• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis mengadakan penelitian.

BAB V ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya.

Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektifitas

2.1.1 Pengertian Efektifitas

Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas kerja pegawai yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Adapun pengertian efektivitas menurut para ahli diantaranya sebagai berikut :

Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.

diakses

Sementara itu terdapat pengertian lain, yaitu “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya.

/ diakses 6 Oktober

2012 pukul 00.30 WIB). Efektifitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.

Pengertian efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan

pengertian efektifitas menurut Hidayat, 1986.

Maret/2009/ diakses tanggal 10 Oktober 2012 pukul 12.33 WIB) yang menjelaskan bahwa :

“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”.

Dari pengertian-pengertian efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

Dengan demikian, suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektifitas apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan.

Terdapat cara pengukuran terhadap efektifitas yang secara umum dan yang paling menonjol adalah sebagai berikut :

1. Keberhasilan program.

2. Keberhasilan sasaran.

3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output

5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989: 121).

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektifitas

Pendekatan efektifitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang berbeda dari lembaga damana lembaga mendapatkan input atau masukan berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam lembaga mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya. Pendekatan terhadap efektifitas terdiri dari :

1. Pendekatan Sasaran (Goal Approach)

Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektifitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan keberhasilan organisasi dalam sasaran tersebut. Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektifitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi Official Goal dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian

terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output yang direncanakan. Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.

2. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)

Pendekatan sumber mengukur efektifitas melalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Suatu lembaga harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat

menjadi efektif.

Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan system suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan seringkali bersifat langka dan bernilai tinggi.

Dalam mendapatkan berbagai jenis sumber untuk memelihara system dari suatu lembaga merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektifitas. Secara sederhana efektifitas seringkali diukur dengan jumlah atau kuantitas berbagai jenis sumber yang berhasil diperoleh dari lingkungan. Pengukuran efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu untuk memberikan alat ukur yang sama dalam mengukur

efektifitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran.

3. Pendekatan Proses (Internal Process Approach)

Pendekatan proses menganggap efektifitas sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara koordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh lembaga, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan lembaga (Cambel 1989:115).

2.2. Remaja

Sebagaimana diketahui bahwa manusia itu mempunyai masa – masa / periode perkembangan atau “ life stadium “, yang pokok sudah dibawa sejak lahir, yaitu :

1. Masa kanak – kanak 2. Masa remaja

3. Masa dewasa pertama 4. Masa dewasa penuh 5. Masa tua/lanjut usia

Sedangkan Hurlock membagi tahap perkembangan menjadi : 1. Tahap sebelum bayi lahir : 0 – 2 minggu

2. Tahap infancy : 2 minggu – 2 tahun 3. Tahap bayi : 2 – 6 tahu

4. Tahap anak – anak awal : 6 – 12 tahun 5. Tahap anak – anak akhir : 12 – 14 tahun 6. Tahap pubertas : 12 – 14 tahun

7. Tahap remaja awal : 14 – 17 tahun 8. Tahap remaja akhir : 17 - 21 tahun 9. Tahap dewasa awal : 21 – 40 tahun 10. Tahap setengah baya : 40 – 60 tahun 11. Tahap tua : 60 tahun ke atas

Sedangkan Hall membagi perkembangan manusia dalam 4 tahap : 1. masa kanak – kanak ( Infancy ) : 0 – 4 tahun

2. Masa anak – anak ( Childhood ) : 4 – 8 tahun 3. Masa muda ( Youth ) : 8 – 12 tahun

4. Masa Remaja ( adolescence ) : 12 – 25 tahun ( Agustiani,2009 : 35 )

Remaja menurut bahasa adalah mulai dewasa, sudah cukup umur untuk menikah. Menurut Zakiah Drajat remaja adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak – anak dan masa dewasa, dimana anak – anak mengalami sikap dan cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang, masa ini mulai kira – kira umur 13 tahun dan berakhir kira – kira umur 21 tahun.

Remaja ditinjau dari sudut perkembangan fisik adalah suatu tahap perkembangan fisik dimana alat – alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat – alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna.

Menurut WHO, remaja adalah suatu masa dimana :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda – tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual

2. Individu – individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak – kanak menjadi dewasa

3.Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 2000:120)

Ciri – ciri remaja :

1. Kegelisahan : Keadaan yang tidak tenang yang menguasai diri si remaja

2. Pertentangan : Pertentangan – pertentangan yang terjadi di dalam diri mereka juga menimbulkan kebingungan baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain

3. Berkeinginan besar mencoba segala hal yang belum diketahuinya

4. Keinginan mencoba sering pula diarahkan pada diri sendiri maupun orang lain 5. Keinginan menjelajah ke alam sekitar pada remaja lebih luas

6. Berkhayal dan berfantasi

7.Adanya aktivitas kelompok ( Agustiani,2009 : 28 )

Masa Remaja adalah adalah masa peralihan dari anak – anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan – perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja,

sedangkan perubahan – perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan – perubahan fisik itu.Perubahan fisik pada anak perempuan :

1. Pertumbuhan tulang – tulang 2. Pertumbuhan payudara

3. Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan

4. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya 5. Bulu kemaluan menjadi keriting

6. Haid

7. Tumbuh bulu – bulu ketiak

Perubahan fisik pada anak laki – laki : 1. Pertumbuhan tulang – tulang

2. Testis membesar

3. Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap 4. Awal perubahan suara

5. Ejakulasi

6. Bulu kemaluan menjadi keriting

7. Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya 8. Tumbuh rambut – rambut halus di wajah

9. Tumbuh bulu ketiak 10. Akhir perubahan suara

11. Rambut – rambut di wajah bertambah tebal dan gelap 12. Tumbuh bulu di dada (Sarwono 2000:135)

Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sangatlah sulit karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, tingkatan sosial – ekonomi maupun pendidikan. Walaupun demikian, kita dapat menggunakan batasan usia 11 – 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut :

1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda – tanda seksual sekunder mulai nampak ( kriteria fisik )

2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat ataupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak – anak ( kriteria sosial )

3. Pada usia tersebut mulai ada tanda – tanda penyempurnaan perkembangan jiwa 4. Batas usia 24 tahun merupaka batas maksimal yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak – hak penuh sebagai orang dewasa dan belum bisa memberi pendapat sendiri.

Selanjutnya dalam batasan di atas ada 6 penyesuaian diri yang harus dilakukan remaja yaitu :

1. Menerima dan mengintegrasikan pertambahan badannya dalam kepribadiannya 2. Menentukan peran dan fungsi seksualnya dalam kebudayaan dimana ia berada

3. Mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri dan kemampuan untuk menghadapi kehidupan

5. Mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas dan nilai – nilai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan

6. Memecahkan problem – problem nyata dalam pengalaman sendiri dan dalam kaitannya dengan lingkungan (Ali 2004:140)

Beberapa pendekatan mengenai remaja adalah : 1.Pendekatan sosial

Masa anak sebagai masa sebelum remaja merupakan suatu masa dimana masih kurang terlihat adanya nilai – nilai moral dan etik. Bahkan dikatakan bahwa anak pada usia tersebut memperlihatkan sifat – sifat dari orang yang berkebudayaan rendah, yang sehat dan kuat akan tetapi hanya memikirkan diri sendiri dan sama sekali tidak berperasaan sentimental. Sebaliknya pada masa remaja harus dialami suatu perubahan yang menyeluruh. Si remaja seolah – olah harus lahir kembali, karena harus tumbuh dan terbentuk sifat – sifat manusiawi yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Pada masa ini terlihat pula adanya keadaan labil dan kegoncangan emosionalitas. Juga kepekaan terhadap pengaruh lingkungan yang terlepas dari pandangan fisiologisnya.

Pendapat lain juga mengatakan bahwa tingkah laku pada masa remaja sulit diperinci dan dikategorikan dalam pola – pola tingkah laku yang terlihat pada umur – umur tertentu disebabkan oleh terlalu banyaknya pengaruh faktor perorangan yang turut menentukan pola tingkah laku setiap remaja.

2. Pendekatan Kebudayaan

Masa remaja merupakan peralihan sebelum memasuki dewasanya. Justru pada masa peralihan ini, ia akan mengalami proses melepaskan ikatannya dengan orang tua dan orang lain akan menunjukkan perbedaan – perbedaaan sesuai dengan kebudayaan, dimana remaja itu hidup dan dibesarkan. Situasi sosial sangat mempengaruhi proses masa remaja. Hal mana menentukan timbulnya bentuk masalah remaja dan cara penyelesaian kebudayaan terhadap masalah – masalah tersebut.

3. Pendekatan Psikoanalitis

Aliran ini menganggap masa remaja sebagai suatu masa dimana kebutuhan dan aktivitas seksual timbul lagi setelah mengalami masa laten dengan penekanan terhadap segala aktivitas seksual. Tugas utama dalam masa remaja ini adalah memperoleh kembali keseimbangan – keseimbangan antara ekspresi dan kebutuhan seksual, antara pembatasan lingkungan terhadap ekspresi ini dan kemungkinan yang diberikan oleh realitas dan hati nurani seseorang

( Gunarsa,2003:10-16 ).

Menurut Havighurst, tugas perkembangan remaja adalah :

1. memperluas hubungan antara pribadi dan komunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita

2. Memperoleh peranan sosial

3. Menerima ketubuhannya dan menggunakannya dengan efektif

4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. 5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri

6. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan 7. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga

8. Membentuk sistem nilai – nilai moral dn falsafah hidup( Gunarsa,2003:35 )

2.3. Anak Remaja Putus Sekolah dan Remaja Binaan 2.3.1 Anak Remaja Putus Sekolah

Seseorang siswa dikatakan putus sekolah apabila ia tidak dapat menyelesaikan program suatu secara utuh yang berlaku sebagai suatu sistem. Bagi anak SD, seseorang dikatakan putus sekolah apabila tidak menyelesaikan programnya sampai enam tahun, bagi siswa SLTP jika dikatakan putus sekolah apabila tidak dapat menyelesaikan programnya sampai dengan kelas tiga, begitu juga dengan jenjang berikutnya . Anak putus sekolah adalah anak yang sebelumnya sudah pernah mengecap pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dikarenakan sesuatu hal, anak tersebut keluar/dikeluarkan dari lembaga pendidikan formal tersebut dan tidak melanjutkan pendidikannya. Menurut hasil kajian Sukmadinata (1994), faktor utama yang menyebabkan anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi atau karena orang tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya. Disamping itu, tidak jarang terjadi orang tua meminta anaknya berhenti sekolah karena mereka membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua. Menurut E.M. Sweeting dan Dra. Muchlisoh, M.A, tingginya angka mengulang kelas, putus sekolah dan rendah angka melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi (transition rates) disebabkan oleh dua

penghasilan keluarga Diakses 05 Oktober 2012 pukul 20.00)

Kemiskinan dan putus sekolah dapat dianggap sebagai dua sisi dari satu mata uang. Kemiskinan yang mendera sebagian besar keluarga kurang mampu menyebabkan mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya secara optimal. Akibatnya, putus sekolah menjadi pilihan. Akses untuk memperoleh kesempatan pendidikan menjadi begitu terhambat. Kemiskinan merupakan hambatan terbesar bagi anak-anak dalam mengenyam pendidikan di sekolah

2.3.2 Remaja Binaan

Remaja Binaan adalah mereka yang sudah menginjak usia remaja dan mengalami permasalahan sosial yaitu putus sekolah. Untuk mengatasi segala permasalahannya, mereka dibina di Pelayanan social anak remaja dengan berbagai bentuk pelayanan sosial yang diberikan oleh panti, sehingga nantinya mereka dapat menjadi remaja – remaja yang dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan lebih baik.

2.4 Pelayanan Sosial

2.4.1 Pengertian Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial adalah sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosialnya.

Pelayanan sosial disebut juga sebagai pelayanan kesejahteraan sosial. Menurut Walter Friedlander (1961),kesejahteraan sosial adalah ;

“ Sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standard hidup dan kesehatan yang memuaskan serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat”.

Dari defenisi di atas dapat dijelaskan bahwa :

1.Konsep Kesejahteraan Sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.

2.Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.

3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan “kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya.

Sementara Elizabeth Wickenden mengemukakan bahwa kesejahteraan social termasuk di dalamnya peraturan perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat. (Soetarso 1981:65)

Dalam UU No.11 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Pasal 1, dijelaskan bahwa :

dapat melaksanakan fungsi sosialnya“.Dari berbagai pengertian di atas dapat terlihat luas lingkup pengertian kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan melingkupi berbagaaspek kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya”.

Perlu dibedakan dua macam pengertian pelayanan sosial, yaitu:

1. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya.

Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan sosial, maka pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus.

2.4.2 Fungsi–fungsi pelayanan sosial

Pelayanan sosial telah dan mungkin akan diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengemukakan fungsi dari pelayanan sosial adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat. 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.

3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial.

4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan.

5. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.

Richard M. Titmussmengemukakan bahwa pelayanan sosial ditinjau dari perspektif masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok dan masyarakat untuk masa sekarang dan untuk masa yang akan datang.

2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk melindungi masyarakat.

3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat pelayanan sosial misalnya kompensasi kecelakaan industri dan sebagainya.

Alfred J. Khanmenyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah: 1. Pelayanan Sosial untuk Sosialisasi dan pengembangan

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Yang tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut adalah: 1. Program penitipan anak

2. Program-program kegiatan remaja/ pemuda

3. Program-program pengisian waktu terluang bagi anak dan remaja dalam keluarga. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok/keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya.

Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain: a. Bimbingan sosial bagi keluarga

b. Program asuhan keluarga dan adopsi anak

c. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman d. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat e. Program- program bagi lanjut usia

f. Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental.

g. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan.

h. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah sakit.

Kebutuhan akan program pelayanan sosial akses disebabkan oleh karena: a. Adanya birokrasi modern

b. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggungjawab.

c. Diskriminasi, dan

d. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial (Huda : 2009).

Pelayanan sosial untuk tujuan menyembuhkan, memberikan bantuan, rehabilitasi, perlindungan sosial biasanya melalui kegiatan/program dalam suatu lembaga, misalnya lembaga panti, lembaga rehabilitasi dan lain-lain. Tujuan dari pelayanan ini adalah memulihkan kemampuan peranan sosial dan memberi bantuan guna penyesuaian yang memadai dengan lingkungan sosialnya. Bentuk pelayanan panti merupakan salah satu pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial, dan sebagainya. Pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan misalnya pelayanan di Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Karya, dan lain- lain.

Tujuan pelayanan kesejahteraan sosial adalah mengaktualkan potensi klien. Sementara tugas pelayanan sosial adalah memberikan pelayanan (bantuan, santunan, bekal lain) untuk membangkitkan motivasi klien, dan mengorganisasi lingkungan yang

Anak asuh adalah anak yang berasal dari keluarga pra sejahtera ataupun yang sudah tidak memiliki orangtua dan mendapat pengasuhan di luar lingkungan keluarga yang sah. Lingkungan itu dapat berupa keluarga yang secara langsung mengasuh dan menyediakan segala keperluan si anak. Dapat juga berupa yayasan ataupun lembaga yang bergerak di bidang pengasuhan dan perlindungan anak.Anak asuh merupakan anak terlantar yang mendapat bantuan, perlindungan serta bimbingan dalam Panti Asuhan dengan sistem pelayanan didalamnya.

Dalam salah satu teori Marxist diseburtkan bahwa organisasi atau lembaga pelayanan sosial cenderung mengutamakan nilai-nilai ekonomi dan menekankan system ekonomi kapitalis, yaitu mengambil keuntungan sehingga seringkali membawa kerugian pada masyarakat. Pandangan ini banyak dilakukan organisasi atau lembaga pelayanan sosial.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa lembaga atau organisasi sosial seringkali tidak mencapai tujuan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena pekerja sosial sebagai pelaksanaan pelayanan tidak professional dan tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan pelayanannya kepada masyarakat.

2.5 Program Pelatihan Ketrampilan

Banyak pendapat dan literature yang mengemukakan bahwa keterampilan bukan

Dokumen terkait