• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jintan Hitam

2.1.1 Deskipsi Jintan Hitam

Jintan hitam merupakan tanaman herbal berbunga tahunan (Achyad dan Rasyidah 2000). Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Ekologi dan penyebaran tanaman ini tumbuh mulai dari daerah Levant, kawasan Mediterania timur sampai ke arah timur Samudera Indonesia, dan dikenal sebagai gulma semusim dengan keanekaragaman yang kecil. Budidaya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Hutapea 1994).

Klasifikasi jintan hitam menurut Hutapea (1994) adalah: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranunculales Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella

Spesies : NigellasativaL.

Deskripsi tanaman jintan hitam menurut Hutapea (1994) adalah sebagai berikut :

Batang : Warna batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar, rapat atau jarang dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar.

Daun : Bentuk daun lanset garis (lonjong), panjang 1,5 sampai 2 cm. Merupakan daun tunggal yang ujung dan pangkalnya runcing, tepi berigi dan berwarna hijau. Pertulangan menyirip dengan tiga tulang daun yang berbulu seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Daun jintan hitam (Sumber: Muharam 2010).

Bunga : Daun pembalut bunga (kelopak bunga) kecil, berjumlah lima, berbentuk bundar telur, ujungnya agak meruncing sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar. Merupakan bunga majemuk dan berbentuk karang. Mahkota bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih kekuningan, agak memanjang, lebih kecil dari kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek. Bibir bunga ada dua, bibir bunga bagian atas pendek, berbentuk lanset dengan ujung memanjang berbentuk benang (Gambar 2). Ujung bibir bagian bawah tumpul, benang sari banyak, dan gundul. Kepala sari jorong, sedikit tajam, dan berwarna kuning. Tangkai sari berwarna kuning.

Gambar 2 Bunga jintan hitam (Sumber: Fatoni 2011). Akar : Tunggang, cokelat

Buah : Polong, bulat panjang, dan cokelat kehitaman.

Biji : Kecil, bulat, hitam, berkeriput tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut, panjang 3 mm, berkelenjar (Gambar 3).

dua rupa, yaitu jintan putih dan jintan hitam. Jintan putih lebih sering digunakan sebagai bumbu masak dibanding jintan hitam. Khusus jintan hitam ternyata banyak mengandung khasiat untuk mengatasi berbagai penyakit. Di beberapa daerah, biji yang juga disebut jintan hitam pahit di Malaysia ini juga digunakan sebagai peluruh keringat, peluruh kentut, obat perangsang, peluruh haid, serta memperlancar air susu ibu (Anonim 2009).

Jintan hitam memiliki banyak kegunaan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan. Beberapa kegunaan jintan hitam adalah sebagai berikut : a. Memperkuat sistem kekebalan tubuh

Jintan hitam meningkatkan rasio antara sel-T helper dengan sel-T penekan (supressor) sebesar 55-72%, yang mengindikasikan peningkatan aktivitas fungsional sel pembunuh alami dan efek jintan hitam sebagai imunomodulator (El-Kadi et al. 1989; Haq et al. 1999). Kandungan timokuinon pada jintan hitam menstimulasi sumsum tulang dan sel imun, produksi interferon, melindungi kerusakan sel oleh infeksi virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi sel-B (Gali-Muhtasib et al. 2007).

b. Memiliki aktivitas anti-histamin

Histamin adalah zat yang diproduksi oleh jaringan tubuh yang dapat menyebabkan reaksi alergi dan berhubungan dengan suatu kondisi seperti asma bronchial. Salah satu zat aktif yang diisolasi dari minyak atsiri jintan hitam adalah nigellone (bentuk dimer dari ditimokuinon) yang memiliki aktivitas anti-histamin, sehingga dapat digunakan untuk terapi asma bronkhial dan penyakit alergi lainnya; mekanisme kerja nigellone sebagai anti-histamin adalah dengan menghambat aktivitas protein kinase C dan menurunkan pengambilan kalsium dari sel yang berguna menghambat aktivitas fungsional enzim fosfolipase A2 pada metabolisme prostaglandin (Chakhravarthy 1993).

c. Aktivitas anti-tumor

Salomi et al. (1992) mengemukakan bahwa asam lemak berantai panjang yang berasal dari jintan hitam dapat mencegah pembentukan Ehrlich Ascites Carcinoma (EAC) dan sel Dalton’s Lymphoma Ascites (DLA) yang merupakan jenis sel kanker yang umum ditemukan pada manusia. Kandungan timokuinon pada jintan hitam dapat menyebabkan apoptosis pada sel kanker osteosarkoma dengan mempengaruhi aktivitas gen p53 (Roepke et al. 2007). Pada kanker esophagus, kandungan timokuinon juga menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker (Hoque et al. 2005). Kemampuan aktivitas anti kanker pada jintan hitam juga didukung oleh efek sitotoksisitas secara in vivo dan in vitro ekstrak biji jintan hitam (Salomi et al. 1992).

d. Anti Mikrobial

Ekstrak air jintan hitam memiliki aktivitas anti jamur pada pengujian in vivo (Khan et al. 2003). Selain itu, zat aktif pada minyak atsiri jintan hitam efektif melawan bakteri seperti Staphylococcus aureus (Hannan et al. 2008).

e. Anti peradangan

Kandungan timokuinon dan nigellone dalam minyak jintan hitam berguna untuk mengurangi reaksi radang melalui aktivitas antioksidan (El Dakhakhny et al. 2000; El Dakhakhny et al. 2002). Mekanisme anti radang lainnya dari timokuinon adalah dengan menghambat pembentukan mediator peradangan seperti leukotriene pada leukosit (Mansour and Tornhamre 2004; Hoque et al. 2005).

f. Meningkatkan laktasi

Penggunaan minyak jintan hitam dapat meningkatkan pengeluaran susu ibu (Agrawala et al. 1971). Kombinasi dari bagian lipid dan struktur hormon dalam jintan hitam berperan meningkatkan aliran susu (Gerritsma 1989).

Secara umum jintan hitam berguna untuk meningkatkan kesehatan tubuh, menyediakan energi dengan cepat, meningkatkan metabolisme, melancarkan

iritasi kulit (El-Tahir dan Ashour 1993).

Jintan hitam juga baik dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat radikal bebas dan menghilangkannya. Selain itu, jintan hitam mengandung beta karoten yang dikenal dapat menghancurkan sel karsinogenik. Biji jintan hitam kaya akan sterol khususnya beta sterol yang dikenal mempunyai aktivitas antikarsinogenik.

g. Memiliki aktivitas estrogenik

Parhizkar et al. (2011) menyatakan bahwa pemberian jintan hitam memiliki aktivitas estrogenik yang mampu membantu menanggulangi tanda-tanda menopause sehingga mampu digunakan sebagai terapi alternatif pengganti hormon.

2.1.3 Kandungan Kimia Jintan Hitam

Biji dan daun jintan hitam mengandung saponin dan polifenol (Hutapea, 1994). Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak, melantin (saponin), nigelin (zat pahit), zat samak, nigelon, timokuinon (Hargono 2009, diacu dalam Astawan). Sedangkan menurut Al-Jabre et al. (2003), kandungan biji jintan hitam antara lain: timokuin, timohidrokuinon, ditimokuinon, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine, nigellimine-N-oxide dan alpha-hedrin. Beberapa senyawa kimia yang terkandung dalam jintan hitam merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan dan mampu menangkal radikal bebas. Komposisi biji jintan hitam disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam Komposisi Jumlah (gr/100 gr) Air Lemak Serat Kasar Protein Abu Karbohidrat 6,4 ± 0,15 32,0 ± 0,54 6,6 ± 0,69 20,2 ± 0,82 4,0 ± 0,29 37,4 ± 0,87 Sumber: Nergiz dan Ötles (1993).

Biji jintan hitam juga mengandung senyawa logam jumlahnya 1510,8 mg per 100 gr biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan logam dalam biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100 gr biji jintan hitam) Kalsium Besi Natrium Kalium 188,0 ± 1,50 57,5 ± 0,50 85,3 ± 16,07 1180,0 ± 10,00 Sumber: Nergiz dan Ötles (1993).

Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol yang terkandung pada biji jintan hitam tersaji pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3 Komposisi asam lemak pada biji jintan hitam

Asam lemak Jumlah (gr/100 gr biji jintan hitam) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Arakhidonat (C20:0) Eicosanoid 1,2 ± 0,04 11,4 ± 1,00 2,9 ± 0,24 21,9 ± 1,00 60,8 ± 2,67 Sedikit 1,7 ± 0,11 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993).

-sitosterol 69,4 ± 2,78 Sumber: Nergiz dan Ötles (1993).

Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai obat dan zat pembentuk rasa. Selain itu, tokoferol juga merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan dan mampu menangkal radikal bebas. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam tersaji pada tabel 5.

Tabel 5 Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (µg/gr) Total tokoferol α-tokoferol -tokoferol -tokoferol Total polifenol 340 ± 8,66 40 ± 10,00 50 ± 15,00 250 ± 13,00 1744 ± 10,60 Sumber: Nergiz dan Ötles (1993).

Biji jintan hitam dapat dijadikan rekomendasi sebagai bahan makanan tambahan yang cukup bergizi karena jintan hitam mengandung berbagai vitamin. Kandungan vitamin biji jintan hitam tersaji pada tabel 6.

Tabel 6 Komposisi vitamin dari biji jintan hitam

Vitamin (µg per 100 gr) ARDA(%)

B1(Thamin) B2(Riboflavin) B6(Pyridoxin) PP(Niasin) Asam Folat 831 ± 11,36 63 ± 3,32 789 ± 8,89 6311 ± 16,52 42 ± 4,58 55,30 3,50 35,90 33,20 10,00 Sumber: Nergiz dan Ötles (1993).

Selain menerangkan jumlah vitamin yang terkandung dalam 100 gram biji jintan hitam, tabel di atas juga menerangkan tentang Recommended Daily Allowance (RDA) yaitu asupan vitamin yang disarankan setiap harinya.

Jintan hitam juga mengandung 8 jenis dari 10 asam amino essensial dan 7 jenis dari 10 asam amino non-essensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam tersaji pada tabel 7.

Tabel 7 Komposisi asam amino biji jintan hitam

Asam amino Persentase Asam amino Persentase

Alanin Valin Glisin Isoleusin Leusin Prolin Treonin 3,77 3,06 4,17 4,03 10,88 5,34 1,23 Serin Asam aspartat Metionin Fenilalanin Asam glutamat Tirosin Lisin Arganin 1,98 5,02 6,16 7,93 13,21 6.08 7,62 19,52 Sumber: Babayan etal. (1978). 2.2 Madu

Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh manusia sebelum mengenal gula karena dapat langsung dikonsumsi tanpa diolah (Suranto 2004). Madu merupakan zat kental manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari persediaan tanaman yang berbeda (Pohl dan Sergiel 2009). Madu

Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Selain itu, dalam madu terdapat zat asetil kolin yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar peredaran darah dan menurunkan tekanan darah. Madu mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka bakar dan infeksi. Salah satu sifat madu adalah preservatif atau bersifat mengawetkan. Madu murni mempunyai sifat osmolalitas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup, sehingga madu sering dipakai sebagai bahan pengawet dan dapat disimpan baik selama ratusan tahun (Suranto 2004).

Komposisi kimia dari lebah madu tergantung pada aktivitas biologi tanaman yang dikumpulkan dan kondisi iklim makro dan mikro. Banyak senyawa dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan. Salah satunya adalah asam L-askorbat. Asam L-askorbat adalah antioksidan fase cair yang paling efektif dalam plasma darah manusia yang berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres oksidatif (Kesic et al. 2009).

Fruktosa, glukosa, dan sukrosa adalah komponen utama madu, selain zat-zat gula lainnya dalam konsentrasi yang lebih sedikit. Terdapat juga zat-zat lain dalam jumlah sedikit yaitu asam amino, resin, protein, garam, dan mineral dan juga asam organik, lakton, asam amino, mineral, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, vitamin K, niasin, asam pantotenat, asam folat, dan pigmen. Madu mengandung banyak mineral seperti kalsium, besi, seng, kalium, fosfor, magnesium, selenium, kromium dan mangan, natrium, kalium, dan alumunium (Suranto 2004; Mohammed dan Babiker 2009). Kandungan mineral magnesium dalam madu ternyata sama dengan kandungan magnesium yang ada dalam serum darah manusia. Selain itu, kandungan mineral besi dalam madu dapat meningkatkan kadar haemoglobin, sedangkan enzim yang penting dalam madu

adalah enzim diastase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase. (Suranto 2004). Madu biasanya juga dikonsumsi dengan cara dicampur dengan ekstrak jintan hitam dan minyak zaitun. Dalam sediaan komersial juga banyak dijumpai campuran madu dan jinten hitam atau madu, jintan hitam, dan minyak zaitun. 2.3 Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Pemeliharaannya ekonomis dan efisien dalam hal tempat dan biaya. Variasi genetiknya cukup besar dan memiliki karakteristik yang baik. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki galur mencit yang berwarna putih. Mencit hidup dalam daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang, maupun panas dan dapat terus-menerus di dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan Pramono 1989).

Menurut Hafez (2000), mencit merupakan salah satu hewan pengerat yang biasanya digunakan sebagai hewan laboratorium. Hewan laboratorium ini sering digunakan untuk penelitian dasar pada obat, toksikologi, medikasi, kultur jaringan dan organ, mikologi, uji sensitifitas kulit, immunologi, opthalmologi, onkologi, dan biologi reproduksi pada makhluk hidup.

Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Rodensia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Manusia telah mengembangkan mencit selama 4000 tahun di Mesir, Yunani, dan China. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit liar yang banyak ditemukan di dalam gedung dan rumah yang dihuni oleh manusia, dengan berat badan bervariasi 18 sampai 20 gram pada umur empat minggu. Mencit merupakan hewan poliestrus dengan siklus estrusnya 4 sampai 5 hari dan lama estrusnya 12 sampai 14 jam. Lama kebuntingan mencit adalah 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata enam ekor (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Mencit telah banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian medis dan biomedis serta obat-obatan herbal. Mencit juga telah menjadi subyek dari berbagai macam seleksi inbreeding karena memiliki karakter yang lebih untuk pembelajaran. Oleh karena itu mencit memiliki nilai yang tinggi pada penelitian genetik (Hafez 2000). Di beberapa negara seperti Jerman, mencit juga digunakan untuk lebih menggali manfaat aplikasi terapeutik transplantasi stem cell sebagai alternatif pengobatan diabetes tipe 1 karena beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan hasil positif pada mencit. Inggris dan Amerika melakukan penelitian mengenai efek yang ditimbulkan akibat mengonsumsi produk transgenik yang dijual di pasaran secara bebas dengan menggunakan mencit sebagai hewan percobaannya (Prasetyo 2011). Menurut Akoso (2007) Amerika Serikat juga menggunakan mencit pada penelitian yang bertujuan untuk mencegah

dan mengendalikan rabies karena setiap galur mencit putih dianggap sesuai untuk inokulasi virus rabies.

2.4 Organ Reproduksi

Reproduksi adalah proses menghasilkan keturunan baru dengan tujuan mempertahankan kelangsungan jenisnya agar tidak punah (Yatim 1982). Keberlangsungan reproduksi ditentukan oleh organ reproduksi yang berperan penting dalam proses kehidupan. Baik organ reproduksi jantan maupun betina diperlukan dalam keadaan normal untuk mendukung keberhasilan reproduksi hingga menghasilkan keturunan yang normal pula.

Fungsi reproduksi betina dapat dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu tahap persiapan tubuh betina untuk menerima konsepsi dan kehamilan, serta masa kehamilan itu sendiri. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ova di dalam ovarium (Guyton dan Hall 2008). Sistem reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium dan sepasang tuba uterina (oviduktus) yang merupakan saluran penghubung ovarium ke uterus. Di dekat uterus dan dipisahkan oleh serviks, terdapat vagina (Eroschenko dan Victor 2003).

2.4.1 Ovarium

Ovarium merupakan organ reproduksi primer pada hewan betina yang terdapat sepasang, berada di dalam rongga perut serta berfungsi menghasilkan ovum (sel telur) dan hormon-hormon kelamin betina (Toelihere 1981). Susunan histologinya terdiri atas korteks (zona parenkimatosa) dan medulla (zona vaskulosa). Bagian korteks mengandung berbagai tingkatan perkembangan folikel, sedangkan bagian medulla mengandung pembuluh darah, pembuluh limfatik, saraf, dan beberapa sisa jaringan embrionik (Banks 1986).

Menurut Eroschenko dan Victor (2003), folikel ovarium dalam berbagai tahap perkembangan, yang menempati daerah korteks biasanya dipenuhi oleh folikel besar, matang, sampai ke bagian dalam daerah medulla. Berikut ini adalah pengertian berbagai macam tahapan perkembangan folikel ovarium menurut Constantinescu (2007):

terdiri dari sebuah sel telur dan dilapisi dengan sel folikular berbentuk kubus sebaris. Folikel ini juga dikelilingi selapis stroma dan sel-sel teka.

 Folikel sekunder adalah folikel yang tumbuh dari folikel primer dan dikelilingi sel folikular berbentuk kubus berlapis serta pada folikel ini mulai terjadi perkembangan sel-sel teka.

 Folikel tersier (de Graaf) merupakan folikel yang luas, memiliki sel telur berukuran penuh dengan sebuah rongga pada daerah pusat yang disebut antrum serta berisi cairan folikular, epitel folikular, sel teka yang sangat berkembang, dan dilapisi oleh zona pelusida.

Berbagai bentuk folikel ovarium disajikan pada gambar 5.

Menurut Eroschenko dan Victor (2003), selain terdapat berbagai macam tahapan perkembangan folikel ovarium, pada korteks mungkin terdapat korpus luteum (CL) besar yang berasal dari folikel yang telah ovulasi dan folikel atresia yang berdegenerasi dalam berbagai tahap perkembangan. Korpus luteum adalah sebuah badan endokrin berwarna kuning yang terbentuk pada bagian folikel ovarium yang mengalami ruptur dan berkembang dari sel granul dan teka interna setelah ovulasi. Sedangkan folikel atresia merupakan sebuah folikel abnormal dimana folikel tersebut matang namun tidak menjadi dominan (sebuah folikel yang menjadi dominan akan matang sempurna dan membentuk korpus luteum). Folikel ini berdegenerasi sebelum menjadi matang. Selama folikel primordial berkembang menjadi folikel de Graaf banyak mengalami kematian. Kasus atresia pada stadium muda lebih mudah lenyap dari pada stadium lanjut yang biasa memakan waktu agak lama (Constantinescu 2007). Pada manusia, proses atresia penting karena biasanya peristiwa tersebut normalnya hanya membuat satu folikel tumbuh sampai cukup besar untuk berovulasi (Guyton dan Hall 2008).

a. b. c.

d. e.

Gambar 5 Skema berbagai tahap perkembangan folikel ovarium mamalia: a. Folikel primordial, b. Folikel primer, c. Folikel sekunder, d. Korpus luteum, e. Folikel atresia

(Sumber: Halfian 2010).

Ovulasi adalah peristiwa pecahnya folikel de Graaf dan terlemparnya ovum dari ovarium. Oosit sekunder yang terlempar keluar selanjutnya ditangkap oleh fimbriae dari tuba falopii, kemudian menuju uterus. Pada rodensia, ovulasi terjadi setiap 4 sampai 5 hari sepanjang tahun (Freeman 1988). Menurut Hafez (2000) pada rodensia, dalam satu kali ovulasi dapat mengeluarkan 4 sampai 14 ova. Sel telur dikelilingi dengan cumulus oophorus yang menonjol sampai antrum yang berisi cairan dalam folikel de Graaf. Cumulus oophorus berada pada sisi yang berlawanan dari dinding folikular yang akan ruptur saat ovulasi. Ketika teka eksterna ruptur saat ovulasi terjadi, lapisan dalam folikel menonjol melalui celah untuk membentuk stigma atau papilla. Menurut Guyton dan Hall (2008) dalam waktu 30 menit, cairan mulai mengalir dari folikel melalui stigma, dan sekitar 2 menit kemudian, stigma akan robek cukup besar. Akibat kerobekan tersebut, cairan kental yang berada pada bagian tengah folikel akan keluar dengan membawa ovum bersamanya. Ovulasi ditandai dengan rupturnya dinding folikular dan pelepasan oosit. Oosit yang telah diovulasi dikelilingi oleh zona pelusida, corona radiata, dan cumulus oophorus. Folikel de Graaf dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6 Skema Folikel de Graaf (Sumber: Halfian 2010).

Peningkatan tekanan cairan intrafolikular tidak berhubungan dengan proses terjadinya ovulasi, melainkan karena terjadinya hidrolisis enzimatik dari dinding folikular oleh pengaruh luteinizing hormone (LH) yang menghasilkan enzim kolagenase, protease atau plasmin (Banks 1986). Hafez (2000) juga menerangkan bahwa tikus dan mencit merupakan hewan yang melakukan perkawinan pada malam hari (nocturnal breeders). Sebanyak 75% mencit mulai mengalami birahi antara pada sore hari. Normalnya betina dapat menerima pejantan selama tiga jam pertama dan biasanya ovulasi terjadi 8 sampai 11 jam setelah birahi.

Menurut Guyton dan Hall (2008) luteinizing hormone (LH) dalam jumlah yang besar diperlukan untuk pertumbuhan akhir folikel dan permulaan ovulasi. Tanpa hormon ini, folliclestimulatinghormone (FSH) yang tersedia dalam jumlah besar pun tidak akan membuat folikel berkembang ke tahap ovulasi. Sekitar dua hari sebelum ovulasi, laju kecepatan sekresi LH oleh kelenjar hipofise anterior meningkat dengan pesat, menjadi 6 sampai 10 kali lipat. FSH juga meningkat kira-kira 2 sampai 3 kali lipat pada saat bersamaan. FSH dan LH akan bekerja secara sinergik untuk mengakibatkan pembengkakan folikel yang berlangsung cepat selama beberapa hari sebelum ovulasi. LH juga mempunyai efek khusus terhadap sel granulosa dan sel teka, yang mengubah kedua jenis sel tersebut menjadi sel yang menyekresikan progesteron. Oleh karena itu, kecepatan sekresi estrogen mulai menurun kira-kira satu hari sebelum ovulasi, sementara sejumlah peningkatan progesteron mulai disekresikan.

Antrum

Zona pelusida corona radiata

Selain melalui mekanisme hormonal, menurut Hardjopranjoto (1995), ovulasi juga dapat terjadi melalui mekanisme neural dan periodisitas cahaya. Mekanisme neural terjadi akibat adanya rangsangan dari luar pada serviks, baik pada waktu kopulasi maupun secara buatan oleh batang gelas yang digesek-gesekkan pada saluran serviks, akan diteruskan oleh saraf ke susunan saraf pusat. Dalam hal ini diterima oleh hipotalamus sebagai pusat integrasi semua rangsangan yang masuk dan releasing hormone (LH-RH) akan disekresikan dan melalui sistem portal sampai pada kelenjar hipofisa anterior. Hormon LH meningkat dalam darah mengakibatkan terjadinya ovulasi. Sedangkan mekanisme periodisitas cahaya biasanya dikenal pada golongan burung. Cahaya yang diterima oleh mata melalui saraf optika dibawa ke hipotalamus, releasing hormone dikeluarkan menyebabkan peningkatan kadar LH dalam darah, mendorong terjadinya ovulasi.

Kopulasi dapat dilaporkan untuk menstandarisasi waktu terjadinya ovulasi. Empat jam setelah ovulasi terjadi, dinding folikel dibuat kembali, terutama sel teka interna. Aktifitas ini tidak menunjukkan adanya granulosa sampai kira-kira dua jam setelah ovulasi. Stigma akan tertutup dua belas jam setelah ovulasi terjadi. Fibroblast kemudian menggantikan cairan dengan mengisi rongga di tengah. Dua puluh empat jam setelah ovulasi sel-sel lutein telah terbentuk dan cukup mengalami perkembangan untuk mengelilingi sebuah inti kecil di tengah. Korpus luteum akan berkembang penuh dan mencapai ukuran maksimal tiga hari setelah terjadi ovulasi. Apabila perkawinan tidak terjadi pada mencit betina, maka akan terjadi pengaturan regresi dengan seketika (Hafez 2000).

Gambar 7 Gambaran histologis ovarium mamalia (Sumber: Eroschenko dan Victor 2003). 2.4.2 Uterus

Uterus adalah organ reproduksi betina yang utama pada kebanyakan mamalia dan termasuk dalam salah satu organ reproduksi sekunder pada betina (Toelihere 1981). Secara anatomi makroskopis, uterus terdiri dari tanduk (cornua), badan (corpus), dan serviks uterus. Uterus memiliki fungsi untuk menerima spermatozoa, mengantarkan spermatozoa ke oviduk, dan menciptakan lingkungan optimal untuk implantasi (Ownby 2002). Selain itu, uterus berfungsi sebagai tempat tertanamnya ovum yang telah dibuahi secara normal serta tempat pemeliharaan embrio dan fetus yang sedang tumbuh (Hafez 2000). Uterus mencit termasuk ke dalam tipe duplex, dimana terdapat dua tanduk uterus dengan satu

serviks pada masing-masing cornua. Tipe uterus tersebut merupakan penyesuaian untuk reproduksi anak dalam jumlah banyak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Menurut Dellmann dan Brown (1992) secara histologis, uterus terdiri dari endometrium (tunika mukosa), miometrium (tunika muskularis), dan perimetrium (tunika serosa). Endometrium tersusun atas mukosa berupa epitel silindris sebaris dengan lamina propia, submukosa, dan kelenjar uterus. Menurut Rosenfeld dan Schatten (2007) estrogen menstimulasi perkembangan kelenjar uterus, sedangkan progesteron memberikan perintah untuk mengeluarkan sekresi kelenjar uterus.

Dokumen terkait