Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program
Pelaksanaan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan.Berhasil tidaknya suatu pelaksanaan tergantung dari unsur pelaksananya.Pelaksana penting artinya karena pelaksanaan suatu program, baik itu organisasi ataupun perseorangan bertanggung jawab dalam pengelola maupun pengawasan dalam pelaksanaan.
Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum pelaksanaan terhadap program dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu:
1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, didalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (Siagian dan Suriadi, 2012:117-118).
2.2 Anak
Secara biologis, anak merupakan hasil dari pertemuan antara sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan benih dari seorang laki-laki yang disebut spermatozoa, yang kemudian menyatu menjadi zigot, lalu tumbuh menjadi janin dan pada akhirnya terlahir ke dunia sebagai seorang manusia (bayi) yang utuh.Tidaklah mungkin seorang anak terlahir ke dunia tanpa ada peran dari seorang laki-laki yang telah menanamkan benih keturunan di rahim seorang perempuan, sehingga secara alami anak terlahir atas perantaraan ayah dan ibu kandungnya. Namun tidak demikian dalam pandangan hukum, bisa saja terjadi seorang anak yang lahir tanpa keberadaan ayah secara yuridis, bahkan tanpa kedua orangtua sama sekali. Idealnya, seorang anak yang dilahirkan ke dunia secara otomatis akan mendapatkan seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya, baik secara biologis maupun hukum (yuridis), karena dengan memiliki orangtua yang lengkap akan mendukung kesempurnaan bagi si anak dalam menjalani masa pertumbuhannya.
Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, dimana selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orangtua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyongsong fase kedewasaannya kelak. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga tidak berlebihan jika Negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya (Witanto, 2012:4-6).
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah menikah (UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).Anak merupakan
generasi penerus cita-cita bangsa yang dipersiapkan untuk dapat menggantikan para pendahulunya.Oleh sebab itu, agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi di atas pada prinsipnya mengandung beberapa persamaan persepsi bahwa anak adalah pribadi yang memiliki peranan penting dan strategis dalam memikul tanggung jawab masa depan bangsa. Anak mempunyai ciri dalam dimensi kehidupan yang khusus sehingga tidak bisa dilepaskan dari peranan orangtua dalam memelihara dan mendidiknya hingga ia mencapai masa kedewasaannya (Kamil dan Fauzan, 2008:8).
Undang-undang memberikan beberapa pandangan tentang terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut:
a. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
b. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak:
Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh generasi sebelumnya.
c. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak:
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
d. PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak:
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
2.3Kategori Masalah Anak
Dalam Konvensi Hak Anak telah ditegaskan sejumlah hak-hak anak yang kemudian diterapkan ke dalam hukum nasional mengenai hukum anak, baik di bidang hukum perdata, hukum pidana dan hukum di bidang kesehatan, kesejahteraan anak, jaminan sosial, ketenagakerjaan, pendidikan dan lain-lain. Masalah yang menyangkut hak-hak anak bukan hanya bagaimana mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam hukum nasional Negara peserta Konvensi
Hak Anak, akan tetapi yang terpenting adalah mengimplementasikan hak-hak anak dan hukum anak dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari.
Hak-hak anak sebagaimana dituangkan dalam Konvensi Hak Anak bukan pula sekedar hak-hak anak dalam keadaan yang sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas baik secara sosial, ekonomi sosial dan budaya bahkan politik. Hak anak untuk terjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud perluasan hak-hak anak yang lebih maju (progressive rights).Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian, masalah anak-anak yang paling mendesak dilakukan langkah intervensi dan intervensi itupun dilakukan secara khusus adalah terhadap kategori anak-anak yang berada dalam situasi sulit. Berdasarkan bentuk dan bobot pelanggaran hak-hak anak yang berada dalam situasi sulit itu dapat dikualifikasi sebagai berikut:
A. Anak-anak yang berada dalam keadaan diskriminatif, yakni: 1) Larangan perlakukan diskriminasi anak;
2) Nama dan kewarganegaraan anak; 3) Anak cacat (disabled);
4) Anak suku terasing (children of indegeneous people); B. Anak-anak dalam situasi eksploitasi, yakni:
1) Anak yang terpisah dengan keluarganya;
2) Anak korban penyelundupan dan terdampar di luar negeri; 3) Anak yang terganggu privasinya;
4) Anak korban kekerasan dan penelantaran; 5) Anak tanpa keluarga;
7) Anak yang ditempatkan pada suatu lokasi yang perlu ditinjau secara berkala; 8) Buruh anak;
9) Anak korban eksploitasi seksual; penculikan anak;
10) Anak korban perdagangan anak, penyelundupan anak dan penculikan anak. 11) Anak yang dieksploitasi dalam lain-lain bentuk;
12) Anak korban penyiksaan dan perampasan kebebasan; C. Anak-anak dalam situasi darurat dan kritis, yakni:
1) Anak-anak yang perlu dipertemukan kembali dengan keluarganya; 2) Pengungsi anak-anak;
3) Anak yang terlibat dalm konflik bersenjata dan serdadu anak; 4) Anak yang ditempatkan yang harus ditinjau secara berkala;
Sementara itu dalam pandangan lain menyebutkan bahwa masalah anak-anak dapat dikualifikasi berdasarkan masalah yang dialami anak-anak sendiri, dikualifikasi sebagai berikut:
1) Anak terlantar;
2) Anak yang tidak mampu; 3) Anak cacat;
4) Anak yang terpaksa bekerja (pekerja anak);
5) Anak yang melakukan pelanggaran/kenakalan anak; 6) Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya; 7) Kewarganegaraan;
8) Perwalian;
9) Pengangkatan anak;
11) Perlindungan terhadap penculikan;
12) Bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan; 13) Resosialisasi eks narapidana anak;
14) Pewarisan;
15) Perlindungan anak yang orangtuanya bercerai; 16) Anak luar kawin;
17) Alimentasi;
18) Penyalahgunaan seksual;
19) Anak putus sekolah (Joni dan Zulchaina, 1999:109-111). 2.4Perlindungan Anak
2.4.1 Pengertian Perlindungan Anak
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Menurut Irma Setyowati Soemitro, SH menyatakan bahwa perlindungan anak dibedakan dalam 2 pengertian, yaitu:
1. Perlindungan yang bersifat Yuridis, meliputi perlindungan dalam: a) Bidang Hukum Publik (Pidana)
2. Perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan dalam: a) Bidang Sosial
b) Bidang Kesehatan c) Bidang Pendidikan
Perlindungan anak yang dilaksanakan di Indonesia ini bertujuan memberikan peranan penting bagi yang mendapatkan perlindungan dalam memperoleh suatu kesejahteraan. Adapun menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 3 menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
2.4.2 Prinsip Perlindungan Anak
Menurut Dr. Irwanto (1999), terdapat beberapa prinsip perlindungan anak dalam konteks perlindungan anak sebagai implementasi hak-hak anak, yaitu:
1) Anak tidak dapat berjuang sendiri
Anak sebagai generasi penerus dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga sehingga hak-haknya harus dilindungi.Ironisnya bahwa ternyata anak tidak dapat melindungi hak-haknya secara sendirian begitu saja.Banyak pihak yang terlalu berkuasa yang harus dia lawan sendiri. Karena Negara dan masyarakat berkepentingan akan mutu warganya, maka dengan demikian Negara harus ikut campur dalam urusan perlindungan hak-hak anak.
2) Kepentingan terbaik anak (the Best Interest of the Child)
Agar perlindungan anak terselenggara dengan baik maka perlu dianut sebuah prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip the Best Interest of the Child digunakan karena dalam banyak hal anak anak adalah “korban”, termasuk korban ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya. Selain itu, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan tumbuh kembang anak. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat akan menciptakan monster-monster yang akan lebih buruk di kemudian hari.
3) Ancangan daur kehidupan (Life-circle Approach)
Perlindungan terhadap anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus-menerus.Janin yang berada dalam kandungan perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik bagi ibunya. Jika ia telah lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan kesehatan primer yang memberikannya pelayanan imunisasi dan lain-lain sehingga anak terbebas dari kemungkinan cacar dan penyakit. Masa-masa prasekolah dan sekolah diperlukan keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga sosial, keagamaan yang bermutu.Inilah periode kritis dalam pembentukan kepribadian seseorang.Anak harus memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri.Pada saat anak berumur 15-18 tahun, dia memasuki masa transisi ke dalam dunia dewasa. Periode pendek ini memang penuh resiko karena secara kluktural seseorang akan dianggap dewasa dan secara fisik memang
telah cukup sempurna untuk menjalankan fungsi reproduksinya. Pengetahuan yang benar tentang reproduksi dan perlindungan dari berbagai diskriminasi dan perlakuan salah sehingga dapat memasuki perannya sebagai orang dewasa yang berbudi dan bertanggung jawab.Perlindungan hak-hak mendasar bagi para dewasa juga diperlukan agar generasi penerus mereka tetap bermutu. Orangtua yang terdidik akan mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orangtua yang sehat jasmani rohaninya akan selalu menjaga tingkah laku kebutuhan fisik maupun emosional anak-anak mereka. Demikian seterusnya.
4) Lintas sektoral
Seperti diuraikan di atas, nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran yang terjadi, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya tidak dapat ditangani sektor, terlebih keluarga atu anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan (Aziz, 1998:133).
2.4.3 Perwujudan Perlindungan Anak
Perwujudan dari perlindungan anak, yakni: 1. Perlindungan anak langsung, yaitu:
a) Pengadaan suatu usaha pencegahan yang melindungi dan menyelamatkan anak dari berbagai macam ancaman yang memungkinkan anak menjadi korban mental, fisik dan sosial.
b) Pengadaan pengawasan positif terhadap anak agar yang bersangkutan tumbuh dan berkembang dengan baik (intern dan ekstern).
c) Penjagaan anak terhadap gangguan dari dalam dan dari luar dirinya. d) Pembinaan anak mental, fisik dan sosial.
e) Sosialisasi terhadap lingkungannya. f) Penyaluran dinamika anak.
g) Penyadaran anak akan hak-haknya serta pengembangannya. h) Penyadaran hak akan kewajibannya serta pengembangannya.
i) Pembinaan anak yang melakukan sesuatu positif dibawah pengawasan. j) Pengasuhan anak.
k) Pendewasaan anak yang dapat bertanggung jawab.
l) Penanggulangan permasalahan anak secara rasional positif dapat dipertanggung jawabkan dan bermanfaat.
m) Memperlakukan anak sebagai perwujudan pengembangan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan anak.
n) Pengganjaran (Pemberian Imbalan) yang edukatif konstruktif terhadap anak.
o) Mengusahakan pendidikan kepribadian agar anak dapat secara mandiri bertanggung jawab menghadapi berbagai ancaman tantangan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
p) Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada anak dalam rangka membekali anak dengan kemampuan menghadapi hidup sepanjang zaman.
q) Membina anak mengerti, menghayati dan menerapkan hukum sesuai kemampuannya.
2. Perlindungan anak tidak langsung, yaitu:
a) Orangtua mereka yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar dan dari dalam dirinya.
b) Mereka yang bertugas mengasuh, membina dan mendampingi anak dengan berbagai cara.
c) Mereka yang terlibat mencegah anak yang kelaparan, mengusahakan kesehatan dan sebagainya dengan berbagai cara.
d) Mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak.
e) Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan sistem peradilan. Kepada mereka harus diberikan penyuluhan, bimbingan, pendampingan dan mengusahakan perlindungan anak di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan (mencari nafkah).
2.5 Hak-hak Anak
Hak-hak anak adalah merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan dan penyalahgunaan.Hak anak dapat menciptakan saling menghargai pada setiap manusia. Penghargaan terhadap hak anak hanya bisa dicapai apabila semua orang, termasuk anak-anak sendiri, mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, dan kemudian menerapkannya dalam sikap dan perilaku yang menghormati, mengikutsertakan dan menerima orang lain.
Tujuan Hak-hak anak adalah untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk mencapai potensi mereka secara penuh, serta memiliki akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan, tumbuh di lingkungan yang sesuai, mendapat informasi tentang hak-hak mereka dan berpartisipasi secara aktif di masyarakat.Sedangkan Konvensi Hak-Hak Anak adalah sebuah perjanjian internasional yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
dari anak-anak.Perjanjian ini diadopsi oleh perserikatan bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989.
Negara Indonesia adalah salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dan karena itu mempunyai komitmen menurut hukum nasional untuk menghormati, melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak-hak anak di Indonesia.Agar terwujud, maka pemerintah dan seluruh dunia harus dapat menghormati dan menjunjung tinggi Hak-hak anak, melalui undang-undang yang mereka kembangkan di tingkat nasional.Namun demikian, agar anak-anak dapat menikmati hak-hak mereka, secara penuh konvensi itu harus dihormati dan dipromosikan oleh semua anggota masyarakat mulai dari orangtua untuk mendidik kepada anak-anak sendiri.
Prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak:
1. Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama.
Semua anak memiliki hak yang sama. Konvensi ini berlaku untuk semua anak, apapun latar belakang etnis, agama, bahasa, budaya atau jenis kelamin. Tidak perduli darimana mereka dating atau dimana mereka tinggal, apa pekerjaan orangtua mereka, apakah mereka cacat, atau mereka kaya atau miskin. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya.
2. Kepentingan terbaik dari anak.
Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak.Ketika orang dewasa membuat keputusan, mereka harus berfikir bagaimana keputusan mereka itu berdampak pada anak-anak.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.
Anak mempunyai hak untuk hidup.Anak harus memperoleh perawatan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan fisik, mental, dan emosi mereka serta juga perkembangan intelektual, sosial dan kultural.
4. Partisipasi anak.
Anak mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan didengar.Mereka harus memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat tentang keputusan yang berdampak pada mereka dan pandangan mereka harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan ini, usia anak, tingkat kematangan, dan kepentingan mereka yang terbaik harus selalu diingat bila mempertimbangkan idea atau gagasan anak (Joni dan Zulchaina, 1999:33-46).
Secara internasional, diakui tentang adanya hak anak sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi dengan KEPRES No.36/1990, dimana dinyatakan anak-anak seperti juga halnya dengan orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia.Akan tetapi karena kebutuhan-kebutuhan khusus dan kerawanannya, maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan diperhatikan secara khusus.Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindingi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara.
Adapun Hak Anak menurut KEPRES tersebut adalah: 1. Hak untuk hidup yang layak.
Setiap anak memiliki hak untuk kehidupan yang layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan. 2. Hak untuk berkembang.
Setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan.Mereka berhak mendapatkan pendidikan, bermain, bebas mengeluarkan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinannya dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya.
3. Hak untuk dilindungi.
Setiap anak berhak untuk dilindungi dari segala bentuk tindakan kekuasaan, ketidakpedulian dan eksploitasi.
4. Hak untuk berperan serta.
Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat dan di negaranya termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan.
5. Hak untuk memperoleh pendidikan.
Setiap anak berhak menerima pendidikan tingkat dasar, pendidikan tingkat lanjutan harus dianjurkan dan dimotivasi agar dapat diikuti oleh sebanyak mungkin anak.
2.6 Kota Layak Anak
2.6.1 Pengertian Kota Layak Anak
Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2005 melalui kebijakan KLA.Karena alasan untuk untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam defenisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Pentingnya mewujudkan KLA ialah jumlah anak sekitar sepertiga dari jumlah penduduk, anak adalah modal investasi dan sumber daya manusia di masa yang akan datang, sekaligus sebagai generasi penerus bangsa, anak harus berkualitas agar tidak menjadi beban pembangunan, koordinasi dan kemitraan antara pemangku kepentingan terkait, pemenuhan hak-hak anak harus diperkuat agar terintegrasi, holistik akan berkelanjutan.
KLA adalah kota yang di dalamnya memberikan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam sebuah proses pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat.
Tujuan KLA adalah untuk membangun insiatif pemerintah kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi dan intervensi pembangunan dalam bentuk: kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak anak, pada suatu wilayah kabupaten/kota.
2.6.2 Landasan Hukum Kota Layak Anak
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,