BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
Tebu (Sacharum officinarum, Linn.) merupakan tanaman bahan baku pembuatan gula yang hanya dapat ditanam di daerah beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih satu tahun. Tebu termasuk keluarga Graminae atau rumput-rumputan dan cocok ditanam pada daerah dengan ketinggian 1 sampai 1.300 meter di atas permukaan air laut. Di Indonesia terdapat beberapa jenis tebu, di antaranya tebu hitam (cirebon), tebu kasur, POJ 100, POJ 2364, EK 28, dan POJ 2878. Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik gula. Dalam proses produksi gula, dari setiap tebu yang diproses, dihasilkan bagasse tebu sebesar 90%, gula yang dimanfaatkan hanya 5% dan sisanya berupa tetes tebu (molase) dan air (Witono, 2003).
Bagasse tebu adalah bahan sisa berserat dari batang tebu yang telah mengalami ekstraksi niranya dan banyak mengandung parenkim serta tidak tahan disimpan karena mudah terserang jamur. Serat sisa dan bagasse tebu kebanyakan digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk pembuatan gula (Slamet, 2004).
Bagasse tebu merupakan limbah pabrik gula yang sangat mengganggu apabila tidak dimanfaatkan. Bagasse tebu mengandung serat (selulosa, pentosan, dan lignin), abu, dan air (Syukur, 2006). Adanya serat
memungkinkan digunakannya bagasse tebu sebagai pakan ternak, tetapi adanya lignin dengan kandungan cukup tinggi (19.7%) dan kadar protein yang rendah (28%) menyebabkan penggunaannya sangat terbatas (Balai Informasi Pertanian, 2005). Pentosan merupakan salah satu polisakarida yang terdapat dalam bagasse tebu dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan bagasse
tebu diolah menjadi furfural yang memiliki aplikasi cukup luas dalam beberapa industri terutama untuk mensintesis senyawa-senyawa turunannya seperti furfuril alkohol, furan dan lain-lain (Witono, 2003). Kaur (2008) mengemukakan bahwa bagasse tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat seperti Zn2+ (90%), Cd2+ (70%), Pb2+ (80%), dan Cu2+ (55%).
2. Unsur Makro Mg2+ dalam tanaman
Unsur hara Mg2+ merupakan unsur hara makrosekunder yang berperan penting sebagai bahan pembentuk molekul klorofil dan komponen enzim esensial (Rankine dan Fairhurst, 1999; dan Havlin et. al., 2004). Kekurangan elemen ini dapat dilihat dengan menguningnya daun.
Jumlah magnesium ditentukan dengan mengukur kuantitas magnesium pada permukaan partikel tanah. Jumlah magnesium optimal pada tanah didapatkan 51 – 250 ppm untuk pasir dan 101 – 500 ppm untuk semua jenis tanah. Sumber magnesium dapat diperoleh dari dolomitic lime, garam epsom, kieserite, dan potassium magnesium sulfat (Schulte, 2004).
3. Silika Gel
Silika adalah senyawa hasil polimerisasi asam silikat yang tersusun tidak teratur dari gelobula-gelobula rantai satuan SiO4 tetrahedral dan beragregasi membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar (sekitar 1-25 µm) dengan formula umum SiO2. Di alam senyawa silika ditemukan dalam beberapa bahan alam seperti pasir, kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika sebagai senyawa yang terdapat di alam berstruktur kristalin, sedangkan sebagai senyawa sintetis adalah amorf (Siti dan Susila, 2010). Menurut Bhatia silika mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bahan lain, yaitu bersifat inert, hidrofobik, dan transparan (Sriyanti, 2005).
Silika gel merupakan padatan anorganik yang memiliki kestabilan termal dan kestabilan mekanik yang cukup dan relatif tak mengembang dalam pelarut organik (Sriyanti dkk., 2005). Silika gel merupakan suatu bentuk dari silika yang dihasilkan melalui penggumpalan sol natrium silikat. Sol mirip agar–agar ini dapat didehidrasi sehingga berubah menjadi padatan atau butiran mirip kaca yang bersifat tidak elastis. Sifat ini menjadikan silika gel dimanfaatkan sebagai zat penyerap, pengering dan penopang katalis. Silika gel dapat mencegah terbentuknya kelembaban yang berlebihan sebelum terjadi (Sri Hartuti, 2011).
Rumus kimia silika gel secara umum adalah SiO2.xH2O. Struktur satuan mineral silika pada dasarnya mengandung kation Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan anion O2-. Susunan tetrahedral SiO4
Menurut Aergerter, silika gel memiliki karakteristik yang unik, yaitu porositas tinggi (80-90%), dengan densitas rendah (0,003-0,35 g/cm3), konduktivitas termal rendah (< 0,005 W/mK), indeks bias rendah (~1.05), dan luas permukaan yang tinggi (500-1600 m2/g) (Angelina Rosmawati dkk., 2013).
Gambar 1. Struktur Kimia Silika Gel
Menurut Scott (1993), pembuatan silika gel dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
a. Pembentukan natrium silikat (Na2SiO3) dari reaksi SiO2 yang terdapat dalam suatu bahan dengan NaOH.
b. Reaksi pembentukan silika hydrosol dari reaksi antara Na2SiO3 dengan asam.
c. Reaksi pembentukan silika hidrogel, yaitu polimerisasi asam silikat. Pemanasan silika hidrogel menghasilkan silika gel.
Natrium silikat dapat diubah menjadi silika gel dengan proses kondensasi dan hidrolisis menggunakan pelarut, baik polar maupun non polar. Natrium silikat terbentuk dengan mengekstraksi silika pada keadaan
dalam sintesis silika gel adalah natrium hidroksida. Penggunaan natrium hidroksida sebagai pereaksi dikarenakan natrium hidroksida merupakan pereaksi yang sangat kuat dan cenderung untuk membentuk buih saat dipanaskan karena sifatnya yang mudah menyerap air atau hidroskopis (Johnson dkk., 1991). Reaksi hidrolisis berlangsung secara baik pada kondisi asam. Pengasaman terhadap larutan natrium silikat akan membentuk silika hydrosol yang apabila didiamkan akan membentuk hidrogel. Pemanasan pada suhu 100oC mengakibatkan dehidrasi pada hidrogel dan terbentuklah silika gel (SiO2.xH2O).
Silika gel dibagi menjadi tiga tipe, yaitu regular density gel
diproduksi dengan pencampuran di media asam, mempunyai diameter sangat kecil dan specific surface area yang sangat tinggi. Jenis yang kedua adalah intermedite density gel yang mempunyai ukuran diameter 12-16 nm dan memiliki SSA 300 – 350 m2/g. Jenis ketiga adalah low density gel. Penggunaan produk ini untuk mencegah timbulnya jamur, bau dan kelembaban (Welveni, 2010).
Menurut Oscik, sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus hidroksil berkombinasi (Siti dan Susila, 2010). Pada silika gel terdapat dua jenis gugus aktif hidroksil (-OH) (Shriver,1990), yaitu:
1. Gugus –OH bebas, jarak antara –OH dengan –OH lainnya 0,50-0,52 nm 2. Gugus –OH terikat, dengan jarak –OH dengan –OH yang lain antara
Adanya gugus aktif dan sifat-sifat fisik silika gel tersebut maka silika gel secara umum sering digunakan sebagai adsorben, desikan dan pengisi pada kromatografi (sebagai fase diam) (Ishizaki et. al., 1998). Kelemahan silika gel adalah jenis situs aktif silika gel hanya berupa gugus silanol (-SiOH) dan siloksan (Si-O-Si). Silika gel murni dengan adanya gugus silanol dan siloksan telah dilaporkan dapat mengabsorbsi ion logam keras seperti Na+, Mg2+, Ca2+, dan Fe2+ (Cestari, 2000). Menurut Tokman, gugus silanol ini mempunyai sifat keasaman yang rendah, disamping mempunyai oksigen sebagai atom donor yang sifatnya lemah (Siti dan Susila, 2010). Menurut Morrow dan Gay gugus siloksan ada dua macam, yaitu Si-O-Si rantai lurus dan gugus siloksan yang membentuk struktur lingkar dengan empat anggota (Siti dan Susila, 2010),. Jenis Si-O-Si rantai lurus tidak reaktif dengan pereaksi pada umumnya, tetapi sangat reaktif terhadap senyawa logam alkali. Jenis gugus siloksan yang membentuk lingkar dengan empat anggota mempunyai reaktivitas yang tinggi, dapat mengadakan kemisorpsi dengan air, amoniak dan metanol. Reaksi dengan air akan menghasilkan dua gugus Si-OH, reaksi dengan amonia akan menghasilkan gugus Si-NH2 dan silanol, sedangkan reaksi dengan metanol akan menghasilkan gugus silanol dan Si–O-CH3. Jumlah gugus silanol dan gugus siloksan yang ada pada permukaan silika gel tidak sebanding dengan kemampuan adsorpsi. Kemampuan adsorpsi silika gel tergantung pada distribusi gugus OH per unit area adsorben.
4. Metode Sol-Gel
Metode sol-gel adalah metode preparasi padatan dengan teknik temperatur rendah yang melibatkan transisi dari suatu sistem dengan partikel-partikel mikroskopik yang terdispersi dalam suatu cairan (sol) menjadi material makroskopik (gel). Prinsip dari metode sol gel yaitu penambahan bahan yang dimobilisasikan pada saat matriks berbentuk sol menuju ke arah pembentukan padatan (gel) (Agus dkk., 2013).
Menurut Ihda dkk. (2012), silika dapat disintesis dengan metode sol-gel karena metode ini pembuatannya mudah. Selain itu, hasil sintesis dengan metode sol gel juga memiliki homogenitas yang tinggi (Sriyanti, 2005). Penelitian tentang sol-gel yang telah ada menunjukkan bahwa proses sol-gel tidak hanya menghasilkan material yang homogen, tetapi dapat juga digunakan untuk sintesis berbagai macam material campuran antara organik dan anorganik (Bandyopadhyay et al., 2005). Metode sol-gel juga lebih unggul dibandingkan dengan metode yang lain karena untuk memperoleh komposit padat yang homogen dilakukan melalui proses gelasi sol pada suhu ruang (Lee Chou dkk., 2007).
Proses sol-gel diawali dengan mengasamkan larutan natrium silikat hingga terbentuk gel karena silika memiliki kelarutan yang tinggi, yaitu pada pH lebih dari 10 (Scott, 1993). Penambahan asam bertujuan untuk mendapatkan silika hidrosol (H2SiO3) diikuti reaksi pembentukan sol asam Si(OH)4 selanjutnya dikeringkan akan membentuk silika gel. Reaksi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:
Na2SiO3 + 2HCl  H2SiO3 + 2NaCl (1)
H2SiO3 + H2O  Si(OH)4 (2)
Penambahan HCl pada larutan Na2SiO3 mengakibatkan terjadinya penurunan pH, sehingga konsentrasi H+ dalam Na2SiO3 semakin meningkat. Hal ini menyebabkan silikat berubah menjadi asam silikat (H2SiO3). Pada kondisi ini sebagian gugus siloksan (S-O-) membentuk gugus silanol (Si-(OH)4). Gugus ini terpolimerasi membentuk ikatan silang Si-O-Si hingga terbentuk gel silika melalui proses kondensasi.
Pada penelitian ini, pengasaman natrium silikat yang dilakukan menggunakan asam klorida. Menurut Sriyanti (2005), pengasaman natrium silikat dengan HCl menyebabkan pembentukan gel yang sangat cepat, hal ini terjadi di sekitar pH 9-7. Penambahan HCl terus menerus akan menyebabkan gel melarut kembali.
5. Adsorpsi
Adsorpsi adalah peristiwa menempelnya atom atau molekul suatu zat pada permukaan zat lain karena ketidakseimbangan gaya dalam permukaan. Zat yang teradsorpsi disebut adsorbat dan zat pengadsorpsi disebut adsorben (Atkins, 1997). Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Mekanisme peristiwa adsorpsi berlangsung sebagai berikut: molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar,
sebagian besar berdifusi lanjut ke dalam pori-pori adsorben (difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar akan teradsorpsi dan terikat di permukaan, namun bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan adsorbat, dapat terjadi dua hal.
1. Terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat di permukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer.
2. Tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida (Sihombing, 2007).
Terdapat dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi secara fisik (fisisorpsi) dan adsorpsi secara kimia (kimisorpsi). Kedua metode ini terjadi apabila molekul-molekul dalam fase cair diikat pada permukaan suatu fase padat sebagai akibat dari gaya tarik-menarik pada permukaan padatan (adsorben). Bila gaya pengikatan pada permukaan merupakan gaya van der Waals, reaksinya dapat balik, multilayer, dan tidak ada transfer elektron, maka peristiwa adsorpsinya disebut fisisorpsi. Molekul terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif rendah sekitar 20 kJ/mol (Castellan, 1983). Bila gaya pengikatannya merupakan interaksi kimiawi (ikatan kimia atau ikatan kovalen), artinya terjadi rekonfigurasi dan transfer elektron antara adsorbat dan adsorben, monolayer, dan reaksinya tidak dapat balik, maka peristiwa adsorpsinya disebut kemisorpsi. Molekul yang terkemisorpsi dapat terpisah karena valensi atom permukaan yang tak terpenuhi (Atkins, 1997).
Beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain (Asep Saepudin, 2009):
1. Sifat fisika dan kimia adsorben, yaitu luas permukaan, pori-pori, dan komposisi kimia.
Semakin luas permukaan adsorben maka semakin banyak adsrobat yang teradsorpsi sebab semakin banyak pula situs-situs aktif yang tersedia pada adsorben untuk kontak dengan adsorbat. Luas permukaan sebanding dengan jumlah situs aktif adsorben.
2. Sifat fisika dan kimia adsorbat, yaitu ukuran molekul, polaritas molekul, dan komposisi kimia.
Molekul yang besar akan lebih mudah teradsorpsi daripada molekul yang kecil, namun pada difusi pori molekul-molekul yang besar akan mengalami kesulitan untuk teradsorpsi akibat konfigurasi yang tidak mendukung. Sehingga adanya batas ukuran molekul tertentu pada setiap adsorpsi.
3. Konsentrasi adsorbat dalam fase cair (larutan).
Konsentrasi adsorbat yang tinggi akan menghasilkan daya dorong (driving force) yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk ke dalam situs aktif adsorben.
4. Sifat fase cair, seperti pH dan temperatur.
Suhu akan mempengaruhi kecepatan proses adsorpsi. pH mempengaruhi terjadinya ionisasi ion hidrogen dan ion ini sangat kuat
teradsorpsi. Asam organik lebih mudah teradsorpsi pada pH rendah sedangkan basa organik terjadi pada pH tinggi.
5. Lamanya proses adsorpsi tersebut berlangsung.
Waktu pengadukan yang relatif lama akan memberikan waktu kontak yang lebih lama terhadap adsorben untuk berinteraksi dengan adsorbat.
6. Kesetimbangan Adsorpsi
Kesetimbangan adsorpsi adalah suatu keadaan dimana tidak terjadi lagi perubahan konsentrasi adsrobat. Kesetimbangan adsorpsi dapat ditunjukkan dengan cara menganalisis kurva isoterm adsorpsi. Kurva ini merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terjerap pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Adsorpsi fase cair-padat pada umumnya menganut tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1997). Adsorben yang baik memiliki kapasitas adsorpsi dan persentase penjerapan yang tinggi. Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Q = (�1−�2
) ��
Persentase penjerapan dapat dihitung menggunakan rumus: Jumlah ion teradsorpsi (%) = �1−�2
�1 � 100%
Keterangan:
Q = kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mol/g) V = volume larutan (ml)
C1 = konsentrasi awal larutan (mol/L)
(1)
C2 = konsentrasi larutan saat setimbang (mol/L) m = bobot adsorben (g)
a. Model Isoterm Freundlich
Model isoterm yang paling umum digunakan adalah model isoterm Freundlich. Model ini menggambar proses adsorpsi yang terjadi secara fisisorpsi pada banyak lapisan Model isoterm adsorpsi Freundlich mengasumsikan bahwa terdapat lebih dari satu lapisan permukaan (multilayer) dan situs bersifat heterogen, yaitu adanya perbedaan energi pengikat pada tiap-tiap situs (Schnoor, 1996). Kurva pada model isoterm Freundlich merupakan hubungan antara log qe terhadap log Ce seperti yang disajikan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 2. Kurva Isoterm Adsorpsi Freundlich (Murni, 2009) qe adalah jumlah zat terlarut per gram adsorben (mol/g) dan Ce adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan (mol/L), sehingga dari konsep tersebut dapat diperoleh persamaan sebagai berikut.
/ m = Kf. � 1/
log qe = log Kf + 1/n . log Ce Keterangan:
= jumlah zat yang diadsorpsi (mol) m = berat adsorben (g)
qe = jumlah adsorbat yang teradsorp oleh adsorben pada saat setimbang (mol/g)
�e = konsentrasi zat pada saat setimbang (mol/L)
Berdasarkan persamaan tersebut, jika dibuat kurva log qe terhadap log Ce akan diperoleh persamaan linier dengan intersep log k dan kemiringan 1/n, sehingga nilai k dan n dapat diketahui (Murni, 2009). KF
adalah indikator kapasitas adsorpsi, dan n adalah intensitas adsorpsi (Tony, 1985). Berdasarkan isoterm ini, akan diketahui kemampuan adsorben untuk menyerap kation. Apabila harga 0<1/n<1 maka dapat dinyatakan bahwa adsorpsi bersifat favorabel dan menandakan adsorpsi yang kooperatif. Kekuatan interaksi antara adsorben dan adsorbat dapat dilihat dari nilai 1/n, semakin kecil nilai 1/n maka semakin kuat interaksi antara adsorben dengan adsorbat. Kemampuan relatif dari suatu adsorben dalam mengadsorpsi adsorbat dapat dilihat dari nilai KF, semakin besar nilai KF maka semakin besar kemampuan suatu adsorben dalam mengadsorpsi (Delle, 2001).
b. Model Isoterm Langmuir
yang ada pada permukaan memiliki energi yang sama, serta adsorpsi bersifat balik (Atkins, 1997). Menurut Sriyanti (2005), permukaan adsorben terdiri atas situs aktif, pada model isoterm ini semua adsorbat hanya teradsorpsi pada situs aktif dan tidak terjadi interaksi antar adsorbat, sehingga yang terbentuk adalah lapisan adsorpsi monomolekuler dengan jumlah molekul yang teradsorpsi tidak akan melebihi jumlah situs aktif.
Tipe isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung secara kemisorpsi satu lapisan. Adsorpsi satu lapisan terjadi karena ikatan kimia biasanya bersifat spesifik, sehingga permukaan adsorben mampu mengikat adsorbat dengan ikatan kimia. Model isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu: (a) pada masing-masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul saja, dengan demikian adsorpsi terbatas pada pembentukan lapis tunggal (monolayer), illustrasinya dapat dilihat pada Gambar 3. (b) panas adsorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya bersifat homogen (Oscik, 1982).
Gambar 3. Ilustrasi Adsorpsi pada Isoterm Langmuir
Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara
molekul zat yang diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul zat yang tidak teradsorpsi.
Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut: � = 1 � . + � � Keterangan:
� = konsentrasi Mg2+ pada saat setimbang (mol/L)
qe = jumlah adsorbat yang teradsorp oleh adsorben pada saat setimbang (mol/g)
� = kapasitas adsorpsi maksimum (mol/g)
= konstanta isoterm Langmuir (L/mol)
Gambar 4. Kurva Isoterm Adsorpsi Langmuir (Murni, 2009)
Besar kecilnya nilai qmax dan KL dapat diketahui dengan cara mensubtitusikan persamaan linear yang diperoleh dari kurva hubungan Ce/N terhadap Ce (Gambar 4) ke dalam persamaan 4 (Murni Handayani dan Eko Sulistiyono, 2009; Maria Angela dkk., 2015).
(4)
7. Difraksi Sinar-X (X-Ray Diffraction/XRD)
Difraksi Sinar-X merupakan salah satu metode karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga saat ini. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu material berdasarkan fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter kisi dan untuk menganalisis sifat-sifat struktur (seperti stress, ukuran butir, fasa komposisi orientasi kristal, dan cacat kristal) dari tiap fasa. (Auda, 2009).
Metode ini menggunakan seberkas sinar-X yang terdifraksi seperti sinar yang direfleksikan dari setiap bidang, berturut-turut dibentuk oleh atom-atom kristal dari material tersebut. Pola difraksi yang terbentuk menyatakan karakteristik dari sampel. Susunan ini diidentifikasi dengan membandingkannya dengan sebuah data base internasional (Zakaria, 2003). Prinsip kerja XRD adalah jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai puncak difraksi. Semakin banyak bidang kristal yang terdapat pada sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya (Auda, 2009).
Apabila suatu bahan dikenai sinar-X maka intensitas sinar-X yang ditransmisikan lebih kecil dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh bahan dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar yang dihantarkan tersebut ada yang
saling menghilangkan karena fasenya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasenya sama (Jamaluddin, 2010).
Berkas sinar-X yang saling menguatkan disebut berkas difraksi. Persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan merupakan berkas difraksi dikenal sebagai Hukum Bragg. Hukum Bragg menyatakan bahwa perbedaan lintasan berkas difraksi sinar-X harus merupakan kelipatan panjang gelombang. Dasar dari penggunaan XRD untuk mempelajari kisi kristal berdasarkan persamaan Bragg berikut (Ismunandar, 2006):
n = d.sinθ
Keterangan:
n = bilangan bulat (1, 2, 3, ..dst) d = jarak antara dua bidang kisi (nm)
θ = sudut antara sinar datang dengan bidang normal = panjang gelombang sinar-X yang digunakan (nm)
Hasil yang didapatkan dari difraksi sinar-X adalah berupa
puncak-puncak intensitas dan bentuk puncak-puncak difraksi dengan sudut hamburan (2θ)
tertentu. Tingkat kristalinitas struktur komponen ditunjukkan oleh tinggi rendahnya intensitas puncak. Analisa secara XRD pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur serbuk silika hasil sintesis.
8. Spektroskopi FTIR
Metode spektroskopi FTIR digunakan untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat pada suatu molekul, seperti silika gel. Selain itu, spektrum FTIR memiliki kegunaan yang lebih penting yaitu untuk memberikan keterangan tentang suatu molekul. Setiap gugus fungsional pada suatu molekul memiliki serapan yang karakteristik pada bilangan gelombang tertentu sehingga dapat diidentifikasi secara kualitatif menggunakan spektroskopi FTIR (Hardjono, 1992).
Spektroskopi FTIR adalah teknik pengukuran untuk mengumpulkan spektrum FTIR. Energi yang diserap sampel pada berbagai frekuensi sinar inframerah direkam, kemudian diteruskan ke interferometer. Sinar pengukuran sampel diubah menjadi interferogram. Perhitungan secara matematika untuk sinyal tersebut akan menghasilkan spekrum yang identik pada spektroskopi FTIR. Spektrofotometer FTIR terdiri dari 5 bagian utama, yaitu (Griffiths,1975):
a. Sumber sinar, yang terbuat dari filamen Nerst atau globar yang dipanaskan menggunakan listrik hingga temperatur 1000-1800 oC. b. Beam splitter, berupa material transparan dengan indeks relatif, sehingga
menghasilkan 50% radiasi akan direfleksikan dan 50% radiasi akan diteruskan.
c. Interferometer, merupakan bagian utama dari FTIR yang berfungsi untuk membentuk interferogram yang akan diteruskan menuju detektor.
d. Daerah cuplikan, dimana cuplikan masuk ke dalam daerah cuplikan dan masing-masing menembus sel cuplikan secara bersesuaian.
e. Detektor berfungsi mengubah sinyal radiasi FTIR menjadi sinyal listrik. Selain itu, detektor dapat mendeteksi adanya perubahan panas yang terjadi karena adanya pergerakan molekul.
Mekanisme yang terjadi pada alat FTIR dapat dijelaskan sebagai berikut: sinar yang datang dari sumber sinar akan diteruskan, kemudian akan dipecah oleh pemecah sinar menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling berinteraksi. Sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai pada detektor akan berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak yang sama terhadap detektor, dan akan saling melemahkan jika kedua cermin memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar yang sampai pada detektor ini akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram ini akan diubah menjadi spektra FTIR dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Tahid, 1994).
Berdasarkan penelitian Siti Sulastri (2013), silika gel yang diperoleh dari abu sekam padi memiliki puncak-puncak serapan yang menunjukkan
Karakterisasi ini diharapkan dapat digunakan untuk indikasi kualitatif keberhasilan sintesis silika gel. Serapan karakteristik senyawa-senyawa karbon-silikon ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Serapan Karakteristik Senyawa-Senyawa Organo-Silikon (Hardjono, 1992)
Gugus Fungsional Frekuensi (cm-1) Panjang Gelombang( m)