• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Taman Nasional Sembilang

Lokasi Taman Nasional Sembilang terletak sekitar 10 53’ Lintang Selatan dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-280C) yang relatif tinggi terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini. Secara geografis, wilayah Taman Nasional Sembilang berada pada koordinat 1040 11’- 1040 94’ Bujur Timur dan 10 53’-2027’ Lintang Selatan. Secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya

Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembiang sebagai berikut : - Sebelah Utara : Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu

- Sebelah Timur : Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Pelabuhan Tanjung Api-api.

- Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma. - Sebelah Barat : PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai,

kawasan transmigrasi Karang Agung

Iklim dan Hidrologi

Kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki iklim tropis dengan rata- rata curah hujan tahunan 2.455 mm. Musim kemarau biasanya terjadi dari bulan Mei hingga Oktober, musim hujan dengan angin barat laut yang keras dan membawa butiran hujan dari November hingga April. Sebagian besar kawasan Taman Nasional Sembilang terdiri dari habitat estuarin. Sejumlah sungai yang relatif lebih pendek menyalurkan air dari rawa air tawar tadah hujan dan hutan rawa gambut yang terletak jauh ke daratan dalam sebuah pola menyirip ke wilayah pesisir taman nasional. Sungai terbesar adalah adalah Sungai Sembilang yang diperkirakan berukuran panjang 70 Km. Sungai lainnya memberikan kontribusi pada formasi habitat estuarin. Di kawasan Taman Nasional Sembilang terdapat ± 70 sungai yang semuanya bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat Bangka.

17 Gambar 6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010)

Tipe Habitat

Secara umum kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki habitat- habitat yang dipengaruhi oleh sistem muara sungai. Vegetasi hutan mangrove tumbuh baik di kawasan ini, yang ke arah daratan terdapat rawa belakang (backswamps) berupa hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut. Ke arah laut di banyak tempat, terutama di Semenanjung Banyuasin terdapat dataran lumpur yang luas. Skema gradien habitat di Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada Gambar 7.

Hutan mangrove yang termasuk dalam Taman Nasional Sembilang merupakan hamper seluruh hutan mangrove yang ada di pesisir timur Kabupaten Banyuasin. Hutan mangrove di sepanjang Sungai Sembilang, Terusan Dalam, dan hampir semua sungai yang bermuara di Terusan Sekanak/Teluk Benawang mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata. Semakin arah daratan atau ke arah hulu Rhizophora mucronata akan berasosiasi dengan

Rhizophoraapiculata, Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal.

Gambar 7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang Vegetasi Nipah (Nypa fruticans) dapat dijumpai di hulu-hulu sungai. Pada pantai berlumpur vegetasi mangrove didominasi oleh genus Avicennia (Api-api). Jenis ini menyebar dari belakang pantai berlumpur sampai ke daerah yang digenangi oleh air laut pada saat pasang, dan berasosiasi dengan spesies lain seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata atau Bruguiera gymnorrhiza. Pada tingkat tumbuhan bawah daerah yang digenangi air pasang dibelakang pantai berlumpur, umumnya merupakan spesies Acanthus illicifolius. Tipe habitat dan vegetasi ini dijumpai di Semenanjung Banyuasin. Rawa belakang umum terdapat di belakang habitat hutan mangrove atau daerah hulu sungai dengan jenis yang dominan adalah spesies Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Pada tempat yang relatif kering, ditemukan juga jenis Cerbera manghas

dan Exoecaria agalocha.

Rawa-rawa air tawar, ditemukan spesies indikator untuk habitat tersebut yaitu Oncosperma tigillarium (Nibung) dan Alstonia sp. (Pulai). Pada tingkat tumbuhan bawah spesies yang dominan adalah Nephrolepis sp. dan Pluchea indica, suatu spesies yang termasuk mangrove ikutan yang cenderung berada di lokasi yang tawar. Rawa air tawar ini terdapat di hulu Sungai Deringgo Besar dan

19

yang lebih luas berada di Sungai Benu, yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Berbak. Rawa air tawar dan rawa bergambut di kawasan Taman Nasional Sembilang ini sebagian besar terletak di luar kawasan Taman Nasional Sembilang. Selain berupa hutan, kawasan Taman Nasional Sembilang juga mempunyai habitat yang bervegetasi semak / belukar, dengan vegetasi dominan

Acrostichum sp. Tipe habitat ini terdapat di hulu anak Sungai Sembilang (Simpang Satu) dan Pulau Alanggantang sebelah utara. Melimpahnya

Acrostichum erat kaitannya dengan anthropogenic disturbance (gangguan akibat kegiatan manusia). Termasuk diantaranya kegiatan pembukaan lahan (termasuk kebakaran hutan) yang akan memberikan peluang kepada jenis Acrostichum sp.

untuk berkembang secara ekstensif.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Pemukiman di dalam kawasan Sembilang meliputi Terusan Dalam, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan (Merawan), Dusun Sembilang, Sungai Bungin, dan bagan bagan ikan di perairan pantai. Pemukiman juga terdapat di sekitar kawasan, seperti di Tanah Pilih, Sungsang, dan Karang Agung. Karang Agung merupakan daerah transmigrasi yang berada di selatan kawasan. Beberapa pemukiman para petambak udang terdapat di Semenanjung Banyuasin (Solok Buntu dan sekitarnya). Pemukiman Desa Tanah Pilih mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Bugis yang tiba di pesisir Sembilang sebelah utara (dekat Sungai Benu) sekitar 30 tahun yang lalu, dan mulai membuka mangrove dan hutan rawa untuk pertanian (padi dan kelapa) sebelum beralih ke kegiatan mencari ikan di sungai di Terusan Dalam. Namun demikian, Dusun Sembilang tampaknya telah ada jauh sebelum masyarakat Bugis datang. Di Desa Sembilang dan juga Sungsang penduduknya juga terdiri dari suku Melayu. Tidak ada data mengenai kapan Dusun Sembilang mulai ada, namun Desa Sungsang diperkirakan telah ada sekitar 500 tahun yang lalu (RPTN 2010 ).

Kawasan pemukiman di dalam Taman Nasional Sembilang yang cukup besar terletak di muara Sungai Sembilang yaitu Dusun Sembilang yang merupakan bagian kawasan Desa Sungsang IV. Kegiatan perikanan di kawasan perairan Sembilang sebagian besar terpusat di sini, selain di Sungsang, ibu kota kecamatan Banyuasin II yang terletak di muara Sungai Musi (di luar kawasan TN). Beberapa pemukiman juga tersebar di muara-muara sungai di kawasan Taman Nasional Sembilang ini. Di bagian utara kawasan Taman Nasional Sembilang, pemukiman yang cukup lama terletak di Terusan Dalam. Di samping itu, sejumlah keluarga juga tinggal di atas baganbagan di laut yang dangkal.

Masyarakat pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air bersih/tawar merupakan masalah utama masyarakat yang tinggal di kawasan Sembilang. Mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar. Perikanan tangkap merupakan kegiatan sehari-hari bagi masyarakat di Sembilang. Mereka umumnya menangkap ikan di perairan laut Sembilang dan juga di sungai- sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional. Ikan (seperti kelompok

Ariidae, Carangidae, Leioghnathidae, Lutjanidae, Polynemidae, Sciaenidae, Serranidae) dan udang biasanya ditangkap antara bulan Mei hingga November, saat laut tenang.

Izin penangkapan setiap tahun dilelang (disebut sebagai lelang lebak- lebung) yang dulunya berasal dari tingkat marga. Sistem lelang ini juga untuk hak-hak distribusi akses ke sumber daya lain, seperti Nibung (Oncosperma tigillarium, untuk tiang dan rakit), Nipah (Nypa fruticans, daunnya untuk atap), rotan (Korthalsia spp.,Calamus spp.) dan Jelutung (Dyera costulata, getahnya untuk permen karet). Setidaknya hingga tahun 1980an, pemanfaatan hasil hutan ini (dengan perkecualian untuk Jelutung dan Nipah) terlihat cukup berjalan baik. Disamping mencari ikan, masyarakat setempat juga memelihara kebun dan pertanian skala kecil, yang dikerjakan pada musim hujan. Di bagian selatan kawasan Taman Nasional, tepatnya di Semenanjung Banyuasin, terdapat kegiatan budidaya tambak yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat pendatang yang berasal dari Provinsi Lampung; beberapa masyarakat yang berasal dari Sungsang juga telah memulai usaha ini dalam kelompok-kelompok yang lebih (Balai Taman Nasional Sembilang 2012).

Sejarah Kawasan

Pada tanggal 28 Februari 1994 melalui Perda Dati I Sumatera Selatan Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Gubernur Provinsi Sumatera Selatan menunjuk seluruh kelompok hutan (Suaka Margasatwa Terusan Dalam 25.750 ha, Hutan Produksi Terbatas Terusan Dalam 49.000 ha, Hutan Lindung Sembilang 113.173 ha dan perairan 17.827 ha) menjadi Hutan Suaka Alam (HSA) seluas 205.750 ha. Pada Tahun 1996 Ditjen Bangda Depdagri bekerjasama dengan Ditjen PHPA Dephut melakukan pengkajian potensi kawasan HSA Sembilang dan sekitarnya, dan hasil pengkajian menyimpulkan bahwa kawasan tersebut memenuhi syarat/kriteria menjadi Kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk kawasan Taman Nasional.

Menindaklanjuti hasil kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Bangda Depdagri dan Ditjen PHPA Dephut, tahun 1998 melalui surat Nomor 552/5459/BAP-IV/1998 Gubernur Sumatera Selatan menyetujui usulan perubahan status HSA Sembilang menjadi calon taman nasional. Atas usulan tersebut tahun 2001 melalui SK Menhut Nomor 76/Kpts-II/2001 tentang penunjukan kawasan 28 hutan dan perairan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan mencantumkan kawasan TN Sembilang. Pada tahun 2003 melalui SK Menhut Nomor 95/Kpts-II/03 Tanggal 19 Maret 2003 ditetapkanlah Kawasan Taman Nasional Sembilang seluas 202.896,31 ha.

Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan Visi

Menjadi unit pengelola unggulan dalam konservasi biodiversitas lahan basah.

Misi

1. Memantapkan legitimasi kawasan secara legal dan aktual.

2. Memperkuat kapasitas kelembagaan konservasi biodiversitas lahan basah. 3. Mengoptimalkan segenap potensi kawasan dan keanekaragaman hayati di

21

Tujuan pengelolaan

Mengukuhkan Balai Taman Nasional sebagai model pengelolaan taman nasional lahan basah, yang mampu menyelenggarakan tiga pilar konservasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1990, sedemikian rupa sehingga berpengaruh nyata terhadap fungsi sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial, ekonomi dan budaya pada tingkat komunitas dan wilayah.

Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional

Taman Nasional telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha. Panjang keseluruhan batas sesuai hasil tata batas Taman Nasional Sembilang adalah 472,10 Km dengan rincian batas luar 357,10 Km dan batas fungsi 115,00 km, dengan jumlah pal batas keseluruhannya 1.936 buah pal batas. Batas-batas tersebut masih parsial yakni menggunakan pal batas yang telah ada seperti HP, HL, dan SM. Telah dilakukan kegiatan orientasi batas sebagai tahap awal kegiatan rekonstruksi tata batas. Berdasarkan kajian koordinat tata batas dan peta digital yang ada dengan menggunakan sarana GIS, nampak bahwa hasil pemetaan kawasan belum mantap.

Penataan Kawasan telah sampai pada tahap penyusunan zonasi meliputi Zona Inti; Zona Rimba; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain: Zona Tradisional; Zona Rehabilitasi; dan Zona Khusus. Adapun tahapan yang telah dilaksanakan sampai pada rekomendasi Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan setelah dilakukan penyempurnaan hasil konsultasi publik. Dokumen sebagaimana dimaksud dikirim oleh Kepala Balai kepada Direktur Teknis untuk mendapatkan pencermatan dan diajukan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk mendapatkan pengesahan.Penataan kawasan terhadap penyusunan zonasi Taman Nasional Sembilang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.

Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan dari tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang telah dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan ain(APL) berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang belum dibebani hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi), dan (4) Kelompok Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Pelabuhan domestik maupun internasional Tanjung Api-Api.

22

23

Optimalisasi pemanfaatan areal penggunaan lahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sampai tahun 2013 sudah tercatat empat perusahaan perkebunan yang beroperasi yaitu PT. Raja Palma, PT.Citra Indo Niaga, PT. Sumber Hijau Permai dan APL Kab. Banyuasin, tidak menutup kemungkinan penerbitan izin prinsip tersebut akan terus bertambah. Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman nasional. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan dikeluarkan dari taman nasional.

Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi Merang (Joint Operating BodyPertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).

Dokumen terkait