhu), akustik (kontrol suara yang tak diinginkan, getaran, dan gema), dan kualitas udara (bau, iritan atau hal yang mengganggu, udara di luar (outdoor), dan ventilasi).
(Bluyssen, 2009 dalam Ortiz et al., 2017, p. 324) b) Kesehatan masyarakat
Kenyamanan merupakan konsep dari dua dimensi. Dimensi pertama terdiri dari tiga tingkat: ‘lega’ yang berupa perasaan terpenuhinya kebutuhan tertentu, ‘ringan’ yang berupa kondisi tenang dan bahagia, dan ‘transenden’ merujuk pada kondisi di mana pasien lepas dari masalah atau rasa sakit. Dimensi kedua berhubungan dengan konteks ketika kenyamanan itu terjadi, bisa berupa fisik (perasaan tubuh), psikospiritual (inner self), sosial (hubungan dengan keluarga atau budaya), maupun lingkungan (cahaya. bising, suhu, sensasi). (Kolcaba, 1994 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) c) Ergonomi
39 Kenyamanan adalah kemudahan dan kepuasan terhadap lingkungan atau produk yang memfasilitasi kinerja. (Kolcaba, 1991 dalam Ortiz dkk) Dalam ilmu ergonomi, kenyamanan didominasi oleh
‘kenyamanan ketika duduk’ dalam ergonomi kursi, merujuk pada
‘estetika dan keempukan, relaksasi, sejahtera, perasaan lega, dan energi’. (Helander, 2003 Ortiz et al., 2017, p. 325)
d) Holistik (keseluruhan)
Beberapa penulis mengemukakan definisi integratif tentang kenyamanan yang juga mencakup dimensi kognitif. Slater (1985 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengemukakan bahwa kenyamanan adalah ‘kondisi fisiologis, psikologis, dan harmoni fisik yang menyenangkan antara manusia dan lingkungannya’. De Looze dkk (2003 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengemukakan bahwa di antara berbagai definisi tentang kenyamanan, ada tiga elemen yang selalu muncul, yaitu ‘konstruksi dari alam personal subjek yang terdefinisikan’, ‘terpengaruhi oleh faktor dari bermacam-macam sifat (fisik, fisiologis, psikologis), dan ‘merupakan reaksi dari lingkungan’.
e) Domestik
Heijs dan Stringer (1987 dalam Ortiz et al., 2017, p. 325) mengajukan elemen spesifik kenyamanan dalam konteks domestik, mengimplikasikan tempat tinggal. Elemen tersebut adalah kenyamanan perseptual, kenyamanan interaktif, kenyamanan fasilitatif, dan kenyamanan personalisasi. Elemen ini merujuk pada kemampuan kontekstual yang membuat penghuni mampu mengeluarkan perilaku terkait tempat tinggalnya melalui ikatan emosional dan identifikasi diri.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, karena RED mengikutsertakan elemen manusia dan alam lingkungan dalam konsepnya, maka konsep kenyamanan berdasarkan disiplin ilmu IEQ dan holistik adalah konsep yang sejalan dengan maksud dan tujuan RED. Sehingga kenyamanan dilihat dari disiplin ilmu RED bisa didefinisikan sebagai ‘kondisi
40 fisiologis, psikologis, dan harmoni fisik yang menyenangkan individu terhadap dirinya dan lingkungannya yang mencakup visual, termal, akustik, dan kualitas udara’.
2) Stres
Seperti kenyamanan, istilah ‘stres’ juga memiliki banyak definisi. Orang yang pertama kali mengembangkan teori tentang stres adalah Hans Selye, seorang endrokinolog berkebangsaan Hungaria- Kanada yang hidup dari tahun 1907 sampai 1982. Menurut Selye (Selye, 1956 dalam Charlton, 1992, p. 156), stres adalah respon non- spesifik tubuh terhadap sebuah permintaan. Stres terbagi menjadi 3, yaitu stres sebagai stimulus, respon non-spesifik, dan kombinasi keduanya. (Charlton, 1992, p. 156)
Augustin (Augustin, 2009, p. 46) mengemukakan bahwa stres punya sedikit pengaruh dalam restorasi, namun karena stres dan restorasi sering membuat bingung, maka diperlukan definisi jelas tentang stres dalam konsep restorasi atau RED. Menurut Evans dan Cohens (1987 dalam Augustin, 2009, p. 46) stres terjadi ketika sesuatu yang terjadi di lingkungan seorang individu mengalihkan dia dari melakukan apa yang dia suka. Pengalihan ini membuat individu stres karena ketika kejadian tersebut sifatnya tidak biasa atau tidak terduga, bahkan membuat tidak nyaman, individu akan memusatkan perhatian pada kejadian tersebut dan ketika pengalihan itu membuat individu tidak fokus terhadap apa yang mau dia lakukan, itu membuat stres (Augustin, 2009, p. 46). Seperti halnya juga kenyamanan, stres itu subjektif. Jika individu mengalami hal yang menurutnya membuat stres, dia akan stres (Augustin, 2009, p. 46). Sehingga, pengertian stres dalam konsep RED adalah ‘segala hal yang membuat individu merespon secara non-spesifik sehingga tidak bisa memfokuskan diri kepada kegiatan yang sedang dilakukan’.
Dari definisi di atas, RED membantu menghadirkan lingkungan yang dapat membantu membuat manusia rileks karena salah satu prinsip RED adalah ‘membawa kembali manusia ke alam karena hubungan
41 manusia dan alam selama ini terputus akibat eksploitasi lingkungan’.
Seperti yang dikemukakan oleh Augustin (2009, p. 25) manusia masih membawa kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan nenek moyang, contohnya seperti menolak untuk memunggungi pintu yang terbuka atau spasi yang luas karena takut ada bahaya yang bisa menyergap seperti serangan hewan buas. Dengan membawa manusia kembali ke alam, manusia diajak untuk mengingat kembali hakekat mereka, sehingga mengurangi penyebab stres yang dewasa ini sering terjadi dalam kesibukan sehari-hari dan muncul rasa nyaman.
c. Bukti Empiris Manfaat RED (Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, pp.
110–111)
1) Peneliti dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, menemukan bahwa pasien yang melihat pemandangan alam sebelum melakukan prosedur bronkoskopi (pemeriksaan paru-paru dan saluran udara menggunakan alat bernama bronkoskop) dan mendengarkan suara gelembung air selama prosedur, memiliki kontrol sakit yang sangat baik mencapai 50%, dibanding pasien yang tidak melihat dan mendengarnya sebelum dan selama prosedur. (Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, p. 110)
2) Frances Kuo, William Sullivan, dan teman kampusnya di Universitas Illinois, Amerika Serikat, mempelajari studi kasus di sebuah komplek apartemen bernama Chicago’s Robert Taylor Homes di Amerika Serikat. Komplek tersebut memiliki 28 bangunan tinggi yang terbangun sepanjang lahan sepanjang 3 mil (kurang lebih 4,8 km). Beberapa di antaranya dikelilingi oleh pepohonan yang sejuk, sedangkan sisanya berhadapan dengan tanah tandus. Penelitian dibatasi kepada penghuni apartemen lantai bawah untuk memastikan bahwa mereka bisa melihat pepohonan itu. Hasilnya, penghuni yang ada di bangunan yang dikelilingi oleh pepohonan memiliki tingkat disiplin dan konsentrasi yang lebih tinggi, kekerasan dan tindakan agresif lainnya berkurang, tingkat kriminal rendah, dan relasi interpersonal yang lebih baik. ((Kuo
42 2001, Kuo dan Sullivan 2001a, 2001b, Taylor dkk. 2002 dalam Frumkin dalam Kellert et al., 2008, pp. 110–111)
3) Ernest Moore, seorang arsitek dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, pada tahun 1981 melakukan eksperimen di Penjara Negara Bagian Michigan Selatan. Setengah dari narapidana (kelompok pertama) dimasukkan dalam sel penjara yang menghadap dinding luar penjara, jendelanya menampilkan pemandangan berupa pertanian aktif dan pepohonan, dan setengahnya lagi (kelompok kedua) ke dalam sel yang menghadap lapangan penjara. Narapidana kelompok kedua memiliki frekuensi permintaan layanan kesehatan 24% lebih banyak dibanding kelompok pertama. Pada waktu itu karena Moore tidak bisa mengidentifikasi fitur desain yang bisa menjelaskan fenomena ini, Moore mengatakan bahwa pemandangan itu ‘mungkin bisa menurunkan stres’. (Moore, 1981 dalam Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, p.
111)
4) Roger Ulrich meneliti sebuah rumah sakit di pinggiran Pennsylvania, Amerika Serikat. Pada lantai bedah yang memiliki sekitar 200 ranjang pasien, beberapa ruangan di antaranya menghadap pepohonan yang gugur, sedangkan ruangan lainnya menghadap dinding bata coklat.
Hasilnya, pasien yang dirawat di ruangan yang menghadap pepohonan memiliki masa rawat lebih pendek (7,96 hari dari 8,70 hari), membutuhkan lebih sedikit obat pereda sakit, lebih sedikit meninggalkan komentar buruk pada catatan perawat, dibandingkan dengan pasien dalam ruang yang menghadap dinding bata. (Ulrich, 1984 dalam Frumkin dkk. dalam Kellert et al., 2008, p. 111)
4. Aspek dan Implementasi RED (Ibrahim, 2018, pp. 26–29) a. Merasa jauh
‘Merasa jauh’ artinya kemampuan untuk merasa jauh dari penyebab stres yang biasa terjadi dalam kehidupan modern sehari-hari, seperti kebisingan, keramaian yang padat dan tak tentu, dan bahkan rutinitas kerja sehari-hari.
(Kaplan dalam Ibrahim, 2018, p. 18). Elemen alam seperti air, tanaman, hewan, cuaca, dan api penting dalam kehidupan manusia dan pengalaman
43 positifnya dalam lingkungan buatan dapat menurunkan stres, memunculkan rasa puas, dan meningkatkan kesehatan dan performa.
1) Air: akuarium, air terjun kecil, wadah air (kolam, sungai buatan), atau konstruksi alam basah buatan.
2) Tanaman: vegetasi di interior bangunan dan lanskap buatan, terutama tanaman bunga-bungaan, harus terhubung secara lokal dan ekologi.
3) Hewan: dapat dicapai melalui atap hijau (green roofs), taman, akuarium, taman burung, atau bisa juga dengan teknologi buatan seperti video dan kamera web.
4) Cuaca: bisa dicapai dengan eksposur terhadap kondisi di luar (outdoor) dan juga sebagai penyedia panorama di dalam bangunan dengan jendela besar atau bukaan besar seperti balkon, taman, dan sebagainya.
5) Lanskap dan ekosistem alami: dengan cara menanam pohon, bawah tanah yang terbuka, kehadiran air, yang ditutup dengan dominasi manusia atau buatan. Bisa dicapai dengan membuat konstruksi alam basah buatan, taman, rerumputan, atap hijau (green roofs), lingkungan air tersimulasi, dan sebagainya.
6) Api: dapat dicapai dengan, secara sederhana, memberi tempat untuk perapian. Selain itu bisa juga dengan desain kreatif terhadap cahaya, warna, pergerakan, dan material dari konduksi panas yang bervariasi.
b. Terhubung dan terjangkau
Menurut Kaplan (dalam Ibrahim, 2018, p. 18), keinginan manusia untuk melepaskan diri muncul dengan perasaan terhubung pada lingkungannya dan teritorinya. Maksudnya, jika seseorang berada pada suatu lingkungan yang menurutnya familiar atau ada sesuatu yang membuatnya teringat akan memori masa lalu, maka dia akan bisa menerka apa yang akan terjadi dalam lingkungan itu dan hal itu akan mengurangi kecemasannya. Jika responnya terhadap lingkungannya positif, keinginannya untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari-harinya bisa terjadi. Orang itu akan mencari sesuatu yang baru yang belum pernah dia temukan sebelumnya. Aspek ‘terhubung’
digunakan untuk menggambarkan perasaan larut dalam lingkungan. Aspek
‘terjangkau’ dicapai melalui pengalaman yang dipresentasikan dan berkelanjutan. Keduanya mencakup:
44 1) Cahaya. Cahaya alami dapat menciptakan bentuk-bentuk yang unik melalui interaksi kreatif terhadap cahaya dan bayangan, jenis cahaya yang bervariasi, dan integrasi cahaya dengan peralatan spasial. Bisa dicapai dengan memasang dinding kaca, atap transparan (skylight), atau penggunaan material dan warna yang reflektif.
2) Udara. Meningkatkan pengalaman terhadap penghawaan alami dalam variasi penghawaan interior bangunan, yang bisa dicapai dengan desain penghawaan yang baik seperti penggunaan jendela atau strategi teknologi.
3) Material alami. Meliputi material dekoratif dan alami seperti kayu, batu, wol, kapas, kulit, yang digunakan dalam berbagai produk interior dan eksterior.
4) Warna alami. Dicapai dengan mengimplementasikan warna-warna bumi seperti warna tanah, batu, dan tanaman.
5) Menciptakan suasana alami. Bisa dicapai melalui prinsip desain imajinatif dan fantastik yang merepresentasikan alam.
6) Prospek dan perlindungan. Dapat dicapai melalui semacam strategi desain seperti pemandangan keluar jendela, hubungan visual antar ruang interior, dan penyesuaian keamanan dan perlindungan.
7) Integrasi per bagian menuju keseluruhan. Seringkali bisa dicapai melalui hubungan antar ruang yang berurutan, dengan garis besar yang jelas. Integrasi ruang ini ditingkatkan oleh poin utama yang muncul secara fungsional atau tematis.
8) Ruang transisional. Tergantung pada hubungan yang jelas dipahami antar ruang yang difasilitasi oleh pergerakan yang jelas dan dapat dilihat. Ruang transisional meliputi teras, gerbang, aula, atau area yang menghubungkan indoor dengan outdoor seperti pekarangan dan sebagainya.
9) Mobilitas dan mencari jalan. Dengan cara mengatur pergerakan yang bebas antara ruang-ruang yang terhubung secara kompleks dan beragam, dan lorong atau pintu masuk yang pentng untuk menumbuhkan mobilitas dan perasaan aman.