• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Mitos Pulung Gantung Dalam Novel Jejak Gelisah Karya Akhmad Sekhu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Deskripsi Mitos Pulung Gantung Dalam Novel Jejak Gelisah Karya Akhmad Sekhu"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG DALAM NOVEL JEJAK GELISAH

KARYA AKHMAD SEKHU

PROPOSAL

Oleh:

RETNO OKTAVANNY Nim: 040701012

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan ketabahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul “Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah Karya Akhmad Sekhu”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu :

1. Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis diberi kesehatan, sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

2. Ibunda tercinta Riawaty Usman dan Mamaita, atas cinta dan kasih sayang yang tak ternilai, pengorbanan, dorongan semangat serta doa tulus yang tidak pernah berhenti. Semoga Allah memberikan limpahan Rahmat dan Ridho-Nya atas kedua Ibunda penulis.

3. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, PD I Bapak Drs. Aminullah, M.A., Ph.D, PD II Bapak Drs. Samsul Tarigan, dan PD III Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum.

(3)

5. Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. selaku Pembimbing I dan Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. selaku Pembimbing II, atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Abangnda Joni Saputra Malay atas cinta dan kasih sayang, pengorbanan dan dorongan semangat yang tak pernah berhenti.

7. Staf pengajar dan staf administrasi di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Sastra Indonesia atas ilmu bantuan, dan kemudahan administrasi

8. Teman dan Sahabatku terutama Rama, Julia, Astari, Tika, Wanto, Hisyam, Jeng Ori, Ratu, Rita atas sokongan spiritual dan dukungan yang tak terbatas. Ingatan tidak akan pernah luntur atas segala kebersamaan kita selama ini yang sering kali dalam keterbatasan.

9. Seluruh teman-teman stambuk 2004 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan dorongan semangatnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang sifatnya membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, Amin.

Medan, Agustus 2008

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……….. i

Daftar Isi………..………. ii

Abstrak……….. iii

BAB I PENDAHULUAN……….………... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah…… ………... 1

1.1.1 Latar Belakang…… ………... 1

1.1.2 Masalah…... ………... 5

1.2 Batasan Masalah.. ………... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian… ……… 5

1.3.1 Tujuan Penelitian… ……… 5

1.3.2 Manfaat Penelitian.. ……… 5

1.4 Metode dan Teknik Penelitian…. ……… 6

1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………. 6

1.4.2 Metode dan Teknik Analisis Data……….. 11

1.5 Landasan Teori….……… 11

BAB II DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG DALAM NOVEL JEJAK GELISAH KARYA AKHMAD SEKHU.. 17

2.1 Mitos Pulung Gantung di Gunung Kidul………. …… 17

2.2 Mitos Pulung Gantung Berdasarkan Hasil Penelitian.. 25

2.3 Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah Karya Akhmad Sekhu….……… 33

BAB III SIMPULAN DAN SARAN... ……… 44

3.1 Simpulan.. ……… 44

3.2 Saran…… ……… 44 DAFTAR PUSTAKA

(5)

DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG

DALAM NOVEL JEJAK GELISAH KARYA AKHMAD SEKHU

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan mitos pulung gantung dari novel Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel berjudul Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu dengan menggunakan metode membaca

(6)

DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG

DALAM NOVEL JEJAK GELISAH KARYA AKHMAD SEKHU

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan mitos pulung gantung dari novel Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel berjudul Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu dengan menggunakan metode membaca

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan karya kreatif dari sebuah proses pemikiran untuk menyampaikan ide, pengalaman, dan sistem berpikir atau teori. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Hardjana (1981:10) bahwa, “sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan”. Dengan demikian karya sastra akan selalu menarik perhatian karena pengungkapan penghayatan tentang kehidupan manusia itu. Melalui karya sastra akan terungkap penghayatan manusia yang paling dalam di dunia ini (Jassin, 1983:4).

Kesusastraan diciptakan selaras dengan dinamika masyarakat dan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan sangat tergantung kepada sistem sosial dan budaya masyarakatnya. Karya sastra senantiasa dipergunakan untuk mengekspresikan kepribadian manusia secara kolektif melalui penggabungan imajinasi individu sastrawan dengan obsesi masyarakatnya. Oleh karena itu, membaca dan menilai karya sastra pada hakikatnya melihat dan mempelajari kehidupan suatu masyarakat di mana karya sastra itu dilahirkan, tumbuh, dan berkembang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sumardjo (1979 : 30).

(8)

Kedudukan karya sastra dalam sistem sosial dipandang sangat penting. Karya sastra tidak hanya dipandang sebagai hasil rekayasa imajinasi, melainkan cermin masyarakat. Dalam hal ini Sumardjo (1979:15) mengatakan bahwa, ”sastra merekam penderitaan dan harapan suatu masyarakat, sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra”. Dimensi sosial ini dipertegas oleh Damono (1984:9), yang mengatakan bahwa, ”sastra merupakan cerminan langsung berbagai segi struktur sosial zamannya.”

Dengan demikian, para ahli sosiologi sastra dapat menghubungkan sistem kehidupan yang terdapat dalam karya sastra dengan realitas sejarah dan sistem sosial suatu masyarakat.

Pada hakikatnya, sastra menggambarkan keadaan manusia dalam masyarakatnya. Sebuah karya sastra dengan kedalaman pemikiran sastrawannya akan mampu memberikan gambaran tentang karakteristik suatu bangsa atau bahkan berhasil mengungkapkan kebobrokan sistem masyarakatnya. Namun, tidak selamanya suatu peristiwa yang terjadi selalu diikuti dengan lahirnya sebuah karya sastra. Ada kalanya suatu karya sastra tidak dapat menggambarkan kehidupan masyarakat yang sesuai lagi dengan keadaan masyarakatnya pada saat itu. Kita harus ingat bahwa karya sastra adalah dunia tersendiri yang berarti imajinasi sastrawan sangat berperan dalam menghasilkan karya sastra tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa sastra merupakan penggabungan antara kenyataan dengan imajinasi.

(9)

jadi dipergunakan sebagai sarana untuk pemahaman terhadap manusia. Di dalam karya sastra tergambar persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia yang dituangkan pengarang melalui daya kreatifnya. Dalam hubungan ini adalah tepat apa yang dikemukakan oleh Eneste (Ed.) (1984: 67) bahwa, “masalah sastra adalah masalah manusia dalam aktifitas kehidupannya”. Tetapi dalam hubungan ini perlu diluruskan dan dipertegas tentang pengertian karya sastra hubungannya dengan pengungkapan masalah kehidupan manusia. Toda (1984:44) mengatakan bahwa, “karya sastra tidak mengungkapkan dunia kehidupan manusia sebagaimana adanya, melainkan dunia kehidupan manusia yang terlihat oleh mata batin pengarang”. Sejalan dengan itulah Scholes menolak adanya karya sastra yang benar-benar dapat menggambarkan kehidupan manusia secara utuh. Artinya gambaran manusia sepenuhnya sesuai dengan manusia yang ada dalam realitas, tanpa pengaruh imajinasi (Junus, 1981:91).

Junus (1981:93) mengatakan bahwa, “kehidupan manusia dipenuhi oleh mitos. Sesuai dengan uraian di atas, maka dalam karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia ditemukan pula mitos itu”. Sebelumnya Junus (1981:92) telah menegaskan bahwa, “pada dasarnya karya sastra adalah suatu mitos.”

(10)

Kaitan sastra dan kenyataan tidak dapat dipisahkan. Kebenaran kaitan ini harus dijelaskan melalui penelitian terpadu, sehingga ditemukan kembali kehidupan yang digambarkan oleh pengarang, hal ini dapat dilihat pada novel

Jejak Gelisah (selanjutnya disebut JG). Pada novel ini terdapat gambaran

kehidupan masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul khususnya mengenai pulung gantung yang maknanya bisa berupa suatu kenyataan maupun mitos belaka.

Di Gunung Kidul, salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, ada keyakinan bahwa bunuh diri terjadi disebabkan oleh adanya pulung gantung. Menurut penduduk setempat, pulung gantung merupakan isyarat

langit tentang akan terjadinya bunuh diri dengan cara menggantung. Mereka menggambarkan pulung gantung itu sebagai sinar merah kebiru-biruan pada waktu malam yang melintas di langit dengan cepat. Bila suatu saat benda itu muncul dan jatuh di suatu tempat, tidak lama di tempat itu akan terjadi peristiwa bunuh diri. Mitos semacam itu hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul.

(11)

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibicarakan adalah deskripsi mitos pulung gantung dalam novel JG karya Akhmad Sekhu.

1.2Batasan Masalah

Pembahasan sebuah karya sastra akan mengalami kesulitan jika tanpa batasan masalah karena dikhawatirkan peneliti akan menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan judul penelitian ini, masalah akan dibatasi dengan hanya mendeskripsikan mitos pulung gantung dalam novel JG karya Akhmad Sekhu.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mitos pulung gantung dari novel JG karya Akhmad Sekhu.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah untuk :

1). Menambah pengetahuan bagi mahasiswa sastra Indonesia tentang karya sastra.

2). Menambah pengetahuan masyarakat tentang mitos pulung gantung. 3). Memperkaya pengkajian dan mengapresiasikan karya sastra Indonesia. 4). Memperkaya bidang ilmu sastra dan membuka peluang untuk

(12)

1.4Metode dan Teknik Penelitian

1.4.1Metode dan Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari novel, yaitu : Judul : Jejak Gelisah Karya : Akhmad Sekhu Penerbit : PT. Grasindo Tebal Buku : 225 halaman Ukuran Buku : 20 x 14 cm Cetakan : Pertama Tahun : 2005

Warna Sampul : Perpaduan warna cokelat muda, merah maron, dan hitam. Gambar Sampul : Gambar seorang lelaki dan perempuan terbang menuju

atap rumah, berlatar belakang matahari terbenam (senja). Bahagian bawah terdapat nama pengarang Akhmad Sekhu dan judul novel Jejak Gelisah.

Desain Sampul : Hagung Sihag

Data dikumpulkan dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Menurut Pradopo (2001:84),

(13)

Selain itu, Pradopo (2001:84) juga menjelaskan, “metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir secara berurutan”. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan.

Hasil pembacaan heuristik terhadap novel JG menghasilkan sinopsis cerita sebagai berikut. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan cinta seorang pemuda desa, dia adalah Gilang. Gilang tinggal bersama kedua orangtuanya yaitu Pak Santosa dan Emak Citra, adik perempuannya Fitri, dan Mbok Tijah. Di samping itu, kisah ini diwarnai oleh kisah-kisah mistis yang masih dipercayai oleh penduduk desa daerah Gunung Kidul. Salah satunya adalah mitos tentang pulung gantung.

(14)

tidak pernah percaya dengan hal yang seperti itu. Malam setelah Gilang bertemu dengan Mayang, desa Wiwitan gempar karena peristiwa gantung diri pulung gantung (peristiwa gantung diri yang dipercaya penyebabnya adalah pulung

gantung yang jatuh ke arah rumah korban) dan yang menjadi korban adalah ayah

Gilang, Pak Santosa. Pak Santosa mati bunuh diri dengan menggunakan tali sebagai pengikat dilehernya.Ternyata bola api itu ataupun yang biasa disebut pulung gantung benar telah membawa kesialan bagi keluarga Gilang. Sejak itu

Gilang dikenal sebagai anak korban pulung gantung. Setelah kematian ayahnya Gilang hijrah ke Jakarta, dia kuliah di sana dan tinggal bersama Pakdenya Ardi, tetapi hanya bertahan sebentar dan Gilang lebih memilih untuk hidup mandiri dan tinggal di rumah kos. Di kota, Gilang mempunyai sahabat dan mereka adalah Chocky, Gondho, Nana dan Hesti. Nana adalah seorang perempuan yang menaruh hati pada Gilang sejak pandangan pertama. Gilang bekerja membanting tulang untuk membiayai kuliah, kos, dan biaya hidup sehari-hari. Namun, itu semua tidak sebanding dengan penghasilan Gilang yang bekerja paruh waktu. Akhirnya, kuliah Gilang berantakan dan ia pun pulang ke desanya.

(15)

Ketika malam Gilang dan Mayang pacaran di atap rumah, mereka tidak menyadari bahwa ibu Mayang sedang gelisah di bawah sana dan pikirannya kacau dengan segala permasalahan yang dihadapinya. Jeng Utari stres berat. Esok harinya desa Wiwitan digemparkan dengan peristiwa gantung diri dan juga dikarenakan pulung gantung untuk kedua kalinya dan korbannya adalah ibu Mayang, Jeng Utari. Mayang tidak menyangka kejadian ini akan menimpa dirinya. Beberapa hari sebelumnya, rumah Jeng Utari kejatuhan pulung gantung. Bola api yang melesat jatuh tepat ke arah rumah Jeng Utari. Ibu Mayang bunuh diri dengan menggunakan setagen (tali pengikat pinggang) yang biasa digunakannya. Tinggallah Mayang hidup sebatangkara, hanya ditemani oleh sepupunya Jarot. Rumah Jeng Utari telah dikuasai Tony dan Mayang sendiri terusir dari rumahnya. Sebelum kejadian yang menimpa ibunya, Mayang telah mengembalikan cincin pertunangan kepada ayah Tony, Pak Drajat. Setelah kejadian itu, untuk sementara Mayang tinggal di rumah Gilang. Teman-teman Gilang turut berduka cita atas kematian ibu Mayang, terutama Nana yang sangat mencintai Gilang. Ia sudah bisa menerima kalau Gilang telah mempunyai seorang Mayang yang sangat dicintainya, Nana pun mengalah. Nana mempunyai sahabat baru yaitu Mayang.

(16)

juga. Di sel, Gilang sempat dicelakai oleh orang suruhan Tony, tetapi untungnya cepat ketahuan sipir penjara dan perusuh itu pun dipindahkan selnya.

Kedatangan Pak Darmadi yang pada akhirnya dapat menyelesaikan segala permasalahan, tidak hanya pada Mayang, tetapi juga masalah yang selama ini mengganggu desa Wiwitan daerah Gunung Kidul. Gilang pun bebas, sementara itu Tony ditangkap polisi dan dibawa ke rumah tahanan karena selama ini dia adalah biang perusuh juga perusak pemuda di kampung tersebut. Tony adalah pengguna sekaligus pengedar narkoba di desa Wiwitan. Desa Wiwitan selama ini bermasalah dengan koperasinya, untuk itu Jarot sebagai wakil dari pemuda setempat ikut membangun desa tersebut dengan bantuan Pak Darmadi. Kesulitan ekonomilah yang sebenarnya menjadi permasalahan di desa Wiwitan. Lepas dari semua permasalahan itu, Pak Darmadi mengangkat Mayang sebagai anaknya dan Mayang menjadi saudara perempuan Nana. Begitu juga dengan Gilang, Gilang kembali ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya di sana dan untuk melupakan segala peristiwa yang telah dialaminya. Khususnya mengenai pulung gantung.

Akhirnya Gilang dan Mayang pun bersatu, sangat berat perjuangan cinta mereka. Mereka berdua adalah anak korban pulung gantung. Lain halnya dengan Penduduk desa Wiwitan daerah Gunung Kidul, sebagian besar masih percaya dengan adanya mitos pulung gantung yang menjadi pembawa bencana bagi mereka, meskipun sebenarnya bahwa kesulitan ekonomi yang melanda kehidupan di desa itu.

(17)

isi cerita rekaan atau novel dapat memberikan pemahaman serta penafsiran makna cerita keseluruhan dari novel yang dibahas.

Selanjutnya penafsiran tersebut dicatat pada kartu data. Ukuran kartu data adalah 10 x 15 cm. Penafsiran tersebut dicatat berdasarkan masalah yang berhubungan dengan deskripsi mitos pulung gantung dalam novel JG pada kartu data yang berbeda.

1.4.2Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan mendeskripsikan data yang sudah dicatat pada kartu data sesuai dengan masalah yang ditawarkan. Pendeskripsian dilakukan dengan penggambaran mitos pulung gantung yang terdapat dalam novel JG.

1.5Landasan Teori

Pada sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan.

(18)

Mite di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan tempat asalnya, yakni: yang asli Indonesia dan yang berasal dari luar negeri pun pada umumnya sudah menglami pengolahan lebih lanjut, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Hal ini disebabkan mereka telah mengalami yang oleh Robert Redfield et al disebut sebagai proses adaptasi (adaption) (1963: 152). M. V. Moens-Zorab (dalam Danandjaya, 1925: 52) tepat sekali sewaktu mengatakan bahwa, “orang Jawa bukan saja telah mengambil alih mite-mite India, melainkan juga telah mengadopsi dewa-dewa serta pahlawan-pahlawan Hindu sebagai dewa dan pahlawan Jawa. Bahkan orang Jawa pun percaya bahwa mite-mite itu (yang berasal dari eps Ramayana dan Mahabarata) terjadi di Pulau Jawa dan bukan di India” Zorab (dalam Danandjaya, 1925: 258-266). Di Jawa Timur misalnya, ada Gunung Semeru yang dianggap oleh orang Jawa maupun orang Bali sebagai gunung suci Mahameru, atau sedikitnya puncak Gunung Mahameru yang dipindahkan dari India ke Pulau Jawa.

Mite Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony), terjadinya susunan para dewa, dunia dewata (pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero), terjadinya makanan pokok, seperti beras dan sebagainya, untuk pertama kali. Banyak artikel dan beberapa buku telah ditulis orang mengenai mite Indonesia, namun karangan-karangan itu sudah ditulis lama sekali. Mengenai kosmoni orang Jawa misalnya ada karangan H. Kern (dalam Danandjaya, 1925: 52) yang berjudul “Een Oud-Javaansche Cosmogonie (Kosmogoni Jawa Kuno)” (1887). Dalam karangan ini

(19)

“Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa” (Kridalaksana, 2002: 749).

Pengertian antara mite dan mitos berbeda satu sama lain. “Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib” (Kridalaksana, 2002: 749). Lain halnya dengan pengertian memitoskan. “Memitoskan adalah mengeramatkan, mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang pahlawan, benda, dan sebagainya; menjadikan mitos; mendewakan; kecenderungan seseorang perlu dicegah. Sedangkan pemitosan yaitu cara, perbuatan menjadikan mitos, pendewaan” (Kridalaksana, 2002: 749). Jelaslah bahwa pada penelitian ini lebih membicarakan kepada bagaimana memitoskan pulung gantung yang terdapat dalam novel JG tersebut.

Hartoko (1986: 88) menyebutkan, “Mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu mythos yang artinya adalah kata yang diucapkan. Pengertian kata mitos secara keseluruhan adalah cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman baheula. Lewat tradisi lisan yang panjang akhirnya mengendap dalam berbagai macam jenis sastra.”

(20)

Jika diperhatikan uraian atau pengertian tentang mitos yang dikemukakan oleh para ahli seperti hal tersebut di atas, maka dapat diperoleh suatu pengertian secara umum mengenai mitos yaitu cerita suci yang dalam bentuk simbolis mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner tentang asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan adikodrati, manusia, pahlawan, dan masyarakat. Dengan demikian, mitos membenarkan berbagai cara tindakan masa sekarang dalam kebudayaan tertentu, menimbulkan kepercayaan bersama, dan memperkokoh rasa kebersamaan dalam kelompok.

Darma (1983:92) memberikan pula pandangannya tentang keterkaitan antara mitos dengan karya sastra. Disebutkan bahwa, mitos sifatnya tidak logis dan mengungkapkan dunia yang aneh. Dalam karya sastra terdapat pula ciri atau sifat mitos itu. Sehingga melalui karya sastra dapat dilihat dan diketahui bentuk-bentuk mitos yang ada.

Dari berbagai uraian yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, tampaklah bahwa antara karya sastra dengan mitos terdapat keterkaitan (hubungan) yang erat. Membicarakan sebuah karya sastra, berarti sudah pula turut membicarakan mitos itu sendiri. Keduanya adalah dua sisi yang saling berhubungan. Pada sisi lain kehidupan manusia telah dipenuhi oleh mitos, sehingga karya sastra mengandung pula mitos itu. Untuk itulah novel sebagai suatu bentuk karya sastra berdampingan secara erat dengan mitos.

(21)

dalam sebuah mitos diketahui lewat proses penceritaannya, seperti halnya pesan-pesan yang disampaikan lewat bahasa diketahui dari pengucapannya. yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa berbalik. Ini terlihat misalnya dari fakta bahwa mitos selalu menunjuk ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Di lain pihak, pola-pola khas dari mitos merupakan ciri yang membuat mitos dapat tetap relevan dan operasional dalam konteks yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos, yang dideskripsikan oleh mitos tidak terikat pada waktu. Pola-pola ini menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, namun sekaligus juga dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi sekarang, dan apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Dalam mitos ditemukan sebuah kontradiksi yang menarik. Banyak peristiwa dalam mitos yang tidak mungkin dan tidak akan kita percayai terjadinya dalam kenyataan sehari-hari. Segala sesuatu memang mungkin terjadi dalam mitos. Mulai dari yang masuk akal, setengah masuk akal, sampai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali, semuanya bisa kita temukan dalam mitos. Oleh karena itu, seringkali kita merasa bahwa tampaknya tidak ada logika sama sekali dalam mitos-mitos tersebut. Ciri apapun dapat muncul pada diri tokoh-tokoh mitis (mythical figures) di situ dan relasi apapun bisa terjadi di antara mereka. Dalam mitos tidak ada yang tidak mungkin.

(22)

BAB II

DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG DALAM NOVEL JEJAK GELISAH

2.1 Mitos Pulung Gantung di Gunung Kidul

Pakar ilmiah menyimpulkan bahwa gantung diri itu karena faktor kesulitan ekonomi. Akan tetapi bagi warga Gunung Kidul, gantung diri itu seolah-olah kodrat, nasib, ataupun suratan takdir yang tidak dapat dielakkan. Di sana ada istilah “pulung gantung”. Pulung itu sendiri bisa diartikan sebagai wahyu. Seperti pada pemilihan lurah, di sana ada istilah pulung juga. Bedanya, pulung untuk calon lurah terpilih itu berupa cahaya biru dari langit yang jatuh ke tempat calon lurah dan kemudian memang akhirnya memenangkan pemilihan lurah. Sementara, pulung gantung berupa cahaya bola api berwarna merah api-lebih kecil daripada bola voli yang jatuh ke rumah calon korban.

(http://www.betaufo.orang/other/pulung.html)

(23)

benguk, buah yang beracun yang bisa dijadikan tempe, namun gagal karena ketahuan saudara-saudaranya. Akhirnya ia meninggal dengan gantung diri. Akan tetapi, Amirudin ternyata tidak begitu percaya kepada pulung gantung meskipun kepercayaan itu masih banyak melekat di kalangan orang-orang sedesanya. Ia tetap melihat bahwa bunuh diri itu merupakan akibat kesulitan ekonomi.

Amiruddin bertutur, “jika kemudian ada yang percaya pulung gantung itu memang benar-benar ada tuahnya, itu biasanya menghinggapi orang yang sedang kosong. Yang imannya tidak kuat. Orang yang sedang kosong itu memang bermacam-macam penyebabnya. Mulai dari kesulitan ekonomi sehingga menjadi bingung tidak tahu mencari jalan keluarnya, sampai dengan sakit yang tidak sembuh sehingga bingung mengobatinya. Pulung gantung itu tidak akan memakan korban bagi orang yang sehat dan beriman kuat”.

Mitos pulung gantung di Gunung Kidul, Yogyakarta sampai sekarang tetap ada. Pulung gantung dipercaya berbentuk seperti cahaya yang menakutkan dan selalu memakan korban manusia dan hewan piaraan warga di sekitar kaki Gunung Kidul. Tabloid Posmo pernah mengulas mengenai hal ini dari sudut pandang paranormal. Memang ada pro dan kontra tentang keberadaan pulung kematian ini. Sebagian kaum muda dan modernis menolaknya. Selebihnya, terutama golongan sepuh, spiritualis, dan pengikut ajaran banyak yang mempercayai sebagai keadaan yang buruk. Dipercaya bahwa cahaya pulung yang muncul akan diikuti dengan peristiwa yang menyedihkan.

(24)

berwarna merah menyala, terang menyilaukan. Saat cahaya itu muncul dan tiba di sebuah tempat atau desa, maka cahaya itu semakin membesar dan jatuh menghilang. Cahaya pulung ini akan bisa dilihat dengan mata telanjang dari kejauhan. Karena gampang dilihat inilah masyarakat sudah bisa menebak, di mana cahaya maut itu menghilang. Maka, keesokan harinya menyebar kabar buruk.

(25)

semua penduduknya bertahan hidup di sana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari 752.000 penduduknya, sekitar 100.000 lebih memilih hidup sebagai kaum urban. Mereka menjadi buruh pembangunan di Yogya, Solo dan sekitarnya. Mereka juga banyak yang berprofesi sebagai penjual bakmi dorong, tukang becak hingga penjual dawet di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kaum urban ini jelas meningkatkan pendapatan keluarga.

Di bawah ini terdapat juga kisah mengenai isyarat kematian di langit Gunung Kidul. Isyarat kematian itu selalu datang tanpa permisi, tiba-tiba dan tak berbelas kasih. Ia selalu datang di sekitar atau menjelang tengah malam. Biasanya, kedatangannya didahului oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang menegakkan bulu kuduk. Jika sudah demikian, bersiaplah mengangkat kepala, picingkan mata setajam-tajamnya, perhatikan pucuk-pucuk pohonan di sekeliling dan pastikan apakah Anda melihat pijar bola api berwarna merah semu kuning yang mengeluarkan sinar bercorak kebiruan dengan ekor sinar yang bisa mencapai panjang dua meter. Jika sepasang mata Anda benar-benar melihatnya, silahkan berdoa agar pijar bola api itu tidak melesat cepat ke arah Anda atau ke tempat di mana Anda sedang bermukim. Sebab jika benar, bersiaplah untuk menikmati hari-hari terakhir Anda menghirup kehidupan. Orang-orang di Gunung Kidul menyebutnya sebagai “pulung gantung”. Pijar bola api yang gentayangan di tengah malam itu dipercaya sebagai isyarat kematian yang hampir mendekati kepastian. Semacam pertanda (sasmita) yang nyaris menjadi kepastian (pepasten), dalam istilah orang Jawa.

(26)
(27)

pulung gantung, maka korban akan muncul dari kerabat pemilik rumah atau jika tidak dari tetangga yang berdekatan dengan lokasi jatuhnya pulung gantung.

Ketika akhirnya muncul korban gantung diri, horor kematian tak berhenti sampai di situ. Orang-orang percaya bahwa, isyarat kematian ditandai juga dengan posisi badan pelaku gantung diri yang menghadap ke salah satu arah mata angin dan dipercaya bahwa pulung gantung kelak akan turun ke arah tersebut. Misalnya, jika seorang korban gantung diri ditemukan dalam keadaan menghadap ke arah utara, maka pada arah itu pulalah pulung gantung dipercaya akan jatuh kelak di kemudian hari. Ini menjadi horor dan teror karena tidak cukup jelas, arah utara yang merupakan pertanda akan turun pulung gantung di situ tidak jelas apa yang dituju. Bisa jadi itu menuju rumah yang berada di sebelah utara rumah si korban. Masalahnya, rumah di sebelah utara itu banyak jumlahnya. Kadang, arah itu merujuk kampung atau pedukuhan yang berada di sebelah utara rumah si korban. Ini memungkinkan aroma kematian itu menyebar dan menyelimuti banyak orang di banyak kampung atau pedukuhan. Mereka berharap-harap cemas, mungkinkah rumah atau pedukuhan saya yang akan kejatuhan pulung gantung berikutnya? Di beberapa tempat, kepercayaan terhadap benda langit yang bersinar malam hari sebagai isyarat sesuatu yang buruk memang bukannya tidak ada. Tetapi tidak ada yang sespesifik di Gunung Kidul.

(28)

bersembunyi. Belakangan, terdengar kabar bahwa kepercayaan ihwal banaspati ini ternyata banyak juga berkembang di wilayah-wilayah lain di tanah Jawa.

Di Barat juga ada kepercayaan mengenai benda langit seperti lentera yang berkelip-kelip memancarkan cahaya berwarna biru. Benda itu biasa disebut “jack o’lantern” atau “will o’the wisp”. Benda langit ini dipercaya sebagai hantu gentayangan yang membawa api neraka yang akan menyesatkan siapa saja yang mengikutinya sehingga ia akan tersesat tanpa bisa kembali atau bahkan terperosok ke dalam rawa-rawa penuh buaya atau paya-paya yang digenangi lumpur hidup yang bisa menyedot siapa saja yang terjebak di dalamnya. Mitos “jack o’lantern” atau “will o’the wisp” itu perlahan lenyap seiring kemunculan teknologi listrik yang membuat malam-malam di Eropa menjadi terang-benderang. Belum ada riset yang bisa menjelaskan hubungan antara masih bertahannya mitos pulung gantung ini dengan peta penyebaran listrik di Gunung Kidul. Di pelosok desa-desa Gunung Kidul memang masih belum ada aliran listrik. Jika pun sudah, kondisi geografis yang berbukit-bukit dan masih dipenuhi ladang dan alang-alang seringkali membuat desa-desa tersebut relatif gelap pada malam hari.

Kendati sama-sama menyebarkan aroma maut yang menegakkan bulu kuduk, kepercayaan mengenai Mitos “jack o’lantern” atau “will o’the wisp” atau banaspati di wilayah lain, tidak pernah menggerakkan seseorang untuk melalukan

bunuh diri, apalagi dengan cara gantung diri. Hanya di Gunung Kidul sajalah kepercayaan tentang pijar bola api di malam hari dipercaya akan berakhir dengan tragedi gantung diri.

(29)
(30)

sebelah tenggara kediaman Mbok Tumikem, Noto Triman didapati tewas gantung diri. Lalu pada hari Rabu Kliwon 9 Oktober 1991, Ngadimin alias Surip, warga Dusun Ngandong, Kecamatan Patuk di Kabupaten Gunung Kidul pula, mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Dengan tewasnya Surip, berarti di Kabupaten Gunung Kidul, selama kurun waktu 10 tahun terjadi 17 kasus bunuh diri. Walaupun penduduk menuding pulung gantung, sesepuh Desa Siraman, Hadi Sumarto yang tahun 1991 itu berumur 74 tahun berpendapat, pulung bukanlah pendorong seseorang untuk bunuh diri, melainkan sekadar sasmita gaib atau petanda sesuatu akan terjadi.

2.2 Mitos Pulung Gantung Berdasarkan Hasil Penelitian

Beberapa peneliti sudah mencoba mencari fenomena pulung gantung ini. Beberapa di antaranya yang pernah penulis baca adalah penelitian Noor Sulistyo Budi di desa Pacarejo (Jurnal Patra Widya No.3/2004), buku Talipati karya Iman Budhi Santoso yang diterbitkan Jalasutra dan buku Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul karya Darmaningtyas yang diterbitkan oleh

(31)

Durkheim pernah menulis buku berjudul Suicide yang mencoba memberi perspektif sosiologis untuk memahami fenomena bunuh diri di kalangan Katolik dan Protestan. Buku Suicide ditulis Durkheim setelah ia begitu terpukul oleh bunuh diri yang dilakukan karibnya bernama Victor Hommay.

Survey yang mendalam mengenai pelaku gantung diri yang berhasil diselamatkan mungkin bisa mengisi kekosongan ini. Wawancara yang intensif dengan pelaku gantung diri di pelosok Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan mungkin bisa menguraikan bagaimana terbentuknya keyakinan orang tersebut untuk melakukan bunuh diri dalam kaitannya dengan pulung gantung. Masalahnya, amat jarang ada pelaku gantung diri di Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan nyawanya. Noor Sulistyo Budi yang melakukan penelitian mengenai pulung gantung di wilayah kecamatan Semanu mencatat bahwa dari sekian banyak narasumber yang ia temui hanya ada seorang narasumber yang pernah mendengar ada pelaku gantung diri yang bisa diselamatkan, itu pun ia hanya mendengar dua kali selama hidupnya. Hingga hari ini, kepercayaan terhadap pulung gantung masih bertahan dengan kuat di Gunung Kidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Di tempat-tempat itu, orang-orang masih cemas sewaktu malam-malam mengangkat kepala untuk melihat ke langit dan berharap tidak ada benda bersinar merah kebiru-biruan yang melesat cepat menuju pekarangan rumahnya.

(32)

kelepak kelelawar yang terbang hilir mudik di atas genting sewaktu malam sudah benar-benar larut.

Sementara buku Talipati yang ditulis oleh Iman Budhi Santoso, merupakan sebuah buku yang menceritakan tentang kemisteriusan fenomena bunuh diri di kalangan masyarakat Gunung Kidul. Talipati sendiri diartikan sebagai kematian. Kondisi masyarakat Gunung Kidul yang masih sangat kental menjadi latar belakang pembahasan kasus-kasus bunuh diri di sana. Cerita di dalam buku ini dibagi menjadi beberapa bagian, kasus demi kasus yang intinya sama, yaitu bunuh diri.

Bunuh diri yang diyakini masyarakat Gunung Kidul sebagai akibat mistik pulung gantung atau roh halus merupakan sebuah aib. Korban bunuh diri biasanya tidak diselesaikan secara wajar. Hanya dikafani, lalu dikuburkan. Bekas tempat bunuh dirinya dibakar (walau di bagian rumah sekalipun) untuk mengusir pulung gantung agar cepat pergi.

Membaca buku ini, pembaca seakan-akan dibawa ke dalam suasana mistis Gunung Kidul. Merasakan bagaimana sulitnya hidup di daerah Gunung Kidul yang tandus, cukup menyeramkan juga. Penyebab bunuh dirinya serba tidak jelas. Setiap kasus bunuh diri, korban tidak pernah meninggalkan pesan. Jadi, tidak pernah ada yang diketahui secara pasti penyebabnya. Kasus yang ada di buku ini diambil sekitar bulan September tahun 1999-2000.

(33)

membuka kedok mitos, di bawah ini dapat kita lihat sedikit tulisan mengenai penelitiannya tersebut.

Di Gunung Kidul, salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, ada keyakinan bahwa bunuh diri terjadi disebabkan oleh adanya pulung gantung. Menurut penduduk setempat, pulung gantung merupakan isyarat langit tentang akan terjadinya bunuh diri dengan cara menggantungkan diri. Mereka menggambarkan pulung gantung itu sebagai sinar merah kebiru-biruan di waktu malam yang melintas di langit dengan cepat. Bila suatu saat benda itu muncul dan jatuh di suatu tempat, tak lama di tempat itu akan terjadi peristiwa bunuh diri. Mitos semacam itu hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul. Buku Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul yang ditulis oleh Darmaningtyas ini menelusuri secara

antropologis terhadap fenomena bunuh diri yang selama ini terjadi di Gunung Kidul yang unik itu. Penulis ingin membuktikan, apakah benar tindakan bunuh diri yang terjadi di sana disebabkan oleh mitos pulung gantung? Pulung, yang dalam tradisi Jawa sebagai simbol keberuntungan, mengapa justru dimaknai dalam konteks yang sebaliknya? Tidak adakah faktor lain yang lebih signifikan dan rasional yang menjadi penyebab bunuh diri itu?

(34)

Darmaningtyas menunjukkan dengan data-data dari lapangan bahwa bunuh diri di Gunung Kidul justru lebih terkait dengan kondisi daerahnya yang gersang, tandus, serta kemiskinan yang diderita oleh masyarakatnya. Dari data yang dipaparkan Darmaningtyas, kita bisa melihat bahwa hingga akhir decade 1960-an masyarakat Gunung Kidul masih banyak yang mengalami kekurangan makan. Bahkan, pada tahun 1963-1964 pernah terjadi kelaparan massal dan wabah penyakit kekurangan gizi yang mematikan.

Masyarakat Gunung Kidul mulai mengalami masa perbaikan ekonomi terutama menyangkut kecukupan kebutuhan bahan makan, sekitar tahun 1978, bersamaan dengan mulai berhasilnya program penghijauan yang digalakkan oleh Bupati Gunung Kidul Ir Dharmakum Darmokusumo. Meski telah mengalami perbaikan ekonomi, kemiskinan tetap saja banyak ditemukan di sana. Di daerah yang gersang dan miskin itu, sejak dekade 1980-an banyak masyarakatnya yang melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Darmaningtyas menunjukkan bahwa secara komulatif, jumlah bunuh diri di Gunung Kidul dalam dua tahun terakhir (1999-2000) mencapai 64 kasus. Angka bunuh diri pada tahun 1999 mencapai 38 orang, dibandingkan tahun 2000 yang hanya 26 orang. Umumnya (34 kasus) bunuh diri di Gunung Kidul ini dilakukan oleh orang yang berusia 51-90 tahun, kemudian disusul oleh usia 31-50 tahun (22 kasus), dan hanya delapan kasus pelaku bunuh diri yang berusia di bawah usia 30 tahun. Sedangkan dari jenis kelamin, mayoritas (50 kasus) laki-laki dan hanya 14 kasus yang dilakukan oleh perempuan.

(35)

ketandusan wilayah dengan tingginya angka bunuh diri. Selama dua tahun terakhir, di Kecamatan Tepus terjadi 11 kasus, Paliyan 10 kasus, Playen sembilan kasus orang bunuh diri. Dari data di atas, Darmaningtyas menyimpulkan bahwa fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ternyata bukanlah disebabkan oleh mitos pulung gantung, seperti yang selama ini diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial ekonomi. Berbeda dengan bunuh diri yang terjadi di berbagai Negara, seperti di Amerika, Cina, dan Jepang, di mana penyebabnya lebih pada persoalan ideologi, keyakinan, atau sebagai bentuk aksi protes terhadap suatu rezim yang menindas. Bunuh diri di masyarakat Gunung Kidul disebabkan oleh keputusasaan yang mendalam dan takut dalam menghadapi sulitnya hidup.

(36)

sabuk wanita). Banyaknya kaum laki-laki berumur di atas 40 tahun yang bunuh diri ini, jelas berkorelasi dengan masyarakat patriarkal, di mana kaum laki-laki berperan penting dan punya tanggung jawab besar dalam keluarga dan masyarakat.

Buku ini berasal dari skripsi penulisnya di Fakultas Filsafat UGM yang kemudian data-datanya diperbarui dengan penelitian lapangan. Pada mulanya perspektif yang dipakai adalah filsafat, lalu dalam rangka kepentingan penulisan kembali dalam format buku, digeser menjadi penelitian empiris. Itulah sebabnya, bila di bab tiga dan empat penulis melakukan analisis antropologis, nuansa filsafat masih dapat kita temukan dalam bab pertama di buku ini.

Satu hal mendasar yang perlu digarisbawahi dari buku ini adalah bahwa tindakan bunuh diri di Gunung Kidul sama sekali tidak ada kaitannya dengan mitos pulung gantung. Bagi Darmaningtyas, pulung gantung hanyalah gejala alami biasa yang memiliki makna setelah terjadinya peristiwa (post factum).

(37)

kelahirannya. Lebih dari itu, lewat bagian saran yang dia tulis di akhir buku ini, dia ingin menggugah kesadaran semua pihak untuk mengatasi persoalan yang sesungguhnya terjadi di Gunung Kidul, dan jangan sampai justru mempolitisasikannya dengan mitos yang tak jelas dan tak menyelesaikan masalah itu.

Berdasarkan pandangan masyarakat Gunung Kidul mengenai mitos pulung gantung, seakan-akan bunuh diri itu nasib, dan tidak ada kaitan dengan kinerja pemerintah daerah (khususnya) dari Pemerintah Indonesia pada umumnya. Darmaningtyas dengan penelitian yang dituangkan dalam buku itu membukakan mata semua pihak bahwa mitos hanya meninbobokkan rakyat agar tidak menuding dan menuntut kepada pemerintah.

Dari berbagai kisah mengenai mitos pulung gantung di atas, sudah jelas bahwa pulung gantung keberadaannya dapat dipastikan ada dan nyata. Berbagai kasus bunuh diri terjadi di daerah Gunung Kidul. Meskipun penelitian Darmaningtyas membuktikan fakta-fakta terhadap kasus bunuh diri yang disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi, namun oleh masyarakat setempat tetap saja bahwa bunuh diri yang terjadi alasan utamanya disebabkan pulung gantung. Karena setiap ada korban bunuh diri pasti ada pulung gantung yang jatuh di atap rumah korban. Jadi, kepercayaan masyarakat Gunung Kidul terhadap mitos pulung gantung tidak dapat dihilangkan begitu saja karena sudah mentradisi.

2.3 Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah

(38)

mempercayai mitos. Dalam penelitian ini, penulis lebih menekankan peristiwa yang terdapat pada novel tersebut yakni mengenai adanya mitos pulung gantung di daerah Gunung Kidul.

Masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul dalam novel JG, masih saja percaya pada hal-hal yang berbau mistis tentang pulung, kalang kantung, genderuwo, wewe gombel, siluman, banaspati, kuntilanak, dan segala makhluk lelembut. Salah satu kisah mistis yang terkenal di daerah Gunung Kidul yaitu pulung. Pulung adalah bola api berekor panjang yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik lain dan kemudian jatuh ke suatu tempat (makna secara harfiah berarti anugerah, wahyu, atau pembenar alamiah sebab tanda dari langit).

Pulung dalam novel JG terbagi dua, yaitu :

1. Pulung kabegjan, ialah pulung keberuntungan yang selalu dinanti kedatangannya karena diyakini yang terkena akan menemui kemuliaan hidup.

2. Pulung gantung, ialah pulung kesialan yang kedatangannya dijauhi karena dianggap sebagai jin jahat dan diyakini orang yang terkena akan mengalami gangguan kejiwaan. Dan kebanyakan berakibat pada terjadinya gantung diri.

(39)

Peristiwa bunuh diri karena pulung gantung dalam novel JG, salah satunya di alami oleh Gilang dan Mayang. Mereka adalah tokoh utama dalam cerita, orang tua mereka merupakan korban dari pulung gantung tersebut. Pak Santosa, bapak Gilang dalam cerita merupakan korban pertama yang mati bunuh diri. Sebelum peristiwa tersebut, Gilang dan Mayang kekasihnya malam itu pacaran di atap rumah Mayang. Hal ini mereka lakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh ibu Mayang yaitu Jeng Utari, dengan alasan bahwa Gilang tidak sederajat dengan Mayang yang merupakan keturunan ningrat sedangkan Gilang hanya seorang anak petani biasa. Ketika Mayang dan Gilang sedang asyik berpacaran, tiba-tiba saja Mayang melihat sesuatu di langit yang melesat cepat. Peristiwa tersebut dapat dilihat melalui kutipan di bawah ini, yakni :

Mayang menyungging senyuman paling legit dengan pandangan tetap ke langit. Tapi langit yang bertabur bintang tiba-tiba dikejutkan bola api berekor panjang yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik yang lain dan kemudian melesat jatuh ke arah utara, ke arah rumah Gilang berada. Seisi jagat raya diam serempak menyaksikan fenomena alam yang sangat menakjubkan! (JG hal. 14)

(40)

memperdulikan masalah pulung gantung. Mayang telah mengingatkan Gilang akan hal itu.

Sampai subuh tiba, Gilang baru sampai di rumah dan ia sangat heran karena banyak orang mengerubungi pintu rumahnya. Ia heran dan bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi. Seakan tersentak Gilang ingat akan ucapan kekasihnya malam itu tentang pulung gantung yang jatuh tepat ke arah rumahnya. Ternyata, Pak Santosa bapak Gilang yang menjadi korban bunuh diri karena pulung gantung. Di bawah ini, dapat dilihat kutipannya yakni :

Mendapat firasat buruk, ia segera mempercepat langkahnya. Matanya nanar memandang sekitar yang penuh tanda Tanya. Sampai di dalam rumah, napasnya tercekat, melihat Pak Santosa, bapaknya, tergeletak dengan seutas tali menjerat lehernya. Sebuah kenyataan yang sangat menghentak, bagaimana mungkin bapaknya nekat melakukan itu? Demikian sebuah pertanyaan yang langsung muncul dari hatinya. (JG hal. 23)

(41)

sampai benar-benar kejadian. Mbah Surip menceritakan mengenai pulung menurut budaya Jawa, kutipan tersebut dapat kita lihat di bawah ini :

Menurut khazanah budaya Jawa, pulung itu sebagai perwujudan makhluk halus yang mengubah diri agar dapat leluasa masuk berkeliaran di alam manusia. Penampakan berbentuk bola api melayang-layang di udara. (JG hal. 31)

Mbah Surip juga menceritakan mengenai pulung terbagi dua jenis, seperti yang telah penulis jelaskan di bagian atas. Seseorang bertanya padanya, kapan mulai munculnya mitos pulung gantung itu. Jawaban atas pertanyaan itu, dapat kita temukan pada kutipan di bawah ini, yakni :

Bermula pada abad ke-15 ketika terjadi perang Majapahit melawan Demak, yang menyebabkan banyak putra Majapahit lari menyelamatkan diri ke Gunung Kidul yang waktu itu masih berupa hutan belantara. Tempat itu dirasa aman sebagai tempat bersembunyi dari kejaran musuh. Ada yang mampu bertahan dengan kondisi hutan belantara, tapi banyak juga yang tidak tahan sehingga memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. (JG hal. 32)

(42)

sumur, atau menembak diri. Tetapi, dari berbagai kematian tidak wajar itu, orang yang rumahnya kejatuhan pulung konon paling banyak memilih menggantung diri sesuai dengan nama penyebabnya: pulung gantung. Sedikit kutipan di bawah ini dalam novel JG yang mengabarkan peristiwa kematian yang tidak wajar, yakni :

Ada lagi yang mati! teriak seorang penduduk desa dengan wajah pucat berlari ke sana kemari mengabarkan sebuah kematian dari berbagai kematian tak wajar biasanya. (JG hal. 34)

Kutipan di atas, menceritakan lagi peristiwa bunuh diri dan hal ini segera menyebar ke orang-orang yang ada di sekitar, menyebar dari mulut ke mulut hingga ke seluruh penjuru desa bahkan melesat hingga ke kota yang menjadi satelit bagi perkembangan desa-desa itu. Desa Wiwitan daerah Gunung Kidul tepatnya Sendang Kramat dalam novel JG dipercaya sebagai tempat awal munculnya pulung gantung, sampai sekarang semakin tidak tersentuh dan tambah banyak cerita mengenai hal tersebut. Memberi efek magis dan psikologis pada masyarakat sekitar. Sementara, para kiai dan pemuka agama lainnya juga pemuka masyarakat gencar melakukan berbagai upaya pencegahan tindakan bunuh diri, sekaligus untuk menepis isu-isu yang tidak wajar.

Peristiwa bunuh diri dalam novel JG juga dialami oleh keluarga Mayang, kekasihnya Gilang. Korban pulung gantung tersebut adalah Jeng Utari, ibunya Mayang. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada kutipan di bawah ini :

Jeng Utari masih saja gelisah, putus asa, serta kalap mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk bunuh diri. (JG hal. 163)

(43)

Kira-kira pakai apa ya? bisiknya penuh tanya, banyak pilihan. Obat serangga? Ah, tapi aku bukanlah pengganggu yang mesti dibasmi. Pisau? Aku bukan penzinah yang mesti dirajam. Golok? Ah, tapi aku bukan perampok yang mesti dibacok. Pil? Tidak, aku bukan penderita yang mesti diobati. Sumur? Jangan, aku bukan pengkhayal yang mesti dijungkal. Hmm, api? Ah, tapi aku bukan pendosa yang mesti dibakar. Bingung. Apa lagi ya? Ah, semuanya itu tak sesuai dengan diriku! (JG hal. 163)

(44)

dalam koordinat yang layak, sehingga penggolongan derajat kemanusiaannya tidak mempengaruhi kebahagiaannya.

Akhmad Sekhu melihat stratifikasi sosial masyarakat Jawa secara khusus. Di dalam hal ini perlu diketahui penggolongan manusia dalam kelas-kelas sosial, seperti diklasifikasikan oleh Geertz (1989: VII) berikut ini,

Tiga lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan kantor pemerintahan) yang dibarengi dengan latar sejarah kebudayaan yang berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya: Abangan (yang menekankan pentingnya aspek-aspek animistik), Santri (yang menekankan aspek-aspek Islam), dan Priyayi (yang menekankan aspek-aspek hindu.

Kehidupan tokoh dalam cerita novel JG terdapat ketiga stratifikasi sosial Geertz tersebut. Kehidupan abangan ditonjolkan melalui tokoh Pak Santosa, kehidupan priyayi melalui tokoh Jeng Utari sedangkan kehidupan santri ditonjolkan melalui tokoh para kiai yang turut berperan serta dalam cerita.

Istilah abangan sering dikaitkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Dalam novel JG tampak kehidupan seperti ini dialami oleh keluarga Gilang. Gilang hanyalah seorang anak petani biasa di desanya. Kutipannya seperti berikut ini :

(45)

Gilang adalah anak seorang petani biasa, keluarga Gilang hidupnya pas-pasan dan hal itu tidak sebanding dengan keluarga Mayang. Mayang adalah keturunan ningrat, ibunya merupakan golongan priyayi. Golongan ini memiliki perbedaan dengan abangan dari status pekerjaan dan pandangan hidupnya menerima ajaran agama tanpa melaksanakannya. Istilah priyayi diterapkan pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tingi atau rendah. Adapun kutipan yang menunjukkan bahwa keluarga Mayang merupakan golongan priyayi dapat dilihat kutipannya di bawah ini :

Toh priyayi itu tetap melarangnya dengan alasan Mayang yang tjah ningrat darah biru tidak cocok bila disandingkan dengan Gilang yang rakyat biasa. (JG hal. 10)

Seperti dapat dilihat pada kutipan di atas, bahwa keluarga Mayang merupakan golongan priyayi yang sangat memperhatikan perbedaan status sosial dalam masyarakat.

Golongan yang mendapat ruang cerita sedikit adalah santri. Golongan ini diterapkan pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama dalam perkampungan dekat sebuah mesjid. Hal itu dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut ini:

a. Tidak jauh dari tempat itu, di sebuah kantor madrasah. Sembilan orang kiai sedang berkumpul, Kiai Khozin, Kiai Abdul Ghoni, Kiai Amin, Kiai Ramad, Kiai Satyo, Kiai Tasor, Kiai Kusen, Kiai Tarmidi, dan Kiai Jai. Mereka biasa berkumpul untuk membahas berbagai persoalan masyarakat yang aktual, termasuk kali ini soal mitos pulung gantung yang merenggut nyawa Pak Santosa. (JG hal. 33)

(46)

Dari kutipan a dan b di atas, dapat dilihat bahwa keduanya termasuk ke dalam golongan santri, karena keyakinan yang kuat akan agama dan melihat petunjuk kebenaran melalui sebuah kitab suci agama Islam yaitu Al-Qur’an.

Sementara itu, kembali lagi pada kisah kematian Jeng Utari. Selama ini Jeng Utari memakai pelindung untuk menjaga agar tubuhnya tidak masuk jin. Seperti kutipan di bawah ini:

Tiba-tiba terdengar suara, Mbah sudah mengisi pagar gaib pada tubuhmu agar tak mempan kalau diserang jin! Tapi perlu Mbah ingatkan! Jangan sekali-kali membiarkan pikiran kosong karena itu berarti sama saja mempersilahkan jin msuk! (JG hal. 164)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Jeng Utari diingatkan keras oleh hatinya agar tidak melakukan hal bodoh yang dapat menghilangkan nyawanya dalam sekejab. Tetapi, ia juga mendengar suara lain pada saat itu yaitu suara mendiang suaminya yang mengajaknya untuk pergi bersama meninggalkan dunia nyata. Kemudian, peristiwa itupun terjadi. Bunuh diri karena pulung gantung yang jatuh tepat menuju ke rumah Jeng Utari beberapa malam sebelumnya, hal tersebut dilihat pada kutipan-kutipan di bawah ini:

a. Dia memilin-milin kain pengikat pinggang itu menjadi tali. Ujungnya lalu diikatkan di langit-langit kayu ruang kamar, ujung lainnya dikalungkan ke lehernya. Betapa kini dia sangat kalap, bertekad bulat bunuh diri. Hatinya benar-benar sudah tertutup, buntu, dan tidak bisa berpikir jernih keduali ingin lari dari kenyataan hidup ini. (JG hal. 164)

(47)

c. Tampak sekali ia kini sangat sekarat dengan setagen erat mengalung di lehernya, menggantung pada langit-langit kayu ruang kamar. Hampir bersamaan terakhir sekali, kaki kejat-kejat ingin sekali menginjak di lantai lagi, tangan menggapai-gapai ingin sekali menyentuh langit-langit, perut kembang kempis lalu mulai berhenti, tubuh kejang-kejang lalu membujur kaku, telinga kuncup mekar lalu mengerut, mata jelalatan lalu melotot dengan bola mata hampir keluar dari kelopak, hidung kembang kempis lalu menggembung, dan mulut komat-kamit lalu menganga karena menahan rasa sakit teramat sangat. Serasa ruh sangat alot keluar dari tubuh sehingga malaikat mencabutnya terpaksa dengan keras, kasar, dan tanpa ampun lagi karena kenekatannya bunuh diri dengan cara menggantung diri. (JG hal. 165)

Seperti yang sudah disebutkan pada uraian di atas bahwa, Jeng Utari telah mengingkari kodrat Tuhan yang memberinya kehidupan. Ia mendahului kehendak Tuhan, ruhnya pun tidak akan sampai di hadapan Tuhan, tetapi akan terus melayang-layang di angkasa sepanjang masa.

(48)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap novel Jejak Gelisah karya Akhmad Sekhu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Novel JG adalah gambaran kehidupan manusia yang percaya dan tidak terlepas dari mitos.

2. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul dalam novel di dasarkan oleh garis keturunan dan kekayaan. Oleh sebab itu, kelas abangan, santri, dan priyayi statusnya dapat dilihat sesuai keyakinan, pekerjaan, dan latar belakang tokoh dalam cerita.

3. Mitos pulung gantung dalam novel JG, tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan masyarakat Jawa daerah Gunung Kidul karena sudah mentradisi, meskipun sebagian masyarakat modern menyangkal hal tersebut.

Saran

(49)
(50)

DAFTAR PUSTAKA

Bascom (dalam Danandjaya). 1986. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafitipers. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:

Ichtiar Baru.

Danandjaya, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafitipers. Darma, Budi. 1983. Solilokui. Jakarta: Gramedia.

Darmaningtyas. 2000. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Salwa Press.

Eneste, Pamusuk (Ed.). 1984. Proses Kreatif. Jakarta : Gramedia

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hartoko, Dick. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Gama Media.

Jassin. 1983. Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia. Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

. 1981. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Nur Cahaya.

(51)

Kern (dalam Danandjaya). 1986. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafitipers.

Kridalaksana, Harimurti. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Pradopo, Rahmad Djoko. 2001. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media.

Santoso, Iman Budi. 2000. Talipati. Bandung: Jalasutra. Sekhu, Akhmad. 2005. Jejak Gelisah. Jakarta : Grasindo.

Strauss, Levi. 2001. Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Galang Press. Sudjiman, Panuti (Ed.). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sukapiring, Peraturen. 1990. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Medan: Fakultas Sastra USU.

Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nurcahaya.

. 1981. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Nur Cahaya.

. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni. Susesno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia.

(52)
(53)

BIOGRAFI PENGARANG

Akhmad Sekhu lahir 27 Mei 1971 di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Dibesarkan di Yogyakarta, alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta (lulus tahun 2000) ini baru “hijrah” ke Jakarta sejak 2001.

Ia aktif menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur kota, kupasan film, telaah tentang televise di berbagai media massa, antara lain Majalah Sastra Horison, Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Suara Muhammadiyah, Kedaulatan Rakyat, Minggu

Pagi, Bernas, Yogya Post, Solo Post, Aufklarung, Kuntum, Bakti, Annida, Sabili,

Gaul, Cerita Remaja, dll. Karya-karyanya dapat disimak di berbagai buku

antologi komunal; Cerita dari Hutan Bakau (1994), Serayu (1995), Fasisme (1996), Mangkubumen (1996), Zamrud Khatulistiwa (1997), Tamansari (1998), Jentera Terkasa (1998), Gendewa (1999), Embun Tajjali (2000), Jakarta Dalam

Puisi Mutakhir (2001), Nyanyian Integrasi Bangsa (2001), Malam Bulan (2002),

Nuansa Tatawarna Batin (2002), Aceh dalam Puisi (2003), Bisikan Kata Teriakan

Kota (2003), Maha Duka Aceh (2005), dll. Catatan tentang kesastrawanannya

masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), dll. Sedang buku antologi tunggalnya; Penyebrangan ke Masa Depan (Puisi, Pengantar Piek Ardijanto Soeprijadi, Penerbit Sastra Gading, Yogyakarta, 1997) dan Cakrawala Menjelang (Puisi, Pengantar DR. faruk HT dan sambutan Sri Sultan Hamengku Buwno X, Penerbit Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta, 2000).

(54)

Jakarta (2004). Cerpennya “Berangkat” dijadikan scenario audio-visual untuk film independent. Mengikuti berbagai acara penting; Refleksi Setengah Abad RI di Kompleks Makam Seniman Giri Sapto Imogiri Bantul (1995), Pertemuan 50 Sastrawan Indonesia di Purwokerto (1995), Pertemuan Sastrawan Indonesia dan Pertemuan Sastrawan Nusantara di Padang, Sumatera Barat (1997), Dasawarsa Kebudayaan Nusantara di Yogyakarta (1997), Pasar Puisi di Soo (1998), Festival Kesenian Yogyakarta (2000), Musyawarah Seniman Jakarta (2002), Temu sastra Jakarta di TIM Jakarta (2003), Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) di Banten (2004).

Referensi

Dokumen terkait

Melalui hasil perhitungan yang telah dilakukan didapat nilai f hitung sebesar 8,262 yang lebih besar dari nilai F tabel 3,16 yang berarti bahwa hipotesis dalam

Dengan keluarnya Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor: DJ.II/542 tahun 2013 membuat gerak langkah kursus Pra Nikah semakin jelas, ditambah dengan Surat Edaran

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan komunikasi Ilmih siswa melalui implementasi kartu kuartet pada pemanasan global dan mengetahui respon siswa

3) Pihak Kepolisian memberikan pemahaman dan pengertian kepada  pihak masyarakat dan khususnya kepada para kalangan remaja yang banyak bersentuhan dengan masalah

Selain itu program orientasi ini diikuti oleh perawat/ bidan senior yang mutasi dari lain yang belum pernah bekerja di rumah sakit ini guna memahami lingkungan Rumah Sakit

; IHPB Bahan Bangunan/Konstruksi pada Oktober 2010 naik sebesar 0,26 persen terhadap bulan sebelumnya, antara lain disebabkan kenaikan harga bahan bangunan dari kayu, barang

Pada acara tersebut juga disampaikan dana bantuan PLN Batubara untuk Komunitas Taufan yang diberikan oleh peserta MME 68 yang juga perwakilan pegawai PLN Batubara, yaitu Surya

Iz definicije marketinga smo vidjeli da je to zasebna funkcija u savremenoj kompaniji u kojoj se odvija više različitih aktivnosti. Te aktivnosti su se razvijale uporedo sa