TINJAUAN SOSIAL–EKONOMI KELOMPOK MASYARAKAT ADAT FURAI DI DESA BAWAMATALU’O KECAMATAN FANAYAMA
KABUPATEN NIAS SELATAN
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh
REVORMANUEL IP. DUHA (110902051)
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Revormanuel IP. Duha NIM : 110902051
Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial
Judul : Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten NiasSelatan
Medan, Agustus 2015
PEMBIMBING
(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) NIP. 19630103 198903 1 003
KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Hairani Siregar, S.Sos, M.SP) NIP. 19710927 199801 2 001
DEKAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS
(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)
Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.
Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY
(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)
This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.
This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.
The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.
Keywords : Conditions of social–economic, a group of indigenous people,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang
yang telah berkenan melimpahkan berkat dan rahmat–Nya kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang berjudul ―Tinjauan Sosial–
Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan
Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat
dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan
dan kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan di masa yang mendatang. Pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia membimbing dan memberi dukungan kepada penulis dengan sebaik
4. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk
segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu
Juraidah Hanum dan Kak Deby, yang telah banyak membantu penulis
selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Ariston Sahbudi Manaö, selaku Kepala Desa Bawamatalu‘o tempat
dimana penulis melakukan penelitian lapangan dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
7. Terkhusus untuk kedua orangtua saya tercinta, bapak saya (alm.) Ismael
Duha dan ibu saya Nurtina Telaumbanua. Terima kasih sudah membesarkan,
mendidik, dan menjaga saya selama ini. Terima kasih pula untuk semua doa
yang terucap atas nama saya menjadi tambahan tenaga dan semangat buat
saya dalam menjalani hidup. Sekiranya cinta dan kasih Tuhan Yesus selalu
menyertai sebagai ganjaran untuk semua yang sudah kalian korbankan demi
saya.
8. Kakak dan adik–adik saya, Rya Sukma Duha, Christwilliam Ananda Putra
Duha, Budi Prasetyo Duha dan Putri Maryam Samaeri Duha.
10. Buat semua teman–teman mahasiswa stambuk 2011 Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
11. Bapak dan Ibu yang telah sudi menjadi informan utama dalam penelitian ini,
Ikaria Gowasa, Firmina Fa‘u, Taguikhöu Wa‘u dan Budiman Wa‘u.
12. Terima kasih kepada sahabat–sahabat saya Rocky NB. Manaö, Asa Mitra
Immanuel, Ronni Situmorang, Septiyana Agnes Margaretha, dan sahabat–
sahabat saya lainnya , yang sudah turut membantu saya dalam meyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Semoga kasih Tuhan Yesus Kritus membalas dan melimpahkan rahmat serta
karunia–Nya atas segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang
sudah diberikan kepada penulis.
Semoga hasil karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
sumber referensi dalam membantu semua pihak yang berkompeten untuk
menyelesaikan permasalahan–permasalahan kemiskinan di Indonesia terutama di
Desa Budaya Bawamatalu‘o.
Medan, Juli 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 12
1.3 Tujuan Penelitian ... 12
1.4 Manfaat penelitian ... ... 12
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ... 13
1.5 Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosial–Ekonomi ... 15
2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi ... 15
2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi ... 16
2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi ... 20
2.2 Kemiskinan ... 25
2.2.1 Definisi Kemiskinan ... 25
2.2.3 Penyebab Kemiskinan ... 33
2.3 Teori Kesejahteraan Sosial ... 35
2.4 Konsep Masyarakat Adat ... 36
2.4.1 Tinjauan Tentang Masyarakat ... 36
2.4.2 Tinjauan Tentang Adat Istiadat ... 39
2.5 Kerangka Pemikiran ... 40 4.1 Gambaran Singkat Desa Bawamatalu‘o sebagai Desa Wisata Budaya ... 50
4.2 Kondisi Geografi Desa Bawamatalu‘o ... 53
4.3 Profil Desa Bawamatalu‘o ... 55
4.4 Sistem Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 64
5.2 Identitas Informan ... 65
5.3 Deskripsi Kondisi Sosial–Ekonomi Informan Utama ... 68
5.3.1 Informan Utama (1) Profesi Petani ... 68
5.3.2 Informan Utama (2) Profesi Pedagang Makanan ... 70
5.3.3 Informan Utama (3) Profesi Pengrajin dan Tukang ... 72
5.3.4 Informan Utama (4) Profesi Nelayan ... 74
5.3.5 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o Berdasarkan Keterangan Informan Kunci ... 77
5.4 Analisa Deskripsi Hasil Penelitian ... 79
5.4.1 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o ... 79
5.4.2 Penyebab Kemiskinan di Desa Bawamatalu‘o ... 89
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 95
6.2 Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 101
DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL
BAGAN
Bagan 2.1 Bagan Alur Pemikiran ... 42
Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60
GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa
di Indonesia Tahun 1999-2013 ... 2
Gambar 4.1 Sketsa Batas–batas Wilayah Desa Bawamatalu‘o ... 53
Gambar 4.2 Denah Desa Bawamatalu‘o ... 54
TABEL
Tabel 4.1 Nama–nama Leluhur Pendiri Desa Bawamatalu‘o
– Pertama ... 63
Tabel 4.2 Nama–nama Pemangku Adat Desa Bawamatalu‘o
– Keenam ... 63
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keterangan Dosen Pembimbing
2. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian
3. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara
4. Surat Balasan Izin Penelitian dari Kepala Desa Budaya Bawamatalu‘o
Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS
(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)
Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.
Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY
(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)
This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.
This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.
The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.
Keywords : Conditions of social–economic, a group of indigenous people,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat kontradiktif.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah/negara Indonesia adalah
kemiskinan, dewasa ini pemerintah belum mampu menyelesaikan permasalahan
tersebut, padahal setiap yang memimpin negara Indonesia selalu membawa isu
pengentasan kemiskinan sebagai misi utama program kerjanya.
Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal tahun 1970-an,
diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa
(Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun
1980-an, yang juga berarti upaya pengentasan kemiskinan di tahun 1970-an tersebut
tidak optimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Hal
ini diperparah dengan kecenderungan ketidak–merataan pendapatan yang melebar
mencakup antar sektor, antar kelompok, dan antar wilayah.
Kondisi kemiskinan di Indonesia semakin parah akibat krisis ekonomi pada
tahun 1998. Namun ketika pertumbuhan ekonomi yang sempat menurun akibat krisis
dapat teratasi dan dapat dipulihkan, kemiskinan tetap saja sulit untuk ditanggulangi.
Pada tahun 1999, 27% dari total penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan.
Sebanyak 33,9% penduduk desa dan 16,4% penduduk kota adalah orang miskin.
(http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-
Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa di Indonesia
Tahun 1999-2013. Sumber : http://revolusidesa.com
Persentase penduduk miskin di desa selalu lebih tinggi daripada di kota, sekitar
6-8% lebih tinggi. Demikian halnya dengan laju tingkat penurunan kemiskinan, di
desa relatif lebih rendah daripada di kota, yaitu 4 berbanding 5. Jika ditelisik lebih
jauh diketahui bahwa tingkat kemiskinan di desa juga jauh lebih dalam dan lebih
parah dibandingkan di kota. Indeks kedalaman kemiskinan di kota 1,25 sementara di
desa 2,24. Indeks keparahan kemiskinan di kota 0,31 sementara di desa 0,56.
Profil kemiskinan di Indonesia masih merupakan fenomena pedesaan.
Artinya, sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan.
(http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah
banyak meluncurkan program penanggulangan kemiskinan seperti BLT (Bantuan
Langsung Tunai), KUR (Kredit Usaha Rakyat), Pengembangan UMKM (Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri dan masih banyak program-program lainnya. Sayangnya itu semua
masih belum cukup berhasil. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah
kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas. Itu
semua semata-mata untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan kesejahateraan
di bumi Indonesia ini.
Dalam mencapai tujuan kesejahteraan, negara dituntut dapat melakukan cara
apa pun demi mengakomodasi kehidupan yang layak bagi seluruh warga
masyarakatnya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara
memiliki banyak sekali tantangan dalam menjalankan perannya memberantas
kemiskinan. Hal ini terjadi pula di negara kita Indonesia yang sampai saat ini masih
stagnan dalam kategori negara berkembang.
Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tepatnya
pada tahun 2013 lalu telah menorehkan sejarah dengan pencapaian pertumbuhan
ekonomi Indonesia di angka 6,4%. Pertumbuhan ekonomi tersebut tertinggi pasca
berakhirnya pemerintahan orde baru dan krisis moneter tahun 1998. Tidak sampai
disitu saja. Baru-baru ini rilis resmi yang dikeluarkan oleh World Bank berdasarkan
penggunaan metode Purchasing Power Parity (PPP), menunjukkan kekuatan
Metode Purchasing Power Parity (PPP) adalah mengukur size dan kekuatan
ekonomi setiap negara berdasarakan aspek perbedaan harga barang antar negara dan
biaya hidup di setiap negara.
Catatan membanggakan di atas kemudian seketika menjadi percuma bila
melihat permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial di
Indonesia yang belum terselesaikan sampai kini. Khususnya di daerah–daerah
terisolir dan pulau terluar Indonesia. Eskalasi kemiskinan dan pengangguran malahan
tidak terbendung. Belum lagi inflasi yang tinggi dan ketersediaan komoditas-
komoditas pokok yang terbatas menambah sulit keberlangsungan kehidupan sosial-
ekonomi masyarakat di daerah terisolir dan pulau terluar Indonesia. Sehingga,
alokasi pertumbuhan ekonomi nasional yang mancapai 6,4% tidak berdampak
signifikan pada kehidupan sosial–ekonomi mereka.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan
Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2014 menunjukkan jumlah penduduk
miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.360.600 jiwa atau sebesar 9,85 persen
dari jumlah total penduduk. Kondisi ini lebih buruk jika dibandingkan dengan
kondisi bulan Maret 2014 yang jumlah penduduk miskinnya sebanyak 1.286.700
jiwa atau sebesar 9,38 persen. Dengan demikian, ada peningkatan jumlah penduduk
miskin sebanyak 73.900 jiwa serta peningkatan persentase penduduk miskin sebesar
0,47 poin. Kepulauan Nias menjadi salah satu penyumbang terbanyak masyarakat
kategori miskin di Sumatera Utara. (http://www.medanmagazine.com/penduduk-
Kepulauan Nias sendiri pada awalnya hanya memiliki satu daerah administrasi
berbentuk Kabupaten Nias dengan ibukota Gunung Sitoli, seiring terus bergulirnya
pemekaran yang masif di berbagai daerah di Indonesia, Kepulauan Nias pun tidak
mau ketinggalan untuk memekarkan beberapa daerahnya yang dianggap potensial
menjadi daerah otonomi. Hingga kini Kepulauan Nias sudah memiliki empat daerah
administrasi berbentuk kabupaten dan satu kotamadya. Salah satu kabupaten hasil
pemekaran besar-besaran di Kepulauan Nias adalah Kabupaten Nias Selatan.
Kabupaten Nias Selatan sendiri sesuai data Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal per tahun 2012 memiliki sekitar 56.100 jiwa kategori masyarakat miskin
atau 19,04% dari 294.069 jiwa jumlah penduduk Nias Selatan. Ironisnya, Kabupaten
Nias Selatan berada pada posisi tiga dengan presentase jumlah masyarakat miskin
terbanyak di Sumatera Utara, hanya kalah dari Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara
yang notabene merupakan daerah hasil pemekaran Kepulauan Nias lainnya.
Bawamatalu‘o adalah satu desa di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias
Selatan. Desa ini berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut. Sebelumnya
desa ini masuk Kecamatan Telukdalam. Namun, setelah mengalami pemekaran
wilayah, beberapa desanya masuk ke dalam hasil pemekaran Kecamatan
Desa Bawamatalu‘o sendiri terkenal sebagai desa budaya dan budaya yang
terkenal di desa ini adalah tradisi Hombo’batu (lompat batu). Desa ini diusulkan
menjadi kawasan warisan budaya dunia dalam Situs Warisan Dunia UNESCO pada
tahun 2009. Sejak menyandang status sebagai desa budaya oleh UNESCO,
Bawamatalu‘o memiliki agenda budaya tahunan yaitu ―Festival Budaya
Bawamatalu‘o‖ yang penyelenggaraanya dari tanggal 13 sampai 15 Mei.
Secara harafiah Bawamatalu’o memiliki arti ―Bukit Matahari‖. Desa ini
diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan
dengan deretan rumah adat tradisional (omo hada) khas Nias Selatan dengan jumlah
137 omo hada yang masih utuh dengan sebuah omo sebua (rumah adat besar/rumah
raja di tengah-tengahnya).
Desa representatif dari Kebudayaan Nias Selatan ini dihuni oleh sekitar 1.310
kepala keluarga atau total jumlah laki-laki 3.096 jiwa dan perempuan 3.122 jiwa.
Peran seorang Si’ila (ketua suku/tetua adat) dan Si’ulu (penghubung/perantara
masyarakat) masih dominan dalam tatanan kehidupan masyarakat di desa budaya ini,
meskipun desa ini sendiri sudah mempunyai perwakilan pemerintah seperti kepala
desa dan perangkat desa lainnya. (http://wisata.kompasiana.com/jalan-
jalan/2013/09/12/bawomataluo-warisan-budaya-dunia-di-bukit-matahari-
Potensi sebagai desa budaya yang sering dikunjungi para pelancong dari dalam
maupun luar negeri belum mampu mendongkrak roda perekonomian yang
mendatangkan kesejahteraan menyeluruh bagi kelompok masyarakat adat di desa ini.
Dampak dari sumber daya pendapatan sebagai desa budaya yang potensial hanya
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat desa, bahkan hal ini memunculkan masalah
lainnya berupa ketimpangan sosial. Pengelolaan sumber daya yang kurang baik dan
kurangnya keseriusan serta perhatian pemerintah dituding sebagai penyebabnya.
Bila berkunjung ke desa ini, mungkin akan terlihat selangkah lebih maju
kehidupan masyarakat dan infrastrukturnya dibanding mayoritas desa lain di Nias
Selatan. Namun hal tersebut tidak berlaku jika membandingkannya dengan desa–
desa di luar Nias Selatan yang benar–benar sudah maju dan berkembang, terlebih
lagi bila menilai desa ini menggunakan indikator daerah tertinggal sebagai alat ukur
daerah tertinggal yang digunakan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal.
Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat Desa Bawamatalu‘o
menggantungkan kehidupannya dalam pekerjaan–pekerjaan informal. Mungkin
sampai disini tidak terlalu salah, kemudian yang menjadi persoalan ialah sejumlah
pekerjaan–pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh masyarakat desa belum
mampu secara produktif dan konsisten menghadirkan kehidupan yang layak bagi
Setidaknya terdapat empat jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan
profesi oleh kebayakan masyarakat Desa Bukit Matahari ini, seperti nelayan,
bercocok tanam sebagai petani, pengrajin/pembuat souvenir, dan berjualan sebagai
pedagang. Aktivitas sebagai petani dan peternak merupakan pekerjaan sektor
informal yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat desa ini. Terdapat pula
segelintir masyarakatnya bekerja di sektor pekerjaan formal sebagai PNS (Pegawai
Negeri Sipil).
Penyebab utama masyarakat desa bekerja di sektor informal dikarenakan latar
belakang pendidikan yang rata–rata hanya menamatkan ijazah bangku sekolah dasar
atau pernah mengenyam pendidikan tingkat sekolah menengah pertama namun
berhenti begitu saja, tidak memiliki keterampilan yang spesifik dan memadai, dan
pola pikir yang masih belum visioner; ―kerja hanya untuk menghasilkan uang
membeli makan hari ini‖ dan ―untuk apa anak saya sekolah kalau waktunya hari ini
bisa langsung digunakan membantu saya mencari uang.‖
Sehingga ketersediaan lapangan kerja yang juga terbatas di Kabupaten Nias
Selatan belum mampu banyak mangakomodasi masyarakat desa ini yang belum
punya daya saing memadai di dunia kerja formal. Tidak sedikit pula masyarakat desa
ini yang kerja serabutan dan mengaggur. Hal Ini sebenarnya juga merupakan
gambaran dari kehidupan masyakarat desa yang terdapat di seluruh Kabupaten Nias
Banyak putra–putri Desa Bawamatalu‘o yang sudah berpendidikan tinggi lebih
memilih menetap di Kota Telukdalam dan cukup banyak pula dari mereka yang
berpergian jauh atau merantau ke luar Pulau Nias bertujuan mendapatkan
kesempatan yang lebih besar di kota besar untuk menjadi orang besar. Hal ini jelas
berpengaruh besar bagi desa adat ini. Dimana seharusnya mereka sebagai putra-putri
asli terbaik Desa Bawamatalu‘o dapat memberi sumbangsih dan konstribusi
memajukan desanya dan kehidupan masyarakat di dalamnya.
Akses jalan menuju Desa Bawamatalu‘o memang sudah beraspal baik yang
mempermudah naik dan turun dari desa ini. Namun, para nelayan desa ini masih saja
kesulitan untuk melaut dikarenakan jarak yang cukup jauh antara TPI (Tempat
Pelelangan Ikan) yang juga tempat berkumpulnya para nelayan dari berbagai desa
lainnya sebelum dan sesudah melaut dengan desanya. Begitu pula dengan petani desa
ini yang kesulitan menempuh jarak yang jauh untuk memasarkan hasil panennya
maupun sekedar untuk membeli pupuk juga peralatan bertaninya di Kota
Telukdalam.
Kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o pun belum
berjalan dengan baik, hal ini disebabkan oleh infrastruktur sarana publik yang
menunjang belum memadai. Desa ini belum memiliki sarana kesehatan publik seperti
Puskesmas terlebih rumah sakit, sarana transportasi yang tidak terjadwal serta dalam
jumlah terbatas, dan pasar tempat untuk jual–beli sembako dan komoditas pokok
Mereka harus menempuh jarak 2,1 kilometer meter menuruni desanya
ditambah jarak sekitar 12 kilometer perjalanan lagi untuk bisa sampai di Kota
Telukdalam bila ingin mendapati fasilitas serta sarana publik yang tidak mereka
temukan di desanya. Belum lagi sumber perairan desa bergantung pada bantuan ILO
(International Labour Organisation) yang terdapat di luar rumah masyarakat dan
desa ini belum terfasilitasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).
Sektor pembuatan souvenir seperti membuat patung pahatan dari kayu dan
mengukir patung dari bebatuan, membuat miniatur rumah adat Nias Selatan,
menjahit dan membuat baju tari perang yang merupakan baju adat pria Nias Selatan
serta baju maena yang merupakan baju adat wanita Nias Selatan dan berbagai jenis
cindera–mata lainnya merupakan beberapa contoh aktivitas para pembuat souvenir di
desa ini. Kemasan pemasarannya yang hanya di sekitar desa saja dan promosi yang
kurang, menjadikan tidak maksimal pula pendapatan masyarakat yang bersumber
dari penjualan souvenir.
Setidaknya kita dapat melihat terdapat dua sumber daya potensial Masyarakat
Adat Bawamatalu‘o yang bisa saja mendatangkan kemakmuran di desa ini, yaitu
berupa potensi pendapatan dari sektor wisata desa budaya dan potensi pekerjaan
informal yang beragam. Sedikitnya terdapat empat masalah utama penghambat
perbaikan kehidupan masyarakat adat Desa Bawamatalu‘o, yakni sumber daya
manusia/daya saing masyarakat yang tidak memadai, infrastruktur dan sarana publik
penunjang kegiatan sosial–ekonomi masyarakat yang terbatas/kurang memadai,
pengeloaan sumber daya wisata desa budaya dan penjualan souvenir yang tidak
mendapatkan perhatian khusus pemerintah daerah, dan jarak tempuh yang cukup
Jembatan kesejahteraan berupa sumber daya pariwisata sebagai destinasi desa
budaya, memiliki sanggar kebudayaan yang sudah mentas di berbagai Festival
Kebudayaan Nasional di berbagai daerah Indonesia bahkan beberapa kali ikut
diundang untuk mempertontonkan seni Kebudayaan Nias Selatan di panggung
mancanegara, memiliki dan menyelenggarakan festival kebudayaan sendiri setiap
bulai Mei, dan berbagai jenis pekerjaan sektor informal yang menjadi andalan mata
pencaharian masyarakatnya. Semua itu belum cukup sebagai jembatan yang
membawa kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.
Mulai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan, Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah), program
pemulihan Aceh–Nias oleh USAID (United State Agency for International
Development) pasca Kepulauan Nias dilanda musibah gempa dan tsunami pada bulan
Maret 2005, dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah pernah mampir dalam rangka
pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adat di desa budaya yang berada di
Kecamatan Fanayama ini.
Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulisan ini berusaha memparkan
penyebab pekerjaan sektor informal yang dilakoni mayoritas masyarakat
Bawamatalu‘o dan potensi wisata-budaya di Desa Bawamatalu‘o, dimana keduanya
belum mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat adat di desa ini.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
mengangkat judul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat F urai
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang di atas,
maka hal-hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan ―Bagaimana kondisi kehidupan sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya
Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan?‖.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi sosial–ekonomi
masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten
Nias Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:
1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
sosial terutama pada bidang kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai
tinjauan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.
2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai kondisi kehidupan sosial–ekonomi Masyarakat
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:
1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para Masyarakat Adat
Furai di Desa Bawamatalu‘o mengenai kondisi sosial ekonominya.
2. Menjadi sumbangan informasi bagi instansi pemerintah terkait di Kabupaten
Nias Selatan, sebagai referensi dalam memberikan dukungan bagi
Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.
3. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat
sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini
mengenai kondisi sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa
Bawamatalu‘o.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka berisi uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian,
BAB III : METODE PENELITIAN
Metode penelitian berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisa data, dan penyajian data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Deskripsi lokasi penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang
berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.
BAB V : ANALISIS DATA
Analisa data berisi tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan
analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosial–Ekonomi
2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi
Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial
dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu
sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial
menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan
dan kesejahteraan sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:958).
Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial
yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain
disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan
dengan masyarakat.
Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang
berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum.
Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai
asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti
keuangan, perindustrian dan perdagangan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1996:251).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial
ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini
disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Untuk melihat kedudukan sosial–ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan
pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam
kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35).
2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi
Pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang
didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan
menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis (Midgley,
2005:37).
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu
diperhatikan, diantara lain :
1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi.
Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan
Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan
program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan
sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.
2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu
(interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan
sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi. Pembangunan sosial
juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-
isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan
intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam
mengangkat kesejahteraan masyarakat.
3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan
sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan
perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih
berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal,
pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan
pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial
awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan
itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial
telah tercapai.
4. Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk
perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial
5. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam
kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang
dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena
bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses
pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat
mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai
tujuan pembangunan sosial.
6. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik
secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi
sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan
dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun
masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
7. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang
lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus
makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat.
Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena
pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang
miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita).
Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah seperti dalam kota,
8. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan sosial disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana
masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya
kesempatan sosial (Midgley, 2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun
bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (Midgley, 2005:19).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut
Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses
pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu
pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang
diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a)
Meminjam asumsi Todaro (Todaro, 1989:92), ada tiga sasaran yang seyogyanya
dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :
a. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang
kebutuhan pokok.
b. Meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas
kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih
besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan
memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan
rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.
c. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan
setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan
ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain
tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.
2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi
Keluarga dan kelompok masyarakat dapat digolongkan memiliki sosial-
ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35). Berdasarkan hal
tersebut kita dapat mengklasifikasikan keadaan sosial ekonominya yang dapat
dijabarkan sesuai dengan indikator sebagai berikut :
a. Pendapatan
Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan
ditemui dalam masyarakat yang matrealis dan tradisonal yang menghargai
kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji,
upah sewa, bunga, laba, dan lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merinci pendapatan dalam beberapa kategori
sebagai berikut :
1. Pendapatan berupa uang ialah segala penghasilan berupa uang yang
sifatnya reguler dan biasanya diterima sebagai balasan atau kontrak
prestasi.
2. Pendapatan yang berupa barang adalah pembayaran upah dan gaji yang
berbentuk beras, pengobatan, transportasi, perumahan, dankreasi.
Berkaitan dengan hal tersebut mendefenisikan pendapatan sebagai
seluruh penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain
maupun dari hasil sendiri, dengan cara menilai sejumlah atas harga yang
berlaku saat ini.
b. Perumahan
Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan
membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung
keluarga, dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga dikatakan sebagai
lambung sosial. Rumah ialah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan
area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan
keluarga (Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992). Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan
sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih
rendah dari udara yang di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi
melindungi penghuninya dari berbagai penyakit menular yaitu memiliki
penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah, dan saluran pembuangan
air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan, dan (4) melindungi
penghuni dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,
seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran
karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu
lintas.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya di masa yang
akan datang. Dalam (Undang–undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2013) pendidikan didefenisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut Ki Hajar Dewantara yang tidak lain merupakan ‗bapak
pendidikan nasional‘ mengemukakan pengertian dari pendidikan ialah tuntutan
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sabagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
d. Kesehatan
Menurut World Health Organization (WHO), ada empat komponen
penting yang merupakan satu kesatuan dalam definisi sehat yaitu :
1. Sehat Jasmani.
Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya,
berupa sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar,
rambut tersisir rapi, berpakaian rapi, berotot, tidak gemuk, nafas tidak
bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit dan seluruh fungsi fisiologi
tubuh berjalan normal.
2. Sehat Mental.
Sehat Mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam
pepatah kuno ―Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat (Men
Sana In Corpore Sano)‖.
Atribut seorang insan yang memiliki mental yang sehat adalah selalu
merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak ada tanda-tanda
konflik kejiwaan, dapat bergaul dengan baik, dapat menerima kritik serta
tidak mudah tersinggung atau marah, dapat mengontrol diri, tidak mudah
emosi, dapat menyelesaikan masalah secara cerdik dan bijaksana.
3. Kesejahteraan Sosial.
Batasan kesejahteraan sosial yang ada di setiap tempat atau negara sulit
diukur dan sangat tergantung pada kultur, kebudayaan dan tingkat
Dalam arti yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial adalah suasana
kehidupan berupa perasaan aman damai dan sejahtera, cukup pangan,
sandang dan papan. Dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera,
masyarakat hidup tertib dan selalu menghargai kepentingan orang lain
serta masyarakat umum.
4. Sehat Spiritual.
Spiritual merupakan komponen tambahan dan memiliki arti penting
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat
pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur,
mendengar alunan lagu dan musik, siraman rohani seperti ceramah
agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa yang dinamis dan
tidak monoton.
Keempat komponen ini dikenal sebagai sehat positif atau disebut sebagai ―positive health‖ karena lebih realistis dibandingkan dengan definisi WHO
yang hanya bersifat idealistik semata-mata.
e. Pangan dan Sandang
Pangan ialah sumber makanan bagi manusia dan merupakan kebutuhan
pokok manusia. Sedang sandang adalah pakaian manusia. Pakaian menjadi
kebutuhan primer, dan meskipun manusia dapat hidup tanpa pakaian, tetapi
dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat
sehingga pakaian adalah hal yang penting dalam kesehariannya.
(https://helpmeups.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-
bookletjuli2006/Beberapa-Indikator-Penting-Sosial-Ekonomi-Indonesia/, diakses 23
2.2 Kemiskinan
2.2.1 Definisi Kemiskinan
Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan
semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan
maupun non–makan.
Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a. Kemiskinan Absolut
Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang
rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat dan martabat
sebagai manusia. Lebih dari itu kondisi kehidupan seseorang atau sekelompok
orang itu sedemikian rupa sehingga secara fisik mengakibatkan seseorang atau
sekelompok orang itu tidak mampu melakukan aktivitas yang wajar.
b. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang
sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih
rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar
ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah
miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah
distribusi pendapatan (Siagian, 2012:47-49).
Untuk memahami masalah kemiskinan, maka perlu memandang kemiskinan itu
dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai
suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang
atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak
sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses
menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga
pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (Siagian, 2012:2-3).
2.2.2. Model Pengukuran dan Indikator Kemiskinan
Terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu model tingkat
konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia.
1) Model Tingkat Komsumsi.
Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai
indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di
daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan apabila seseorang
hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun,
maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah
perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun.
konsumsi pendududuk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS
menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan
Gizi tahun 1998, yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi
kebutuhan non–makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan
melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan
penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada
saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup
periode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional).
(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK
ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)
2) Model Kejahteraan Keluarga.
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran
yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi
bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai
indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih
akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya
relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan
sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka
indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang
sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di
Atas dasar pemikiran tersebut, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera
yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. Keluarga Miskin
Keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS – I karena alasan
ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang
meliputi :
- Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
- Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang
satu stel pakaian baru.
- Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni.
2. Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5
kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti
kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan
kesehatan.
3. Keluarga Sejahtera Tahap I
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal, yaitu :
- Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing–masing anggota
keluarga.
- Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau
lebih.
- Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di
- Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
- Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke
sarana/petugas kesehatan.
4. Keluarga Sejahtera Tahap II
Keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga
sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6 sampai 14,
yaitu :
- Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
- Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur
sebagai lauk pauk.
- Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru per tahun.
- Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni
rumah.
- Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
- Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun
keatas mempunyai penghasilan tetap.
- Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca
tulisan latin.
- Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini.
- Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur
5. Keluarga Sejahtera Tahap III
Keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi
syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :
- Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
- Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan
keluarga untuk tabungan keluarga.
- Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu
dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
- Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
- Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
- Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
- Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai
dengan kondisi daerah setempat.
6. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria 1 sampai 21 dan dapat pula
memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya, yaitu :
- Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan
sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
- Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
(http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm, diakses 26 Juli
3) Model Pembangunan Manusia.
Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek
sebagai sebagai berikut :
- Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan
manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar
hidup yang layak. Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
- Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar
penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak
mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks
tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai
usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status
gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk
tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin
besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang
semakin tinggi.
- Indeks Kehidupan Fakir Miskin
Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam
prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi
kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum
Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori,
(2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial
dasar dan pembangunan.
Untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan lima versi indikator
kemiskinan, sebagai berikut :
- Bank Dunia, kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan
yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal
UU$ 2 per hari.
- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator (1) Tidak dapat menjalankan
ibadah menurut agamanya, (2) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali
sehari, (3) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk
di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, (4) Bagian terluas rumahnya terdiri
atas tanah, (5) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.
- Dinas Kesehatan, menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan
pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi
makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga
mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.
- Badan Pusat Statistik (BPS), mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat
konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan
minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan).
Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per
(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK
ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)
2.2.3. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :
1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat
dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan
keluarga.
3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan
hasil dari struktur sosial.
Kemiskinan tidak hanya menyangkut tentang pendapatan tetapi juga
menyangkut tentang aspek kehidupan lainnya. Kemiskinan di berbagai hal ini disebut
dengan kemiskinan plural. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24
Todaro (2006) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan
dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non–ekonomi. Tiga komponen utama
sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut
adalah rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri dan terbebas kebebasan
ketiga aspek tersebut memiliki hubungan timbal balik. Rendahnya taraf hidup
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan
oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga
kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka
pengangguran dan rendahnya investasi perkapita.
Untuk kasus Indonesia diperkirakan ada empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor
tersebut adalah rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya
lapangan kerja dan kondisi keterisolasian. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan,
diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20)
Asnawi (1994) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor
teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi
ratio, nilai sikap, partisipasi, keterampilan pekerjaan, dan semuanya itu tergantung
kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri, kalau sosial budaya masyarakatnya
masih terbelakang maka rendahlah mutu sumber daya manusianya. Sebaliknya kalau
sosial budaya modern sesuai dengan tuntutan pembangunan maka tinggilah mutu