• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUN PUSTAKA

H. Deskripsi Fokus Penelitian

Perempuan harus tahu bahwa dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (PARPOL), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Partisipasi perempuan Indonesia dalam politik masih sangat rendah. Hal itu terbukti dengan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen, lembaga-lembaga tinggi negara, pemeritah, partai politik dan juga di organisasi-organisasi publik lainnya yang masih minim. Kondisi ini di percaya oleh para pejuang

perempuan berimplikasi langsung pada kebijakan-kebijakan negara yang cenderung tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Jumlah keterwakilan yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan sebuah keputusan (Indosiar.com, 2013).

Berdasarkan uraian kerangka pikir diatas maka yang menjadi deskripsi fokus penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu DPRD 2014 di kabupaten Luwu utara.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian selama 2 bulan, Penelitian ini mengambil lokasi di kantor DPRD Kabupaten Luwu utara. Alasan saya mengambil lokasi di kabupaten Luwu utara karena saya ingin mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu anggota DPRD 2014.

B. Jenis dan Sumber Penelitian

1. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data tersebut berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik dibalik fenomena secara terperinci, mendalam, dan tuntas tentang Sumber Data.

2. Sumber Data Primer yaitu sumber data yang pokok, utama dan langsung dengan kata lain sumber data itu diperoleh dari wawancara masyarakat dan partai politik di Kabupaten Luwu utara. Sumber Data Sekunder yaitu data pendukung, dokumentasi atau pustaka. Dalam hal ini sumber data itu diperoleh dari kantor KPUD dan DPRD kabupaten Luwu utara.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah Tokoh Masyarakat, anggota DPRD kab. Luwu utara, calon legislatif dan anggota KPUD. Dimana sampelnya terdiri

dari, tokoh masyarakat 3 orang, DPC Partai politik 12 Partai, anggota DPRD 2 orang, calon legislatif perempuan 2 orang, dan Ketua KPUD 1 orang jadi jumlah keseluruhan informan yaitu 20 orang.

Adapun informan yang mewakili sebagai berikut :

1. Tokoh Masyarakat 3 orang

a) Sekertaris Daerah b) Mahasiswa c) Tokoh Pemuda

2. Partai Politik 12 Partai

3. DPRD 2 orang

a) Ketua DPRD

b) Anggota DPRD Perempuan

4. Calon legislatif perempuan 2 orang

5. Ketua/anggota KPUD 1 orang

Jumlah informan 20 Informan

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Pengamatan (Observasi)

Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap data keikutsertaan perempuan di KPUD dan kebijakan partai politik terhadap perempuan.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan langsung kepada responden yang berkaitan dengan keikutsertaan perempuan dalam Pemilu DPRD 2014.

3. Studi Dokumentasi

Dokumentasi yaitu melakukan kajian terhadap bahan-bahan tertulis yang menjadi dokumen dan yang tersimpan.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini memuat aspek yaitu:

1. Analisis sebelum lapangan dengan melakukan analisis data hasil studi pendahuluan yang digunakan dalam penentuan fokus penelitian yang berkaitan dengan tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum anggota DPRD 2014 di kabupaten luwu utara.

2. Analisis selama di lapangan dengan menggunakan model miles and huberman (Sugiono, 2012:246) bahwa terdapat beberapa komponen tersebut sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:

a. Pengumpulan data yaitu penelitian yang melakukan pengumpulan data hasil studi pendahuluan sebelum kelapangan menganalisis data hasil tersebut untuk keperluan penentuan fokos penelitian dan pengumpulan data setelah dilapangan tentunya dianalisis untuk merangkum dan memilih hal-hal yang pokok yang dianggap relevan melalui reduksi data.

b. Reduksi data yaitu data yang terkumpul atau diperoleh dilapangan tentunya dianalisis untuk merangkum dan memilih hal-hal yang pokok dianggap relevan melalui reduksi data. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya yang dianggap penting.

c. Sajian data adalah susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan penelitian. Penyajian data dalam bentuk gambaran, skema, dan tabel mungkin akan berguna mendapatkan gambaran yang jelas serta memudahkan dalam penyusunan kesimpulan penelitian. Pada dasarnya, sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematis dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya.

d. Kesimpulan merupakan hasil akhir dari reduksi data dan penyajian data.

kesimpulan penelitian perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya.

F. Keabsahan Data

Kridibilitas data sangat mendukung hasil penelitian,oleh karna itu diperlukan tehnik untuk memeriksa keabsahan data. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik triangulasi. Triangulasi bermakna silang yakni mengadakan pengecekan akan kebenaran data yang akan dikumpulkan dari sumber data dengan menggunakan teknik pegumpulan data yang lain serta pengecekan waktu pada waktu yang berbeda yaitu :

1. Triangulasi sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

2. Triangulasi teknik

Triangulasi tehnik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Kabupaten Luwu Utara dan Profil Tokoh Perempuan di Tanah Luwu

1. Gambaran Umum Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan. Ibu kota Kabupaten Luwu Utara terletak di Masamba. Masamba sebagai Ibukota Kabupaten berjarak 430 Km kearah utara dari Kota Makassar.

Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999 dengan ibukota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu.

Saat pembentukannya daerah ini memiliki luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa.Dengan terbentuknya Kabupaten Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2. (Kabupaten Luwu Utara dalam angka 2013,sumber :BPS Kabupaten Luwu Utara)

Luwu Utara terletak pada koordinat 2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT. Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan:

Di bagian utara : Provinsi Sulawesi Tengah

Di sebelah selatan : Kabupaten Luwu dan Teluk Bone Di sebelah timur : Kabupaten Luwu Timur

Di sebelah barat : Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Tanah Toraja

Secara administrasi Kabupaten Luwu Utara terdiri dari 11 kecamatan, 169 desa dan 7 kelurahan. Jumlah Penduduk Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2013

tercatat sebanyak 290.365 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 146.312 jiwa dan perempuan sebanyak 144.053 jiwa yang tersebar di 11 Kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 46.364 jiwa (15,97%) mendiami Kecamatan Bone-Bone dan jumlah penduduk terkecil yakni 2.912 jiwa (1,00%) mendiami Kecamatan Rampi.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2013 telah mencapai 39 jiwa/km2.Kecamatan Malangke Barat adalah Kecamatan terpadat dengan tingkat kepadatannya 252 jiwa/km2 dan paling rendah adalah Kecamatan Rampi yaitu 2 jiwa/km2. Rincian Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk menurut kecamatan adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Luwu Utara tahun 2013

No .

Kecamatan

Luas Wilayah Penduduk Kepadatan

Penduduk

8. Mappedeceng 275,50 3.67 22.142 7,63 80

9. Rampi 1.565,65 20.87 2.912 1,00 2

10. Limbong 686,50 1.00 3.826 1,32 6

11. Seko 2.109,19 28.11 12.663 4,36 6

Jumlah Total 7.502,58 100,00 290.365 100,00 39 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu Utara tahun 2013

Tabel 2

Nama, Jarak Ibukota, banyaknya Desa/Kelurahan, Lingkungan/ Dusun menurut Kecamatan di Kabupaten Luwu Utara tahun 2013

No. Kecamatan

11. Seko Padang Balua 198 12 0 52

Jumlah Total 169 7 940

Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara tahun 2013

2. Profil tokoh perempuan dari tanah luwu (Opu Daeng Risaju)

Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.

Pendidikan yang ditanamkan sejak kecil lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama. Sebagai seorang puteri bangsawan di daerah Luwu, sudah menjadi tradisi bagi keluarga bangsawan untuk mengajarkan kepada keluarga atau anak-anaknya tentang pola perilaku yang harus dimiliki oleh seorang perempuan.

Pengajaran tentang tata cara kehidupan seorang bahsawan dilaksanakan baik di istana sendiri maupun di luar lingkungan istana. Materi ajaran yang diberikan misalnya bagaimana gerak-gerik diatur, tingkah laku dan cara bergaul bagi anak bangsawan. Pengajaran itu disalurkan lewat pesan-pesan, ceritera-ceritera yang bersifat dongeng dari orang tua atau inang pengasuh. Diajarkan pula tentang tata cara memimpin, bergaul, berbicara dan memerintah rakyat kebanyakan. Di samping itu, diajarkan pula keharusan senantiasa menampilkan keluhuran budi yang memupuk simpatik orang banyak.

Disamping belajar moral yang didasarkan pada adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju belajar pula peribadatan dan akidah sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam tradisi di Luwu, agama dan budaya menjadi satu.

Famajjah sejak kecil membaca Al Quran sampai tamat 30 juz. Setelah membaca Al Quran, ia mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam pengajaran agama tersebut, Famajjah dibimbing oleh seorang ulama. Ilmu lain yang ia pelajari dalam agama yaitu nahwu, syaraf dan balagah. Dengan demikian, Opu Daeng Risaju sejak kecil tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan, sebagaimana lazimnya aktivitas pergerakan di Indonesia pada waktu itu. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.

Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Famajjah adalah anak dari teman dagang ayahnya. Karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Nama Famajjah bertambah gelar menjad Opu Daeng Risaju.

Opu Daeng Risaju mulai aktif di organisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang Asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H.

Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang SI di Pare-Pare. Opu Daeng Risaju, ketika berada di Pare-Pare masuk menjadi anggota SI Cabang Pare-Pare bersama suaminya.

Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh orang-orang PSII.

Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju. Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju.

Opu Daeng Risaju dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua, sedangkan Mudehang seorang gadis yang masih saudara Opu Daeng Risaju terpilih sebagai sekretaris. Mudehang terpilih sebagai sekretaris merupakan kebutuhan organisasi karena dia seorang wanita tamatan sekolah dasar lima tahun yang tentu saja mampu membaca dan menulis.

Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”.

Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat.

Dukungan yang begitu besar terhadap perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.

Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Melalui Kerajaan Luwu berupaya melakukan tekanan-tekanan terhadap kegiatan Opu Daeng Risaju.

Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke, sebuah kota di sebelah utara Palopo. Di malangke Opu Daeng Risaju mengadakan pendaftaran anggota PSII. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di kota ini. Masyarakat di Malangke begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju. Apalagi di kota ini banyak famili dekat Opu Daeng Risaju.

Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkan terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut,

pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.

Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju meresmikan cabang PSII di Malili bersama suaminya Haji Muhammad Daud. Aktifitas Opu Daeng Risaju, di Malili ternyata diawasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda.

Ketika Opu Daeng Risaju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risaju ditangkap kembali oleh Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai orang yang membahayakan dan perlu diawasi.

Ketika di distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol karena dianggap membahayakan. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan protes dari salah seorang familinya yang menjadi pejabat pada pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante. Tindakan Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dan suaminya, menurut Opu Balirante merupakan tindakan yang menghina terhadap derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Opu Daeng Risaju. Opu Dalirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Ancaman Opu Balirante tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda.

Opu Daeng Risaju tidak jadi dihukum.

Pembelaan yang dilakukan oleh Opu Balirante, ternyata tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risaju dalam menyebarkan PSII. Opu Daeng Risaju semakin aktif melakukan kegiatan politiknya. Aktivitas Opu Daeng Risaju sangat tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Opu Daeng Risaju di samping ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga ditekan oleh pihak kerajaan sendiri. Dalam pandangan pihak kerajaan, Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang dekat dengan keluarga kerajaan tidak boleh melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kerajaan Luwu. Waktu itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh Korte Werklaring dengan pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu, misalkan pengangkatan raja harus sepengetahuan dan persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.

Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risaju dan memintanya agar menghentikan kegiatan politiknya. Permintaan kerajaan Luwu tersebut ditolak oleh Opu Daeng Risaju. Bagi Opu Daeng Risaju, kegiatan di PSII merupakan kegiatan dalam rangka mengikuti perintah Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyi munkar”. Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju disebut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi

“Indok” (Ibu) Saju, sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.

Tekanan dari pihak kerajaan bukan hanya pencabutan gelar kebangsawanan. Pihak kerajaan atas kendali Belanda meminta kepasa suami Opu Daeng Risaju yaitu H. Muhammad Daud, agar mau membujuk isterinya

menghentikan kegiatannya. Bujukan suaminya ditolak oleh Opu Daeng Risaju, bahkan Opu Daeng Risaju mempersilakan suaminya untuk mancari isteri lain dan Opu siap untuk bercerai. Akibat tekanan ini, akhirnya Opu Daeng Risaju rela bercerai dengan suaminya.

Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.

Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Pemicu pemberontakan ini terjadi, ketika tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Kemudian tentara NICA menuju ke masjid dan menanyakan orang-orang di dalam masjid, di antaranya seorang Doja (penjaga measjid) yang bernama Tomanjawani. Jawaban dari Tomanjawani tidak memuaskan, sehingga tentara NICA mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran, bahkan Tomanjawani sendiri dipukuli karena mencegah tindakan tentara NICA di Masjid.

Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu.

Mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran sudah merupakan “siri” bagi orang Sulawesi Selatan. Akhirnya para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh tentara NICA, yang kemudian

berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.

Peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo kemudian merembet ke kota-kota lainnya. Di kota-kota lain timbul konflik-konflik senjata antara tentara NICA dengan para pemuda. Salah satu kota yang ikut kena imbasnya dari peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo adalah Beloppa, kota tempat Opu Daeng Risaju tinggal.

Opu Daeng Risaju ketika berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.

Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risaju dibawa ke lapangan sepak bola.

Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu sudah berusia 67 tahun. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke “penjara” semacam tahanan darurat di bawah kolong tanah).

Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya

menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.

Jika dianalisis mengapa perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan konflik dan kekerasan dengan pemerintah kolonial Belada dan Kerajaan Luwu, dapat dilihat dari sistem nilai budaya lokal yang mendasarinya. Bagi Opu Daeng Risaju aktifnya ia di PSII memiliki nilai pesse. Opu Daeng Risaju melihat penjajahan Belanda di daerahnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyaat.

Penderitaan rakyat yang dialaminya, membuat Opu Daeng Risaju merasa terpanggil untuk membelanya dengan cara aktif di PSII.

Perjuangan yang memiliki nilai pesse tersebut ternyata tidak dihargai oleh pemerintahan kerajaan Luwu akibat tekanan dari Belanda. Sikap kerajaan Luwu dan pemerintahan kolonial Belanda dengan melakukan larangan, tekanan sampai pada penangkapan dan pemenjaraan terhadap Opu Daeng Risaju menimbulkan sikap siri’. Aktifitas dan pengangkatan Opu Daeng Risaju di PSII dalam pandangannya merupakan suatu harga diri yang dipertaruhkan.

B. Analisis Partai-partai Politik Terkait Keikutsertaan Perempuan dalam Politik (Pemilihan umum anggota DPRD 2014 di Kab. Luwu Utara)

1. DPD II Partai GOLKAR, DPC Partai Gerindra dan DPC Partai PPP Terkait rekrutmen PARPOL terhadap kader perempuan.

Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-anggota kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Menurut

undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang partai politik, khususnya Pasal 11 ayat 5 yaitu

undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang partai politik, khususnya Pasal 11 ayat 5 yaitu

Dokumen terkait