• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN II.1. Cikal Bakal Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Pada saat dideklarasikan tanggal 5 Januari 1973, nilai-nilai Islam yang menjadi unsur utama pembentuk partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukhuwah dan semangat perjuangan Islam, keempat partai Islam yang berfusi itu kemudian sepakat menerima Islam sebagai asas partai. Adapun untuk memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, PPP menggunakan gambar Ka’bah – yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam – sebagai lambang partai46.

Jika ditelusuri secara mendalam, keempat partai yang berfusi itu sesungguhnya sudah memiliki pengalaman dan jam terbang politik yang cukup lama. NU didirikan pada 31 Januari 1952 dan menjadi Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Partai Syarikat Islam Indonesia merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1912. Adapun SI sendiri merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sudah dibentuk H. Samanhudi pada tahun 1911. Partai Islam Perti cikal bakalnya berawal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 5 Mei 1928 di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah, dan berdasarkan rapat pleno pengurus besarnya pada tangal 22 November 1945, disepakati untuk dijadikan sebagai oartai politik dengan nama Partai Islam Perti (PI Perti). Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh berbagai oleh organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi.

      

46

Tim Litbang Kompas, 2004. Partai-Partai Politik Indonesia ; Ideologi dan Program 2004 – 2009. Jakarta:penerbit Buku Kompas. , Hlm 85

Tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan fusi pada dasarnya lahir dari campur tangan kekuasaan untuk meredam dinamika politik diluar haluan partai pemerintah. Fusi dijadikan kerangkeng untuk pencapaian kemaslahatan bangsa dan Negara. Fusi juga sekaligus digunakan untuk memperlemah kekuatan partai-partai Islam dalam mendulang perolehan suara dan pembentukankoalisi antar partai Islam47.

Sejarah mencatat pada awal Soeharto berkuasa, hubungan pemerintah dengan partai-partai politik masih berlangsung dengan baik. Hal itu terlihat ketika pemerintahan Soeharto mengadakan Pemilu pada tahun 1971. Dengan mengakomodasi semua partai yang ada. Suasana pada awal-awal Orde Baru memang penuh dengan euphoria. Untuk sementara, keran kebebasan berpendapat dibuka. Diskursus tentang identitas Indonesia dan bagaimana membangun masa depan bangsa juga kerap dilangsungkan di mesjid dan kampus-kampus.

Sayang, hubungan baik tersebut tidak berlanjut karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik sebagaimana halnya yang dilakukan Soekarno pada tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokkan partai politik berdasarkan garis agama (Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Suasana historis seperti ini memang tidak menguntungkan bagi perjuangan partai pada masa selanjutnya.

Akan tetapi, kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa paksaan, secara internal hubungan antar unsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut, tetap menunjukkan seusana

      

47

persaudaraan yang solid.48 Fusi seakan-akan menjelma menjadi motivasi dan inspirasi sekaligus kesadaran untuk mengakumulasikan segenap potensi umat Islam yang tercerai-berai. Selain itu, fusi juga dijadikan arah bagi keberlangsungan partai dalam memperjuangkan aspirasi umat sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan umat.

Setelah meleburkan diri ke dalam PPP, berarti segala aktivitas politik dari keempat partai Islam tersebut dikonsenterasikan untuk PPP demi kemenangan PPP, sedangkan segala kegiatan yang bukan kegiatan politik dikembalikan kepada organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala. Partai NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi Perti.

Selanjutnya, basis masa dari keempat partai pembentuknya itu cukup memberikan kekuatan besar bagi perjuangan PPP. Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan yang sudah lama berkiprah dalam politik, reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya memang sangat dipengaruhi oleh basis massa dan penampilan para tokoh dari keempat partai berfusi tersebut. (lihat Tabel I.1)

PPP memang terbentuk dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang jelas sehingga kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu 1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dilihat dari perolehan suara pada Pemilu 1971 dari masing-masing partai yang kemudian berfusi, dapat dikatakan bahwa ketika akan menghadapi Pemilu 1971 partai yang dipimpin oleh H.M.S Mintaredja ini sudah dimodali 94 kursi.

      

48

Tabel I.1 Perolehan Suara 4 Partai Islam Pada Pemilu 1971

NO PARTAI SUARA % KURSI

1 NU 10.213.650 18.68 58

2 Parmusi 2.930.746 5.36 24

3 PSII 1.308.237 2.38 10

4 Perti 381.308 0.69 2

JUMLAH 14.833.942 27.12 94

Sumber : Diolah dari data di website www.kpu.go.id

Melihat sejarah berdirinya, PPP memang diharapkan dapat menjadi penyelamat aspirasi umat Islam. Dengan demikian, semangat fusi sejati harus mampu menjadi perekat berbagai kelompok kepentingan sekaligus menjadi wadah dalam memperjuangkan problem keumatan dan kebangsaan. Untuk itu, PPP harus membuka diri dan menyambut dengan tangan terbuka berbagai komponen bangsa yang berbeda untuk bersama-sama kembali berjuang melalui wadah Partai Persatuan Pembangunan. Tentunya dengan kesiapan dan persiapan matang, terencana, dan berkesinambungan sehingga tidak memunculkan persoalan baru dikemudian hari.49

II. 2. Partai-Partai yang Berfusi

Partai Nadlatul Ulama (NU) secara formal didirikan pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan paham Ahlusunnah Wal Jama’ah, peran

      

49

politik NU terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan K.H. Hasyim Asy”ari ini bergabung dengan Majlisul Islam Ala Indonesia (MIAI) tahun 1939. MIAI sendiri adalah organisasi yang bertujuan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa kependudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isisnya antara lain mengizinkan rakyat mendirikan partai politik dalam rangka menyalurkan berbagai paham yang ada di masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta tersebut, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi – Partai ini berbeda dan terlepas sama sekali dengan nama organisasi yang sama dengan zaman Jepang. Karena Partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.50

Sebagai organisasi konfederasi, kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam Partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU diposisi yang kurang “bergengsi” cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan . Hal ini membuat NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada tanggal 15 April 1952. Perpecahan ini berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi

      

50

pada saat itu menempati posisi kedua setelah setelah PNI, sedangkan NU berada di tempat ketiga di atas PKI. Peran politik NU ini terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik, NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.213.650 suara (18.68%) dari 54.651.770 pemilih pada Pemilu 1971. Posisi ini persis di bawah Golkar, partai binaan pemerintah saat itu.

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah kelanjutan dari Syarekat Islam (SI) yang dibentuk H.O.S. Tjokroaminoto pada 1912. SI sendiri merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan orientasi perjuangan partai ini dari ubahan orientasi persoalan-persoalan ekonomi menjadi persoalan-persoalan politik. SI kemudian bergerak secara terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam unuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.51

Ketika Mayumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi popular di masyarkat ketimbang induk semangnya, SI atau SDI. Pada Pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih.

      

51

Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah PKI.

Partai Islam Perti sebetulnya berawal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada tanggal 5 Mei 1928 di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti dalam syariat ibadah mengikuti madzhab Imam Syafi’I Rahimahullah. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan golongan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Para elite Perti beranggapan dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai politik yang diizinkan hidup oleh Presiden Soekarno. Selain Perti ada PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Murba, PSII, IPKI, serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Partai Musimin Indonesia (Parmusi). Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena dianggap terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati pun, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi

membuat partai ini tampil memikat dikalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan NU.

II.3. Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Ketika dideklarasikan, warna Islam yang menjadi unsur dominan pembentukan partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi pada tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asas PPP. Bahkan, untuk memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam lalu diusung menjadi lambang partai.

Partai Persatuan Pembangunan sendiri adalah partai jelmaan dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Jika ditelusuri, pengalaman politik keempat partai ini sudah dirintis sejak lama. Nahdlatul Ulama, secara formal didirian pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan faham Ahlussunah Wal Jamaah. Kendati sebagai organisasi keagamaan peran politik NU terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan KH Hasyim Asy’ari ini bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1939. MIAI ini sendiri adalah organisasi yag bertujuan untuk

memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).52

Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isinya antara lain pemerintah mengizinkan rakyat untuk mendirikan partai politik dalam menyalurkan segala paham dalam masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta itu, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi, dimana partai ini berbeda dan terlepas sama sekali dengan nama organsasi yang sama pada zaman Jepang. Karena partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.

Sebagai organsasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU pada posisi yang kurang bergengsi cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan. Hal ini membuat NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Perpecahan ini lalu berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi pada pemilu tersebut menempati posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU di tempat ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik,

      

52

http://klikpolitik.blogspot.com/2008/01/analisis-partai.html. (opini oleh Sultani : Sejarah PPP ) diakses pada tanggal 14 februari 2010.

NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.214.795 suara (18,68 persen) dari 54.651.770 pemilih dalam Pemilu 1971. Posisi ini persis dibawah Golkar, partai binaan pemerintah saat itu.

Partai Syarikat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk HOS Tjokroaminoto pada 1912. Sarekat Islam sendiri merupakan kelanjutan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk H. Samanhudi tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan politik SI bergerak secara terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam untuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.53

Ketika Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi populer di masyarakat ketimbang induk semangnya, SI dan SDI. Pada pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih. Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah PKI.

Partai Islam Perti sebetulnya cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera

      

53

Koirudin, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 17

Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Pada elite Perti beranggapan dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Selain Perti, ada PNI; NU; PKI; Partai Katolik; Partai Murba; PSII; IPKI dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan tahun 1968 yag diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati baru, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi membuat partai ini tampil memikat di kalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan NU.

Ketika Soeharto baru berkuasa, hubungan pemerintah dan partai politik saat itu masih berlangsung dengan baik. Pemerintah lalu mengadakan Pemilu tahun 1971 dengan mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Hubungan

baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan Soekarno tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokan partai politik berdasarkan garis agama (baca: Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yaitu : Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa pakasaan, secara internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut tetap menunjukkan suasana persaudaraan yang solid. Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh KH Idham Khalid (NU), HMS Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti) dan KH Masykur (NU) dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui perjuangan partai politik.

Dengan meleburkan diri ke dalam PPP itu berarti segala aktifitas politik dikonsentrasikan untuk PPP. Sementara segala kegiatan yang bukan kegiatan politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Partai NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi Perti.54

      

54

Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan politik yang sudah lama berkiprah dalam politik reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi tersebut. Sebut saja peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tahun 1973. Dari semua anggota DPR hanya PPP yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut karena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang diikuti dengan aksi walkout itu berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut.

Selain itu, sebagai wadah dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang sudah jelas di masa lalu, kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu 1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dihitung perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi, Parmusi 26, PSII 10, dan Perti 2 kursi. Itu artinya ketika akan menghadapi Pemilu 1977 partai yang dipimpin oleh H. MS. Mintaredja ini sudah dimodali 96 kursi.

Pada Pemilu 1977 partai yang membawa panji Islam ini berhasil meraup 18.745.592 (29,29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Dengan demikian, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil merebut 99 kursi untuk mendudukkan wakilnya di DPR. Penambahan tiga kursi ini bertolak belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi, dan PDI satu kursi. Sukses PPP kali ini tidak lepas dari sokongan NU sebanyak 56 kursi, Parmusi 25, PSII 14, dan Perti 4 kursi.55

Sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat ketika muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan

      

55

Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978. Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman itu membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Perlawanan lain yang dilakukan juga oleh PPP adalah rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, dan Pedoman Pengahayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam TAP MPR.

Kekompakan dalam PPP mulai terganggu ketika pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU Pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982. Pergesekan terjadi ketika kelompok NU yang merupakan mayoritas dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No.2/1980. Ketidakhadiran NU tersebut berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Untuk diketahui tanggal 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi duduknya parpol dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin terselanggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber). Usulan tersebut ditolak oleh Soeharto, presiden saat itu. Akhirnya DPP PPP memutuskan menerima kedudukan parpol dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto.

Keputusan ini kemudian membuahkan perselisihan antara kelompok NU di DPR (yang mendapat dukungan dari PBNU) dengan Ketua Umum DPP PPP Dr. J. Naro, SH maupun pimpinan lain dari NU yang mengikuti kebijakannya. Perselisihan ini ternyata berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam

penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu berlarut-larut yang akhirnya bermuara pada konflik antara kubu NU dan kubu non-NU.56

Konflik tersebut membawa benih-benih perpecahan di dalam tubuh PPP. Pada Pemilu 1982, perolehan suara PPP hanya 94 kursi. Hilangnya lima kursi tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan NU.

Untuk mengakhiri konflik tersebut, dalam Muktamarnya yang ke 27 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk kembali ke Khiitah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP. Keputusan yang dibuat pada akhir tahun 1984 itu lalu membuat NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya itu. Secara operasional, keputusan kembali ke Khittah 1926 oleh para kiai lokal diartikan sebagai tindakan “balas dendam” kepada PPP dengan cara menarik dukungan mereka dari partai yang menjadi satu-satunya saluran aspirasi politik

Dokumen terkait