• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

5.3 Deskripsi Kondisi Sosial – Ekonomi Informan Utama

Pada bagian sebelumnya peneliti telah menyajikan satu demi satu data pribadi informan (informan kunci dan informan utama). Sedangkan pada bagian ini peneliti akan mencoba menceritakan secara detail satu per satu kondisi sosial–ekonomi dari keempat informan utama (disertai tabel kondisi sosial–ekonomi keempat informan utama sesuai dengan indikator–indikator sosial–ekonomi), dilanjutkan dengan kondisi sosial–ekonomi dari masyarakat Desa Bawamatalu‘o sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Kepala Desa Bawamatalu‘o sebagai informan kunci. 5.3.1 Informan Utama (1) Profesi Petani

Informan utama yang pertama adalah Ikaria Gowasa. Ibu dari 2 orang anak ini sesuai dengan pengakuannya, melangsungkan pernikahan pada usia muda ketika berusia 17 tahun tepatnya pada tahun 2008. Baik ia dan suami keduanya berprofesi sebagai petani. Kalau suaminya lebih memilih menjual jasa dengan menjadi penggarap lahan pertanian milik masyarakat di luar Desa Bawamatalu‘o. Ikaria Gowasa sendiri memilih mengusahakan lahan pertanian peninggalan orang tuanya yang berada di pinggiran jalan menuju ke Desa Bawamatalu‘o.

Adapun yang menjadi jenis pertanian Ikaria Gowasa adalah karet (pohon karet) dan bulu gowi (tanaman yang daunnya dijadikan makanan ternak). Seperti pengakuannya, hasil pertaniannya tidaklah dijual sendiri secara langsung. Melainkan dijual kepada penggalas karet yang beralamatkan di Kota Telukdalam melalui perantara dagang. Sedangkan untuk bulu gowirio, dijualkan langsung kepada peternak yang ada di Desa Bawamatalu‘o. Seikat bulu gowirio dihargai 2 ribu rupiah.

Ibu muda (24 tahun) yang harus berjalan kaki pulang-pergi ke lahan pertaniannya ini mengaku setiap minggu ia hanya memperoleh sekitar 130 ribu rupiah dari jerih payah bertaninya. Menurut Ikaria Gowasa dengan penghasilan segitu ia dan keluarganya kesulitan keluar dari kehidupan yang serba kekurangan. Hal ini diperparah dengan gaji suaminya yang dibayarkan per 2 atau 3 bulan sekali, itu pun masih tergantung hasil panen lahan garapan yang dikerjakan.

Ikaria Gowasa sendiri ketika peneliti menanyakan mengenai apakah ia berkeinginan untuk memulai pekerjaan lain untuk menambah pendapatan? Ia mengiyakannya, dan menjadi peternak ayam atau babi merupakan keinginan berternaknya tersebut. Namun saat peneliti bertanya kenapa Anda belum memulainya saja? Ikaria mengutarakan bahwa ia terkendala dengan modal yang tidak tersedia. Sehingga tidak memungkinkan ia untuk membuat kandang ternak dan membeli anakan ternaknya.

Perempuan yang jenjang pendidikan formalnya hanya sampai bangku kelas 3 SD ini mengaku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk mengubah nasib keluarganya. Mustahil buat Ikaria untuk mencari pekerjaan formal dikarenakan tidak punya ijazah SD sekalipun. Mereka pun masih menumpang tinggal bersama keluarga kakak perempuan suaminya di rumah orang tua suaminya, dan yang pasti kedua orang tua suaminya yang sudah tidak mampu bekerja lagi ikut juga menjadi tanggungannya dan suami. Tidak sampai di situ saja, Ikaria Gowasa dan keluarga besarnya harus menyisihkan sejumlah uang untuk perawatan kakak kandung dari ibu mertuanya yang menderita kelumpuhan sejak dari lahirnya.

5.3.2 Informan Utama (2) Profesi Pedagang Makanan

Firmina Fa‘u yang kesehariannya berdagang makanan merupakan informan utama kedua dalam penelitian ini. Adapun Firmina adalah seorang perempuan berusia 53 tahun yang sudah ditinggal oleh suaminya yang meninggal pada tahun 2008 lalu. Janda dengan 5 orang anak ini berjualan makanan di salah satu bangunan yang memang diperuntukkan bagi warga masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang ingin berdagang. Hal tersebut tanpa adanya pemungutan biaya oleh Kepala Desa maupun para Si’ulu dan Si’ila. Sedang untuk urusan tempat tinggal, ia tinggal bersama keempat keluarga anaknya di rumah peninggalan orang tuanya (rumah adat).

Sudah 9 tahun lalu sejak Firmina Fa‘u memulai pertama kali berjualan makanan. Ia memulainya ketika masih berada di perantauan di kota Sibolga. Saat suaminya meninggal, ia pun memutuskan kembali ke kampung halamannya Desa Bawamatalu‘o dan melanjutkan usahanya tersebut di pertengahan tahun 2010 lalu, hingga sekarang.

Dibandingkan dengan informan utama pertama, penghasilan yang diperoleh Firmina sendiri tergolong cukup besar. Pemasukan dari berjualan makanan sekitar 150 ribu rupiah per hari bisa dikantonginya. Bahkan ia mengaku bisa saja mendapatkan 300 ribu-400 ribu rupiah per hari pada setiap hari minggu dan bila sedang berlangsungnya festival kebudayaan di Desa Bawamatalu‘o. Walaupun ia mengaku wisatawan yang berkunjung ke Desa Bawamatalu‘o mulai seret jumlahnya. Ia tetap akan berdagang makanan dikarenakan hanya ini satu-satu kegiatan ekonomi yang mampu ia lakukan.

Ketika peneliti menayakan kepada Firmina Fa‘u perihal kelima anaknya yang sudah menginjak dewasa dan sewajarnya sudah mampu membiayai dirinya sehingga tidak perlu untuk berdagang makanan lagi. Firmina Fa‘u menceritakan bahwa dari kelima anaknya empat orang di antaranya sudah berkeluarga. Namun, kesemuanya hidup dalam kemiskinan. Malahan ia mengaku tidak jarang membantu mereka dengan memberi sejumlah uang dari hasil berjualannya. Sedangkan anak bungsunya masih menempuh jejang perkuliahan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pembangunan di Kota Telukdalam.

Pada akhirnya kehidupan ekonomi dari Firmina Fa‘u dan keluarga hanya bergantung pada hasil berdagang makanan Firmina Fa‘u sendiri. Melihat kunjungan wisatawan yang sudah mulai jarang mendatangi Desa Bawamatalu‘o dan fakta bahwa penghasilan serta daya beli masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang lemah sehingga tidak memungkinkan mereka membeli makanan di warung makan. Jelas berakibat pada berkurangnya pelangan termasuk di warung makan Firmina Fa‘u, dan cepat atau lambat hal ini akan membebani kondisi perekonomian keluarga Firmina Fa‘u pada masa mendatang.

5.3.3 Informan Utama (3) Profesi Pengrajin dan Tukang

Informan utama yang ketiga pada penelitian ini merupakan seorang pria yang berprofesi sebagai pengrajin dan tukang bangunan. Ia bernama Taguikhöu Wa‘u. Sehari-harinya pria berkulit cokelat ini mengerjakan beberapa jenis ukiran untuk kemudian dijajakan di depan rumahnya. Adapun beberapa contoh hasil ukiran pria berusia 53 tahun ini antara lainnya seperti, papan sufing mini, replika mini susunan batu lompatan hombo’batu, buah kalung, gelang, replika minimalis rumah adat Nias, dan sebagainya.

Mengenai penghasilan yang ia peroleh dari menjual souvenir bisa mencapai angka 5 juta rupiah per bulannya, namun kalau lagi sepi pembeli ia hanya memperoleh tidak lebih dari 100 ribu rupiah per harinya. Soal banderol harga per item hasil-hasil kerajinan tangannya, ia mengaku mematok harga mulai dari harga 50 ribu-700 ribu rupiah, tergantung jenis souvenir serta tingkat kerumitan pembuatannya. Untuk penghasilan sebagai tukang bangunan ia mengatakan kalau kontrak kerjanya harian makan ia mematok 60 ribu-80 ribu rupiah per harinya, beda lagi kalau sistem borongan tergantung ukuran bangunan, estimasi lamanya pengerjaan dan banyaknya pekerja.

Sumber penghasilan keluarga Taguikhöu Wa‘u tidak hanya berasal dari penjualan souvenir buah keterampilan tangannya saja dan dari pendapatan istrinya yang berdagang barang kelontong, ia juga mempunyai profesi lain sebagai tukang bangunan. Tapi berhubung hampir seluruh masyarakat Desa Bawamatalu‘o lihai dalam urusan ―memegang martil‖, Taguikhöu banyak mendapatkan pekerjaan sebagai tukang bangunan di kota Telukdalam.

Alasan jarak yang jauh dari Desa Bawamatalu‘o ke Kota Telukdalam dan sebaliknya. Membuat ia terpaksa mengeluarkan uang tambahan 50 ribu rupiah per hari hanya untuk biaya ongkos pulang–pergi tempat kerjanya.

Sebelum ditasbihkannya Desa Bawamatalu‘o menjadi desa warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2009 lalu dan berlanjut pembenahan masif pada infrastruktur desa, Taguikhöu mengaku lebih sering menerima tawaran menjadi tukang bagunan sebagai sumber pendapatannya ketimbang membuat souvenir dari kayu. Namun setelahnya, terlebih ia melihat peluang usaha menjual souvenir yang potensial, ia akhirnya memutuskan lebih memfokuskan diri untuk menjadi pengrajin apa lagi mengingat usianya kini yang sudah menginjak 53 tahun. Sehingga ketahanan ekonomi keluarga Taguikhöu kini lebih banyak bergantung pada hasil penjualan souvenir ukirannya.

5.3.4 Informan Utama (4) Profesi Nelayan

Sebagai informan utama keempat dari penelitian ini ialah Budiman Wa‘u. Menjadi seorang nelayan merupakan profesi yang dipilih oleh pria berumur lebih dari setegah abad ini. Sebelum menggantungkan perekonomian keluarganya dari hasil kekayaan laut, Budiman Wa‘u mengaku bahwa ia dulunya adalah seorang peternak ayam. Namun dikarenakan kalah bersaing dengan peternak lain yang memiliki jumlah ternak ayam jauh lebih banyak ditambah modal yang lebih kuat dari dirinya, ia pun memutuskan ―banting setir‖ menjadi nelayan. Alih profesi menjadi nelayan sendiri merupakan ajakan dari temannya dari Desa Sondege Asi.

Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Batumandi adalah nama KUB Nelayan yang mewadahi kegiatan Budiman Wa‘u dan teman-teman seprofesi mencari nafkah sehari-harinya. Sesuai pengakuannya, KUB Nelayan ini merupakan realiasai dari bantuan langsung program Pemerintah daerah Nias Selatan kepada seluruh para nelayan yang berada di Kabupaten Nias Selatan. Dimana setiap KUB Nelayan terdiri dari maksimal 20 orang masyarakat profesi nelayan, dan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Nias Selatan menganggarkan 100 juta rupiah setiap KUB.

Kegiatan melaut dari Budiman dan KUB Nelayannya dimulai dari pukul 4 subuh kalau cuaca mendukung atau dimulai pukul 7 pagi jika cuaca sedang hujan/mendung. Rutinitas ini mereka lakukan kecuali pada hari Minggu dan Jum‘at setiap minggunya. Dikarenakan pada hari Jum‘at anggota KUB yang beragama Islam menjalankan ibadah Salat, demikian pada hari Minggu anggota KUB beragama Kristen juga melaksanakan ibadah hari Sabat, ini adalah hasil kesepakatan bersama.

Lamanya mereka melaut tidak tergantung pada banyaknya ikan yang ditangkap. Melainkan mereka sudah bersepakat menentukan waktu sekitar pukul 3 sore, berapa pun hasil tangkapan ikan yang didapat mereka harus sudah kembali dan berkumpul di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) KBU Nelayan Batumandi. Selain mereka menjualnya langsung di TPI KUB mereka yang berada tepat di pinggir jalan Desa Sondege Asi. Mereka juga menjualkannya ke para penggalas ikan yang kemudian akan menjualnya di pasar ikan di Kota Telukdalam.

Untuk penghasilan yang bisa ia bawa pulang dari hasil melaut sekitar 70 ribu- 80 ribu rupiah per harinya. Ketika peneliti bertanya apakah dengan pendapatan 70 ribu-80 ribu per harinya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Anda dan keluarga? Pria yang mempunyai seorang puteri tunggal ini mengatakan bahwa itu masih belum cukup menutupi biaya kehidupan sehari-hari keluarganya. Isterinya pun hanya seorang ibu rumah tangga tanpa penghasilan. Sehingga ketika peneliti bertanya mengenai apakah ia berkeinginan untuk memulai sebuah usaha/pekerjaan baru untuk menambah penghasilan? Budiman berujar ia dan isteri berkeinginan untuk membuka usaha warung makan, dimana sebagian hasil tangkapan ikannya bisa ia jadikan bahan masakan warungnya. Saat ini belum terealisasi dikarenakan ia masih menabung modalnya.

Sesuai hasil pemaparan dari kondisi sosial–ekonomi keempat informan utama, maka untuk memperjelas mengenai kondisi sosial–ekonomi keempat informan tersebut peneliti mencoba merumuskannya ke dalam sebuah tabel, sebagai berikut :

No. Indikator Sosial – Ekonomi Informan (1) Ikaria Informan (2) Firmina Informan (3) Taguikhöu Informan (4) Budiman 1. Pendapatan Sumber, bertani karet dan daun ubi. Penghasilan, 130 ribu per minggu. Sumber, berdagang makanan. Penghasilan, 150 ribu per hari. Sumber, pengrajin dan tukang bangunan. Penghasilan, 170 ribu per hari. Sumber, nelayan. Penghasilan, 75 ribu per hari. 2. Perumahan Status, menumpang. Konstruksi, design rumah adat. Status, rumah warisan. Konstruksi, design rumah adat. Status, rumah sendiri. Konstruksi, seng, setengah– beton, semen. Status, rumah sendiri. Konstruksi, design rumah BRR. 3. Pendidikan Anak, 2 orang. Status, 1 SD. Anak, 5 orang. Status, 1 PT. Anak, 6 orang. Status, 1 SMP dan 2 SMA. Anak, 1 orang. Status, 1 SMA. 4. Kesehatan Belum terdaftar BPJS Kesehatan, tempat berobat perawat desa. Belum terdaftar BPJS Kesehatan, tempat berobat perawat desa. Belum terdaftar BPJS Kesehatan, tempat berobat perawat desa. Belum terdaftar BPJS Kesehatan, tempat berobat perawat desa. 5. Pangan Makanan pokok nasi, 2 sampai 3 kali sehari. Makanan pokok nasi, 2 sampai 3 kali sehari. Makanan pokok nasi, 2 sampai 3 kali sehari. Makanan pokok nasi, 2 sampai 3 kali sehari. 6. Sandang Seperlunya. Seperlunya. Seperlunya. Seperlunya. Tabel 5.1 Kondisi Sosial–Ekonomi Keempat Informan Utama.

5.3.5 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu’o Berdasarkan Keterangan Informan Kunci

Berikut ini adalah gambaran umum mengenai kondisi sosial–ekonomi masyarakat Desa Bawamatalu‘o berdasarkan kutipan hasil wawancara peneliti dengan informan kunci selaku Kepala Desa Bawamatalu‘o.

“Sebelum UNESCO menjadikan Desa Bawamatalu’o menjadi salah satu desa warisan budaya dunia pada tahun 2009 lalu, desa ini memang sudah banyak dikenal dan dikunjungi oleh para wisatawan. Namun, dampak dari UNESCO tersebut tetap saja besar. Pertama, desa ini lebih lagi dikenalkan kepada masyarakat internasional melalui UNESCO tentunya. Kedua, pembangunan infrastruktur besar-besaran baru dilakukan oleh pemerintah daerah pasca UNESCO. Khususnya akses jalan dari bawah sana sampai di bawah anak tangga desa, sepanjang 2,1 kilometer. Tidak ketinggalan Festival Budaya Bawamatalu’o mulai terselenggarakan sejak UNESCO menjadikan desa ini sebagai desa warisan budaya.”

Masyarakat Desa Bawamatalu’o pada umumnya menjadikan profesi petani dan peternak, selain menjadi tukang bangunan sebagai pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian masyarakat mulai merambah bidang profesi lain seperti berdagang makanan dan barang kelontong, menjadi pemandu wisata, menjadi pengrajin souvenir tetap, dan nelayan. Hal ini dikarenakan, Desa Bawamatalu’o semakin banyak dan sering dikunjungi oleh wisatawan daerah, nasional maupun internasional, terlebih setiap bulan Mei desa ini menyelenggarakan Festival Budaya Bawamatalu’o.” ―Secara umum kondisi perumahan masyarakat di sini seperti yang juga dapat Anda lihat sendiri. Terdapat 137 rumah masyarakat yang berdesign original rumah adat Nias Selatan utuh. Terdapat pula sekitar 104 rumah berdesign rumah adat melayu, berdesign rumah adat Nias tapi sudah tidak utuh lagi seperti atapnya sudah diganti seng dan sudah memakai paku, dan malah sudah ada yang membangun rumah berdesign konvensional. Sedangkan untuk rumah masyarakat Desa Bawamatalu’o yang berada di bawah ke-77 anak tangga termasuk rumah saya ini sekitar 195 rumah dan semuanya berdesign konvensional.

”Mungkin hampir 60% beratapkan daun rumbia, berdindingkan papan, berlantaikan tanah atau semen biasa, dan lantai papan khusus untuk design rumah adat. Banyak juga rumah masyarakat khsusnya design rumah konvensional sudah beratapkan seng, berlantaikan semen baik bahkan keramik, dan dindingnya sudah dari beton.”

“Aliran listrik dari PLN sudah tersedia, dimana sekitar hampir 80% rumah yang sudah teraliri oleh daya listrik. Kalau sumber perairan kita mengandalkan bantuan ILO berupa 6 buah pemandian umum, 2 unit pipanisasi, dan 1 unit pompanisasi. Terakhir urusan dapur, masyarakat di sini setengahnya masih megandalkan pembakaran menggunakan kayu bakar dan mungkin setengah lainnya sudah menggunakan kompor sumbu, sedikit saja yang sudah menggunakan kompor gas contohnya keluarga saya.”

“Fasilitas sarana pendidikan di Desa Bawamatalu’o dari jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA bahkan SMK sudah tersedia di sini. Sarana kesehatan juga sudah tersedia berupa Pustu dan Polindes Bawamatalu’o, namun masih belum untuk Puskesmas.”

“Harapan saya, pembangunan pasar untuk mengakomodasi kegiatan jualbeli masyarakat, pembangunan museum untuk menambah daya tarik desa sekaligus menambah penghasilan masyarakat profesi pengrajin dan menambah pemasukan kas desa. Saya juga berharap pemerintah daerah mau menyediakan alat transportasi setidaknya 2 unit mobil penumpang agar memudahkan naik dan turun desa sekaligus membantu kegiatan perekonomian masyarakat desa.”

Dokumen terkait