• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak

BAB II DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG DALAM

2.3 Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak

Akhmad Sekhu dalam novel JG mengangkat suatu peristiwa mengenai kisah cinta dua insan manusia di samping kehidupan masyarakat yang masih

mempercayai mitos. Dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan peristiwa yang terdapat pada novel tersebut yakni mengenai adanya mitos pulung gantung di daerah Gunung Kidul.

Masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul dalam novel JG, masih saja percaya pada hal-hal yang berbau mistis tentang pulung, kalang kantung, genderuwo, wewe gombel, siluman, banaspati, kuntilanak, dan segala makhluk lelembut. Salah satu kisah mistis yang terkenal di daerah Gunung Kidul yaitu pulung. Pulung adalah bola api berekor panjang yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik lain dan kemudian jatuh ke suatu tempat (makna secara harfiah berarti anugerah, wahyu, atau pembenar alamiah sebab tanda dari langit).

Pulung dalam novel JG terbagi dua, yaitu :

1. Pulung kabegjan, ialah pulung keberuntungan yang selalu dinanti kedatangannya karena diyakini yang terkena akan menemui kemuliaan hidup.

2. Pulung gantung, ialah pulung kesialan yang kedatangannya dijauhi karena dianggap sebagai jin jahat dan diyakini orang yang terkena akan mengalami gangguan kejiwaan. Dan kebanyakan berakibat pada terjadinya gantung diri.

Pulung gantung inilah yang meresahkan masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul, karena kedatangannya sangat meresahkan penduduk desa Wiwitan dan dipercaya selalu membawa petaka akan berujung pada kejadian bunuh diri seseorang. Banyak korban bunuh diri dikarenakan rumahnya kejatuhan pulung gantung.

Peristiwa bunuh diri karena pulung gantung dalam novel JG, salah satunya di alami oleh Gilang dan Mayang. Mereka adalah tokoh utama dalam cerita, orang tua mereka merupakan korban dari pulung gantung tersebut. Pak Santosa, bapak Gilang dalam cerita merupakan korban pertama yang mati bunuh diri. Sebelum peristiwa tersebut, Gilang dan Mayang kekasihnya malam itu pacaran di atap rumah Mayang. Hal ini mereka lakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh ibu Mayang yaitu Jeng Utari, dengan alasan bahwa Gilang tidak sederajat dengan Mayang yang merupakan keturunan ningrat sedangkan Gilang hanya seorang anak petani biasa. Ketika Mayang dan Gilang sedang asyik berpacaran, tiba-tiba saja Mayang melihat sesuatu di langit yang melesat cepat. Peristiwa tersebut dapat dilihat melalui kutipan di bawah ini, yakni :

Mayang menyungging senyuman paling legit dengan pandangan tetap ke langit. Tapi langit yang bertabur bintang tiba-tiba dikejutkan bola api berekor panjang yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik yang lain dan kemudian melesat jatuh ke arah utara, ke arah rumah Gilang berada. Seisi jagat raya diam serempak menyaksikan fenomena alam yang sangat menakjubkan! (JG hal. 14)

Bagian cerita di atas menunjukkan bahwa, bola api yang dilihat oleh Mayang merupakan pulung gantung yang jatuh tepat ke arah rumah Gilang dan pada akhirnya Pak Santosa yang menjadi korban bunuh diri karena pulung gantung tersebut. Sebelumnya, Gilang tidak mempercayai hal tersebut. Ia tidak yakin bahwa setiap terjadi bunuh diri di Gunung Kidul selalu dihubung-hubungkan dengan pulung gantung. Mayang telah mengingatkan Gilang agar cepat pulang ke rumah dan mencegah terjadinya kesialan, karena Mayang sangat sayang sama Gilang dan keluarganya. Tapi, Gilang tetap saja bertahan malam itu bersama Mayang dan menghabiskan waktu berdua dengan kekasihnya tanpa

memperdulikan masalah pulung gantung. Mayang telah mengingatkan Gilang akan hal itu.

Sampai subuh tiba, Gilang baru sampai di rumah dan ia sangat heran karena banyak orang mengerubungi pintu rumahnya. Ia heran dan bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi. Seakan tersentak Gilang ingat akan ucapan kekasihnya malam itu tentang pulung gantung yang jatuh tepat ke arah rumahnya. Ternyata, Pak Santosa bapak Gilang yang menjadi korban bunuh diri karena pulung gantung. Di bawah ini, dapat dilihat kutipannya yakni :

Mendapat firasat buruk, ia segera mempercepat langkahnya. Matanya nanar memandang sekitar yang penuh tanda Tanya. Sampai di dalam rumah, napasnya tercekat, melihat Pak Santosa, bapaknya, tergeletak dengan seutas tali menjerat lehernya. Sebuah kenyataan yang sangat menghentak, bagaimana mungkin bapaknya nekat melakukan itu? Demikian sebuah pertanyaan yang langsung muncul dari hatinya. (JG hal. 23)

Peristiwa yang menimpa keluarga Gilang, sangat disesalkannya karena selama ini Gilang yakin bahwa bapaknya tidak mungkin melakukan tindakan bunuh diri. Bagi Gilang, Pak Santosa adalah suri teladan dalam keluarga dan telah banyak kebaikan diajarkan selama bertahun-tahun. Gilang tidak habis pikir, mengapa itu semua ternoda oleh tindakan bunuh diri bapaknya yang hanya sekejap terjadi. Beberapa hari setelah kematian itu, ada seorang paranormal ia adalah Mbah Surip yang dikenal bisa mengetahui hal-hal mistis. Banyak orang-orang yang mengerumuninya dan membicarakan tentang bunuh diri Pak Santosa yang disebabkan pulung gantung. Melalui mata batinnya, ia menceritakan bahwa bola api yang melesat sebelum kejadian bunuh diri Pak Santosa adalah pulung gantung. Mbah Surip yakin bahwa Pak Santosa dipengaruhi jin jahat pulung gantung itu dan kalau sudah dipengaruhi maka dia terus-menerus ingin mati gantung diri

sampai benar-benar kejadian. Mbah Surip menceritakan mengenai pulung menurut budaya Jawa, kutipan tersebut dapat kita lihat di bawah ini :

Menurut khazanah budaya Jawa, pulung itu sebagai perwujudan makhluk halus yang mengubah diri agar dapat leluasa masuk berkeliaran di alam manusia. Penampakan berbentuk bola api melayang-layang di udara. (JG hal. 31)

Mbah Surip juga menceritakan mengenai pulung terbagi dua jenis, seperti yang telah penulis jelaskan di bagian atas. Seseorang bertanya padanya, kapan mulai munculnya mitos pulung gantung itu. Jawaban atas pertanyaan itu, dapat kita temukan pada kutipan di bawah ini, yakni :

Bermula pada abad ke-15 ketika terjadi perang Majapahit melawan Demak, yang menyebabkan banyak putra Majapahit lari menyelamatkan diri ke Gunung Kidul yang waktu itu masih berupa hutan belantara. Tempat itu dirasa aman sebagai tempat bersembunyi dari kejaran musuh. Ada yang mampu bertahan dengan kondisi hutan belantara, tapi banyak juga yang tidak tahan sehingga memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. (JG hal. 32)

Sebagian masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul masih sangat kuat kepercayaannya akan adanya mitos pulung gantung ini, tetapi sebagian tidak percaya seperti para kiai. Lain halnya dengan Mbah Surip, para kiai yang berkumpul di sebuah kantor madrasah membahas berbagai persoalan masyarakat yang aktual, termasuk soal mitos pulung gantung yang merenggut nyawa Pak Santosa. Bagi para kiai, pendapat masyarakat yang percaya bahwa bunuh diri yang terjadi karena pulung gantung adalah pendapat yang sesat dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Begitulah para kiai ini selalu hati-hati setiap kali membahas persoalan aktual. Seorang kiai mengimbau kepada masyarakat, jangan percaya takhayul. Hari-hari berikutnya, pulung gantung masih turun dan ada lagi yang mati dengan berbagai cara mulai dari gantung diri, minum racun serangga, minum pil over dosis, melukai diri, membakar diri, terjun ke jurang, menceburkan diri ke

sumur, atau menembak diri. Tetapi, dari berbagai kematian tidak wajar itu, orang yang rumahnya kejatuhan pulung konon paling banyak memilih menggantung diri sesuai dengan nama penyebabnya: pulung gantung. Sedikit kutipan di bawah ini dalam novel JG yang mengabarkan peristiwa kematian yang tidak wajar, yakni :

Ada lagi yang mati! teriak seorang penduduk desa dengan wajah pucat berlari ke sana kemari mengabarkan sebuah kematian dari berbagai kematian tak wajar biasanya. (JG hal. 34)

Kutipan di atas, menceritakan lagi peristiwa bunuh diri dan hal ini segera menyebar ke orang-orang yang ada di sekitar, menyebar dari mulut ke mulut hingga ke seluruh penjuru desa bahkan melesat hingga ke kota yang menjadi satelit bagi perkembangan desa-desa itu. Desa Wiwitan daerah Gunung Kidul tepatnya Sendang Kramat dalam novel JG dipercaya sebagai tempat awal munculnya pulung gantung, sampai sekarang semakin tidak tersentuh dan tambah banyak cerita mengenai hal tersebut. Memberi efek magis dan psikologis pada masyarakat sekitar. Sementara, para kiai dan pemuka agama lainnya juga pemuka masyarakat gencar melakukan berbagai upaya pencegahan tindakan bunuh diri, sekaligus untuk menepis isu-isu yang tidak wajar.

Peristiwa bunuh diri dalam novel JG juga dialami oleh keluarga Mayang, kekasihnya Gilang. Korban pulung gantung tersebut adalah Jeng Utari, ibunya Mayang. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada kutipan di bawah ini :

Jeng Utari masih saja gelisah, putus asa, serta kalap mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk bunuh diri. (JG hal. 163)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Jeng Utari ingin mengakhiri hidupnya pada waktu itu juga. Jeng Utari berkata dalam hatinya, di bawah ini adalah kutipannya :

Kira-kira pakai apa ya? bisiknya penuh tanya, banyak pilihan. Obat serangga? Ah, tapi aku bukanlah pengganggu yang mesti dibasmi. Pisau? Aku bukan penzinah yang mesti dirajam. Golok? Ah, tapi aku bukan perampok yang mesti dibacok. Pil? Tidak, aku bukan penderita yang mesti diobati. Sumur? Jangan, aku bukan pengkhayal yang mesti dijungkal. Hmm, api? Ah, tapi aku bukan pendosa yang mesti dibakar. Bingung. Apa lagi ya? Ah, semuanya itu tak sesuai dengan diriku! (JG hal. 163)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Jeng Utari nekat mau bunuh diri. Malam sebelum kematiannya, pulung gantung jatuh ke arah rumah tempat tinggal dia bersama putri satu-satunya yaitu Mayang. Setelah ia berbicara dalam hati dan tidak juga menemukan cara untuk bunuh diri, ia putus asa dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang mulai membayang-bayangi dirinya. Ia ingat, ada sesuatu yang dulu biasa mengikat pinggangnya. Setagen! Sebuah kain hitam polos sekitar empat meter tentu bisa untuk dijadikan tali gantung diri. Hanya bayangan setagen saja yang terus-menerus membayangi pikirannya yang sedang kosong. Kehidupan masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul (dalam novel JG) masih kebanyakan percaya pada yang berhubungan dengan hal-hal gaib bersifat animisme. Percaya pada kisah-kisah mistis yang oleh masyarakat modern sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal. Masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul (dalam novel JG) mempunyai stratifikasi sosial ataupun tingkatan kehidupan berbeda terutama masalah keyakinan. Penggolongan manusia dalam kelas-kelas sosial tertentu tidak dapat dilepaskan para novelis. Masyarakat modern dan tradisional tetap menempatkan stratifikasi sosial dalam interaksi sosial, sehingga setiap manusia memerlukan dinamika pergerakan sumber daya yang tepat. Di dalam keadaan ini masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul senantiasa berusaha menempatkan diri

dalam koordinat yang layak, sehingga penggolongan derajat kemanusiaannya tidak mempengaruhi kebahagiaannya.

Akhmad Sekhu melihat stratifikasi sosial masyarakat Jawa secara khusus. Di dalam hal ini perlu diketahui penggolongan manusia dalam kelas-kelas sosial, seperti diklasifikasikan oleh Geertz (1989: VII) berikut ini,

Tiga lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan) yang dibarengi dengan latar sejarah kebudayaan yang berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya: Abangan (yang menekankan pentingnya aspek-aspek animistik), Santri (yang menekankan aspek-aspek Islam), dan Priyayi (yang menekankan aspek-aspek hindu.

Kehidupan tokoh dalam cerita novel JG terdapat ketiga stratifikasi sosial Geertz tersebut. Kehidupan abangan ditonjolkan melalui tokoh Pak Santosa, kehidupan priyayi melalui tokoh Jeng Utari sedangkan kehidupan santri ditonjolkan melalui tokoh para kiai yang turut berperan serta dalam cerita.

Istilah abangan sering dikaitkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Dalam novel JG tampak kehidupan seperti ini dialami oleh keluarga Gilang. Gilang hanyalah seorang anak petani biasa di desanya. Kutipannya seperti berikut ini :

Pada bobot dengan pertimbangan silsilah garis keturunan sang ayah yang berdasarkan criteria, seperti bangsa ngawirya artinya bangsawan atau pemuka terpandang, kaum agama mulya artinya anak cucu kaum ulama, wong martapa artinya orang yang suka bertapa, bangsa sujana artinya anak orang pandai cendikiawan, kaum aguna artinya pandai dalam segala bidang lahiriah maupun jasmaniah, prawira artinya anak tentara, jamna supatya artinya orang yang berwatak tegas, mantap segala perbuatannya, setia dalam kata dan perbuatannya. Sementara, ayah Gilang hanyalah seorang petani biasa. Mengapa mesti ada perbedaan pangkat kedudukan? (JG hal. 9)

Gilang adalah anak seorang petani biasa, keluarga Gilang hidupnya pas-pasan dan hal itu tidak sebanding dengan keluarga Mayang. Mayang adalah keturunan ningrat, ibunya merupakan golongan priyayi. Golongan ini memiliki perbedaan dengan abangan dari status pekerjaan dan pandangan hidupnya menerima ajaran agama tanpa melaksanakannya. Istilah priyayi diterapkan pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tingi atau rendah. Adapun kutipan yang menunjukkan bahwa keluarga Mayang merupakan golongan priyayi dapat dilihat kutipannya di bawah ini :

Toh priyayi itu tetap melarangnya dengan alasan Mayang yang tjah ningrat darah biru tidak cocok bila disandingkan dengan Gilang yang rakyat biasa. (JG hal. 10)

Seperti dapat dilihat pada kutipan di atas, bahwa keluarga Mayang merupakan golongan priyayi yang sangat memperhatikan perbedaan status sosial dalam masyarakat.

Golongan yang mendapat ruang cerita sedikit adalah santri. Golongan ini diterapkan pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama dalam perkampungan dekat sebuah mesjid. Hal itu dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut ini:

a. Tidak jauh dari tempat itu, di sebuah kantor madrasah. Sembilan orang kiai sedang berkumpul, Kiai Khozin, Kiai Abdul Ghoni, Kiai Amin, Kiai Ramad, Kiai Satyo, Kiai Tasor, Kiai Kusen, Kiai Tarmidi, dan Kiai Jai. Mereka biasa berkumpul untuk membahas berbagai persoalan masyarakat yang aktual, termasuk kali ini soal mitos pulung gantung yang merenggut nyawa Pak Santosa. (JG hal. 33)

b. Ingat, tugas kita adalah mengatakan kebenaran agar masyarakat tidak tersesat takhayul itu! kata Kiai Khozin menegaskan, jika beda pendapat maka kita kembalikan pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai patokan. (JG hal. 33)

Dari kutipan a dan b di atas, dapat dilihat bahwa keduanya termasuk ke dalam golongan santri, karena keyakinan yang kuat akan agama dan melihat petunjuk kebenaran melalui sebuah kitab suci agama Islam yaitu Al-Qur’an.

Sementara itu, kembali lagi pada kisah kematian Jeng Utari. Selama ini Jeng Utari memakai pelindung untuk menjaga agar tubuhnya tidak masuk jin. Seperti kutipan di bawah ini:

Tiba-tiba terdengar suara, Mbah sudah mengisi pagar gaib pada tubuhmu agar tak mempan kalau diserang jin! Tapi perlu Mbah ingatkan! Jangan sekali-kali membiarkan pikiran kosong karena itu berarti sama saja mempersilahkan jin msuk! (JG hal. 164)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Jeng Utari diingatkan keras oleh hatinya agar tidak melakukan hal bodoh yang dapat menghilangkan nyawanya dalam sekejab. Tetapi, ia juga mendengar suara lain pada saat itu yaitu suara mendiang suaminya yang mengajaknya untuk pergi bersama meninggalkan dunia nyata. Kemudian, peristiwa itupun terjadi. Bunuh diri karena pulung gantung yang jatuh tepat menuju ke rumah Jeng Utari beberapa malam sebelumnya, hal tersebut dilihat pada kutipan-kutipan di bawah ini:

a. Dia memilin-milin kain pengikat pinggang itu menjadi tali. Ujungnya lalu diikatkan di langit-langit kayu ruang kamar, ujung lainnya dikalungkan ke lehernya. Betapa kini dia sangat kalap, bertekad bulat bunuh diri. Hatinya benar-benar sudah tertutup, buntu, dan tidak bisa berpikir jernih keduali ingin lari dari kenyataan hidup ini. (JG hal. 164)

b. Jantung berdegup tak beraturan sangat kencang, seiring semakin kencangnya ikatan setagen. Lehernya kian berjenjang bersamaan dengan setagen yang semakin erat mengikat. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam karena gumpalan kemarahan yang tertahan. Matanya mulai nanar memandang sekitar. Hidungnya kembang kempis karena tidak ada lagi udara keluar. Mulutnya menganga lebar. (JG hal. 165)

c. Tampak sekali ia kini sangat sekarat dengan setagen erat mengalung di lehernya, menggantung pada langit-langit kayu ruang kamar. Hampir bersamaan terakhir sekali, kaki kejat-kejat ingin sekali menginjak di lantai lagi, tangan menggapai-gapai ingin sekali menyentuh langit-langit, perut kembang kempis lalu mulai berhenti, tubuh kejang-kejang lalu membujur kaku, telinga kuncup mekar lalu mengerut, mata jelalatan lalu melotot dengan bola mata hampir keluar dari kelopak, hidung kembang kempis lalu menggembung, dan mulut komat-kamit lalu menganga karena menahan rasa sakit teramat sangat. Serasa ruh sangat alot keluar dari tubuh sehingga malaikat mencabutnya terpaksa dengan keras, kasar, dan tanpa ampun lagi karena kenekatannya bunuh diri dengan cara menggantung diri. (JG hal. 165)

Seperti yang sudah disebutkan pada uraian di atas bahwa, Jeng Utari telah mengingkari kodrat Tuhan yang memberinya kehidupan. Ia mendahului kehendak Tuhan, ruhnya pun tidak akan sampai di hadapan Tuhan, tetapi akan terus melayang-layang di angkasa sepanjang masa.

Dari semua peristiwa bunuh diri di atas, khususnya di daerah Gunung Kidul (dalam novel JG) bisa dilihat bahwa setiap kejadian selalu ditandai adanya pulung gantung yang jatuh di atap rumah korban. Meskipun, para kiai tidak mempercayai akan hal tersebut. Bagi masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul (dalam novel JG) hal itu sudah mentradisi dan kepercayaan akan hal-hal gaib akan terus berlanjut. Berdasarkan uraian tersebut nyatalah bahwa tokoh Pak Santosa dan Jeng Utari maupun masyarakat lainnya dalam novel JG, hidup berdampingan dengan mitos tentang pulung gantung. Keduanya telah menyatu dan tidak dapat dipisahkan, pulung gantung telah merupakan suatu bentuk mitos yang telah mentradisi di dalam kehidupan masyarakat di daerah Gunung Kidul Jawa Tengah.

Dokumen terkait