• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN SOSIAL–EKONOMI KELOMPOK MASYARAKAT ADAT FURAI DI DESA BAWAMATALU’O KECAMATAN FANAYAMA

KABUPATEN NIAS SELATAN

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh

REVORMANUEL IP. DUHA (110902051)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Revormanuel IP. Duha NIM : 110902051

Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul : Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten NiasSelatan

Medan, Agustus 2015

PEMBIMBING

(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) NIP. 19630103 198903 1 003

KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

(Hairani Siregar, S.Sos, M.SP) NIP. 19710927 199801 2 001

DEKAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)

Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.

(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY

(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)

This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.

This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.

The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.

Keywords : Conditions of socialeconomic, a group of indigenous people,

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang

yang telah berkenan melimpahkan berkat dan rahmat–Nya kepada penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang berjudul ―Tinjauan Sosial–

Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan

Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan

dan kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang

membangun demi perbaikan di masa yang mendatang. Pada kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia membimbing dan memberi dukungan kepada penulis dengan sebaik

(6)

4. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk

segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama

mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu

Juraidah Hanum dan Kak Deby, yang telah banyak membantu penulis

selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Ariston Sahbudi Manaö, selaku Kepala Desa Bawamatalu‘o tempat

dimana penulis melakukan penelitian lapangan dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

7. Terkhusus untuk kedua orangtua saya tercinta, bapak saya (alm.) Ismael

Duha dan ibu saya Nurtina Telaumbanua. Terima kasih sudah membesarkan,

mendidik, dan menjaga saya selama ini. Terima kasih pula untuk semua doa

yang terucap atas nama saya menjadi tambahan tenaga dan semangat buat

saya dalam menjalani hidup. Sekiranya cinta dan kasih Tuhan Yesus selalu

menyertai sebagai ganjaran untuk semua yang sudah kalian korbankan demi

saya.

8. Kakak dan adik–adik saya, Rya Sukma Duha, Christwilliam Ananda Putra

Duha, Budi Prasetyo Duha dan Putri Maryam Samaeri Duha.

(7)

10. Buat semua teman–teman mahasiswa stambuk 2011 Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

11. Bapak dan Ibu yang telah sudi menjadi informan utama dalam penelitian ini,

Ikaria Gowasa, Firmina Fa‘u, Taguikhöu Wa‘u dan Budiman Wa‘u.

12. Terima kasih kepada sahabat–sahabat saya Rocky NB. Manaö, Asa Mitra

Immanuel, Ronni Situmorang, Septiyana Agnes Margaretha, dan sahabat–

sahabat saya lainnya , yang sudah turut membantu saya dalam meyelesaikan

penulisan skripsi ini.

Semoga kasih Tuhan Yesus Kritus membalas dan melimpahkan rahmat serta

karunia–Nya atas segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang

sudah diberikan kepada penulis.

Semoga hasil karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu

sumber referensi dalam membantu semua pihak yang berkompeten untuk

menyelesaikan permasalahan–permasalahan kemiskinan di Indonesia terutama di

Desa Budaya Bawamatalu‘o.

Medan, Juli 2015

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat penelitian ... ... 12

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2 Manfaat Praktis ... 13

1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosial–Ekonomi ... 15

2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi ... 15

2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi ... 16

2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi ... 20

2.2 Kemiskinan ... 25

2.2.1 Definisi Kemiskinan ... 25

(9)

2.2.3 Penyebab Kemiskinan ... 33

2.3 Teori Kesejahteraan Sosial ... 35

2.4 Konsep Masyarakat Adat ... 36

2.4.1 Tinjauan Tentang Masyarakat ... 36

2.4.2 Tinjauan Tentang Adat Istiadat ... 39

2.5 Kerangka Pemikiran ... 40 4.1 Gambaran Singkat Desa Bawamatalu‘o sebagai Desa Wisata Budaya ... 50

4.2 Kondisi Geografi Desa Bawamatalu‘o ... 53

4.3 Profil Desa Bawamatalu‘o ... 55

4.4 Sistem Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 64

5.2 Identitas Informan ... 65

5.3 Deskripsi Kondisi Sosial–Ekonomi Informan Utama ... 68

(10)

5.3.1 Informan Utama (1) Profesi Petani ... 68

5.3.2 Informan Utama (2) Profesi Pedagang Makanan ... 70

5.3.3 Informan Utama (3) Profesi Pengrajin dan Tukang ... 72

5.3.4 Informan Utama (4) Profesi Nelayan ... 74

5.3.5 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o Berdasarkan Keterangan Informan Kunci ... 77

5.4 Analisa Deskripsi Hasil Penelitian ... 79

5.4.1 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o ... 79

5.4.2 Penyebab Kemiskinan di Desa Bawamatalu‘o ... 89

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(11)

DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL

BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Alur Pemikiran ... 42

Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60

GAMBAR

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa

di Indonesia Tahun 1999-2013 ... 2

Gambar 4.1 Sketsa Batas–batas Wilayah Desa Bawamatalu‘o ... 53

Gambar 4.2 Denah Desa Bawamatalu‘o ... 54

TABEL

Tabel 4.1 Nama–nama Leluhur Pendiri Desa Bawamatalu‘o

– Pertama ... 63

Tabel 4.2 Nama–nama Pemangku Adat Desa Bawamatalu‘o

– Keenam ... 63

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Dosen Pembimbing

2. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian

3. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

4. Surat Balasan Izin Penelitian dari Kepala Desa Budaya Bawamatalu‘o

Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan

(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)

Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.

(14)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY

(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)

This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.

This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.

The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.

Keywords : Conditions of socialeconomic, a group of indigenous people,

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat kontradiktif.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah/negara Indonesia adalah

kemiskinan, dewasa ini pemerintah belum mampu menyelesaikan permasalahan

tersebut, padahal setiap yang memimpin negara Indonesia selalu membawa isu

pengentasan kemiskinan sebagai misi utama program kerjanya.

Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal tahun 1970-an,

diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa

(Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun

1980-an, yang juga berarti upaya pengentasan kemiskinan di tahun 1970-an tersebut

tidak optimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Hal

ini diperparah dengan kecenderungan ketidak–merataan pendapatan yang melebar

mencakup antar sektor, antar kelompok, dan antar wilayah.

Kondisi kemiskinan di Indonesia semakin parah akibat krisis ekonomi pada

tahun 1998. Namun ketika pertumbuhan ekonomi yang sempat menurun akibat krisis

dapat teratasi dan dapat dipulihkan, kemiskinan tetap saja sulit untuk ditanggulangi.

Pada tahun 1999, 27% dari total penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan.

Sebanyak 33,9% penduduk desa dan 16,4% penduduk kota adalah orang miskin.

(http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-

(16)

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa di Indonesia

Tahun 1999-2013. Sumber : http://revolusidesa.com

Persentase penduduk miskin di desa selalu lebih tinggi daripada di kota, sekitar

6-8% lebih tinggi. Demikian halnya dengan laju tingkat penurunan kemiskinan, di

desa relatif lebih rendah daripada di kota, yaitu 4 berbanding 5. Jika ditelisik lebih

jauh diketahui bahwa tingkat kemiskinan di desa juga jauh lebih dalam dan lebih

parah dibandingkan di kota. Indeks kedalaman kemiskinan di kota 1,25 sementara di

desa 2,24. Indeks keparahan kemiskinan di kota 0,31 sementara di desa 0,56.

Profil kemiskinan di Indonesia masih merupakan fenomena pedesaan.

Artinya, sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan.

(http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-

(17)

Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah

banyak meluncurkan program penanggulangan kemiskinan seperti BLT (Bantuan

Langsung Tunai), KUR (Kredit Usaha Rakyat), Pengembangan UMKM (Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri dan masih banyak program-program lainnya. Sayangnya itu semua

masih belum cukup berhasil. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah

kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas. Itu

semua semata-mata untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan kesejahateraan

di bumi Indonesia ini.

Dalam mencapai tujuan kesejahteraan, negara dituntut dapat melakukan cara

apa pun demi mengakomodasi kehidupan yang layak bagi seluruh warga

masyarakatnya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara

memiliki banyak sekali tantangan dalam menjalankan perannya memberantas

kemiskinan. Hal ini terjadi pula di negara kita Indonesia yang sampai saat ini masih

stagnan dalam kategori negara berkembang.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tepatnya

pada tahun 2013 lalu telah menorehkan sejarah dengan pencapaian pertumbuhan

ekonomi Indonesia di angka 6,4%. Pertumbuhan ekonomi tersebut tertinggi pasca

berakhirnya pemerintahan orde baru dan krisis moneter tahun 1998. Tidak sampai

disitu saja. Baru-baru ini rilis resmi yang dikeluarkan oleh World Bank berdasarkan

penggunaan metode Purchasing Power Parity (PPP), menunjukkan kekuatan

(18)

Metode Purchasing Power Parity (PPP) adalah mengukur size dan kekuatan

ekonomi setiap negara berdasarakan aspek perbedaan harga barang antar negara dan

biaya hidup di setiap negara.

Catatan membanggakan di atas kemudian seketika menjadi percuma bila

melihat permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial di

Indonesia yang belum terselesaikan sampai kini. Khususnya di daerah–daerah

terisolir dan pulau terluar Indonesia. Eskalasi kemiskinan dan pengangguran malahan

tidak terbendung. Belum lagi inflasi yang tinggi dan ketersediaan komoditas-

komoditas pokok yang terbatas menambah sulit keberlangsungan kehidupan sosial-

ekonomi masyarakat di daerah terisolir dan pulau terluar Indonesia. Sehingga,

alokasi pertumbuhan ekonomi nasional yang mancapai 6,4% tidak berdampak

signifikan pada kehidupan sosial–ekonomi mereka.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan

Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2014 menunjukkan jumlah penduduk

miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.360.600 jiwa atau sebesar 9,85 persen

dari jumlah total penduduk. Kondisi ini lebih buruk jika dibandingkan dengan

kondisi bulan Maret 2014 yang jumlah penduduk miskinnya sebanyak 1.286.700

jiwa atau sebesar 9,38 persen. Dengan demikian, ada peningkatan jumlah penduduk

miskin sebanyak 73.900 jiwa serta peningkatan persentase penduduk miskin sebesar

0,47 poin. Kepulauan Nias menjadi salah satu penyumbang terbanyak masyarakat

kategori miskin di Sumatera Utara. (http://www.medanmagazine.com/penduduk-

(19)

Kepulauan Nias sendiri pada awalnya hanya memiliki satu daerah administrasi

berbentuk Kabupaten Nias dengan ibukota Gunung Sitoli, seiring terus bergulirnya

pemekaran yang masif di berbagai daerah di Indonesia, Kepulauan Nias pun tidak

mau ketinggalan untuk memekarkan beberapa daerahnya yang dianggap potensial

menjadi daerah otonomi. Hingga kini Kepulauan Nias sudah memiliki empat daerah

administrasi berbentuk kabupaten dan satu kotamadya. Salah satu kabupaten hasil

pemekaran besar-besaran di Kepulauan Nias adalah Kabupaten Nias Selatan.

Kabupaten Nias Selatan sendiri sesuai data Kementerian Pembangunan Daerah

Tertinggal per tahun 2012 memiliki sekitar 56.100 jiwa kategori masyarakat miskin

atau 19,04% dari 294.069 jiwa jumlah penduduk Nias Selatan. Ironisnya, Kabupaten

Nias Selatan berada pada posisi tiga dengan presentase jumlah masyarakat miskin

terbanyak di Sumatera Utara, hanya kalah dari Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara

yang notabene merupakan daerah hasil pemekaran Kepulauan Nias lainnya.

Bawamatalu‘o adalah satu desa di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias

Selatan. Desa ini berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut. Sebelumnya

desa ini masuk Kecamatan Telukdalam. Namun, setelah mengalami pemekaran

wilayah, beberapa desanya masuk ke dalam hasil pemekaran Kecamatan

(20)

Desa Bawamatalu‘o sendiri terkenal sebagai desa budaya dan budaya yang

terkenal di desa ini adalah tradisi Hombo’batu (lompat batu). Desa ini diusulkan

menjadi kawasan warisan budaya dunia dalam Situs Warisan Dunia UNESCO pada

tahun 2009. Sejak menyandang status sebagai desa budaya oleh UNESCO,

Bawamatalu‘o memiliki agenda budaya tahunan yaitu ―Festival Budaya

Bawamatalu‘o‖ yang penyelenggaraanya dari tanggal 13 sampai 15 Mei.

Secara harafiah Bawamatalu’o memiliki arti ―Bukit Matahari‖. Desa ini

diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan

dengan deretan rumah adat tradisional (omo hada) khas Nias Selatan dengan jumlah

137 omo hada yang masih utuh dengan sebuah omo sebua (rumah adat besar/rumah

raja di tengah-tengahnya).

Desa representatif dari Kebudayaan Nias Selatan ini dihuni oleh sekitar 1.310

kepala keluarga atau total jumlah laki-laki 3.096 jiwa dan perempuan 3.122 jiwa.

Peran seorang Si’ila (ketua suku/tetua adat) dan Si’ulu (penghubung/perantara

masyarakat) masih dominan dalam tatanan kehidupan masyarakat di desa budaya ini,

meskipun desa ini sendiri sudah mempunyai perwakilan pemerintah seperti kepala

desa dan perangkat desa lainnya. (http://wisata.kompasiana.com/jalan-

jalan/2013/09/12/bawomataluo-warisan-budaya-dunia-di-bukit-matahari-

(21)

Potensi sebagai desa budaya yang sering dikunjungi para pelancong dari dalam

maupun luar negeri belum mampu mendongkrak roda perekonomian yang

mendatangkan kesejahteraan menyeluruh bagi kelompok masyarakat adat di desa ini.

Dampak dari sumber daya pendapatan sebagai desa budaya yang potensial hanya

dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat desa, bahkan hal ini memunculkan masalah

lainnya berupa ketimpangan sosial. Pengelolaan sumber daya yang kurang baik dan

kurangnya keseriusan serta perhatian pemerintah dituding sebagai penyebabnya.

Bila berkunjung ke desa ini, mungkin akan terlihat selangkah lebih maju

kehidupan masyarakat dan infrastrukturnya dibanding mayoritas desa lain di Nias

Selatan. Namun hal tersebut tidak berlaku jika membandingkannya dengan desa–

desa di luar Nias Selatan yang benar–benar sudah maju dan berkembang, terlebih

lagi bila menilai desa ini menggunakan indikator daerah tertinggal sebagai alat ukur

daerah tertinggal yang digunakan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal.

Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat Desa Bawamatalu‘o

menggantungkan kehidupannya dalam pekerjaan–pekerjaan informal. Mungkin

sampai disini tidak terlalu salah, kemudian yang menjadi persoalan ialah sejumlah

pekerjaan–pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh masyarakat desa belum

mampu secara produktif dan konsisten menghadirkan kehidupan yang layak bagi

(22)

Setidaknya terdapat empat jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan

profesi oleh kebayakan masyarakat Desa Bukit Matahari ini, seperti nelayan,

bercocok tanam sebagai petani, pengrajin/pembuat souvenir, dan berjualan sebagai

pedagang. Aktivitas sebagai petani dan peternak merupakan pekerjaan sektor

informal yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat desa ini. Terdapat pula

segelintir masyarakatnya bekerja di sektor pekerjaan formal sebagai PNS (Pegawai

Negeri Sipil).

Penyebab utama masyarakat desa bekerja di sektor informal dikarenakan latar

belakang pendidikan yang rata–rata hanya menamatkan ijazah bangku sekolah dasar

atau pernah mengenyam pendidikan tingkat sekolah menengah pertama namun

berhenti begitu saja, tidak memiliki keterampilan yang spesifik dan memadai, dan

pola pikir yang masih belum visioner; ―kerja hanya untuk menghasilkan uang

membeli makan hari ini‖ dan ―untuk apa anak saya sekolah kalau waktunya hari ini

bisa langsung digunakan membantu saya mencari uang.‖

Sehingga ketersediaan lapangan kerja yang juga terbatas di Kabupaten Nias

Selatan belum mampu banyak mangakomodasi masyarakat desa ini yang belum

punya daya saing memadai di dunia kerja formal. Tidak sedikit pula masyarakat desa

ini yang kerja serabutan dan mengaggur. Hal Ini sebenarnya juga merupakan

gambaran dari kehidupan masyakarat desa yang terdapat di seluruh Kabupaten Nias

(23)

Banyak putra–putri Desa Bawamatalu‘o yang sudah berpendidikan tinggi lebih

memilih menetap di Kota Telukdalam dan cukup banyak pula dari mereka yang

berpergian jauh atau merantau ke luar Pulau Nias bertujuan mendapatkan

kesempatan yang lebih besar di kota besar untuk menjadi orang besar. Hal ini jelas

berpengaruh besar bagi desa adat ini. Dimana seharusnya mereka sebagai putra-putri

asli terbaik Desa Bawamatalu‘o dapat memberi sumbangsih dan konstribusi

memajukan desanya dan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Akses jalan menuju Desa Bawamatalu‘o memang sudah beraspal baik yang

mempermudah naik dan turun dari desa ini. Namun, para nelayan desa ini masih saja

kesulitan untuk melaut dikarenakan jarak yang cukup jauh antara TPI (Tempat

Pelelangan Ikan) yang juga tempat berkumpulnya para nelayan dari berbagai desa

lainnya sebelum dan sesudah melaut dengan desanya. Begitu pula dengan petani desa

ini yang kesulitan menempuh jarak yang jauh untuk memasarkan hasil panennya

maupun sekedar untuk membeli pupuk juga peralatan bertaninya di Kota

Telukdalam.

Kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o pun belum

berjalan dengan baik, hal ini disebabkan oleh infrastruktur sarana publik yang

menunjang belum memadai. Desa ini belum memiliki sarana kesehatan publik seperti

Puskesmas terlebih rumah sakit, sarana transportasi yang tidak terjadwal serta dalam

jumlah terbatas, dan pasar tempat untuk jual–beli sembako dan komoditas pokok

(24)

Mereka harus menempuh jarak 2,1 kilometer meter menuruni desanya

ditambah jarak sekitar 12 kilometer perjalanan lagi untuk bisa sampai di Kota

Telukdalam bila ingin mendapati fasilitas serta sarana publik yang tidak mereka

temukan di desanya. Belum lagi sumber perairan desa bergantung pada bantuan ILO

(International Labour Organisation) yang terdapat di luar rumah masyarakat dan

desa ini belum terfasilitasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Sektor pembuatan souvenir seperti membuat patung pahatan dari kayu dan

mengukir patung dari bebatuan, membuat miniatur rumah adat Nias Selatan,

menjahit dan membuat baju tari perang yang merupakan baju adat pria Nias Selatan

serta baju maena yang merupakan baju adat wanita Nias Selatan dan berbagai jenis

cindera–mata lainnya merupakan beberapa contoh aktivitas para pembuat souvenir di

desa ini. Kemasan pemasarannya yang hanya di sekitar desa saja dan promosi yang

kurang, menjadikan tidak maksimal pula pendapatan masyarakat yang bersumber

dari penjualan souvenir.

Setidaknya kita dapat melihat terdapat dua sumber daya potensial Masyarakat

Adat Bawamatalu‘o yang bisa saja mendatangkan kemakmuran di desa ini, yaitu

berupa potensi pendapatan dari sektor wisata desa budaya dan potensi pekerjaan

informal yang beragam. Sedikitnya terdapat empat masalah utama penghambat

perbaikan kehidupan masyarakat adat Desa Bawamatalu‘o, yakni sumber daya

manusia/daya saing masyarakat yang tidak memadai, infrastruktur dan sarana publik

penunjang kegiatan sosial–ekonomi masyarakat yang terbatas/kurang memadai,

pengeloaan sumber daya wisata desa budaya dan penjualan souvenir yang tidak

mendapatkan perhatian khusus pemerintah daerah, dan jarak tempuh yang cukup

(25)

Jembatan kesejahteraan berupa sumber daya pariwisata sebagai destinasi desa

budaya, memiliki sanggar kebudayaan yang sudah mentas di berbagai Festival

Kebudayaan Nasional di berbagai daerah Indonesia bahkan beberapa kali ikut

diundang untuk mempertontonkan seni Kebudayaan Nias Selatan di panggung

mancanegara, memiliki dan menyelenggarakan festival kebudayaan sendiri setiap

bulai Mei, dan berbagai jenis pekerjaan sektor informal yang menjadi andalan mata

pencaharian masyarakatnya. Semua itu belum cukup sebagai jembatan yang

membawa kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Mulai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

Perdesaan, Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah), program

pemulihan Aceh–Nias oleh USAID (United State Agency for International

Development) pasca Kepulauan Nias dilanda musibah gempa dan tsunami pada bulan

Maret 2005, dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah pernah mampir dalam rangka

pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adat di desa budaya yang berada di

Kecamatan Fanayama ini.

Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulisan ini berusaha memparkan

penyebab pekerjaan sektor informal yang dilakoni mayoritas masyarakat

Bawamatalu‘o dan potensi wisata-budaya di Desa Bawamatalu‘o, dimana keduanya

belum mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat adat di desa ini.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

mengangkat judul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat F urai

(26)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang di atas,

maka hal-hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan ―Bagaimana kondisi kehidupan sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya

Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan?‖.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi sosial–ekonomi

masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten

Nias Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu

sosial terutama pada bidang kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai

tinjauan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti lebih jauh mengenai kondisi kehidupan sosial–ekonomi Masyarakat

(27)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para Masyarakat Adat

Furai di Desa Bawamatalu‘o mengenai kondisi sosial ekonominya.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi instansi pemerintah terkait di Kabupaten

Nias Selatan, sebagai referensi dalam memberikan dukungan bagi

Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

3. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat

sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini

mengenai kondisi sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa

Bawamatalu‘o.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian,

(28)

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik

pengumpulan data, teknik analisa data, dan penyajian data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Deskripsi lokasi penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang

berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Analisa data berisi tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan

analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sosial–Ekonomi

2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi

Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial

dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu

sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial

menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang

dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan

dan kesejahteraan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang

berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:958).

Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial

yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain

disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan

dengan masyarakat.

Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu oikos yang

berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum.

Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau

(30)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai

asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti

keuangan, perindustrian dan perdagangan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

1996:251).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial

ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan

lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini

disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Untuk melihat kedudukan sosial–ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan

pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam

kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35).

2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi

Pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang

didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan

menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis (Midgley,

2005:37).

Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu

diperhatikan, diantara lain :

1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi.

Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan

(31)

Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan

program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan

sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.

2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu

(interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan

sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi. Pembangunan sosial

juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-

isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan

intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam

mengangkat kesejahteraan masyarakat.

3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan

sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan

perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih

berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal,

pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan

pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial

awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan

itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial

telah tercapai.

4. Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk

perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial

(32)

5. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam

kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang

dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena

bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses

pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat

mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai

tujuan pembangunan sosial.

6. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik

secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi

sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan

dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun

masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.

7. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang

lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus

makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat.

Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena

pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang

miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita).

Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah seperti dalam kota,

(33)

8. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana

masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya

kesempatan sosial (Midgley, 2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun

bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (Midgley, 2005:19).

Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut

Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses

pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu

pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan

peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.

Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang

diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.

Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a)

(34)

Meminjam asumsi Todaro (Todaro, 1989:92), ada tiga sasaran yang seyogyanya

dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :

a. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang

kebutuhan pokok.

b. Meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas

kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih

besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan

memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan

rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.

c. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan

setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan

ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain

tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.

2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi

Keluarga dan kelompok masyarakat dapat digolongkan memiliki sosial-

ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35). Berdasarkan hal

tersebut kita dapat mengklasifikasikan keadaan sosial ekonominya yang dapat

dijabarkan sesuai dengan indikator sebagai berikut :

a. Pendapatan

Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan

ditemui dalam masyarakat yang matrealis dan tradisonal yang menghargai

(35)

kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji,

upah sewa, bunga, laba, dan lainnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) merinci pendapatan dalam beberapa kategori

sebagai berikut :

1. Pendapatan berupa uang ialah segala penghasilan berupa uang yang

sifatnya reguler dan biasanya diterima sebagai balasan atau kontrak

prestasi.

2. Pendapatan yang berupa barang adalah pembayaran upah dan gaji yang

berbentuk beras, pengobatan, transportasi, perumahan, dankreasi.

Berkaitan dengan hal tersebut mendefenisikan pendapatan sebagai

seluruh penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain

maupun dari hasil sendiri, dengan cara menilai sejumlah atas harga yang

berlaku saat ini.

b. Perumahan

Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan

membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung

keluarga, dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga dikatakan sebagai

lambung sosial. Rumah ialah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan

area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan

keluarga (Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992). Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan

sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih

rendah dari udara yang di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi

(36)

melindungi penghuninya dari berbagai penyakit menular yaitu memiliki

penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah, dan saluran pembuangan

air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan, dan (4) melindungi

penghuni dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,

seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran

karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu

lintas.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui

kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya di masa yang

akan datang. Dalam (Undang–undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2013) pendidikan didefenisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Menurut Ki Hajar Dewantara yang tidak lain merupakan ‗bapak

pendidikan nasional‘ mengemukakan pengertian dari pendidikan ialah tuntutan

di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu

menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka

sabagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai

(37)

d. Kesehatan

Menurut World Health Organization (WHO), ada empat komponen

penting yang merupakan satu kesatuan dalam definisi sehat yaitu :

1. Sehat Jasmani.

Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya,

berupa sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar,

rambut tersisir rapi, berpakaian rapi, berotot, tidak gemuk, nafas tidak

bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit dan seluruh fungsi fisiologi

tubuh berjalan normal.

2. Sehat Mental.

Sehat Mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam

pepatah kuno ―Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat (Men

Sana In Corpore Sano)‖.

Atribut seorang insan yang memiliki mental yang sehat adalah selalu

merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak ada tanda-tanda

konflik kejiwaan, dapat bergaul dengan baik, dapat menerima kritik serta

tidak mudah tersinggung atau marah, dapat mengontrol diri, tidak mudah

emosi, dapat menyelesaikan masalah secara cerdik dan bijaksana.

3. Kesejahteraan Sosial.

Batasan kesejahteraan sosial yang ada di setiap tempat atau negara sulit

diukur dan sangat tergantung pada kultur, kebudayaan dan tingkat

(38)

Dalam arti yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial adalah suasana

kehidupan berupa perasaan aman damai dan sejahtera, cukup pangan,

sandang dan papan. Dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera,

masyarakat hidup tertib dan selalu menghargai kepentingan orang lain

serta masyarakat umum.

4. Sehat Spiritual.

Spiritual merupakan komponen tambahan dan memiliki arti penting

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat

pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur,

mendengar alunan lagu dan musik, siraman rohani seperti ceramah

agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa yang dinamis dan

tidak monoton.

Keempat komponen ini dikenal sebagai sehat positif atau disebut sebagai ―positive health‖ karena lebih realistis dibandingkan dengan definisi WHO

yang hanya bersifat idealistik semata-mata.

e. Pangan dan Sandang

Pangan ialah sumber makanan bagi manusia dan merupakan kebutuhan

pokok manusia. Sedang sandang adalah pakaian manusia. Pakaian menjadi

kebutuhan primer, dan meskipun manusia dapat hidup tanpa pakaian, tetapi

dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat

sehingga pakaian adalah hal yang penting dalam kesehariannya.

(https://helpmeups.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-

bookletjuli2006/Beberapa-Indikator-Penting-Sosial-Ekonomi-Indonesia/, diakses 23

(39)

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Definisi Kemiskinan

Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan

semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang

melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi

melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan

memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan

maupun non–makan.

Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:

a. Kemiskinan Absolut

Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi

kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang

rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat dan martabat

sebagai manusia. Lebih dari itu kondisi kehidupan seseorang atau sekelompok

orang itu sedemikian rupa sehingga secara fisik mengakibatkan seseorang atau

sekelompok orang itu tidak mampu melakukan aktivitas yang wajar.

b. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang

sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih

rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar

ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah

(40)

miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah

distribusi pendapatan (Siagian, 2012:47-49).

Untuk memahami masalah kemiskinan, maka perlu memandang kemiskinan itu

dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai

suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang

atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak

sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses

menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga

pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan

hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak

sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (Siagian, 2012:2-3).

2.2.2. Model Pengukuran dan Indikator Kemiskinan

Terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu model tingkat

konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia.

1) Model Tingkat Komsumsi.

Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai

indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di

daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan apabila seseorang

hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun,

maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah

perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun.

(41)

konsumsi pendududuk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS

menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan

Gizi tahun 1998, yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi

kebutuhan non–makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan

melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan

penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada

saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup

periode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi Susenas (Survei

Sosial Ekonomi Nasional).

(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK

ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)

2) Model Kejahteraan Keluarga.

Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran

yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi

bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai

indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih

akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya

relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan

sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka

indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang

sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di

(42)

Atas dasar pemikiran tersebut, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera

yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

1. Keluarga Miskin

Keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS – I karena alasan

ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang

meliputi :

- Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.

- Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang

satu stel pakaian baru.

- Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni.

2. Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5

kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti

kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan

kesehatan.

3. Keluarga Sejahtera Tahap I

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara

minimal, yaitu :

- Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing–masing anggota

keluarga.

- Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau

lebih.

- Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di

(43)

- Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

- Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke

sarana/petugas kesehatan.

4. Keluarga Sejahtera Tahap II

Keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga

sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6 sampai 14,

yaitu :

- Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.

- Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur

sebagai lauk pauk.

- Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian

baru per tahun.

- Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni

rumah.

- Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.

- Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun

keatas mempunyai penghasilan tetap.

- Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca

tulisan latin.

- Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini.

- Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur

(44)

5. Keluarga Sejahtera Tahap III

Keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi

syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :

- Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

- Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan

keluarga untuk tabungan keluarga.

- Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu

dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.

- Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

- Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.

- Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.

- Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai

dengan kondisi daerah setempat.

6. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus

Keluarga yang dapat memenuhi kriteria 1 sampai 21 dan dapat pula

memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya, yaitu :

- Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan

sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.

- Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

(http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm, diakses 26 Juli

(45)

3) Model Pembangunan Manusia.

Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek

sebagai sebagai berikut :

- Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan

manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar

hidup yang layak. Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka

melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.

- Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)

Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar

penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak

mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks

tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai

usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status

gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk

tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin

besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang

semakin tinggi.

- Indeks Kehidupan Fakir Miskin

Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam

prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi

kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum

(46)

Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori,

(2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial

dasar dan pembangunan.

Untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan lima versi indikator

kemiskinan, sebagai berikut :

- Bank Dunia, kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan

yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal

UU$ 2 per hari.

- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),

mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator (1) Tidak dapat menjalankan

ibadah menurut agamanya, (2) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali

sehari, (3) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk

di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, (4) Bagian terluas rumahnya terdiri

atas tanah, (5) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.

- Dinas Kesehatan, menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan

pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi

makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga

mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.

- Badan Pusat Statistik (BPS), mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat

konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan

minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan).

Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per

(47)

(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK

ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)

2.2.3. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :

1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat

dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.

2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan

keluarga.

3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan

kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.

4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,

termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.

5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan

hasil dari struktur sosial.

Kemiskinan tidak hanya menyangkut tentang pendapatan tetapi juga

menyangkut tentang aspek kehidupan lainnya. Kemiskinan di berbagai hal ini disebut

dengan kemiskinan plural. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24

(48)

Todaro (2006) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan

dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non–ekonomi. Tiga komponen utama

sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut

adalah rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri dan terbebas kebebasan

ketiga aspek tersebut memiliki hubungan timbal balik. Rendahnya taraf hidup

disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan

oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga

kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka

pengangguran dan rendahnya investasi perkapita.

Untuk kasus Indonesia diperkirakan ada empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor

tersebut adalah rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya

lapangan kerja dan kondisi keterisolasian. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan,

diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20)

Asnawi (1994) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh

tiga faktor, yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor

teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi

ratio, nilai sikap, partisipasi, keterampilan pekerjaan, dan semuanya itu tergantung

kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri, kalau sosial budaya masyarakatnya

masih terbelakang maka rendahlah mutu sumber daya manusianya. Sebaliknya kalau

sosial budaya modern sesuai dengan tuntutan pembangunan maka tinggilah mutu

Gambar

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa di Indonesia
Gambar 4.1 Sketsa Batas–batas Wilayah Desa Bawamatalu’o.
Gambar 4.2 Denah Desa Bawamatalu’o.
Tabel 4.1 Nama–nama  Leluhur Pendiri Desa Bawamatalu’o – Pertama.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa proses pelaksanaan program Tahfidz Al-Qur‟an ini dilaksanakan dibagi menjadi dua tingkatan halaqah dan dijadwalkan

Gunakan PSO dan Naïve Bayes sesuai dengan konsep text mining yang bertujuan untuk menemukan pola-pola yang ada dalam teks, kegiatan yang dilakukan oleh text mining

Augmented reality tidak memberi solusi pada masalah penglihatan para pengguna sehingga AR lebih berada pada posisi mempertahankan persepsi penuh terhadap realitas

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

(Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor

Kontrak/Berita Acara Serah Terima Pekerjaan FHO /Berita Acara Pembayaran Terakhir BAP ASLI atau REKAMAN yang sudah dilegalisir oleh instansi yang berwenang

dan buku namun penyampaiannya terkesan satu arah yang lebih menggunakan metode ceramah dan tidak memberikan pengalaman kepada siswa untuk lebih memperdalam materi

(2) berdasarkan hipotesis yang telah dilakukan pada prestasi belajar siswa yaitu Ho ditolak dan Ha diterima, berarti model problem based learning memberikan pengaruh