• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN MENTRI PU NOMOR 30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KEC PAMARAYAN KAB SERANG - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN MENTRI PU NOMOR 30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KEC PAMARAYAN KAB SERANG - FISIP Untirta Repository"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

PEKERJAAN UMUM (DPU) KEC PAMARAYAN

KAB SERANG

Skripsi

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh

IKHSAN MAULANA NIM 060160

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

NIM : 060160

Judul Skripsi : IMPLEMENTASI PERMEN PU NOMOR

30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KECAMATAN PAMARAYAN KABUPATEN SERANG

Serang, September 2011

Pembimbing Skripsi I

Dr. Agus Sjafari, M.Si. NIP. 197108242005011001

Pembimbing Skripsi II

Anis Fuad, S.Sos. NIP. 198009082006041002.

Mengetahui, Dekan FISIP UNTIRTA

(3)

Nama : IKHSAN MAULANA

NIM : 060160

Judul Skripsi : IMPLEMENTASI PERMEN PU NOMOR

30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KECAMATAN PAMARAYAN KABUPATEN SERANG

Telah diuji di hadapan Dewan Penguji Sidang Skripsi di Serang, pada tanggal 20 Oktober 2011 dan dinyatakan LULUS.

Serang, Oktober 2011 Ketua Penguji

Arenawati, S.Sos., M.Si

NIP. 197004102006042001 ………

Anggota

Listyaningsih, S.Sos., M.Si

NIP. 197603292003122001 ………

Anggota

Dr. Agus Sjafari, M.Si.

NIP. 197108242005011001 ………

Mengetahui, Dekan FISIP UNTIRTA

Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. NIP. 196507042005011002

Ketua Program

(4)

Nama : Ikhsan Maulana

NIM : 060160

Tempat Tanggal Lahir : Lebak, 19 Desember 1986 Program Studi : Ilmu administrasi Negara

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Permen Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Pengembangan Dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif Di UPTD Irigasi Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kecamatan Pamarayan Kabupaten Serang adalah hasil karya saya sendiri, dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari skripsi ini terbukti mengandung unsur plagiat, maka gelar kesarjanaan saya bisa dicabut.

Serang, Oktober 2011

(5)

i

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yaitu skripsi dengan judul Implementasi Permen Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Pengembangan Dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif Di UPTD

Irigasi Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kecamatan Pamarayan Kabupaten

Serang.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Strata 1 pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai perbaikan dan untuk menambah wawasan dimasa datang. Terima kasih yang paling terdalam khsusnya kepada Almarhumah ibunda tercinta dan bapaku tersayang, serta Keluarga ku tersayang kaka,teteh,ade yang telah membrikan doa ,motivasi dan bimbinagnya sehingga saya terus berjuang menyelesaikan penelitian ini. Semoga saya dapat menjadi manusia yang bermanfaat dan berguna bagi semua orang sesuai dengan pesan dan nasihat kalian.

Ucapkanan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Soleh Hidayat,M.PD selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

(6)

ii

4. Rahmi Winangsih, S.Sos. M.Si., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

5. Idi Dimyati, S.Ikom. M.Si. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

6. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos. M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

7. Ibu Rina Yulianti, S.IP. M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

8. Bapak Anis Fuad, S.Sos. selaku pembimbing II atas arahan dan bimbingannya yang telah diberikan dalam penyusunan usulan penelitian ini.

9. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

10.Bapak dan Ibu Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

11.Bapak Hudari, selaku Kepala UPTD Pekerjaan Umum Kecamatan Pamarayan atas informasi dan arahannya dan seluruh Staf UPTD Pekerjaan Umum Kecamatan Pamarayan.

(7)

iii

kerja UPTD Pekerjaan Umum Kecamatan Pamarayan atas bantuannya

14.Kepada rekan-rekan satu perjuangan organisasi keluarga mahasiswa lebak (kumala). Terutama kepada fauzan, enjang, riki, anove, wahyu, asep, kimong dan seluruh anggota organisasi kumala saya mengucapkan banyak terima kasih atas waktu dan perjuangannya. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah melupakan perjuanagan, kenangan dan memory terindah yang sudah kita lewati bersama.

15.Kepada sang pemilik hati, saya ucapkan banyak terima kasih atas doa, dorongan dan marah-marahnya slama ini sehingga saya termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini.

16.Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, percayalah peran kalian sangat membantu penulis dalam menyelesaikan usulam Penelitian ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Serang, Oktober 2011

Penulis

Ikhsan Maulana

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Indentifikasi Masalah ... 6

1.3 Rumusan Masalah ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Kegunaan Penelian ... 8

1.6 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II DESKRIPSI TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Kebijakan ... 13

2.1.2 Irigasi Partisipatif ... 16

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 23

(9)

v

2.1.7 Faktor Penghambat dan Pendukung Implementasi.. 37

2.1.8 Pembangunan partisipatif ... 39

2.2 Kerangka Berpikir ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 49

3.2 Instrumen Penelitian ... 50

3.3 Informan Penelitian ... 52

3.4 Tehnik Analisis Data ... 53

3.5 Validitas data ... 57

3.6 Tempat dan Waktu ... 59

BAB VI HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 61

4.2 Deskripsi Data ... 63

4.3 Penyajian Data ... 66

4.5 Pembahasan ... 111

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 119

(10)

vi

DAFTAR TABEL

(11)

vii

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 48

Gambar 3.1 Komponen Dalam Analisis Data (Interactive Model) ... 55

Gambar 4.1 Saluran Irigasi Primer dan Sekunder ... 80

(12)

viii Lampiran 1 Kearsipan

Lampiran 2 Peraturan Menteri Lampiran 3 Matrik Setelah Reduksi Lampiran 4 Memberceks

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Konsep tersebut menekankan pada sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu, kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan ke dalam beragam program dan proyek.1

Sebagimana tujuan pembangunan pertanian yang ingin dicapai pada tahun 2009-2014, antara lain adalah peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan nilai tambah dan pemilihan produk yang berdaya saing, tangguh dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana fisik untuk pengembangan usaha agribisnis pedesaan disentra produksi komoditas unggulan.2

Sementara itu dalam pengembangan komoditas unggulan tanaman maupun ternak, air merupakan faktor determinan keberhasilan sistem budidaya. Argumennya, air merupakan komponen utama (lebih dari 80%) penyusun tanaman maupun ternak sekaligus berperan penting dalam proses metabolisme. Itulah sebabnya mengapa, kekurangan atau kelebihan air untuk

1

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik (panduan Praktis Mengkaji Suatu Masalah dan Kebijakan Sosial. Jakarta: Alfabeta, 2006, hal. 1

2

, Pedoman Teknis Irigasi Partisipatif. Direktorat Pengelolaan Air Direktorat Jendral Pengelolaan lahan dan Air Departemen Pertanian. 2009, hal 1

(14)

tanaman dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan, perkembangan tanaman dan ternak bahkan berdampak langsung terhadap kualitas produk yang dihasilkan3

Di Indonesia pengelolaan sumber daya air masih dirasakan kurang maksimal. Hal ini sebagaimana ditunjukan berdasarkan hasil penelitian “Country Report for the World Water Farum Kyoto-Japan, March 2003,4 yang menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing dapat bertentangan. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan sumberdaya alam yang sangat cepat. Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan industri yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir.

Problematika tersebut di atas cukup berdampak luas bagi masyarakat, karena model pengusahaan tanaman dengan menyesuaikan karakteristik iklim khususnya jumlah curah hujan, hari hujan dan penyebarannya yang dilaksanakan belakangan ini umumnya kurang efektif dan efisien, karena intensitas, frekuensi dan durasi anomali iklim cenderung meningkat. Apalagi pola penyebaran produksi biasanya akan seirama dengan pola curah hujan

3

, Pengembangan Irigasi Bertekanan (Irigasi Tetes & Irigasi Sprinkler), Direktorad Pengelolaan Air Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian. 2009, hal 6

4

(15)

musiman tetapi seringkali tidak seirama dengan permintaan pasar yang relatif tetap sepanjang tahun. Untuk dapat mencukupi kebutuhan air pada fase pertumbuhan tanaman, sehingga dapat menyesuaikan antara waktu panen dan permintaan pasar, maka pelaksanaan pengelolaan air melalui irigasi sangat dibutuhkan khususnya untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau atau di luar musim.5

Untuk itulah jika dikaitkan dengan permasalah yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) bendungan irigasi di Kecamatan Pamarayan Kabupaten Serang, kenyataan ini menjadi sangat memungkinkan karena bendungan Pamarayan merupakan bendungan yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di Kabupaten Serang khususnya bagi kelangsungan pengairan pertanian-pertanian yang dilalui irigasi. Bendungan Pamarayan diketahui sampai dengan saat ini masih memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam pengelolaannya, karena itu saat ini dengan adanya sistem pengelolaan irigasi partisipatif yang dilaksanakn UPTD dinas irigasi pamarayan kecamatan pamarayan, diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pengelolaan sistem rigasi. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan irigasi partisipatif diantaranya:6

1. Meningkatkan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi antara pemerintah, pemerintah daerah dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)/Gabungan Petani Pemakai Air (GP3A) sejak dari pemikiran awal sampai dengan pengambilan keputusan.

5

Ibid.2007, hal 1

6

(16)

2. Terpenuhi pelayanan irigasi yang memenuhi harapan petani melalui upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan irigasi yang berkelanjutan.

3. Mendorong masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A untuk berpartisipasi dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan semangat kemitraan dan kemandirian dan untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian diselenggarakan secara partisipatif dan pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A.

UPTD dinas irigasi pamarayan memiliki tugas untuk mengairi area persawahan seluas 1250 Ha dan pengelolaan sistem irigasinya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menyangkut pengelolaan irigasi partisipatif di aliran irigasi UPTD Pamarayan Kabupaten Serang diketahui bahwa pengelolaan irigasi partisipatif ini belum mampu dilaksanakan dengan baik. Permasalahan ini muncul karena beberapa hal, seperti kurang tepatnya pemilihan lokasi irigasi, disini seharusnya lokasi yang dipilih adalah lokasi-lokasi yang belum memiliki jaringan irigasi yang baik sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian kelompok tani yang ada di dalamnya. Pembangunan jaringan irigasi partispatif ini akhirnya tidak membawa akibat-akibat langsung pada peningkatan hasil produksi pertanian yang ada di wilayah Kabupaten Serang.

(17)

tapi mereka belum tahu betul irigasi partisipatif itu dan pelibatannya masyarakat itu, belum ada pemberdayaan bagi petani sehingga kelompok tani yang terbentuk masih bingung mulai darimana, serta penyuluhan dan arahan bagi para petani masih kurang.

Begitu dalam hal sosialisasi yang dilakukan pemerintah hanya pada sebagai kecil para petani sehingga para petani belum memahami dan tujuan dari irigasi partisipatif dalam Peraturan Menteri itu dan para petani masih bingung dengan fungsi dan perannya dalam irigasi partisipatif ini. Pembangunan irigasi partisipatif yang besarannya hanya sebanyak Rp. 50.000.000,- kurang dimanfaatkan secara maksimal, karena banyak faktor yang menyebabkan biaya tersebut tidak sampai seluruhnya kepada kelompok tani yang akan memenfaatkan saluran irigasi partispatif. Pemotongan sering terjadi di tingkat Kecamatan dan pelaksana kegiatan serta selain itu walaupun dalam laporan keuangan penggunaan bantuan pembangunan saluran irigasi partisipatif tidak mencantumkan gaji/upah/honor dan perjalanan/pembinaan namun dalam kenyataannya pembiayaan ini sering diikutsertakan sebagai imbal jasa perantara yaitu aparat pemerintah.

(18)

Dari sekian pemaparan permasalahan-permasalahan yang ada di atas kita melihat bahwa pembangunan irigasi partisipatif harus memiliki keterkaitan antara program dengan pelaksanaannya. Peran serta masyarakat yang masih minim tersebut menjadi titik ketidakseimbangan program peningkatan pelayanan masyarakat dalam hal penyediaan air. Di sinilah maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang: “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

NOMOR 30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN

DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD

IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KECAMATAN

PAMARAYAN KABUPATEN SERANG”.

1.2Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah

1.2.1Identifikasi Masalah

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, peneliti mengidentifikasikan permasalahan yang akan dibahas dalam peneitian ini, di antaranya:

1. Minimnya peran masyarakat dalam pembanguan irigasi

2. Masih minimnya penyuluhan bagi para petani untuk pengelolaan irigasi partisipatif

3. Sosialisasi yang dilakukan masih kurang dan belum efektif 4. Rendahnya SDM dalam pengelolaan dan pembangunan irigasi 5. Petani masih dinilai boros dalam menggunakan air

(19)

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini adalah pada analisa permasalahan yang terdapat pada lokus penelitian bendungan irigasi di UPTD Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang. Jenis permasalahan yang diteliti adalah sejauhmana partispasi masyarakat dalam membantu pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di Bendungan irigasi Pamarayan Serang karena yang terlihat di lapangan implementasi irigasi partisipatif ini sering mengalami kendala. Untuk itu penelitian ini difokuskan pada analisis deskritif kualitatif untuk menjelaskan paparan implementasi Kebijakan atau Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PERMEN P.U. NO. 30/PRT/M/2007) tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi di Kecamatan Pamarayan Kabupaten Serang. Untuk memudahkan peneliti memperoleh data, penelitian ini hanya dibatasi di Kabupaten Serang karena adanya keterbatasa waktu, biaya, dan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh peneliti, maka membatasi penelitiannya, yaitu: “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 30/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DI UPTD IRIGASI DINAS PEKERJAAN UMUM (DPU) KECAMATAN PAMARAYAN KABUPATEN SERANG”.

1.3Perumusan Masalah

(20)

1. Bagaimana implementasi kebijakan mengenai pedoman pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di UPTD Irigasi Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang?

2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dalam implementasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif di UPTD Irigasi Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang?

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Menteri mengenai pedoman pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di UPTD Irigasi Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang.?

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat dalam implementasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif di UPTD Irigasi Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang.

1.5Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini, yaitu: 1. Secara Teoritis

(21)

b. Untuk menambah wawasan penulis tentang teori implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PERMEN P.U. NO. 30/PRT/M/2007) tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.

2. Secara Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana atau masukan bagi pemerintah dan masyarakat luas khususnya masyarakat Pamarayan dalam menentukan dan menyusun kebijakan tentang pengaruh implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PERMEN P.U NO. 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani di Kecamatan Pamarayan Kabupaten Serang.

b. Untuk Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya dibidang kebijakan publik.

1.6Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penuyusunan skripsi ini adalah: BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

(22)

dari lingkup yang paling umum hingga menukik ke masalah yang paling spesifik, yang relevan dengan judul skripsi.

1.2Identifikasi Masalah

Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari tema/topik/judul penelitian atau dengan masalah atau variabel yang akan diteliti. Identifikasi masalah dapat diajukan dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan,

1.3Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dari sejumlah masalah hasil identifikasi tersebut di atas ditetapkan masalah yang paling urgen yang berkaitan dengan judul penelitian. Kalimat yang biasa di pakai dalam pembatasan masalah ini adalah kalimat pernyataan. Perumusan masalah adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan dalam bentuk definisi konsep dan definisi oprasional.

1.4 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan dilaksanakanya penelitian, terhadap masalah yang telah dirumuskan. Isi dan rumusan tujuan penelitian sejalan dengan isi dan rumusan masalah.

1.5 Manfaat Penelitian

Menjelaskan manfaat teoritis dan praktis temuan penelitian 1.6 Sistematika Penulisan

(23)

BAB II KERANGKA TEORITIK 2.1 Deskripsi teori

Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan dan variabel penelitian, kemudian menyusunya secara teratur dan rapi yang digunakan untuk merumuskan masalah.

2.2 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran peneliti sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Menjelaskan metode yang dipergunakan dalam penelitian 3.2 Instrumen Penelitian

Menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis alat pengumpulan data yang digunakan, proses pengumpulan data, dan teknik penentuan kualitas instrumen.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Menjelaskan wilayah generalisasi atau proposal penelitian, penetapan besar sampel, dan teknik pengambilan sampel serta rasionalisasinya

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(24)

3.5 Tempat dan Waktu

Menjelaskan tentang tempat dan waktu penelitian tersebut dilaksanakan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian

Menjelaskan tentang obyek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi/sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan dengan obyek penelitian

4.2 Deskripsi Data

Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data yang relevan. BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas dan sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.

5.2 Saran

(25)

BAB II

DESKRIPSI TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Kebijakan

Istilah policy (kebijakan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, undang-undang, ketentuan-ketentuan usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan (policy maker) dan para sejawatnya istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.7

Untuk itu kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kepada individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers. Kebijakan-kebijakan diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah dan badan-badan inilah yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan

7

Wahab, Abdul Solichin. 2005. Implementasi Kebijakan Publik. Malang: Bumi Aksara. Hal 1

(26)

pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak kepada warganegaranya.8

Menurut Heinz dan Kennet kebijakan dapatlah didefinisikan sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapatan perilaku, baik oleh mereka yang membuat maupun oleh mereka yang harus mematuhinya.9

Chandier dan Piano mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya, kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah publik.10

Dye mengemukakan bahwa kebijaksanaan pemerintah itu adalah apa saja yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Definisi ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak sekali masalah-masalah yang harus diatasi, banyak sekali keinginan dan kehendak rakyat yang harus dipenuhinya.11

Easton memberikan pengertian kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk

8

Subarsono, AG. 2005. Publik Policy. Surabaya: Airlangga University. Hal 87

9

Soenarko. 2003. Desentralisasi Sistem Kesehatan: Konsep-Konsep, Isu dan Pengalaman di Berbagai Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. hal 41

10

Wahab. Loc. Cit. hal 1

11

(27)

dan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dan pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.12

Kebijakan publik sebagai suatu keputusan senantiasa berwawasan kehari depan atau bersifat futuristis. Untuk menanggapi kepentingan masyarakat, yang dalam kondisi dan situasi tertentu nampak sebagai masalah yang kemudian merupakan public issue, maka kebijakan publik sebagai suatu keputusan haruslah ditetapkan tepat pada waktunya, tidak tergesa-gesa namun juga tidak boleh ditetapkan terlambat. Ada ungkapan dalam hubungan dengan pembuatan kebijakan publik bahwa kebijakan publik haruslah ditetapkan dan dilaksanakan tepat pada waktunya. Keinginan-keinginan dan pendapat-pendapat dalam masyarakat itu bermacam-macam, ada yang sama, ada yang berbeda, malahan ada yang bertentangan. Karena itu Dimock dalam Soenarko (2003:44) menekankan definisinya sebagai reconciliation dan cristalization dari pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan tersebut.

Menurut Jones dikatakan bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen, di antaranya:

1. Goal atau tujuan yang diinginkan;

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan;

3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan; 4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan

tujuan; membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program;

5. Efek, yaitu akibat-akibat dan program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).13

12

Hesel Nogi Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI. Hal 2

13

(28)

2.1.2 Irigasi Partisipatif

Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembangunan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi bawah tanah, irigasi pompa dan tambak.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan irigasi.

Prinsip utama pengelolaan irigasi dalam reformasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan irigasi partispatif yang melibatkan seluruh stakeholder (pemerintah, petani, LSM, dan lainya) yang terkait mulai dari perencanaan, pendanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dengan tujuan akhir untuk mengoptimalkan penggunaan air irigasi, sehingga dapat meningkatkan suatu hasil usahatani yang optimal.

Reformasi tersebut dituangkan didalam undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air dab peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2006 tentang irigasi yang didalamnya dengan jelas ditegaskan bahwa pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air. Sebagai tindaklanjutnya peranan perkumpulan petani pemakai air perlu dikedepankan melalui kegiatan pengelolaan irigasi partisipatif.

(29)

pada tahun 1984. Namun keberhasilan tersebut tidak berkelanjutan mengingat dukungan prasarana irigasi banyak yang menurun kuantitas, kualitas maupun fungsinya, apalagi setelah Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Penurunan fungsi prasarana irigasi tersebut antara lain disebabkan bahwa selama ini anggapan pengembangan irigasi mnjadi tanggung jawab pemerintah, sehingga sebagian petani berpendapat bahwa mereka tidak turut bertanggung jawab.

Dengan semakin kompleksnya permasalahan pengelolaan irigasi, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui INPRES Nomor 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Irigasi yang akhirnya dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti Pedomana Teknis PIP tahun 2007 Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 Tentang Irigasi sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2001.

(30)

partisipatif adalah suatu pendekatan strategis dalam pengelolaan infrastruktur irigasi melalui keikutsertaan petani dalam semua aspek penyelenggaraan irigasi, termasuk perencanaan, desain, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (O&P), pemantauan dan evaluasi serta penyempurnaan sistem dari waktu kewaktu secara berkelanjutan.

Sasaran pengembangan pengelolaan irigasi partisipatif adalah wilayah kerja kelembagaan perkumpulan petani pemakai air (P3A) atau Gabungan Perkumpulan Petani. Pelaksanaan kegiatan pengembangan pengelolaan irigasi partispatif dengan memperhatikan kondisi setempat dan dilakukan secara bertahap, yaitu:

1. Persyaratan Lokasi dan Petani 1) Persyaratan Lokasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dan penetapan calon lokasi antara lain sebagai berikut:

1. Lokasi kegiatan tidak berada dalam satu kecamatan dengan kegiatan lain yang dilakukan melalui pola tanam padat karya 2. Jaringan irigasi tingkat usaha tani/jaringan irigasi desa pada

umumnya kurang berfungsi dengan baik.

3. Jaringan irigasi tersier/desa belum terbangun seluruhnya

(31)

5. Peruntukan lahannya adalah lahan untuk pertanian tanaman pangan dan tidak ada rencana perubahan peruntukan lahan tersebut

6. Air tersedia secara berkelanjutan 2) Persyaratan Kelompok

1. Organisasi kelembagaan petani pemakai air (P3A) telah terbentuk minimal 2 (dua) tahun

2. Petani mau berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan irigasi melalui kelembagaan petani pemakai air (P3A)

3. Petani mau dan mampu mengoperasikan, memelihara jaringan irigasi secara keompok dan menanggung biaya operasional dan pemeliharaan (O&P) yang dinyatakan dengan surat pernyataan kesanggupan petani 4. Angota kelompok aktif berpartisipatif dalam pelaksanaan kegiatan

antara lain penyediaan material, tenaga kerja, material dan lainnya untuk keberhasilan kegiatan dalam bentuk sharing

5. Kelompok telah mempunyai rencana kegiatan yang dibutuhkan

2. Penentuan Calon Petani dan Calon Lokasi

(32)

dilakukan penetapan calon kelompok yang dipilih dari beberapa alternatif yang selanjutnya dikukuhkan melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.

Lokasi yang telah ditetapkan agar dicatat koordinat geografisnya yang meliputi lintang, bujur dan ketinggian lokasi dari permukaan laut (dpl) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) atau dengan menggunakan peralatan lainnya.

3. Penyusunan Rencana Kegiatan

Rencana kegiatan disusun oleh kelompok P3A dengan bimbingan dari petugas pertanian. Rencana kegiatan memuat secara rinci tentang jenis dan volume, rancangan teknis atau jadwal pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan baik kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik beserta rencana biaya yang diperlukan.

1. Jenis dan Volume Kegiatan

(33)

2. Rancangan Teknis (Desain Sederhana)

Karena kegiatan sifatnya sederhana dan pada umunya dalam bentuk perbaikan jaringan ditingkat usahatani atau jaringan irigasi desa (JITI/JIDES), maka sebagai acuan pelaksanaan dilapangan hanya diperlukan desain sederhana saja, dan desain sederhana dimaksud disusun Dinas Pertanian Kabupaten/Kota bersama kelompok P3A.

3. Jadwal Pelaksanaan

Jadwal pelaksanaan disusun secara singkat secara lengkap dan jelas sejak dari tahap persiapan, penyusunan rencana kegiatan, penyusunan desain sederhana bahan bangunan, pelaksanaan kontruksi, pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan.

4. Partisipatif

(34)

Partisipasi kelompok dapat dikonversikan ke dalam rupiah, sehingga dapat dilihat seberapa besar nilai partisipasi (sharing) dari kelompok dalam penyelesaian kegiatan.

5. Pelaksanaan Kegiatan Fisik

Cara pelaksanaan dilakukan dengan swakelola dan sebagai acuan pedoman pelaksanaan kegiatan fisik dilapangan adalah dengan menggunakan Ketentuan Teknis Pedoman Teknis Rehabilitas / Perbaikan Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) yang diterbitkan direktorat pengelolaan lahan air cq. Direktorat pengelolaan air tahun 2007.

Pengadaan bahan atau material dilakukan langsung oleh kelompok P3A, dan pelaksana kegiatan konstruksi dilapangan tidak untuk dikontrakan kepada pihak lain, tetapi pelaksanaan dilapangan dilakukan oleh kelompok P3A secara swakelola.

6. Pembiayaan

(35)

menyerahkan rencana kegiatan/proposal kepada Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, kegiatan/proposal tersebut harus mendapat persetujuan dari Kepala Desa, Camat dan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.

Pencairan dana ke kelompok P3A langsung ditransfer kerekening kelompok P3A. Prosedur pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pedoman pengelolaan anggaran yang diterbitkan oleh direktorat jendral pengelolaan lahan dan air tahun 2007. Bila rekening kelompok P3A belum ada agar segera dibuka dibank terdekat.

Dana tersebut tidak dibenarkan digunakan untuk gaji/upah/honor, perjalanan/pembinaan, tetapi hanya digunakan untuk pembelian/pengadaan bahan atau material bangunan (semen, pasir, batu, kerikil, besi beton dan lain-lain)

7. Pengawasan

Pengawasan dilakukan mulai dari tahap pemikiran awal, penyusunan rencana kegiatan sampai dengan pelaksanaan fisik dilapangan secara bersama-bersama oleh Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, kelompok P3A, Aparat Desa/Kecamatan serta masyarakat setempat.

2.1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan

(36)

kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach yaitu:

“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien.”14

Dalam derajat lain Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:

“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”15

Sedangkan, Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai: “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah

atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”16

14

Eugene Bardach. 1991. Implementing Public Policy, Washington DC: Congressional Quartely Press. Hal 3

15

Putra. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Public dan Ruang Partisipasi Dalam Proses Kebijakan Public. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal 84

16

(37)

Dari tiga definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. (2000:104) dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda

dengan apa yang diutarakan oleh Merrile Grindle (1980) sebagai berikut: “Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”17

Dengan demikian maka kebijakan tidak hanya sekedar untuk dibuat namun juga harus dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan dibuatnya kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak

17

(38)

hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects). Dengan demikian implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

2.1.4 Landasan dan Mutu Implementasi

Menurut Islamy untuk bisa melihat apakah proses implementasi telah berjalan dengan baik, maka ada seperangkat kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu:

(39)

teknik pengukuran dan criteria penilaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan telah ada, jelas, dan diterapkan dengan baik? 10. Apakah penilaian kinerja kebijakan telah menerapkan prinsip-prinsip efisiensi ekonomi dan politis serta sosial?”18

Dengan memperhatikan kriteria proses implementasi maka akan terlihat perlu adanya koalisi antar faktor dalam implementasi suatu kebijakan, maka koalisi faktor-faktor dalam konteks ini, adalah suatu persatuan/kesatuan (orang/organisasi/badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur masyarakat, koalisi aktor-aktor dalam implementasi kebijakan infrastruktur, dapat diartikan sebagai suatu bentuk persatuan/kesatuan (orang/organisasi /badan) yang berperan sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan infrastruktur.

2.1.5 Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni: Pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart istilah itu dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom up approach).

18

(40)

masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam

membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.19

Sedangkan pendekatan top down, misalnya, dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun

pada dasarnya mereka bertitik-tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam

mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi.

Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik-tolak dari perspektif

bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh

pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-adminstratur atau

birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah

sejauhmana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah

pencapaian tujuan formal kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena street level bureaucrats tidak dilibatkan dalam formulasi kebijakan. Sehingga intinya mengarah pada sejauhmana tindakan

19

(41)

para pelaksana sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para pembuat kebijakan di level pusat. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan.

2.1.6Model Implementasi Kebijakan Publik

2.1.6.1Donald Van Metter dan Carl Van Horn

Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van

Metter dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.20

Ada enam variabel, menurut Van Metter dan Van Horn yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, adalah:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

20

(42)

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana

kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumberdaya.

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan

proses implementasi menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumberdaya itu nihil, maka kinerja kebijakan

publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah sumber

(43)

waktu. Saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebagian ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena itu sumberdaya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumberdaya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana.

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta

cocok dengan para agen pelaksanananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tindak laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat-dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak

sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.

Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

(44)

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implemntor laksanakan adalah kebijakan ”dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implemntasi kebijakan pulbik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi,

maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

Dan, begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

(45)

Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

2.1.6.2Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier

Model implementasi kebijakan publik yang lain ditawarkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier yang disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya

tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang

dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:21 1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:

a. Kesukaran-kesukaran Teknis.

Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya:kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak

terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal

yang mempengaruhi masalah. Disamping itu tingkat keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknik-teknik tertentu.

b. Keberagaman Perilaku yang Diatur.

21

(46)

Semakin beragam perilaku yang diatur, maka asumsinya semakin beragam pelayanan yang diberikan, sehingga semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas. Dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus dikontrol oleh para pejabat pada pelaksana (administratur atau birokrat) di lapangan.

c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran.

Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah (melalui implementasi kebijakan), maka semakin besar peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.

d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki. Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki oleh kebijakan, maka semakin sukar/sulit para pelaksana memperoleh implementasi yang berhasil. Artinya ada sejumlah masalah yang jauh lebih dapat kita kendalikan bila tingkat dan runag lingkup perubahan yang dikehendaki tidaklah terlalu besar.

(47)

1) Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang

akan dicapai.

Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang

cermat dan disusun seacra jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi para pejabat pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan

pelaksana akan sejalan dengan petunjuk tersebut. 2) Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.

Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira

tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi kebijakan.

3) Ketetapan alokasi sumberdana.

Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.

f. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara

lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana.

Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana. Ketika kemampuan untuk menyatupadukan dinas,

badan, dan lembaga alpa dilaksanakan, maka kordinasi antar instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

(48)

Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto, dan intensif yang memadai bagi

kepatuhan kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula dapat

mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari

badan-badan pelaksana.

h. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang.

Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena, top down policy bukanlah perkara yang mudah untuk diimplankan pada para pejabat pelaksana di level lokal.

i. Akses formal pihak-pihak luar.

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah sejauhmana peluang-peluang yang terbuka bagi partisipasi para

aktor diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi. Ini maksudnya agar kontrol pada para pejabat pelasanan yang ditunjuk oleh pemrintah pusat dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi

Implementasi.

1. Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi.

(49)

signifikan berengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal

penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya pengejawantahan suatu kebijakan publik.

2. Dukungan publik.

Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran-kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhan dukungang dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam proses pelasanaan kebijakan publik di lapangan. 3. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.

Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan

publik akan sangat berhasil apabila di tingkat masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap

kebijakan yang ditawarkan pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal) yang dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan implementasi kebijakan publik. Dan, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber yang dimiliki oleh warga masyarakat.

4. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan

(50)

terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implemntasi kebijakan menjadi hal indikasi penting keberhasilan keinerja kebijakan publik.

2.1.7 Faktor Penghambat dan Pendukung Proses Implementasi Kebijakan

Publik

Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn (1986) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) ke dalam dua kategori yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil).22 Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau berkerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi. Implementasi yang tidak berhasil terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa penggantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya), kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan

22

(51)

yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: Pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri jelek (bad policy) atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck).23

Hogwood dan Gunn24 menyatakan bahwa: Untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut:

1) The circumstances external to the implementing agency do not impose crippling constraints; 2) that adequate time and sufficient recources are made available to the programme; 3) that the required combination of resources is actually available; 4) that the policy tobe implemented is based upon a valid theory of cause and effect; 5) that the relationship between cause and effect is direct and that there are few, if any, intervening links; 6) that dependency relationships are minimal; 7) that there is understanding of, and agreement on, objectives; 8) that tasks are fully specified in correct sequences; 9) that there is perfect communication and co-ordination; 10) that those in authority can demand and obtain perfect compliance.

(1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius; 2. untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai; 3. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia; 4. kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal; 5. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya; 6. hubungan saling ketergantungan harus kecil; 7. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; 8. tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; 9. komunikasi dari koordinasi yang sempurna; 10. pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapat kepatuhan yang sempurna).

23

Wahab, Op. Cit. hal 56

24

(52)

2.1.8 Pembangunan Partisipatif

Dalam hal pembangunan – secara sederhana sering diartikan sebagai suatu upaa untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Perubahan dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, serta tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah pertumbuhan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional menegaskan bahwa dalam perencanaan pembangunan diisyaratkan harus memilikli unsur keterlibatan penyelenggara negara dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pola perencanaan pembangunan yang mendorong terjadinya partisipasi aktif masyarakat tersebut dikenal dengan istilah perencanaan pembangunan partisipatif.

Partisipasi adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementsi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan masyarakat lokal atau dengan kata lain pembangunan pembangunan partisipatif adalah suatu proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan.25

Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang terkait dengan potensi sumber daya lokal berdasarkan kajian musyawarah,

25

(53)

yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun.

Konsep perencanaan bersifat top-down yang telah diciptakan telah menciptakan kegagalan pembangunan sudah saatnya digandi dengan konsep perencanaan pembangunan yang berasal dari bawah (bottom-up planning) dengan partisipasi aktif masyarakat. Keuntungan perencanaan partisipatif ini sama halnya dengan prinsip good corporate governance yang mengakui akan kekuasan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. United Nation Development Program (UNDP) sebagai lembaga dunia yag bergerak dalam bidang pembangunan, mengungkapkan perencanaan partisipatif sebagai berikut:

1. Partisipasi, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui badan perwakilan yang legitimatif mewakili kepentingannya.

2. Peraturan hukum 3. Keterbukaan 4. Ketanggapan

5. Kesepakatan bersama 6. Bertanggung jawab 7. Keadilan

8. Efektif dan efisien 26

Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses perencanaan pembangunan yang baik dan benar.27 Untuk dapat mewujudkan partisipasi masyarakat agar dapat berdaya, sangat dibutuhkan kebebasan,

26

David Gaebler Osborn. 1995. Mewirausahakan Birokrasi, Mentranspormasikan Semangat Wirausaha ke Dalam sector Publik. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Hal 102

27

(54)

kesempatan dan ruang gerak yang tersusun dalam empat tingkatan, sebagaimana diungkapkan oleh Kramer28 yaitu:

1. Partisipasi akan mengandung arti keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pembangunan.

2. Partisipasi hendaknya mengarah pada pembangunan program penduduk yang ditempatkan sebagai konsumen utama dari program-program infrastruktur fisik daerah. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan dan saran-saran mereka harus didengar oleh mereka yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan-pelayanan pembangunan daerah;

3. Partisipasi yang menempatkan masyarakat sebagai konsumen perlu memperoleh stimulan dan dukungan reaksi terhadap birokrasi pembangunan yang kurang memiliki kepekaan terhadap kepentingan masyarakat;

4. Partisipasi diadakan dalam rangka nilai keadilan sosial dan dalam rangka tersedianya kelonggaran memperoleh pekerjaan yang produktif bagi seluruh lapisan masyrakat.

Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pembangunan masyarakat di mana-mana. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Untuk itu partisipasi haruslah dilandasi oleh adanya pengertian bersama dan dengan pengertian inilah di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi.

28

(55)

Gaventa dan Valderama mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis,29 yaitu:

1. Partisipasi politik, political participation lebih berorientasi pada mempengaruhi dan mendudukkan wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi sosial, social participation, partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak yang diluar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran mobilisasi sosial.

3. Partisipasi warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap derma atau kaum tersisih menuju ke suatu

29

(56)

kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”

.

Proses perencanaan pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat harus memperhatikan adanya kepentingan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga itu dalam proses perencanaan pembangunan partisipasi ada beberapa hal, antara lain: 1) Perencanaan program harus berdasarkan fakta dan kenyataan di masyarakat; 2) Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik, ekonomi, dan sosial; 3) Program harus memperhatikan unsur kepentingan kelompok masyarakat; 4) Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program; 5) Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada; 6) Program hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang; 7) Memberi kemudahan untuk evaluasi; 8) Program harus memperhitungkan kondisi, uang, waktu, alat dan tenaga yang tersedia.

2.2 Kerangka Berpikir

Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program-program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi.30 Karena betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi yang aik, maka tidak akan banyak berarti. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan

30

(57)

oleh Wahab bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting daripada pembuatan kebijakasanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

Meter dan Horn merumuskan proses implementasi kebijaksanaan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah/swasta pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.31

Penekanan aktivitas birokrasi pemerintahan pada proses tersebut lebih pada tahapan implementasi, dengan mengimplementasikan kebijaksanaan menjadi program, proyek dan aktivitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek, antara lain:

1. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan itu.

3. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Adanya strategi dalam pelaksanaan.

Dengan konsekuensi di atas, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai

31

(58)

masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan tersebut. Masih berkaitan dengan proses implementasi Masmanian dan Sabatier mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang menjadi nyata terjadi sesudah program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha mengadministrasikannya maupun yang menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian tertentu.32

Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat dirumuskan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat pada akhirnya berpengaruh pada kebijakan baik yang negatif maupun positif.

Guna mencapai tujuan implementasi program secara efektif, pemerintah harus melakukan aksi atau tindakan yang berupa penghimpunan sumber dana dan pengelolaan sumber daya aam dan manusia. Hasil yang diperoleh dari aksi pertama dapat disebut input dari kebijakan, sementara yang kedua disebut sebagai proses implementasi dari kebijakan.33

Dengan demikian secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil

32

Putra. Op. Cit. Hal 84

33

(59)

dari kegiatan pemerintah. Lebih lanjut Wibawa menyatakan bahwa keseluruhan proses kebijakan baru bisa dimulai apabila tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah terperinci, program telah dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut.34

Dalam penelitian ini untuk menelaah implementasi dari suatu Keputusan model yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan tersebut dapat digunakan model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter

dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik. Dan menurut Van Metter dan Van Horn ada 6 (enam) variabel), yang mempengaruhinya, di antaranya:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan. 2. Sumberdaya.

3. Karakteristik Agen Pelaksana.

4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana. 5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Dengan latar belakang kepemimpinan adminstratif sebagaimana disebutkan di atas maka dalam proses analisa dan pembentukan kebijaksanaan serta pengambilan keputusan implementasinya diharapkan akan menjadi lebih baik. Untuk lebih jelasnya model pendekatan top-down dan faktor-faktor untuk

34

(60)

memperbaiki pendekatan tersebut dapat dirangkai dalam bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

PERMEN PU NO. 30/PRT/M/2007 tentang

Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif

Teori Van Metter dan Van Horn: 1.Ukuran dan Tujuan Kebijakan. 2.Sumberdaya.

3.Karakteristik Agen Pelaksana.

4.Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana. 5.Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana. 6.Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Kualitatif yang di lakukan untuk mengetahui bagaiman Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2007. Pendekatan ini menghasilkan temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Penelitian kualitatif merupakan bidang penyelidikan yang berdiri sendiri. Penelitian ini menyinggung aneka disiplin ilmu, bidang, dan tema.35

Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, istilah penelitian kualitatif dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong. Metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini mengarah kepada latar dan individu tersebut secara utuh. Jadi, tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.36

35Denzin K, Norman dan Yvonna S Lincoln. 2009. Handbook Of Qualitative Research.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.1

36

Lexy J. Moleong . 2005. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hal 4

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Tabel 3.1 Informan Penelitian
Komponen Dalam Analisis Data (Gambar 3.1 Interactive Model)46
Tabel 3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan Bank Indonesia tersebut bertujuan untuk memastikan proses pengolahan uang rupiah dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan pada saat

Untuk itu penulis ingin meneliti bagaimana teknik dalam memainkan instrumen biola pada musik Ndiri Biola , serta bagaimana pula teknik vokal yang digunakan oleh

Uji toksisitas akut dermal menggunakan hewan percobaan yang diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji.

Berdasarkan studi pengamatan di kelas X Teknik Instalasi Tenaga Listrik (TITL) SMK N 5 Padang pada mata pelajaran Pengukuran Listrik belum mencapai KKM yaitu di atas

Jumlah saham yang ditawarkan 900.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan nilai nominal Rp 100,- /saham beserta Waran Seri I sebanyak 90.000.000 yang diberikan cuma-cuma dengan

[r]

Dalam artikel ini, digunakan model termodinamika yang berlandaskan pada hukum Newton cooling dengan asumsi bahwa temperatur analog dengan indeks harga saham.. Selanjutnya,

Unsur penunjang dalam kegiatan PBK adalah Penasehat Berjangka (analisis pasar berjangka dan komoditi yang diperdagangkan yang bertugas memberikan nasehat kepada