• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance)

4.4. Deskripsi Penemuan

4.4.1. Merasa kebutuhan di panti belum sepenuhnya tercukupi, contohnya makanan yang disiapkan dari panti. Namun hal tersebut bukan menjadi masalah, oleh karena itu riset partisipan merasa untuk tetap mengucap syukur dan berterimakasih atas berkat yang didapat karena semua yang diperoleh merupakan pemberian dari Tuhan Yesus.

4.4.2. Riset partisipan juga mengetahui bahwa ia siap jika suatu saat nanti akan dipanggil oleh Tuhan. Hal ini terjadi karena kehidupannya sudah tua dan tidak akan lama lagi, sehingga

sisa-sisa kehidupan mereka ini akan mereka jalani sebaik-baiknya.

4.4.3. Para lansia juga mendapatkan haknya, seperti perkunjungan dari dokter dan perawat yang datang untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Walaupun para lansia sudah tua namun kesehatan para lansia perlu untuk diutamakan.

4.4.4. Merasa puas, senang, dan sejahtera untuk tinggal di panti karena di panti para lansia bisa mendapatkan tempat untuk tinggal, fasilitas seperti makanan, pakaian dan memiliki teman yang sebaya. Para lansia juga merasa terlindungi karena banyak orang-orang yang datang berkunjung untuk memberikan sumbangan, sehingga para lansia mengetahui bahwa banyak orang di sekitarnya yang peduli.

4.4.5. Lansia juga mengetahui bahwa pengalaman masa lalu sebenarnya lebih menyenangkan karena bisa melakukan segala hal, bisa mencari uang sendiri, namun semuanya itu hanya bersifat sementara. Kenyataannya kehidupan ini terus berjalan dan masa tua pun harus diterima dan tetap dijalani dengan penuh syukur.

4.5. Pembahasan

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa kesejahteraan lansia di panti sudah baik. Riset partisipan yang tinggal di Panti merasa bahwa mereka sudah puas dan sejahtera untuk tinggal di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salatiga. Hal ini terbukti dengan adanya 6 dimensi kesejahteraan lansia yaitu:

4.5.1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa enam Lansia menyadari terhadap sikap positif yang dimilikinya sehingga lansia dapat menikmati hidupnya dan bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Lansia yang tinggal di Panti Werdha Sosial dan Mandiri tidak merasa kesepian karena dapat tinggal dengan teman sebaya, seiman dan bisa melakukan segala aktifitas yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Perlmutter dan Hall (1992) bahwa Panti dapat memberikan hal positif bagi penghuninya dan membuat lansia untuk bisa berinteraksi dengan teman sebaya yang dapat meningkatkan semangat hidup, aktivitas sosial dan kepuasan tempat tinggal.

4.5.2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations With Others)

Menurut lansia menjalani hubungan yang baik antar sesama baik itu orang-orang disekitar panti ataupun penghuni panti adalah

dengan tidak menimbulkan masalah. Lansia menyadari bahwa hubungan yang dijalani menunjukkan hubungan yang positif dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori dari Ryff (1995), yang mengungkapkan bahwa hubungan yang positif adalah kemampuan dari individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain disekitar. Individu yang tinggi dalam dimensi ini akan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain akan terisolasi, merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.

4.5.3. Otonomy (Autonomy)

Lansia memiliki otonomi yang baik dikarenakan lansia secara bebas dapat menentukan mana yang baik dan tidak baik dalam suatu hal dan bisa menentukan untuk mengikuti atau tidak suatu kegiatan yang diadakan oleh panti. Lansia juga melarang jika ada yang tidak benar dalam melakukan suatu hal. Seperti yang dijelaskan oleh Keyes, Ryff & Singer dalam Papalia, Olds, Feldman & Gross (2004), bahwa orang yang memiliki otonomi yang baik dapat melakukan pengambilan keputusan berdasarkan diri sendiri, tidak tergantung, dapat menahan tekanan sosial untuk

berpikir dan membuat keputusan di jalan yang tepat, dapat mengatur perilaku dan menilai diri sendiri.

4.5.4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Lansia menyadari bahwa lingkungan yang bersih itu sangat penting. Lingkungan yang bersih tergantung pada diri sendiri. Adanya kesadaran dari diri lansia maka secara tidak langsung muncullah aktifitas-aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari oleh lansia. Seperti yang dijelaskan oleh Ryff (dalam Lopez & Snyder, 2004) dikutip oleh Novalia, (2011), bahwa penguasaan lingkungan melibatkan kemampuan individu dalam mengatur dan mengubah lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental. Individu yang sehat mental dan matang adalah individu yang memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dirinya, mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar diri dan memanipulasi serta mengontrol lingkungan sekitarnya yang kompleks. Sebaliknya menurut Ryff & Keyes (1995), individu yang rendah dalam dimensi ini merasa sulit untuk mengatur hidup sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan situasi di sekelilingnya, tidak peduli pada sekitar dan kehilangan kontrol diri.

4.5.5. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Lansia mengetahui bahwa hidup yang dijalaninya memiliki makna tertentu yaitu, adanya perubahan dalam hidupnya dari dulu hingga sekarang. Lansia juga merasakan hidup di Panti Werdha lebih mensejahterakan dibanding di rumah sebelumnya dan juga bisa melakukan segala aktifitas yang diinginkan. Hal ini membuat lansia untuk tetap bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sudah didapat.

Tujuan hidup Lansia adalah siap untuk menghadapi kematian. Merasa bahwa hidup ini sudah tua sehingga rasa takut akan Tuhan juga ditunjukkan dalam keseharian lansia seperti, mengikuti ibadah, ke Gereja, dan mengikuti kegiatan kerohanian lainnya. Hal ini sesuai dengan teori Ryff dalam Lopez & Snyder (dikutip oleh Novalia, 2010), bahwa individu yang dapat berfungsi secara positif adalah individu yang memiliki tujuan, intensi, dan arahan yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknaan hidupnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikkan sebagai individu yang memiliki tujuan dalam hidup dan mampu memberi makna pada hidupnya baik masa sekarang maupun masa lalu. Menuut Ryff, 1995 (dikutip oleh Fivin, 2013) yang menjelaskan bahwa dimensi ini dapat dioperasionalkan dalam tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Orang yang sejahtera secara psikologis adalah orang

yang menemukan makna hidupnya. Sedangkan McGregor & Little (1998) dan Compton (2000), (dalam jurnal Sarvatra), mengungkapkan bahwa agama memberikan arti pada tiap individu. Agama juga dapat menghilangkan kecemasan yang ada dan rasa takut akan kematian.

4.5.6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Lansia menyadari bahwa hidup yang dijalaninya memiliki arti, merasa bersyukur untuk setiap kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhan. Lansia juga berpikir positif dengan cara meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diinginkan agar tidak merasa bosan untuk tinggal di Panti. Sesuai dengan teori Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004 (dikutip oleh Novalia, 2010) bahwa tercapainya fungsi positif yang optimal tidak hanya digambarkan ketika individu sudah berhasil mencapai suatu kriteria tertentu, tetapi juga ketika dirinya menumbuhkan, mengembangkan, dan meluaskan potensi atau fungsi dirinya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini memiliki pandangan bahwa dirinya selalu berkembang, terbuka pada pengalaman baru, memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensi diri, mampu melihat perkembangan diri dan perilakunya sepanjang waktu, dan melakukan perubahan dengan cara-cara tertentu yang merefleksikan pengetahuan diri. Namun sebaliknya, menurut Ryff

dan Keyes (1995), mengatakan bahwa individu yang rendah dalam dimensi ini merasa bahwa hidup akan berhenti (stagnation), kehilangan kemampuan untuk meningkatkan diri sepanjang waktu, merasa jenuh dan merasa bahwa hidupnya tidak menarik lagi, dan merasa tidak mampu untuk membangun sikap atau perilaku baru.

Dari hasil penelitian juga terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia yang tinggal di Panti Werdha, yaitu:

a. Faktor Pengalaman Hidup

Lansia mengungkapkan bahwa hidup yang dijalaninya perlu untuk disyukuri dan untuk bisa hidup sampai dengan sekarang itu merupakan suatu anugerah terbesar dari Tuhan. Tidak hanya itu, lansia juga bersyukur untuk setiap berkat yang diterimanya baik dari orang sekitar maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan teori Andrew & Robinson, 1991 (dikutip dalam Ika, 2007) bahwa pengalaman hidup dialami individu pada suatu tahapan kehidupannya, sepertievaluasi terhadap keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, atau komunitas dan apa yang dirasakan individu tentangpengalaman hidupnya mempengaruhi penilaiannya terhadap kepentingansecara umum.

b. Faktor Dukungan Sosial

Kerekatan emosional (Emotional Attachment) yang dialami oleh lansia yaitu lansia merasa hubungan yang dijalani dengan seluruh anggota panti sudah baik, menganggap bahwa seluruh anggota panti merupakan keluarga dan saudara. Tidak hanya anggota panti, melainkan orang-orang diluar panti juga bisa menjadi orang terdekat dari lansia. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa seseorang memiliki kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman, tentram, dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Secara umum hal ini didapat dari pasangan hidup atau anggota keluarga/teman dekat/sanak keluarga yang akrab dan memiliki hubungan yang harmonis. Adanya orang ke dua, terutama yang tidak memiliki pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan sosial atau dukungan moral (moral support).

Integrasi sosial (Sosial Integration) juga dialami oleh lansia yang tinggal di Panti Werdha, dimana lansia meluangkan waktunya untuk mengikuti berbagai kegiatan baik yang disediakan oleh Panti maupun kegiatan di luar Panti seperti bersih-bersih, mengikuti ibadah yang disediakan oleh Panti, kegiatan PKK, ke Gereja, dan membantu lansia lainnya yang sedang membutuhkan

pertolongan. Dengan mengikuti kegiatan yang ada, lansia tidak merasa jenuh dan bosan untuk tinggal di Panti sehinga bisa mengeskpresikan apa yang diinginkan.

Hal ini juga didukung oleh teori dari Higgins (1989) yang mengatakan bahwa panti juga memberikan kesempatan lansia untuk mengambil peran dalam aktifitas sehari-hari seperti memasak atau yang lainnya, tingkat kepuasan mereka terhadap panti akan lebih tinggi, karena kualitas pengalaman di panti juga dapat ditingkatkan dengan memberikan tanggung jawa dan kebebasan melakukan kegiatan sehari-hari kepada penghuni seperti layaknya rumah sendiri. Kemudian menurut teori dari Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa jenis dukungan sosial ini memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk berbagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersama-sama. Hal ini akan membuat lansia merasa aman, nyaman, serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok. Disamping itu lansia juga merasa bahagia, ceria, dan dapat mencurahkan segalan ganjalan yang ada pada dirinya untuk bercerita atau mendengarkan ceramah ringan yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Hal itu semua merupakan dukungan sosial yang sangat bermanfaat bagi lansia.

Adanya pengakuan (Reanssuarace of Worth) juga dialami oleh lansia dimana lansia yang membantu lansia lainnya akan mendapatkan sebuah penghargaan seperti ucapan terimakasih dan lainnya. Tidak hanya itu, lansia yang tinggal juga mendapat kepercayaan dari Ibu asrama maupun penghuni Panti lainnya karena bisa diandalkan dan dipercaya untuk melakukan suatu tugas ditanggungjawabkan. Berbeda dengan lansia lainnya yang dengan kemandiriannya dapat melakukan kegiatan yang diinginkan tanpa bantuan orang lain, sehingga orang lain pun tidak merasa kesusahan. Disamping itu ada juga lansia yang merasa sudah cukup dengan hanya mengikuti kegiatan tertentu sebagi anggota atau pengikut dibanding menjadi bagian dalam organisasi atau suatu kegiatan tertentu. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa lansia yang mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapatkan penghargaan dari orang lain atau lembaga merupakan salah satu bentuk dari dukungan sosial. Sumbernya dukungannya bisa berasal dari keluarga atau lembaga/instansi.

Ketergantungan yang dapat diandalkan (Realible Realince) yaitu dimana lansia merasa bahwa pertolongan akan diberikan jika ada yang meminta bantuannya, namun sebaliknya jika tidak ada yang meminta maka lansia akan merasa biasa saja.

Semuanya dilakuakan karena lansia merasa bahwa diri mereka masih bisa melakukan hal-hal tersebut secara mandiri. Dukungan dan bantuan pun juga diberikan antar sesama lansia, orang diluar panti maupun keluarga. Hal inilah yang membuat lansia merasa terlindung dan merasa bahwa ada orang masih memperdulikan mereka. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa dukungan sosial jenis ini membuat lansia untuk mendapatkan dukungan berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika lansia membutuhkan bantuan tersebut. Jenis dukungan ini umumnya berasal dari keluarga dan lembaga. Hal ini jugalah yang membuat lansia untuk merasa puas tinggal di Panti.

Bimbingan (Guidance) pun diterima dan didapat oleh para lansia dari Pendeta dan Pastor. Pendeta dan Pastor selalu mendukung, berbagi cerita, memberi bimbangan dan tuntunan serta doa untuk lansia yang ditemui agar tetap bersyukur dalam menjalani kehidupan ini dan tetap untuk diberi kesehatan dan kekuatan untuk setiap lansia yang ditemui. Sesuai dengan teori (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa adanya hubungan sosial yag memungkinkan lasia mendapatkan informasi, saran, atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi

setiap permasalahan yang dihadapi. Secara umum bersumber dari guru, alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang dituakan dan juga orang tua.

Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance) juga dialami oleh lansia yaitu adanya rasa kepercayaan yang diberikan baik itu dari penghuni Panti maupun Ibu asrama. Lansia yang tinggal di Panti tidak hanya ingin menjalani kehidupannya di Panti namun lansia juga membagi waktunya untuk melayani dan menolong sesama lansia lainnya. Merasa hidupnya harus tetap diberi kesehatan dan kekuatan agar tetap melayani lansia lainnya yang berada di Panti. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan dibuthkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.

Dokumen terkait