• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI HASIL PENELITIAN

4.2 Deskripsi Data

Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data yang relevan. BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas dan sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.

5.2 Saran

Berisi tindakan dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara toritis maupun praktis.

BAB II

DESKRIPSI TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Kebijakan

Istilah policy (kebijakan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, undang-undang, ketentuan-ketentuan usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan (policy maker) dan para sejawatnya istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.7

Untuk itu kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kepada individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers. Kebijakan-kebijakan diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah dan badan-badan inilah yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan

7

Wahab, Abdul Solichin. 2005. Implementasi Kebijakan Publik. Malang: Bumi Aksara. Hal 1

pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak kepada warganegaranya.8

Menurut Heinz dan Kennet kebijakan dapatlah didefinisikan sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapatan perilaku, baik oleh mereka yang membuat maupun oleh mereka yang harus mematuhinya.9

Chandier dan Piano mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya, kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah publik.10

Dye mengemukakan bahwa kebijaksanaan pemerintah itu adalah apa saja yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Definisi ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak sekali masalah-masalah yang harus diatasi, banyak sekali keinginan dan kehendak rakyat yang harus dipenuhinya.11

Easton memberikan pengertian kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk

8

Subarsono, AG. 2005. Publik Policy. Surabaya: Airlangga University. Hal 87

9

Soenarko. 2003. Desentralisasi Sistem Kesehatan: Konsep-Konsep, Isu dan Pengalaman di Berbagai Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. hal 41

10

Wahab. Loc. Cit. hal 1

11

dan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dan pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.12

Kebijakan publik sebagai suatu keputusan senantiasa berwawasan kehari depan atau bersifat futuristis. Untuk menanggapi kepentingan masyarakat, yang dalam kondisi dan situasi tertentu nampak sebagai masalah yang kemudian merupakan public issue, maka kebijakan publik sebagai suatu keputusan haruslah ditetapkan tepat pada waktunya, tidak tergesa-gesa namun juga tidak boleh ditetapkan terlambat. Ada ungkapan dalam hubungan dengan pembuatan kebijakan publik bahwa kebijakan publik haruslah ditetapkan dan dilaksanakan tepat pada waktunya. Keinginan-keinginan dan pendapat-pendapat dalam masyarakat itu bermacam-macam, ada yang sama, ada yang berbeda, malahan ada yang bertentangan. Karena itu Dimock dalam Soenarko (2003:44) menekankan definisinya sebagai reconciliation dan cristalization dari pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan tersebut.

Menurut Jones dikatakan bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen, di antaranya:

1. Goal atau tujuan yang diinginkan;

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan;

3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan; 4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan

tujuan; membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program;

5. Efek, yaitu akibat-akibat dan program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).13

12

Hesel Nogi Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI. Hal 2

13

2.1.2 Irigasi Partisipatif

Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembangunan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi bawah tanah, irigasi pompa dan tambak.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan irigasi.

Prinsip utama pengelolaan irigasi dalam reformasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan irigasi partispatif yang melibatkan seluruh stakeholder (pemerintah, petani, LSM, dan lainya) yang terkait mulai dari perencanaan, pendanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dengan tujuan akhir untuk mengoptimalkan penggunaan air irigasi, sehingga dapat meningkatkan suatu hasil usahatani yang optimal.

Reformasi tersebut dituangkan didalam undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air dab peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2006 tentang irigasi yang didalamnya dengan jelas ditegaskan bahwa pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air. Sebagai tindaklanjutnya peranan perkumpulan petani pemakai air perlu dikedepankan melalui kegiatan pengelolaan irigasi partisipatif.

Kebijakan pengelolaan irigasi yang hanya ditangani pada awalnya dapat memberikan dampak yang cukup baik, seperti tercapainya swasembada pangan

pada tahun 1984. Namun keberhasilan tersebut tidak berkelanjutan mengingat dukungan prasarana irigasi banyak yang menurun kuantitas, kualitas maupun fungsinya, apalagi setelah Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Penurunan fungsi prasarana irigasi tersebut antara lain disebabkan bahwa selama ini anggapan pengembangan irigasi mnjadi tanggung jawab pemerintah, sehingga sebagian petani berpendapat bahwa mereka tidak turut bertanggung jawab.

Dengan semakin kompleksnya permasalahan pengelolaan irigasi, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui INPRES Nomor 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Irigasi yang akhirnya dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti Pedomana Teknis PIP tahun 2007 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 Tentang Irigasi sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2001.

Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006, maka kebijakan pengelolaan irigasi akan dilakukan melalui pendekatan pengelolaan irigasi partisipatif, yang secara substansial sebenarnya sudah lama dikenal melalui pola swadaya atau gotong royong, melalui kebijakan tersebut, pengembangan (pembangunan/rehabilitasi) irigasi tidak hanya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah puast maupun pemerintah daerah, tetapi juga merupakan tanggunagjawab petani. Pada dasarnya, pengelolaan irigasi

partisipatif adalah suatu pendekatan strategis dalam pengelolaan infrastruktur irigasi melalui keikutsertaan petani dalam semua aspek penyelenggaraan irigasi, termasuk perencanaan, desain, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (O&P), pemantauan dan evaluasi serta penyempurnaan sistem dari waktu kewaktu secara berkelanjutan.

Sasaran pengembangan pengelolaan irigasi partisipatif adalah wilayah kerja kelembagaan perkumpulan petani pemakai air (P3A) atau Gabungan Perkumpulan Petani. Pelaksanaan kegiatan pengembangan pengelolaan irigasi partispatif dengan memperhatikan kondisi setempat dan dilakukan secara bertahap, yaitu:

1. Persyaratan Lokasi dan Petani 1) Persyaratan Lokasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dan penetapan calon lokasi antara lain sebagai berikut:

1. Lokasi kegiatan tidak berada dalam satu kecamatan dengan kegiatan lain yang dilakukan melalui pola tanam padat karya 2. Jaringan irigasi tingkat usaha tani/jaringan irigasi desa pada

umumnya kurang berfungsi dengan baik.

3. Jaringan irigasi tersier/desa belum terbangun seluruhnya

4. Berdampak menigkatkan produktifitas dan perluasan areal tanam

5. Peruntukan lahannya adalah lahan untuk pertanian tanaman pangan dan tidak ada rencana perubahan peruntukan lahan tersebut

6. Air tersedia secara berkelanjutan 2) Persyaratan Kelompok

1. Organisasi kelembagaan petani pemakai air (P3A) telah terbentuk minimal 2 (dua) tahun

2. Petani mau berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan irigasi melalui kelembagaan petani pemakai air (P3A)

3. Petani mau dan mampu mengoperasikan, memelihara jaringan irigasi secara keompok dan menanggung biaya operasional dan pemeliharaan (O&P) yang dinyatakan dengan surat pernyataan kesanggupan petani 4. Angota kelompok aktif berpartisipatif dalam pelaksanaan kegiatan

antara lain penyediaan material, tenaga kerja, material dan lainnya untuk keberhasilan kegiatan dalam bentuk sharing

5. Kelompok telah mempunyai rencana kegiatan yang dibutuhkan

2. Penentuan Calon Petani dan Calon Lokasi

Penentuan calon petani dan calon lokasi mengacu terhadap persyaratan yang telah ditentukan sebagaimana dijelaskan pada butir 1 diatas. Sebelumnya ditetapkan calon lokasi dan calon petani ada baiknya dipilih beberapa calon alternatif. Setelah ditentukan lokasi dan kelompok, maka dilakukan sosialisasi baik terhadap aparat setempat maupun calon penerima manfaat. Kemudian

dilakukan penetapan calon kelompok yang dipilih dari beberapa alternatif yang selanjutnya dikukuhkan melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.

Lokasi yang telah ditetapkan agar dicatat koordinat geografisnya yang meliputi lintang, bujur dan ketinggian lokasi dari permukaan laut (dpl) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) atau dengan menggunakan peralatan lainnya.

3. Penyusunan Rencana Kegiatan

Rencana kegiatan disusun oleh kelompok P3A dengan bimbingan dari petugas pertanian. Rencana kegiatan memuat secara rinci tentang jenis dan volume, rancangan teknis atau jadwal pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan baik kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik beserta rencana biaya yang diperlukan.

1. Jenis dan Volume Kegiatan

Dalam menyusun rencana kegiatan, memuat secara jelas rincian, jenis dan volume kegiatan yang akan dilaksanakan baik fisik maupun non fisik misalnya kegiatan pengembangan jaringan irigasi tingkat usaha tani atau jaringan irigasi desa, bagian yang akan diperbaiki dan volumenya dan sebagainya. Disamping itu juga diuraikan secara singkat dan jelaskan tahap pelaksanaan dan penanggungjawaban.

2. Rancangan Teknis (Desain Sederhana)

Karena kegiatan sifatnya sederhana dan pada umunya dalam bentuk perbaikan jaringan ditingkat usahatani atau jaringan irigasi desa (JITI/JIDES), maka sebagai acuan pelaksanaan dilapangan hanya diperlukan desain sederhana saja, dan desain sederhana dimaksud disusun Dinas Pertanian Kabupaten/Kota bersama kelompok P3A.

3. Jadwal Pelaksanaan

Jadwal pelaksanaan disusun secara singkat secara lengkap dan jelas sejak dari tahap persiapan, penyusunan rencana kegiatan, penyusunan desain sederhana bahan bangunan, pelaksanaan kontruksi, pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan.

4. Partisipatif

Kegiatan ini melibatkan peran serta petani dan P3A sejak persiapan awal sampai dengan pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan keterlibatan tersebut tercermin dari mulai penyusunan rencana kegiatan, penyusunan rencana biaya, pembagian kewajiban dan pembiayaan (sharing), pengesahan rencana kegiatan/proposal, dan pelaksanaan kegiatan fiik dilapangan serta pengawasan. Partisipasi kelompok P3A dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan bahan materi/bangunan, tenaga kerja dalam membentuk dana dan sebagainya.

Partisipasi kelompok dapat dikonversikan ke dalam rupiah, sehingga dapat dilihat seberapa besar nilai partisipasi (sharing) dari kelompok dalam penyelesaian kegiatan.

5. Pelaksanaan Kegiatan Fisik

Cara pelaksanaan dilakukan dengan swakelola dan sebagai acuan pedoman pelaksanaan kegiatan fisik dilapangan adalah dengan menggunakan Ketentuan Teknis Pedoman Teknis Rehabilitas / Perbaikan Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) yang diterbitkan direktorat pengelolaan lahan air cq. Direktorat pengelolaan air tahun 2007.

Pengadaan bahan atau material dilakukan langsung oleh kelompok P3A, dan pelaksana kegiatan konstruksi dilapangan tidak untuk dikontrakan kepada pihak lain, tetapi pelaksanaan dilapangan dilakukan oleh kelompok P3A secara swakelola.

6. Pembiayaan

Dana yang disediakan untuk kegiatan pengelolaan irigasi partisipatif pada tugas pembantuan yang dialokasikan pada Mata Anggaran Kegiatan (MAK) 573119 dengan jenis belanja lembaga sosial lainnya, dengan jumlah dana sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) per unit. Disamping itu sumber pembiayaan lainnya berasal dari partisipasi P3A. Biaya belanja lembaga sosial lainnya diberikan kepada kelompok P3A, setelah P3A

menyerahkan rencana kegiatan/proposal kepada Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, kegiatan/proposal tersebut harus mendapat persetujuan dari Kepala Desa, Camat dan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.

Pencairan dana ke kelompok P3A langsung ditransfer kerekening kelompok P3A. Prosedur pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pedoman pengelolaan anggaran yang diterbitkan oleh direktorat jendral pengelolaan lahan dan air tahun 2007. Bila rekening kelompok P3A belum ada agar segera dibuka dibank terdekat.

Dana tersebut tidak dibenarkan digunakan untuk gaji/upah/honor, perjalanan/pembinaan, tetapi hanya digunakan untuk pembelian/pengadaan bahan atau material bangunan (semen, pasir, batu, kerikil, besi beton dan lain-lain)

7. Pengawasan

Pengawasan dilakukan mulai dari tahap pemikiran awal, penyusunan rencana kegiatan sampai dengan pelaksanaan fisik dilapangan secara bersama-bersama oleh Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, kelompok P3A, Aparat Desa/Kecamatan serta masyarakat setempat.

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu

kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach yaitu:

“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien.”14

Dalam derajat lain Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:

“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”15

Sedangkan, Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai: “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”16

14

Eugene Bardach. 1991. Implementing Public Policy, Washington DC: Congressional Quartely Press. Hal 3

15

Putra. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Public dan Ruang Partisipasi Dalam Proses Kebijakan Public. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal 84

16

Dari tiga definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. (2000:104) dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Merrile Grindle (1980) sebagai berikut: “Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”17

Dengan demikian maka kebijakan tidak hanya sekedar untuk dibuat namun juga harus dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan dibuatnya kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak

17

Merile S Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World. New York: Princenton University Press

hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects). Dengan demikian implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

2.1.4 Landasan dan Mutu Implementasi

Menurut Islamy untuk bisa melihat apakah proses implementasi telah berjalan dengan baik, maka ada seperangkat kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu:

“1. Apakah strategi/pendekatan implementasi telah diidentifikasi, dipilih dan dirumuskan dengan jelas? 2. Apakah unit pelaksana teknis telah disiapkan? 3. Apakah aktor-aktor utama (policy subsystems) telah ditetapkan dan siap menerima tanggung jawab pelaksanaan kebijakan tersebut? Apakah prinsip “delivery mix” telah dilaksanakan? 4. Apakah prosedur operasi baku telah ada, jelas, dan dipahami oleh pelaksana kebijakan? 5. Apakah koordinasi pelaksanaan telah dilakukan dengan baik? 6. Bagaimana, kapan, dan kepada siapa alokasi sumber-sumber hendak dilaksanakan? 7. Apakah hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung jawab telah diberikan dan difahami serta dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan? 8. Apakah pelaksanaan kebijakan telah dikaitkan dengan rencana tujuan dan sasaran kebijakan? 9. Apakah

teknik pengukuran dan criteria penilaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan telah ada, jelas, dan diterapkan dengan baik? 10. Apakah penilaian kinerja kebijakan telah menerapkan prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dan politis serta sosial?”18

Dengan memperhatikan kriteria proses implementasi maka akan terlihat perlu adanya koalisi antar faktor dalam implementasi suatu kebijakan, maka koalisi faktor-faktor dalam konteks ini, adalah suatu persatuan/kesatuan (orang/organisasi/badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur masyarakat, koalisi aktor-aktor dalam implementasi kebijakan infrastruktur, dapat diartikan sebagai suatu bentuk persatuan/kesatuan (orang/organisasi /badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan infrastruktur.

2.1.5 Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni: Pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart istilah itu dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom up approach).

18

masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.19

Sedangkan pendekatan top down, misalnya, dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik-tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi.

Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik-tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-adminstratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena street level bureaucrats tidak dilibatkan dalam formulasi kebijakan. Sehingga intinya mengarah pada sejauhmana tindakan

19

Lester dan Steward. 2000. Pengamtar Kebijakan Public. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 108

para pelaksana sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para pembuat kebijakan di level pusat. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan.

2.1.6Model Implementasi Kebijakan Publik

2.1.6.1Donald Van Metter dan Carl Van Horn

Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.20

Ada enam variabel, menurut Van Metter dan Van Horn yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, adalah:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

20

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya.

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumberdaya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi di luar sumberdaya manusia,

Dokumen terkait