• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGAPAN MASYARAKAT DAN PARTAI POLITIK TERHADAP KEIKUTSERTAAN PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGAPAN MASYARAKAT DAN PARTAI POLITIK TERHADAP KEIKUTSERTAAN PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGAPAN MASYARAKAT DAN PARTAI POLITIK TERHADAP KEIKUTSERTAAN PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DPRD 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA

TAWAKKAL BAHARUDDIN Nomor Stambuk : 105640074910

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

(2)

TANGGAPAN MASYARAKAT DAN PARTAI POLITIK TERHADAP KEIKUTSERTAAN PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DPRD 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

TAWAKKAL BAHARUDDIN Nomor Stambuk : 105640074910

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MAKASSAR

2014

(3)

PERSETUJUAN

Judul proposal penelitian : Tanggapan Masyarakat dan Partai Politik Terhadap Keikutsertaan perempuan Dalam Pemilu Anggota DPRD 2014 di Kabupaten Luwu Utara

Nama Mahasiswa : Tawakkal Baharuddin Nomor Stambuk : 105640074910

Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Menyetujui :

Pembimbing I

Dra. Hj. Budi Setiawati, M.Si

Pembimbing II

Syamsir Rahim, S.Sos, M.Si

Diketahui Oleh ;

Dekan Ketua Jurusan

Fisipol Unismuh Makassar Ilmu Pemerintahan

Dr. H. Muhlis Madani,.M.Si A. Luhur Prianto, S.IP, M.Si NBM : 696 063 NBM : 1084 366

(4)

PENERIMAAN TIM

Telah diterima oleh TIM penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, berdasarkan Surat Keputusan/Undangan menguji ujian skripsi dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Makassar, Nomor. 1163/FSP/AI-VIII/VII/35/2014 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S.1) dalam program studi Ilmu Pemerintahan Di Makassar pada hari Jumat tanggal Sebelas Bulan Juli Tahun Dua Ribu Empat Belas.

TIM PENILAI

Ketua, Sekretaris,

Dr. H. Muhlis Madani, M.Si Drs. H. Muhammad Idris, M.Si

Penguji:

1. Dr. H. Lukman Hakim, M.Si (Ketua) (……… )

2. Drs. H. Mappigau Samma, M.Si (……… )

3. Dra. Hj. Budi Setiawati, M.Si (………....)

4. Samsir Rahim, S,Sos, M.Si (……… )

(5)

Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Tawakkal Baharuddin Nomor Stambuk : 105640074910

Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerimah sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku.

Makassar, 17 Agustus 2014 Yang menyatakan,

Tawakkal Baharuddin

(6)

ABSTRAK

TAWAKKAL BAHARUDDIN. Tanggapan Masyarakat dan Partai Politik Terhadap Keikutsertaan perempuan Dalam Pemilu Anggota DPRD 2014 di Kabupaten Luwu Utara (dibimbing oleh Budi Setiawati dan Syamsir Rahim ).

Minimnya partisipasi perempuan dalam politik di Kabupaten Luwu utara, ini bisa dilihat dari jumlah anggota legislatif di Kabupaten Luwu utara yang hanya satu orang dari 35 kursi yang disediakan. anggota legislatif perempuan terebut adalah Endang Sri Hartati, Amd dari Partai HANURA, Sebab utama dari minimnya partisipasi perempuan dalam politik di Kabupaten Luwu utara, menurut Endang Sri Hartati, Amd, dikarenakan apatisme perempuan dalam politik dan minimnya perhatian partai politik. Hal ini bisa dilihat dari minimnya perempuan yang mampu menempati posisi stakeholders politik di Luwu utara.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data tersebut berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya.

Wawancara menetapkan pandangan yang beragam tentang kontribusi perempuan dalam parlemen. Hasil mengungkapkan bahwa perempuan terbatas dalam kemampuan berkontribusi sama untuk politik dibandingkan dengan politisi laki-laki dikarenakan efektivitas jumlah perempuan lebih sedikit dari pada laki- laki, adapun perempuan dan laki-laki memberikan kontribusi yang sama dan itu tergantung pada kemampuan individu. Sementara hasil untuk topik ini, hasilnya sepakat bahwa politisi perempuan sangat penting untuk kesetaraan gender dan memastikan isu-isu perempuan dibahas dalam DPRD di kabupaten Luwu utara.

Kata Kunci : Masyarakat, Partai Politik, Politik Perempuan,Pemilu,DPRD

(7)

KATA PENGANTAR

“Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan Syukur Alhadulillahi Rabbil Alamin atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, hidayah dan magfirah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Tanggapan Masyarakat dan Partai Politik Terhadap Keikutsertaan perempuan Dalam Pemilu Anggota DPRD 2014 di Kabupaten Luwu Utara”.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosil dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih pula kepada Ibu Dra. Hj. Budi Setiawati, M.Si, sebagai pembimbing I dan Bapak Syamsir Rahim, S.Sos, M.Si sebagai pembimbing II, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis sejak pengusulan judul sampai kepada penyelesaian Skripsi ini.

Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar Dr. H. Irwan Akib, M. Pd.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar Dr. H. Muhlis Madani, M.Si

3. Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Andi Luhur Prianto, S.IP, M.Si yang telah membina jurusan ilmu pemerintahan.

(8)

4. Dosen Fisipol, Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan di kampus ini.

5. Terkhusus kepada keluarga penulis yang membantu penulis berupa materi maupun non materi.

6. Teman-teman dari kelas IP B 10, HIMJIP dan HmI sebagai teman seperjuangan yang telah banyak memberi saran, dukungan, dan motivasi kepada penulis.

7. Seluruh teman-teman yang tak henti-hentinya memberi saran dan membantu serta memberikan dukungan semangat kepada penulis.

Semoga bantuan semua pihak senantiasa mendapatkan berkah di sisi Allah SWT, Amin…

Makassar, 17 Agustus 2014

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Pengajuan Skripsi……….. i

Halaman Persetujuan... ii

Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah... iii

Abstrak……… iv

Kata Pengantar……… v

Daftar Isi... vii

Daftar Tabel………. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Kegunaan Penelitian... 9

BAB II TINJAUN PUSTAKA A. Konsep Dasar Perempuan Dalam politik ………. 11

B. Politik………... 15

C. Masyarakat………... 17

D. Keterbukaan Politik Masyarakat.……… 19

E. Pengertian Partai Politik………... 21

F. Pengertian Pemilu……… 24

G. Kerangka Pikir………... 31

H. Deskripsi Fokus Penelitian..………... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian... 37

B. Jenis dan Tipe Penelitian... 37

C. Informan Penelitian... 38

D. Tehnik Pengumpulan Data... 38

E. Tehnik Analisis Data... 39

F. Keabsahan Data ... 40 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Kabupaten Luwu Utara dan Profil Tokoh Perempuan di Tanah Luwu

(10)

1. Gambaran Umum Kabupaten Luwu Utara……….. … 42 2. Profil tokoh perempuan dari tanah luwu (Opu Daeng Risaju)….. 45 B. Analisis Partai-partai Politik Terkait Keikutsertaan Perempuan dalam

Politik (Pemilihan umum anggota DPRD 2014 di Kab. Luwu Utara) 1. DPD II Partai GOLKAR, DPC Partai Gerindra dan DPC Partai PPP

Terkait rekrutmen PARPOL terhadap kader perempuan………. 54 2. DPC Partai PKS, DPC Partai PKPI dan Partai HANURA Terkait

Peran Perempuan di DPRD Kab. Luwu utara………. 57 3. DPC Partai PAN, DPC Partai PDIP dan DPC partai DEMOKRAT

Terkait Kuota 30% Keterwakilan perempuan………. 60 4. DPC Partai PBB, DPC Partai NASDEM dan DPC Partai PKB terkait

apa yang perlu disiapkan untuk menguatkan kapasitas perempuan di

dalam politik……… 63

C. Analisis KPUD dan DPRD Kabupaten Luwu Utara Terkait Politik Perempuan

1. Analisis Ketua KPUD Terkait Aturan Kuota 30 Persen

Keterwakilan Perempuan………... . 67 2. Analisis Ketua DPRD Terkait Keterwakilan Perempuan di DPRD

Luwu Utara………. 69

D. Alasan Keikutsertaan dan Hambatan Perempuan di Dalam Politik 1. Alasan Keikutsertaan Perempuan dalam pemilu legislatif di DPRD

Luwu Utara ……….. 70

2. Hambatan-Hambatan Minimnya Keterwakilan Perempuan di Dalam Politik……… 72 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….. 77

B. Saran ……….... 79

DAFTAR PUSTAKA………... 80

(11)

DAFTAR TABEL

1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan

Di Kabupaten Luwu Utara tahun 2013……… 43 2. Nama, Jarak Ibukota, banyaknya Desa/Kelurahan, Lingkungan/

Dusun menurut Kecamatan di Kabupaten

Luwu Utara tahun 2013…... 44 3. Persentase Keterwakilan Perempuan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Luwu utara Dalam Pemilihan

Umum Tahun 2014……….. 68

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Perempuan memang bukan kelompok rentan seperti anak, lansia, dan penyandang cacat, melainkan kelompok terdiri atas setengah jumlah penduduk yang terus menerus mengalami diskriminasi berbasis gender di sepanjang hidupnya, sejak lahir sampai akhir hidup.

Sebagai bagian dari isu-isu global, isu hak asasi perempuan dan gender sudah mempunyai landasan-landasan universal baik itu landasan yang mengikat secara hukum, yaitu piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945 maupun yang mengikat secara moral yaitu deklarasi umum tentang HAM (DUHAM) tahun 1948. Bila ingin melihat dan menelaah lebih rinci, hal ini khususnya tercantum dalam pasal-pasal berikut: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada perkecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum, atau kedudukan internasional, dari Negara atau daerah asal seseorang, baik dari Negara

(13)

yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwakilan, jajahan, atau yang berbeda di bawah batasan kedaulatan yang lain.” ( pasal 2, DUHAM), dan “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut, atau keadaan lain yang mengakibatkannya kekurangan penghasilan, yang diluar kekuasaannya. Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak, baik yang di lahirkan di dalam maupun diluar pernikahan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.”( pasal 25:1).

Negara Indonesia adalah Negara hukum dimana salah satu ciri khasnya adalah adanya pengakuan Hak Asasi Manusia yang mengandung persamaan di bidang politik, tetapi dalam kenyataanya berbeda karena pengakuan dan perlindungan atas hak-hak tersebut masih terdapat diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya pemberdayaan perempuan di dalam pemerintahan ataupun di dalam parlemen, padahal banyak sekali kaum perempuan yang berpotensi atau tidak kalah dengan kaum laki-laki dalam berpolitik.

Sejak dulu kita menyaksikan bagaimana perempuan Indonesia telah berorganisasi dan mengadakan beberapa aksi. Kita bisa melihat dan menyebutkan misalnya perempuan Indonesia yang membentuk organisasi Putri merdiko (1912) di Batavia, tujuan dari organisasi ini adalah untuk mendorong emansipasi wanita atau perempuan dengan cara memberikan beasiswa kepada anak-anak pribumi

(14)

Bumi Putra agar mereka dapat melanjutkan sekolah. Tidak hanya di Batavia saja tetapi perempuan di luar Batavia pun juga mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi agar tidak adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.

Perempuan ingin menunjukan bahwa perempuan juga bisa melakukan organisasi dalam berpolitik, mengeluarkan pikiran dan pendapatnya dimuka umum. Dalam Perundang-undangan Nasioanal, mengenai pengakuan dan perlindungan hak politik perempuan, sebenarnya sudah diatur sejak lama. Hal ini dapat kita lihat perkembangan Hak Asasi Manusia di bidang politik yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat ini. Hak politik perempuan pada dasarnya adalah Hak Asasi Manusia, dan Hak Asasi Manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini, sesungguhnya tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Tapi pada kenyataanya hak-hak perempuan masih dipolitisir dan dimobilisasi atas nama demokrasi.

Tuntutan bagi peningkatan keterwakilan politik perempuan di Indonesia, sudah ramai dibicarakan sejak akhir tahun1998 setelah turunnya Soeharto dari kekuasaan rezim Orde Baru. Dalam periode Revolusi kemerdekaan, peran dan posisi perempuan dengan laki-laki cukup seimbang. Mereka tidak merendahkan, tidak diasosiasikan sebagai ibu yang tugas utamanya menjadi pendamping suami dan mengurus rumah tangga akan tetapi perempuan justru diikutsertakan dalam perjuangan bangsa.

(15)

Tiga konstitusi yang pernah berlaku sejak masa kemerdekaan, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS, dan Undang-Undang Tahun 1950 juga memuat mengenai pasal-pasal tentang hak politik perempuan dalam kadar dan penekanan yang berbeda, yang disusun kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi politik pada saat penyusunannya. Penyusunan materi muatan Hak Asasi Manusia dalam Amandemen kedua UUD 1945 pun tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang ada, sejalan dengan suasana demokratisasi, keterbukaan, kemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di bidang politik serta upaya mewujudkan Negara berdasarkan hukum. Dalam perkembangan pemerintahan Indonesia juga mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai salah satu aturan pelaksana dari ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Namun dengan disahkannya UU ini menjadi pro dan kontra di dalam masyarakat.

Pengaturan perundang-undangan yang diuraikan dapat dilihat bahwa jelas pemerintah Indonesia telah mengatur mengenai pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia khususnya di bidang politik perempuan sejak awal kemerdekaan bahkan telah terlihat sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi kenyataannya di dalam masyarakat belum sepenuhnya mematuhi dan menjalankan semua ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perundang-undangan, sehingga terkesan pengakuan dan perlindungan HAM di bidang politik hanya bersifat tekstual saja.

Terjadinya transisi politik di Indonesia yang bergulir dan menempatkan K.H Abdurrahman Wahid sebagai presiden (1999-2001) awalnya disambut gembira oleh banyak kalangan, karena memberikan nuansa baru dalam proses

(16)

pemberdayaan perempuan, karena Gusdur yang dikenal sebagai tokoh demokrat dan pluralis yang memahami betul bagaimana pentingnya penguatan peran masyarakat, serta hak dan instrumen demokrasi lainnya dalam membangun kehidupan demokrasi yang sejati di Indonesia. Upaya maksimal dari pemberdayaan perempuan seperti itu menunjukan adanya political will dari pemerintah yang apresiatif terhadap perkembangan persamaan hak berserikat, berkumpul dan dipilih dalam pergulatan politik nasional. Akan tetapi pada saat yang bersamaan iklim kecurigaan masih sangat kental. Tidak mudah bagi mereka untuk duduk bersama dalam satu meja dan bersama-sama berbicara dan berdiskusi untuk mencari jalan keluar berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, dan terutama masalah persoalan-persoalan yang dihadapi kalangan perempuan dan kelompok- kelompok marjinal lainnya di Indonesia.

Berakhirnya kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid, kemudian diganti dengan pemerintahan Megawati Soekarno Putri yang diharapkan untuk menjadikan perempuan lebih baik, karena mengingat dirinya adalah perempuan dan publik berharap Megawati akan lebih baik memahami dan mengerti kebutuhan perempuan. Di masa pemerintahan Megawati memang konflik politik antar parlemen dan pemerintah relatif tenang. Dalam isu affirmative action untuk perempuan, Megawati kelihatannya tidak terlalu peduli, bahkan komentarnya justru cenderung memojokan mereka yang memperjuangkan isu ini. Situasi ketidakberpihakan Megawati pada gerakan perempuan, tidak menghalangi gencarnya perdebatan dan diskusi mengenai peningkatan keterwakilan perempuan. Secara umum ada 2 persoalan yang menyebabkan pemberdayaan

(17)

perempuan dalam berpolitik menjadi lemah, yakni budaya (kultur) dan sistem yang berlaku (struktur) yang akan terus-menerus menimpa perempuan yang ingin mencapai kesetaraannya dalam politik.

Secara spesifik ketika dikhususkan dalam kancah politik kenegaraan, hanya sedikit yang memegang kekuasaan dalam dekade Indonesia merdeka, baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dari gambaran di atas, maka perempuan sebagai salah satu subyek maupun obyek pembangunan politik Indonesia, harus mampu tampil dan berani ke depan untuk menunjukan kemampuannya dalam berpolitik serta harus mensosialisasikan perspektif gender di masyarakat pada umumnya, sehingga kaum perempuan mengetahui hak-hak politiknya baik dalam kehidupan sosial maupun politik, dengan demikian kaum perempuan setidaknya mendapatkan jaminan perlindungan terhadap hak-hak politiknya serta dapat memperjuangkan hak-hak perempuan yang cenderung lemah dalam partai politik maupun lembaga legislatif yang ada di Indonesia.

Peran perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia selalu menarik untuk diperdebatkan. Apalagi dalam sebuah masyarakat yang memiliki sejarah budaya patriarki yang sangat kuat, peran dan partisipasi politik perempuan terasa perlu untuk terus didorong naik ke permukaan. Bagaimana stereotip terhadap perempuan sebagai kaum yang selalu dianggap lemah, tidak patut mengatur dan memimpin, tidak memerlukan pendidikan tinggi karena hanya akan berada di rumah, dan sebagainya itu mendegradasi dan terus menihilkan peran perempuan dalam kehidupan sosial politik dan kepemimpinan dalam masyarakat.

(18)

Partisipasi politik perempuan tersebut, seyogyanya tidak selalu harus dilekatkan dengan keterlibatan secara personifikasi kaum perempuan dalam sturuktur politik baik dalam skala nasional maupun lokal. Namun yang lebih subtantif yang harus dilihat adalah sejauh mana elektabilitas dari legitimasi konstutisional mampu mengakomodir hak-hak kaum perempuan, salah satu yang paling krusial dalam hal ini adalah hak memilih dan dipilih dalam struktur kehidupan sosial politik masyarakat.

Farida Nurland (2008), mengidentifikasi beberapa masalah dan kendala dalam partisipasi politik perempuan. Pertama, budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal. Kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama. Ketiga, hegemoni negara masih sangat dominan, hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan. Dalam hal ini sangat terlihat bahwa kultur patriarki dan sistem politik yang ada menjadi diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Beragam persoalan masih menimpa perempuan mulai dari kemiskinan, rendahnya kesehatan & akses pendidikan, diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga. Dalam pandangan pemuja demokrasi & gender, persoalan-persoalan perempuan tersebut diakibatkan adanya bias gender. Mereka pun menempatkan laki-laki sebagai musuh. Menurut mereka, kekuasaan pemerintahan & legislatif yang didominasi oleh laki-laki mengakibatkan banyaknya kebijakan yang tidak memihak kaum perempuan. Logika mereka pun berkata, agar persoalan perempuan dapat terselesaikan, maka perempuan harus

(19)

diberi ruang akses yang besar untuk duduk di kursi kekuasaan atau parlemen.

Mereka meyakini bahwa persoalan perempuan hanya dapat di selesaikan oleh perempuan. Semakin banyak perempuan yang memiliki posisi pemegang kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif maka akan semakin banyak lahir kebijakan atau undang-undang yang memihak perempuan, dengan begitu persoalan perempuan akan terselesaikan.

Minimnya partisipasi perempuan dalam politik di Kabupaten Luwu utara, ini bisa dilihat dari jumlah anggota legislatif di Kabupaten Luwu utara yang hanya satu orang dari 35 kursi yang disediakan. anggota legislatif perempuan terebut adalah Endang Sri Hartati, Amd dari Partai HANURA, Sebab utama dari minimnya partisipasi perempuan dalam politik di Kabupaten Luwu utara, menurut Endang Sri Hartati, Amd, dikarenakan apatisme perempuan dalam politik dan minimnya perhatian partai politik.

Dari gambaran diatas menjadi alasan bagi penulis mengambil judul

“Tanggapan Masayarakat Dan Partai Politik Terhadap Keikutsertaan Perempuan Dalam Pemilu Anggota DPRD 2014 di Kabupaten Luwu Utara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa alasan perempuan untuk turut ikut serta dalam pemilu anggota DPRD 2014 di kabupaten Luwu Utara?

2. Bagaimana tanggapan masayarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu anggota DPRD 2014 di kabupaten Luwu Utara?

(20)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan perempuan turut ikut serta dalam pemilu anggota DPRD 2014 di kabupaten Luwu Utara.

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masayarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu anggota DPRD 2014 di kabupaten Luwu Utara.

D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu yang mengkaji kiprah perempuan dalam politik atau pun refleksi terhadap emansipasi perempuan.

b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti berikutnya dalam topik yang relevan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi penulis untuk menjadi pelaku politik yang berguna bagi bangsa kedepannya.

b. Sebagai motivasi bagi masyarakat dan pemerintah setempat untuk memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam perpolitikan.

c. Memberikan sumbangsi pemikiran bagaimana menjadi masyarakat politik yang baik dan bijaksana dalam menanggapi prokontra perempuan dalam bingkai politik demokrasi di Indonesia.

(21)

3. Manfaat Akademis

a. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan.

b. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang tertarik dengan masalah yang sama.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Perempuan Dalam politik

Eka komariah kuncoro (kompas, 2013) pernah menyatakan bahwa pada suatu pembahasan masalah yang beranggotakan 50 orang anggota dan hanya satu anggota perempuan, ketika anggota perempuan tersebut berupaya menyampaikan ide agar keputusan yang diambil mempertimbangkan kepentingan perempuan, maka para anggota pansus yang pada umumnya laki-laki langsung menyoraki seakan hal itu sesuatu yang memalukan. Kondisi tersebut kemudian memberi kesadaran para anggota perlemen perempuan dan juga aktivis pejuang perempuan lainnya bahwa jumlah yang signifikan juga sangat rasional diperlukan agar mampu mempengaruhi keputusan yang diambil. Selain keterwakilan yang rendah, faktor lainnya adalah belum adanya platform yang secara konkrit membela kepentingan perempuan.

Partai politik berdasarkan sistem politik dan Pemilu Indonesia adalah pihak yang sangat berpengaruh dalam menetukan kebijakan partai. Dalam penentuan kandidat calon legislatif, partai politiklah yang menentukan urutan nama calon, juga lolos tidaknya calon pada tahap awal ditentukan oleh partai politik. Kecenderungan partai politik yang masih maskulin didominasi laki-laki pada posisi pengambilan keputusan berimplikasi pada bagaimana dan dimana perempuan ditetapkan sebagai calon. Alasan-alasan tersebut merupakan bagian dari pertimbangan bahwa kuantitas sangat penting, bukan hanya kualitas.

(23)

Dalam sejarah parlemen di dunia dan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa jumlah wakil parlemen yang semakin signifikan seperti 20, 30 atau bahkan 40 persen dari total anggota sangat memberi dampak pada berhasil tidaknya sebuah isu diperjuangkan. Kalangan feminist sendiri menyakini bahwa memberi tempat lebih banyak bagi perempuan dalam politik akan memberikan angin segar dan harapan bagi perubahan politik yang arogan, korup dan patriarki. Salah satu cara yang dipilih sebagai strategi perjuangan adalah upaya agar kuota 30 persen perempuan di parlemen menjadi tindakan sementara (affirmative action) dapat terwujud. Dikatakan sebagai tindakan sementara karena memang kuota bukanlah sebuah tujuan akhir, namun affirmative action kuota 30 persen ini diperlukan karena keadaan dan start yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kuota akan mampu menggairahkan perempuan untuk terjun ke politik karena terbuka jalan yang selama ini faktanya sangat sulit bagi perempuan, Chusnul Ma’iyah (kompas, media indonesia dan hasil wawancara langsung, 2013).

Posisi perempuan dalam politik masih terpinggirkan, terkucilkan dan partai politik pun sebagian besar tidak memiliki platform yang jelas bagi perempuan, bahkan ada partai politik yang tidak memiliki kebijakan- kebijakan spesifik perempuan. Alasannya karena merasa tidak ada masalah dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Undang-undang dasar pun tidak membedakan laki-laki dan perempuan, tapi menyebutkan semua kebijakan bagi warga negara atau penduduk Indonesia. Masalah ini memang bukan hanya dialami oleh Indonesia, tapi ini merupakan masalah global yang dialami oleh seluruh negara di dunia. Sebagian besar negara didunia berada pada tingkat keterwakilan

(24)

perempuan yang rendah di parlemen, bahkan di negara-negara Arab, perempuan baru memperoleh hak pilih sepuluh tahun belakangan. Ironis memang, tapi inilah realitas yang paling memilukan bagi perempuan. Hal itu disebabkan karena tidak ada kesetaraan gender dan representasi politik di negara manapun, termasuk negara maju.

Ani Soetjipto (2011), nasib perempuan masih tetap subordinat baik dilihat dari sektor budaya, ekonomi, politik bahkan pemahaman agama. Gerakan perempuan memperjuangkan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen merupakan gerakan memperjuangkan kehidupan politik yang demokratis bagi seluruh perempuan bukan hanya di Indonesia tapi dunia. Dalam kongres APU (Aspsirasi Uni Parlemen) tahun 1995 perjuangan kuota mulai diperbincangkan dan anggota kongres menyepakati kuota 30 persen di parlemen untuk perempuan.

Hal itu lebih ditegaskan dalam kongres perempuan se-dunia tahun 1996 di Beijing, China. keputusan dan kesepakatan kongres APU dan kongres beijing menjadi landasan perjuangan perempuan tentang kuota 30 persen. Untuk Indonesia, pada level awal yaitu setelah kongres, affirmative action dan kuota 30 persen masih merupakan wacana, pemilu 1999 yang dinilai demokratis dan terbuka ternyata tetap tidak membawa perubahan dan peningkatan signifikan sebagaimana yang diharapkan dalam persoalan keterwakilan perempuan di parlemen, walau saat itu jumlah partai sangat banyak, dimana memungkinkan terwakilinya perempuan semakin banyak, tapi nyatanya dari hasil yang diperoleh juga sangat mengecewakan yaitu hanya 9 % perempuan di parlemen DPR pusat, kondisi yang lebih buruk terjadi pada level daerah.

(25)

Berdasarkan realita tersebut, maka dipandang perlu ada kebijakan khusus untuk mendukung kaum perempuan agar mau terjun ke politik. Hal itu karena start antara perempuan dan laki-laki yang sudah berbeda. Kondisi laki-laki dalam realitas sosial, budaya dan politik juga berbeda. Disamping pertimbangan tersebut, bagi aktivis perempuan dan ahli politik perempuan memandang jumlah juga penting untuk memudahkan sebuah isu dapat diperjuangkan. Perubahan akan mungkin dilakukan dengan jumlah keterwakilan perempuan yang memadai.

Alasan itulah yang kemudian dinyatakan bahwa untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dapat dipercepat dengan tindakan affirmative action sebagai kebijakan strategis yang legal dalam undang-undang. Urgensi kelembagaan pemberdayaan perempuan tetap diberlukan karena kondisi kaum perempuan di Indonesia masih memprihatinkan dan memerlukan lembaga yang setiap saat dapat memperjuangkan nasib kaum perempuan.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pada tahap awal setelah kongres APU dan kongres perempuan se-dunia tentang affirmative action dan kuota 30 persen bagi upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen masih berupa wacana. Tapi melihat realitas konkrit dengan hasil pemilu 1999 yang hanya memperoleh keterwakilan perempuan 9 persen dan juga realitas di lembaga publik lainnya, maka dinyatakan perlu perjuangan lebih konsisten dan terencana atas affirmative action. Dan perjuangan tersebut harus dilakukan oleh semua perempuan bahkan semua komponen bangsa, karena sangat tidak mungkin melakukan perjuangan sendiri atau hanya oleh kelompok tertentu. Pada tahun 2001 gerakan yang lebih terarah dan terencana digalakkan oleh aktivis perempuan

(26)

baik dari kalangan LSM, ornop, perempuan parlemen dan perempuan partai politik.

Smita Notosuasaminto (Kompas,2008), langkah pertama yang dilakukan adalah mempersatukan persepsi diantara perempuan dan organisasi pemerhati perempuan, perempuan partai politik dan perempuan parlemen. Pertama kali dilakukan adalah menyamakan dan menyatukan persepsi atau ideologi perjuangan kaum perempuan atas kuota tersebut. Membutuhkan waktu 2 tahun untuk mengkampanyekan affirmative action dan juga membentuk jaringan perempuan agar memiliki isu perjuangan yang sama, walau tetap melakukan dengan cara masing-masing. Kelompok-kelompok untuk mendukung perjuangan affirmative action terbentuk yang dikenal dengan kelompok perempuan peduli politik seperti kaukus perempuan politik indonesia (KPPI).

B. Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.

Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai

(27)

kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.

Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur. negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.

(28)

Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan- tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).

C. Masyarakat

Community dalam bahasa yunani adalah “persahabatan”. Sebagai refleksi dari arti kata tersebut, aristoteles mengemukakan bahwa manusia yang hidup bersama dalam masyarakat karena mereka menikmati ikatan yang saling bekerja sama, untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan untuk menemukan makna kehidupan. Masyarakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat atau community dalam bahasa inggris atau juga komunitas. Secara

(29)

etimologi “community” berasal dari komunitas yang berakar pada comunete atau comman.

Community mempunyai dua arti (Talizi,1990-49) :

a. Sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama

b. Sebagai suatu pemuliman yang terkecil di atasnya ada kota kecil (town), dan di atas kota kecil ada kota atau kota besar (city).

Thomas Hobber (1990), mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebuah proses alamiah dimana orang-orang yang hidup bersama untuk memaksimalkan kepentingan mereka, Hobbes merasa bahwa kepentingan diri sendiri dapat ditemukan dalam kelompok. Konsep komunitas masyarakat yang baik (good community) mengandung Sembilan nilai (the competent community) yaitu:

1) Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu dengan yang lain berdasar hubungan pribadi.

2) Komunitas memiliki otonomi, kewenangaan,dan kemampuan mengurus kepentingan sendiri.

3) Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri.

4) Distribusi kekayaan yag merata, setiap orang berkesempatan yang sama dan bebas menyatakan kehendaknya.

5) Kesempatan setiap anggota untuk berpatisipasi aktif dalam mengurus kepentingan bersama.

(30)

6) Komunitas memberi makna kepada anggotanya sejauh manakah pentingnya komunitas bagi seorang anggota.

7) Di dalam komunitas dimungkinkan adanya heterogenitas dan perbedaan pendapat.

8) Di dalam komunitas, pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin pada yang berkepentingan.

9) Di dalam komunitas bisa terjadi konflik, namun komunitas memiliki kemampuan untuk managing conflict.

D. Keterbukaan Politik Masyarakat

Salah satu ciri masyarakat berdemokrasi adalah adanya keterbukaan. Di antara berbagai pihak dan bahkan institusi diharuskan membuka diri. Selain itu semua orang dianggap sama di hadapan hukum, sosial, dan juga politik. Hal-hal yang bersifat publik tidak boleh ditutupi-tutupi. Itulah keadaan masyarakat terbuka.

Dalam masyarakat terbuka tidak boleh ada pihak-pihak yang merasa memiliki hak khusus atau istimewa. Semua diperlakukan secara sama. Kalau terdapat perbedaan, maka hanya menyangkut hal tertentu dan harus didasarkan pada peraturan yang jelas. Itulah kehidupan bersama atas dasar keterbukaan.

Hak-hak dan kewajiban dalam masyarakat terbuka diatur secara jelas.

Siapapun harus mengikuti aturan itu. Selain itu, bagi siapa saja yang melakukan kesalahan di ranah publik akan dikenai sanksi hukum. Di hadapan hukum, semua orang tidak ada yang diperlakukan secara khusus. Semua orang diperlakukan secara sama.

(31)

Bagi masyarakat pada umumnya, keterbukaan itu justru memberikan kepastian. Rasa keadilan akan memungkinkan untuk diperoleh. Hukum tidak hanya berlaku bagi orang-orang tertentu, tetapi juga akan berlaku bagi semuanya.

Dalam masyarakat tertutup, beberapa pihak yang dekat dengan penguasa bisa mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, masyarakat terbuka, siapapun, tidak terkecuali penguasa sendiri, di hadapan hukum akan diperlakukan secara sama.

Keterbukaan seperti itu, bagi penguasa tidak mudah menjalankan kekuasaannya. Mereka tidak bisa melakukan tindakan sewenang-wenang.

Masyarakat melalui media massa, LSM, dan juga wakil-wakilnya di parlemen akan memberikan pengawasan. Kesalahan sekecil apapun akan diangkat ke permukaan. Contoh kecil, pejabat pemerintah yang ditengarai mengajak serta keluarganya naik haji tidak lewat prosedur resmi, sekalipun misalnya, atas biaya sendiri, menjadi berita yang kurang enak.

Keterbukaan juga memungkinkan terjadinya benturan antar pejabat dan bahkan juga antar institusi. Konflik terbuka antara lembaga eksekutif dan legislatif, antara DPR dan KPK, antara KPK dan Kepolisian, BUMN dan DPR, dan lain-lain terjadi secara terbuka. Rakyat akan menyaksikannya. Kejadian seperti itu, dalam kadar tertentu, ada untungnya. Misalnya, seseorang pejabat tidak akan melakukan sesuatu atas kemauan dan keuntungannya sendiri.

Sebaliknya, dampak negatifnya, bahwa pemimpin telah memberikan contoh tentang sesuatu yang seharusnya dihindari.

E. Pengertian Partai Politik

(32)

Partai politik merupakan terjemahan dari political party, yang berasal dari kata "part", yang memiliki arti "bagian". Secara umum, partai politik dapat dikatakan sebagai suatu kelompok yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan organisasi ini ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Adapun undang-undang tentang partai politik sebagai berikut:

a. Undang-undang No. 2 tahun 2008 pasal 1

1) Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik.

3) Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.

4) Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

5) Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.

6) Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

(33)

7) Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

b. Undang-undang No. 2 tahun 2008 pasal 2 tentang pembentukan partai politik 1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)

orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.

2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.

4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:

a. asas dan ciri Partai Politik b. visi dan misi Partai Politik

c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik d. tujuan dan fungsi Partai Politik

e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan f. kepengurusan Partai Politik

g. peraturan dan keputusan Partai Politik h. pendidikan politik

i. keuangan Partai Politik

(34)

5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

c..Undang-undang No. 2 tahun 2008 pasal 10 1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(35)

3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.

d. Undang-undang No. 2 tahun 2008 pasal 11 1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.

F. Pengertian Pemilu

Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu di Indonesia merupakan suatu sarana dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan

(36)

Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu.

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim (2003), Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu.

Bagir Manan (2004), Pemilhan umum yang diselenggarakan dalam periode lima tahun sekali adalah saat ataupun momentum memperlihatkan secara langsung dan nyata pemerintahan oleh rakyat. Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang bermimpi duduk sebagai penyelenggara negara dan juga pemerintahan bergantung sepenuhnya pada kehendak atau keinginan rakyatnya.

1) Sistem Pemilihan Umum

Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama. Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen

(37)

yang merupakan sistem itu sendiri dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya:

1. Sistem hak pilih

2. Sistem pembagian daerah pemilihan.

3. Sistem pemilihan 4. Sistem pencalonan.

Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang berbeda-beda dan memiliki cirikhas masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada dua prinsip pokok, yaitu:

a. Sistem Pemilihan Mekanis

Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam

mengeluarkan satu suara di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.

b. Sistem pemilihan Organis

Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekutuan- persekutuan inilah yang diutamakan menjadi pengendali hak pilih.

2) Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat

(38)

diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan desember.

Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional.

Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan.

Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai.

Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.

3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)

(39)

Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsaIndonesia.

Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.

Gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian.Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun 1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai.

4. Zaman Reformasi (1998- Sekarang)

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberalisasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang

(40)

berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.

Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja.

Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2%

dari jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Untuk partai politik baru persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.

Pentingnya Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret keiktsertaan (partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem &

kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan demokratis.

c) Asas-asas Pemilu 1. Langsung

(41)

Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.

2. Umum

Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain.

3. Bebas

Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.

4. Rahasia

Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

5. Jujur

Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Adil

Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

G. Kerangka Pikir

(42)

Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%”.

Affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat ditelaah ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa ‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”. Pada kelembagaan partai politikpun, affirmative action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan

(43)

keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: ‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa:

‟Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris”.

Affirmative action juga dilakukan pada semua tingkatan kepengurusan dari pusat hingga kabupaten/kota. Mengenai pelaksanaan dan teknisnya, diserahkan aturan masing-masing partai politik. Ketentuan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ‟Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”.

Affirmative action terhadap perempuan pada partai politik, tidak berhenti pada pendirian dan kepengurusan saja. Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa ‟Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah

(44)

memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative action agar perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.

Ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Dengan demikian affirmative action, keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system.

Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang- kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan ‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai politik menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu diantaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang perempuan

(45)

harus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah nomor urut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7, misalnya, maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4 hingga 6. Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai politik melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota legislatif tersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi wewenang untuk memberitahukanya kepada publik.

Pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”.

Keterwakilan perempuan terus meningkat seiring dengan berlakunya peraturan perundang-undangan yang menekankan perlunya affirmative action tersebut. Peningkatan keterwakilan perempuan yang lebih signifikan saat zipper system diberlakukan pada sistem penetapan bakal calon anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Di samping penerapan kuota perempuan 30%, bakal calon perempuan tersebut harus diletakan pada 1 (satu) di antara 3 (tiga) bakal calon.

(46)

BAGAN KERANGKA PIKIR

H. Deskripsi Fokus Penelitian

Perempuan harus tahu bahwa dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (PARPOL), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Partisipasi perempuan Indonesia dalam politik masih sangat rendah. Hal itu terbukti dengan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen, lembaga- lembaga tinggi negara, pemeritah, partai politik dan juga di organisasi-organisasi publik lainnya yang masih minim. Kondisi ini di percaya oleh para pejuang

Tanggapan masyarakat dan

partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam

pemilu

Faktor diberlakukannya

Kuota 30%

Efektifitas Affirmative action dan zipper system Faktor yang

mempengaruhi keikutsertaan

perempuan

Efektifitas jumlah Signifikansi perempuan dalam

Politik

(47)

perempuan berimplikasi langsung pada kebijakan-kebijakan negara yang cenderung tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Jumlah keterwakilan yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan sebuah keputusan (Indosiar.com, 2013).

Berdasarkan uraian kerangka pikir diatas maka yang menjadi deskripsi fokus penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu DPRD 2014 di kabupaten Luwu utara.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian selama 2 bulan, Penelitian ini mengambil lokasi di kantor DPRD Kabupaten Luwu utara. Alasan saya mengambil lokasi di kabupaten Luwu utara karena saya ingin mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilu anggota DPRD 2014.

B. Jenis dan Sumber Penelitian

1. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data tersebut berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik dibalik fenomena secara terperinci, mendalam, dan tuntas tentang Sumber Data.

2. Sumber Data Primer yaitu sumber data yang pokok, utama dan langsung dengan kata lain sumber data itu diperoleh dari wawancara masyarakat dan partai politik di Kabupaten Luwu utara. Sumber Data Sekunder yaitu data pendukung, dokumentasi atau pustaka. Dalam hal ini sumber data itu diperoleh dari kantor KPUD dan DPRD kabupaten Luwu utara.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah Tokoh Masyarakat, anggota DPRD kab. Luwu utara, calon legislatif dan anggota KPUD. Dimana sampelnya terdiri

(49)

dari, tokoh masyarakat 3 orang, DPC Partai politik 12 Partai, anggota DPRD 2 orang, calon legislatif perempuan 2 orang, dan Ketua KPUD 1 orang jadi jumlah keseluruhan informan yaitu 20 orang.

Adapun informan yang mewakili sebagai berikut :

1. Tokoh Masyarakat 3 orang

a) Sekertaris Daerah b) Mahasiswa c) Tokoh Pemuda

2. Partai Politik 12 Partai

3. DPRD 2 orang

a) Ketua DPRD

b) Anggota DPRD Perempuan

4. Calon legislatif perempuan 2 orang

5. Ketua/anggota KPUD 1 orang

Jumlah informan 20 Informan

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Pengamatan (Observasi)

Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung terhadap data keikutsertaan perempuan di KPUD dan kebijakan partai politik terhadap perempuan.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu mengajukan pertanyaan langsung kepada responden yang berkaitan dengan keikutsertaan perempuan dalam Pemilu DPRD 2014.

3. Studi Dokumentasi

(50)

Dokumentasi yaitu melakukan kajian terhadap bahan-bahan tertulis yang menjadi dokumen dan yang tersimpan.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini memuat aspek yaitu:

1. Analisis sebelum lapangan dengan melakukan analisis data hasil studi pendahuluan yang digunakan dalam penentuan fokus penelitian yang berkaitan dengan tanggapan masyarakat dan partai politik terhadap keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum anggota DPRD 2014 di kabupaten luwu utara.

2. Analisis selama di lapangan dengan menggunakan model miles and huberman (Sugiono, 2012:246) bahwa terdapat beberapa komponen tersebut sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:

a. Pengumpulan data yaitu penelitian yang melakukan pengumpulan data hasil studi pendahuluan sebelum kelapangan menganalisis data hasil tersebut untuk keperluan penentuan fokos penelitian dan pengumpulan data setelah dilapangan tentunya dianalisis untuk merangkum dan memilih hal-hal yang pokok yang dianggap relevan melalui reduksi data.

b. Reduksi data yaitu data yang terkumpul atau diperoleh dilapangan tentunya dianalisis untuk merangkum dan memilih hal-hal yang pokok dianggap relevan melalui reduksi data. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya yang dianggap penting.

(51)

c. Sajian data adalah susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan penelitian. Penyajian data dalam bentuk gambaran, skema, dan tabel mungkin akan berguna mendapatkan gambaran yang jelas serta memudahkan dalam penyusunan kesimpulan penelitian. Pada dasarnya, sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematis dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya.

d. Kesimpulan merupakan hasil akhir dari reduksi data dan penyajian data.

kesimpulan penelitian perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya.

F. Keabsahan Data

Kridibilitas data sangat mendukung hasil penelitian,oleh karna itu diperlukan tehnik untuk memeriksa keabsahan data. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik triangulasi. Triangulasi bermakna silang yakni mengadakan pengecekan akan kebenaran data yang akan dikumpulkan dari sumber data dengan menggunakan teknik pegumpulan data yang lain serta pengecekan waktu pada waktu yang berbeda yaitu :

1. Triangulasi sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

2. Triangulasi teknik

Triangulasi tehnik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada TKG IV merupakan tahap gonad perkembangan akhir, pada ikan betina dengan TKG IV di dalam ovarinya ditemukan beberapa kelompok telur yang masih

It is concluded that improvement of the cocoa productivity and farmer capacity surroundings the two mining sites associated with high adoption of technology by farmers, better access

Menjelaskan organ target toksikologi system pernafasan, toksikologi hati, toksikologi system syaraf , toksikologi Ginjal, toksikologi Mata, toksikologi Kulit, toksikologi

Agar penelitian ini tepat pada sasaran yang dituju, maka penulis menetapkan pembatasan ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu berdasarkan data jumlah penduduk

Sesuai dengan masalah tersebut maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang Pemberdayaan Masyarakat melalui PNPM Mandiri di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelas kesesuain lahan aktual dan potensial tanaman dan memperoleh rekomendasi teknologi budidaya tanaman di Kecamatan simpang

Perusahaan pasangan usaha yang termasuk dalam kategori bermasalah atau wanprestasi, maka dilakukan tindakan penyehatan atau penyelamatan dan penyelesaian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa demografi ibu hamil trimester I di Poliklinik Kebidanan BPK RSUZA Banda Aceh sebagian besar adalah ibu yang berumur dewasa awal (80%)