BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data dan Hasil Penelitian
1.
Menghitung koefisien limpasan (C) dengan menggunakan metode Cook di sub DAS Leokopancing kab Maros, ada beberapa faktor yang pengaruhi di antaranya, faktor kemiringan lereng,tanah/batuan, kapasitas infeltrasi, vegetasi penutup, faktor simpanan permukaan, maka di lakukan analisis sebagai berikut:
a) Topografi
Gambar 5: peta kemiringan lereng di sub DAS Lekopancing
Tabel di bawah ini dengan angka masing masing menunjukkan besar kecilnya pengaruh kemiringan lereng terhadap limpasan permukaan semakin terjal lerengnya maka semakin tinggi pula nilai koefisiennya dan begitu pula sebaliknya
semakin lantai lerengnya maka semakin rendah pula nila koefisien limpasannya,detail terdapat pada tabel 5 di bawah in:
Tabel 5 : Nilai kemiringan lereng (LS) Sub DAS Lekopancing
No Kemiringan
Sumber : hasil analisa tahun b) Infiltrasi Tanah
Membuat peta jenis tanah seperti pada gambar 6 yang didigitasi ulang dan data infiltrasi tanah berdasarkan pada sifat dan tekstur tanah serta bentuk lahan dan tutupan lahan nya di peroleh dari (Rencana Tata Ruang Wilayah kab Maros), Tabel 6: Jenis tanah di sub DAS Lekopancing
No Kelas
tekstur
Klasifikasi
laju infiltarsi Luas (ha) Skor
1 Pasir
Sumber : Rencana tata ruang wilayah Maros tahun 2019
Gambar 6 : Peta Jenis Tanah di Sub DAS Lekopancing Maros c) Tutupan Lahan
Untuk mengetahui besarnya vegetasi penutup dilakukakan dengan pendekatan penggunaan lahan yang ada dalam keperluan analisis maka dilakukan klasifikasi. hasil klasifikasi dapat di lihat pada gambar 7 dibawah ini :
Berdasarkan hasil interpretasi visual penggunaan lahan, dan mengetahui distribusi tutupan lahan di sub DAS lekopancing kabupaten maros lima kelas telah di identifikasi sebagi tipe kelas akhir tutupan lahan yaitu pemukiman, sawah, tegalan, perkebunan, tanah kosong, semak belukar, hutan rimba, sungai kemudian di beri bobot sesuai dengan rumus Cook pada pembahasan sebelumnya,pada tabel di bawah ini menjelaskan lebih detail tentang penggunaan lahan di sub DAS lekopancing kab Maros.
Tabel 7. Perhitungan lahan pada area penelitian
No. Penggunaan lahan Luas (Ha) Skor
1 Hutan 12,264,632 5
2 Permukiman 140,545 20
3 Pertanian Lahan Basah dan tubuh
air 5,657,716 15
4 Pertanian Lahan Kering 3,724,709 10
5 Semak Belukar 107,613 10
Total 22185
Sumber : Hasil analisa
Gambar di bawah ini menjelaskan setiap pembagian wilayah pemukiman, hutan,lahan basah serta lahan kering, detail gambar 7 (tutupan lahan) terdapat di bawah ini :
Gambar 7 : Tutupan Lahan
d) Simpanan Air Permukaan
Interpretasi simpanan air permukaan berdasarkan kerapatan aliran ,karena kerapatan aliran dapat di gunakan untuk menilai kondisi aliran setempat, hasil klasifikasi simpanan air permukaan yang di sesuaikan dengan klasifikasi metode cook untuk mengetahui limpasan permukaan di sub DAS Lekopancing kabupaten Maros.
Klasifikasi kerapatan aliran dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya rasio antara panjang sungai dan luas DAS. Berdasarkan hasil analisis kerapatan aliran sub das Lekopancing terdapat 3 kelas yaitu tinggi, sedang, rendah. Luas masing-masing wilayah dan peta kalisfikasi kerapatan aliran terdapat pada gambar 8 di bawah ini:
Tabel 8 : Klasifikasi kerapatan aliran No
Sumber ; Hasil analisa
Metode Cook 2.
Rumus yang di gunakan adalah : C das =
Setelah semua nilai diketahui maka di lakukan perhitungan koefisien limpasan dengan menggunakan metode Cook. Rekapitulasi hasil perhitungan
nilai koefisien limpasan pada sub DA S Lekopancing kabupaten Maros terdapat pada tabel 9 yang ada di bawa ini:
Tabel 9 : Koefisien limpasan dengan metode cook
n o
Karakteristik DAS
karesteriktik yang menghasilkan aliran
bobot
extrim Tinggi sedang rendah
B luas
Sumber : Hasil perhitungan CTopografi =
Metode U.S. Forest Servis 3.
Penentuan koefisien limpasan metode U. S. Forest Service menggunakan interval nilai (C) pada berbagai jenis penggunaan lahan. Pengaplikasian metode ini memerlukan penyesuaian terlebih dahulu baik dalam hal jenis penggunaan lahan maupun nilai koefisien limpasan yang digunakan. Penyesuaian dilakukan dengan menggunakan asumsi yang diperkuat dengan beberapa temuan di lapangan.
Melalui analisa kuantitatif peta penggunaan lahan, terdapat 6 jenis penggunaan lahan menurut metode U. S. Forest Service antara lain hutan, pemukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, tubuh air. Penggunaan lahan tanah berat tanpa vegetasi berupa tegalan mendominasi wilayah penelitian dengan persebaran yang merata dari hulu hingga hilir. Luasan setiap jenis penggunaan lahan tersaji secara rinci dalam Tabel 10 dibawah ini Tabel 10 : Koefisien Limpasan Metode U.S. Forest Servis
No. Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase
(%) C LxC C
1 Hutan 12,264,632 55 0.03 0.2
0.13
2 Permukiman 140,545 0.634 0.6 0
3 Pertanian Lahan
Basah 5,657,716 26 0.15 0.4
4 Pertanian Lahan
Kering 3,724,709 17 0.1 0.2
5 Semak Belukar 107,613 0.485 0.07 0
6 Tubuh Air 289,569 1 0.05 0
Total 22185 100 1
Sumber : Hasil perhitungan Metode Hassing 4.
Parameter topografi (Ct), tanah (Cs), dan vegetasi (Cv) diperoleh melalui reklasifikasi dan analisa kuantitatif terhadap, peta kemiringan lereng, tekstur tanah, dan penggunaan lahan yang sudah dibuat sebelumnya. Rincian dari masing-masing parameter beserta nilai rerata tertimbang dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini ; .
Tabel 11 : Perhitungan Koefisien limpasan Metode Hassing
Sumber : Hasil perhitungan
Faktor topografi memberikan kontribusi terbesar dalam penentuan koefisien limpasan metode Hassing dengan Ct 0,11. Hal tersebut dikarenakan kondisi topografi yang didominasi oleh bentukan berbukit dan bergunung. Koefisien limpasan yang bernilai 0,11 menunjukkan bahwa 11% hujan yang jatuh di Sub DAS Lekopancing akan menjadi aliran permukaan dan tergolong dalam klasifikasi rendah.
Analisis Curah Hujan 5.
a) Analis Curah Hujan Wilayah Metode Thiessen
Ada 3 Stasiun hujan yang berpengaruh pada DAS Lekopancing Maros yaitu stasiun hujan Salojirang, stasiun hujan Pucak, stasiun hujan Bontokappang. Ketiga stasiun masing masing menggunakan data curah hujan 10 tahun dari 2010 sampai dengan 2019.
Gambar 8 : Lokasi Pos Hujan Metode Thiessen
Total luas dari ketiga stasiun 221,85 km2 adapun pembagian lahan dengan metode polygon thiessen dapat di lihat pada tabel 12 dibawah ini.
Tabel 12 : Pembagian daerah aliran metode thiessen
No Stasiun luas (ha) koefisien Thiessen
1 Pucak 84.15 0.4
2 Salojirang 70.23 0.3
3 Bontokappang 64.47 0.3
22185 1
Sumber ; Hasil analisa
Koefisiem thiessen dapat di hitung dengan menggunakan rumus berikut C1 =
Tabel 13: Curah hujan maksimum dengan Kejadian Yang Sama
Tahun Tanggal
stasiun curah
max (mm) pucak salojirang bontokappang
2010 27-Jan 151 50 10 75.4
Sumber : Hasil Perhitungan c) Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi di gunakan untuk menentukan lamanya air mengalir dari hulu sampai ke hilir sungai lekopancing.
Perhitungan waktu konsentrasi menggunakan rumus Kirpich sebagai berikut :
= 3.45 jam
Dari hasil perhitungan menggunakan rumus kirpich waktu konsentrasi menghasilkan lama air mengalir 3.45 jam selama periode tahun.
d) Intensitas Hujan
Selanjutnya perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan metode monobe untuk tahun 2010.
Di ketahui :
untuk hasil selanjutnya dapat di lihat pada tabel di bawah ini;
Tabel 14: Perhitungan intensitas hujan
Sumber : Hasil analisa
e) Debit Puncak Metode Rasional
Langkah langkah untuk menghitung debit pucak metode rasional sebagai berikut:
Perhitungan debit puncak metode rasional pada tahun 2000 : Qp : 0.278 x C x I x A
= 0.278 x 0.13 x 11.52 x 221.85 (km) = 92.36 m3/dt
Dari perhitungan debit puncak metode rasional dengan koefisien limpasan dengan menggunakan metode cook,di peroleh debit puncak mimimum terjadi tahun 2014 sebesar 51.31 m3/detik Adapun hasil perhitungan debit puncak dengan metode rasional terdapat pada tabel 15 di bawa ini:
Tabel 15: Debit puncak metode rasional
Tahun C.
Sumber : Hasil perhitungan
Semakin tinggi curah hujan yang terjadi maka semakin besar pula debit puncak yang di hasilkan dan semakin rendah curah hujan maka semakin rendah pula debit yang di hasilkan, seperti ysng terlihat pada tabel 15 diatas.
Analisa Debit Puncak Aktual Sebagai Pembanding 6.
Analisis debit puncak aktual pada persamaan ini, menggunakan persamaan model regresi berpangkat untuk pembuatan kurva lengkung debit dari data tinggi muka air dan debit dalam tiap tahun yang diperoleh dari Balai. Adapun langkah-langkah dalam pembuatan lengkung debit sebagai berikut :
Tabel 16 . Persamaan model regresi berpangkat
NO Tangal H Q
19 23/12/2013 2.53 33.41 0.4 1.52 0.16 -0.3 0.03 0.1 -0.05
Sumber : Hasil perhitungan dan perolehan data Dari tabel perhitungan, maka dapat dihitung :
R ∑ Pi-P̅ i- ni 1 ̅
∑ { Pi-P̅ ni 1 2} ∑ { i- ni 1 ̅ 2} 0,5
R
R2 0.941
Deviasi standar dari nilai P:
p [∑ Pi-P̅ ni 1 Deviasi standar dari nilai Q :
q [∑ ni 1 i- ̅ 2 Perbandingan nilai Residu :
p
q (
) Kemiringan garis regresi :
R ( p q)
0,038 0.919 Sehingga persamaan regresinya adalah :
P̂ P̅ + ( p
q) q - q̅
P̂ + 0.929 q -
P̂ 0.941q + 2 1964 Maka ; Log ̂ q + 0.941 Dan persamaan regresi berpangkatnya :
̂
̂
Gambar 9 : Persamaan Kurva Lengkung Debit tahun 2010 (Tahun 2011-2019 Terlampir)
Adapun persamaan lengkung debit pada tahun 2010 adalah ; Q = 17.196 (H) 2.1694
Perhitungan debit dengan persamaan kurva lengkung debit pada tahun 2010, untuk TMA max. bulan Januari 2010 ;
1.70 1.80 1.90 2.00 2.10 2.20
Debit (Q)
Tinggi Muka Air (H)
Lengkung Debit Tahun 2010
2010
Tabel 17. Tinggi muka air Max. Perbulan Dari Tahun 2010 -2019 Sumber : BBWS Pompengan Jeneberang
Tabel 18 : Besaran Debit (m3/dtk) Dari TMA Max. Persamaan Lenkung Debit Tahun 2010 -2019
Tahun
Sumber : Hasil perhitungan
Tabel 19. Debit puncak aktual MAX dari tahun 2010 – 2019
Sumber : Hasil Perhitungan
Perbandingan Debit Puncak Metode Dengan Debit Puncak Aktual 7.
Tabel 20: Selisih analisis debit puncak dan debit aktual
Tahun
Sumber : Hasil perhitungan
Gambar 10. Grafik Hasil Perbandiingan Analisis Debit Puncak Dengan Debit Puncak Aktual.
B. Pembahasan
Metode Rasional merupakan pemodelan hidrologi sederhana yang sering digunakan untuk mengestimasi debit puncak suatu DAS. Karesteristik fisik das ini dapat di peroleh dengan menggunakan integrasi dari data pengindraan jauh dari sistem informasi Geografis,
Guna memperjelas hasil perbandingan a na lis is debit puncak Rasional dengan debit puncak aktual maka dilakukan perhitungan tingkat ketelitian.
Hasilnya, estimasi debit puncak dengan koefisien limpasan metode U.S.
Forest Service, Hassing, maupun Cook masing-masing memiliki tingkat ketelitian .
Selisih debit puncak cenderung memiliki nilai underestimate yang besar pada saat kejadian hujan berurutan. Sedangkan selisih debit puncak pada kejadian hujan tunggal cenderung mengalami overestimate. Menurut Asdak (2004), metode rasional tidak dapat digunakan untuk menerangkan hubungan curah hujan
0
terhadap debit dalam bentuk hidrograf. Semakin tinggi curah hujan yang terjadi maka semakin besar Qp yang dihasilkan dan semakin rendah curah hujan maka semakin kecil Qp yang dihasilkan. Hal tersebut kurang sesuai dengan hasil estimasi debit puncak dan kondisi di lapangan bahwa curah hujan yang tinggi belum tentu menghasilkan debit puncak yang tinggi karena dipengaruhi oleh faktor fisik dan biologi DAS seperti kelembaban tanah akibat kejadian hujan sebelumnya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hasil analisis koefisien limpasan dengan menggunakan metode cook, metode U.S. Servis, Hassing, sesuai dengan parameter karesteriktik fisik DAS, dari hasil perhitungan menunjukkan nilai koefisien C masing-masing di peroleh 0.13, 0.13, 0.11. artinya bahwa 0.13 %, 0.13 %, 0.11 % , dari ketiga metode yang di uji cobakan hasilnya masing tergolong rendah.
2. Analisis debit puncak rumus rasional dengan koefisien limpasan metode Cook, U. S. Forest Service, dan Hassing. memiliki nilai debit puncak terendah pada kejadian hujan tahun 2019 dengan 51.71. m³/detik ,51.51 m³/detik, dan 43.76 m³/detik. Sementara, estimasi debit puncak tertinggi terjadi pada kejadian hujan tahun 2015 dengan 138.1 m³/detik, 138.1 m³/detik, dan 113 m³/detik.
3 Analisis debit puncak dengan koefisien limpasan Cook, metode U.S.
Forest Service, dan Hassing, masing-masing memiliki selisih rata-rata dengan debit puncak aktual sebesar 27.70 m³/detik, 27.70 m³/detik, dan 12.96 m³/detik. Perbedaan nilai Qp hasil estimasi dengan Qp aktual terjadi karena metode rasional bersifat linier terhadap kejadian hujan, sedangkan debit puncak aktual yang berasal dari hidrograf debit dipengaruhi oleh kadar air dalam tanah dan kejadian hujan berurutan.
B. Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya memilih metode yang lebih banyak untuk dapat menganalis atau membandingkan sehingga mendapat hasil yang lebih maksimal.
2. Memilih lokasi penelitian yang tingkat kecocokan metode yang di gunakan dan data yang tersedia lebih lengkap sehingga dapat menghasilkan tinggkat kekeliruan yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press.
Asdak, C. 2014. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Chow, V.T. 1988. Applied Hydrology. New York : Mc. Graw-Hill Book Company
Gafuri, R., Ridwan, I., & Nurlina, N. 2016. Analisis Limpasan Permukaan (Runoff) Pada Sub-Sub Das Riam Kiwa Menggunakan Metode Cook.
Jurnal Fisika Flux: Jurnal Ilmiah Fisika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, 13(1), 89-100.
Indriatmoko, R. H., & Wibowo, V. E. 2007. Aplikasi sistem informasi geografi untuk penghitungan koefisien aliran Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Jurnal Air Indonesia, 3(2).
Loebis, J. 1992, Banjir Rencana untuk Bangunan Air, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Nganro, S., Trisutomo, S., Barkey, R. A., & Ali, M. 2019. Analisis Koefisien Limpasan Permukaan Kota Makassar dengan Metode Cook. TATALOKA, 21(2), 285-292.
Rezky, S. S., Hadryansyah, S. 2021. Laju Infiltrasi Pada Sempadan Sungai Pappa Kabupaten Takalar, Makassar. Skripsi Universitas Muhammadiyah Makassar.
Samaawa, A., & Hadi, M. P. 2016. Estimasi Debit Puncak Berdasarkan Beberapa Metode Penentuan Koefisien Limpasan di Sub DAS Kedung Gong, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia, 5(1).
Soemarto. 1990. Hidrologi Teknik. Surabaya : Usaha Nasional.
Soewarno, 1995, Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid 1.
Bandung : Penerbit Nova.
Soewarno, 1995, Hidrologi, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid 2.
Bandung : Penerbit Nova.
Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1987. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta.
Subarkah, I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung : Idea Dharma.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Triatmodjo, B. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta : Beta Offset Yogyakarta.
Wahyuningrum, N., & Pramono, I. B. 2007. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Perhitungan Koefisien Aliran Permukaan di Sub DAS Ngunut I, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4(6), 561-571.
LAMPIRAN 1
Gambar : Grafik debit puncak
LAMPIRAN 2
1.75 1.80 1.85 1.90 1.95 2.00 2.05
2011
1.45 1.50 1.55 1.60 1.65 1.70 1.75 1.80
2012
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00
2013
1.16 1.18 1.20 1.22 1.24 1.26 1.28
Debit (Q)
Tinggi Muka Air (H)
2014
1.95 2.00 2.05 2.10 2.15 2.20 2.25 2.30
Debit (Q)
1.25 1.30 1.35 1.40 1.45 1.50
2016
2.00 2.05 2.10 2.15 2.20
Debit Q
Tinggi Muka Air (H)
2017
Gambar : Persamaan Kurva Lengkung Debi dar Tahun 2011 sampai 2019
Q = 92.376x1.0836
1.70 1.80 1.90 2.00 2.10 2.20
Debit (Q)
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00
Debit (Q)
Tinggi Muka Air (H)
2019
LAMPIRAN 3
Gambar 10: Tinggi Muka Air max tahun 2010- 2019
Gambar : Debit Aktual tahun 2010- 2019
0
LAMPIRAN 4
STASIUN I
(STASIUN PUCAK)
TAHUN : 2019
LAMPIRAN 5
STASIUN II
(STASIUN SALOJIRANG)
TAHUN : 2019 TAHUN : 2019
LAMPIRAN 6
STASIUN III
(STASIUN BOTTO KAPPANG)
TAHUN : 2019
LAMPIRAN 7 : DOKUMENTASI
Kondisi penggunaan lahan hutan
Penggunaan lahan pertanian lahan basah
Penggunaan lahan pertanian lahan kering
Kondisi penggunaan lahan semak belukar
Penggunaan lahan menjadi permukiman
Bendung leko pancing