• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Dalam pembelajaran objek ini bisa berupa kecakapan peserta didik, minat, motivasi dan sebagainya. (Widoyoko, 2010:45). Menurut Mardapi (2008:67) tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan. Tes dapat juga diartikan sebagai sejumlah pernyataan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan untuk mengukur tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes.

Ditinjau dari segi tujuannya ada empat macam tes yang digunakan di lembaga pendidikan, yaitu tes penempatan, tes diagnostik, tes formatif dan tes sumatif. Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat diberikan perlakuan yang tepat (Arikunto, 2012:34). Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep (Widoyoko, 2010: 29).

Tes diagnostik adalah pengukuran terhadap sasaran didik untuk mengetahui latar belakang dan keadaannya pada suatu saat tertentu, agar dapat didesain pelajaran dan strategi mengajar yang sesuai dengan karakteristiknya (Daryanto, 2010:152). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tes diagnostik adalah tes yang dibuat untuk mengetahui dalam hal-hal apa siswa tertentu mempunyai kelemahan dan dalam hal-hal apa ia sudah mempunyai dasar yang kuat, dengan demikian anak tersebut dapat diberikan perlakuan yang tepat.

Di samping itu, tes diagnostik juga dapat dipakai untuk mengetahui apakah bantuan yang diberikan kepada sasaran didik sudah mengena, apabila seorang siswa telah menerima suatu bantuan tertentu yang berhubungan dengan materi belajar, maka untuk mengetahui sejauh mana manfaat tersebut perlu dilakukan tes diagnostik.

Tes diagnostik ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran. Hasil tes ini memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Oleh karena itu, tes ini berisi materi yang dirasa sulit oleh peserta didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah (Mardapi, 2008:69).

2.Pendekatan dan Penyusunan Tes Diagnostik

Tahap penelitian dan pengembangan sistem pembelajaran dapat dianalisis dari serangkaian tugas pendidik dalam menjalankan tugak pokoknya yaitu mulai dari merancang, melaksanakan, sampai dengan mengevaluasi pembelajaran. Sistem pembelajaran yang dikembangkan bermakna luas, karena system terdiri dari komponen input, proses, dan output. Komponen input pembelajaran terdiri dari karakteristik peserta didik, karakteristik guru, sarana prsarana, dan perangkat pendukung pembelajaran. Komponen output berupa hasil dan dampak pembelajaran dapat memilih salah satu dari komponen sistem yang lain (Mulyatiningsih, 2012).

Ada beberapa model penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan, salah satunya model Sugiyono. Menurut Sugiyono (2011:298), langkah-langkah penelitian dan pengembangan ada sepuluh langkah sebagai berikut: (1) Potensi dan masalah, (2) Pengumpulan data, (3) Desain produk, (4) Validasi desain, (5) Revisi desain, (6) Uji coba produk, (7) Revisi produk, (8) Uji coba pemakaian, (9) Revisi produk, dan (10) Produksi massal. Selanjutnya, untuk dapat memahami tiap langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Potensi dan Masalah

Penelitian berawal dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila digunakan akan memiliki nilai tambah. Contoh dalam bidang khasanah budaya dan pendidikan adalah Indonesia kaya akan budaya dari setiap propinsi seperti cerita rakyat, permainan tradisional, tarian tradisional, rumah adat dan masing-masing jenis kearifan lokal tersebut jika dieksplor dapat digunakan sebagai konteks untuk mengajarkan materi biologi di sekolah.

Selanjutnya, menurut Sukardi (2011:299) masalah adalah

penyimpangan antara yang diharapkan dengan relita yang terjadi. Masalah juga dapat dijadikan potensi apabila dapat mendayagunakannya. Misalnya limbah yang dapat didaur ulang menjadi sesuatu yang bermanfaat atau masalah rendahnya keaktifan dan hasil belajar matematika siswa yang dinggap sebagai masalah nasional. Masalah ini dapat diatasi dengan melalui R & D dengan cara meneliti sehingga dapat ditemukan suatu model, pola, atau system penanganan terpadu efektif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Model, pola, dan sistem ini akan ditemukan dan dapat diaplikasikan secara efektif jika dilakukan melalui penelitian dan pengembangan. Tahap pertama adalah melakukan penelitian untuk menghasilkan informasi. Berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dapat dirancang model penanganan yang efektif. Untuk mengetahui efektivitas model tersebut maka perlu diuji. Pengujian dapat menggunakan metode eksperimen. Setelah model teruji maka dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah yang dimaksud.

Potensi dan masalah yang dikemukakan dalam penelitian harus ditunjukkan dengan data empirik. Data tentang potensi dan masalah tidak harus dicari sendiri, tetapi bisa berdasarkan laporan penelitian orang lain, atau dokumentasi laporan kegiatan dari perorangan atau instansi tertentu

b. Mengumpulkan Informasi

Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara factual dan up

to date, selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yag dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Metode yang akan digunakan untuk penelitian tergantung permasalahan dan ketelitian tujuan yang ingin dicapai.

c. Desain Produk

Produk yang dihasilkan dalam penelitian research and development

bermacam-macam. Untuk menghasilkan sistem kerja baru maka peneliti harus membuat rancangan kerja baru yang dibuat berdasarkan penilaian terhadap sistem kerja lama, sehingga dapat ditemukan kelemahan-kelemahan terhadap sistem tersebut. Selain itu, peneliti harus mengadakan penelitian terhadap unit lain yang dipandang sistem kerjanya bagus. Selain itu harus mengkaji referensi mutakhir yang terkait dengan sistem kerja yang modern berikut indikator system kerja yang baik. Hasil akhir dari kegiatan tersebut berupa desain produk baru yang lengkap dengan spesifikasinya. Desain ini masih bersifat hipotetik. Dikatakan hipotetik karena efektivitasnya belum terbukti, dan akan dapat diketahui setelah melalui pengujian pengujian. Desain produk harus diwujudkan dengan gambar atau bagan, sehingga akan memudahkan pihak lain untuk memahaminya.

d. Validasi Desain

Validasi desain merupakan proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan produk, dalam hal ini sistem kerja baru secara rasional akan lebih efektif dari yang lama. Dikatakan secara rasional karena validasi disini masih bersifat penilaian berdasarkan pemikiran rasional, belum merupakan fakta di lapangan.

Validasi produk dapat dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar atau tenaga ahli yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang dirancang tersebut. Setiap pakar diminta untuk menilai

desain tersebut, sehingga selanjutnya dapat diketahui kelemahan dan kekuatannya. Validasi desain dapat dilakukan dalam forum diskusi. Sebelum diskusi peneliti mempresentasikan proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut, sekaligus keunggulannya.

e. Perbaikan Desain

Setelah desain produk divalidasi melalui diskusi dengan para pakar dan ahli lainnya, selanjutnya dapat diketahui kelemahannya. Kelemahan tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan cara memperbaiki desain. Yang bertugas memperbaiki desain adalah peneliti yang hendak menghasilkan produk tersebut.

f. Uji Coba Produk

Uji coba produk dapat dilakukan melalui eksperimen, yaitu membandingkan efektifitas dan efisiensi keadaan sebelum dan sesudah

memakai sistem baru (before-after) atau dengan membandingkan dengan

kelompok yang tetap menggunakan sistem lama. Dalam hal ini kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sehingga model eksperimen pertama dan kedua dapat digambarkan seperti gambar 2.1 berikut :

Gambar 2. 1 Desain eksperimen (before-after)

Keterangan: O1 nilai sebelum treatmen, O2 nilai sesudah treatment, dan X adalah treatmen.

Berdasarkan gambar tersebut dapat diartikan bahwa eksperimen dilakukan dengan membandingkan hasil observasi O1 dan O2. Model eksperimen yang kedua ditunjukkan oleh gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2. 2 Desain eksperimen dengan kelompok control

(Pretest-postest control group design)

Keterangan:

O2 : nilai kemampuan kelompok eksperimen setelah menggunakan treatment baru

O3 : nilai kemampuan awal kelompok kontrol

O4 : nilai kemampuan kelompok kontrol dengan tetap menggunakan treatment lama

Berdasarkan gambar tersebut dapat diartikan sebagai berikut.

Sebelum treatmen baru diujicobakan, dipilih kelompok kerja tertentu

yang akan menggunakan treatment tersebut. Bila kelompok tersebut jumlahnya banyak, eksperimen dilakukan pada sampel yang dipilih secara random. Kelompok pertama yang akan menggunakan metode baru disebut kelompok eksperimen, sedangkan kelompok yang tetap menggunakan metode lama disebut kelompok kontrol. R berarti pengambilan kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan secara random. Kedua kelompok tersebut selanjutnya diberi pretes atau melalui pengamatan untuk mengetahui posisi kemampuan kedua kelompok tersebut. Bila kedua kelompok tersebut mempunyai kemamuan yang sama atau tidak berbeda secara signifikan maka kelompok terseut sudah sesuai untuk dijadikan sebagai kelompok eksperimen. Bila posisi kemampuan kedua kelompok tersebut berbeda secara signifikan maka pengambilan kelompok perlu diulang sampai diperoleh posisi kemampuan tidak berbeda secara signifikan.

Pengujian signifikansi efektivitas dan efisiensi treatment baru, bila data berbentuk interval dan dilakukan pada dua kelompok maka dapat

menggunakan t-test berpasangan (related), sedangkan bila dilakukan

pada lebih dari dua kelompok dapat menggunakan Analisis Varians

(Anava). Selanjutnya, menurut Sugiyono (2011:307), untuk

membuktikan signifikansi perbedaan tindakan lama dan baru tersebut,

perlu diuji secara statistic dengan test berkorelasi (related). Rumus yang

Keterangan: :

: Rata-rata sampel 1 (tindakan lama) : Rata-rata sampel 2 (tindakan baru)

S1 : Simpangan baku sampel 1 (tindakan lama)

S2 : Simpangan baku sampel 2 (tindakan baru)

: Varians sampel 1 : Varians sampel 2

r : Korelasi antara data dua kelompok

g. Revisi Produk

Pengujian produk pada sampel yang terbatas menunjukkan bahwa kinerja tindakan baru tersebut lebih baik dari tindakan lama.

h. Uji coba Pemakaian

Setelah pengujian terhadap produk berhasil dan mungkin ada revisi yang tidak terlalu penting.

i. Revisi Produk

Revisi produk ini dilakukan apabila dalam pemakaian kondisi nyata terdapat kekurangan dan kelemahan. Dalam uji pemakaian, sebaiknya pembuat produk selalu mengevaluasi bagaimana kinerja produk dalam hal ini adalah sistem kerja atau tindakan.

j. Pembuatan Produk Masal

Pembuatan produk masal ini dilakukan apabila produk yang telah diujicoba dinyatakan efektif dan layak untuk diproduksi massal.

3.Pengembangan instrument Four Tier Diagnostic Test format

Tes pilihan ganda adalah tes dimana setiap butir soalnya memiliki jumlah alternatif jawaban lebih dari satu (Widoyoko, 2010:59). Pada umumnya jumlah alternatif jawaban berkisar antara dua atau lima. Tentu saja

jumlah alternatif tersebut tidak boleh terlalu banyak. Bila alternatif lebih dari lima maka akan sangat membingungkan peserta tes, dan juga akan sangat menyulitkan penyusunan butir soal. Tipe tes ini dalam bahasa Inggris dikenal

dengan nama multiple choice item (butir soal pilihan majemuk atau ganda).

Tipe tes ini adalah yang paling popular dan banyak digunakan dalam kelompok tes objektif karena banyak sekali materi yang dapat dicakup.

Pengembangan instrumen four tier test didasarkan pada pola Pesman

(Pesman, 2005:7) yang menyusun instrumen soal dengan bentuk

pengembangan dari three tier test tipe semi tertutup pada pilihan jawaban

bagian alasan. Four-tier diagnostic test (tes diagnostik empat tingkat)

merupakan pengembangan dari tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat. Pengembangan tersebut terdapat pada ditambahkannya tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban maupun alasan. Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci jawaban yang harus dipilih siswa. Tingkat ke dua merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban. Tingkat ke tiga merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan, berupa tiga pilihan alasan yang telah disediakan dan satu alasan terbuka. Tingkat ke empat merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih alasan. Tingkat keyakinan yang dikembangkan berada pada rentang angka satu sampai enam sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (Caleon & Subramaniam, 2010:315-317).

Keunggulan yang dimiliki tes diagnostik pilihan tingkat adalah melalui tes diagnostik empat tingkat guru dapat (Qisthi,dkk, 2015:42) :

a.membedakan tingkat keyakinan jawaban dan tingkat keyakinan alasan yang

dipilih siswa sehingga dapat menggali lebih dalam tentang kekuatan pemahaman konsep siswa,

b.mendiagnosis miskonsepsi yang dialami siswa lebih dalam,

c.menentukan bagian-bagian materi yang memerlukan penekanan lebih,

d.merencanakan pembelajaran yang lebih baik untuk membantu mengurangi

Salah satu tes untuk diagnosis miskonsepsi yaitu Four tier test. Four tier test merupakan pengembangan dari three tier test yang dipadukan dengan

Confidence Rating pada alasan jawaban, sehingga lebih akurat tingkat keyakinan atas jawaban dan alasan jawaban. Adapun kategori dari kombinasi

jawaban Four tier test yaitu pada tabel berikut ( Aldi,dkk, 2017:46) :

TABEL 2. 1 Kombinasi Jawaban Four Tier Test

Tier-1 Tier-2 Tier-3 Tier-4 Level

konsepsi 1 Y 1 Y U 1 Y 1 TY 1 TY 1 Y 1 TY 1 TY 1 Y 0 Y 1 Y 0 TY 1 TY 0 Y PU 1 TY 0 TY 0 Y 1 Y 0 Y 1 TY 0 TY 1 Y 0 TY 1 TY 0 Y 0 Y M 0 Y 0 TY 0 TY 0 Y NU 0 TY 0 TY

Terdapat tier yang tidak dijawab atau menjawab lebih dari

satu pilihan yang tersedia UC

Sumber : (Aldi,dkk, 2017) Keterangan : 1 = Jawaban benar 2 = Jawaban salah Y = Yakin TY = Tidak Yakin

U = understand (siswa memiliki konsepsi yang baik)

PU = Partial Understanding ( siswa yang memiliki konsepsi yang tidak

utuh)

M = Misconception (miskonsepsi)

NU = Not Understanding (siswa tidak paham konsep)

UC = Uncode ( tidak dapat dilakukan coding)

4. Miskonsepsi

a. Definisi Miskonsepsi

Miskonsepsi merupakan kesalahan pemahaman suatu peristiwa atau konsep tertentu yang dialami seseorang akibat dari konsep yang sudah

dibangunnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah para ahli dalam bidang itu. Miskonsepsi dapat berupa konsep awal yang salah dan kesalahan dalam menghubungkan konsep-konsep. Menurut Feldsine miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep (Suparno, 2005:4).

Miskonsepsi adalah kepercyaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data hasil penelitian ilimiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun (Jeanne, 2009:338).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan siswa-siswa tingkat sekolah menengah untuk menemukan miskonsepsi dalam topik-topik:

“light, electric and simple circuits, heat and temperature, force and motion, the gaseous state, the particulate nature of matter in the gaseous phase, beyond appearances: the conservation of matter under physical and chemical transformations”, Driver (1985) mengemukakan hal-hal berikut (Ratna, 2011:154) :

1). Miskonsepsi bersifat pribadi

Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang sama, mereka memberikan berbagai interpretasi. Setiap

anak “melihat” dan menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri. Setiap anak menngkonstruksi kebermaknaannya sendiri.

2). Miskonsepsi memiliki sifat yang stabil

Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan suatu kenyataan yang berlawanan.

3). Menyangkut koherensi

Bila menyangkut koherensi anak tidak merasa butuh pandangan yang koheren sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis kelihatannya cukup memuaskan. Kebutuhan

akan koherensi dan kriteria untuk koherensi menurut persepsi anak tidak sama dengan yang dipersepsi ilmuan.

b. Penyebab Miskonsepsi

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada siswa. Faktor tersebut dapat berupa dari dalam diri siswa maupun dari luar. Penyebab miskonsepsi secara garis besar dapat disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut (Suparno, 2005:29) :

1) Siswa

Kesalahan pada siswa dapat berupa kesalahan pemahaman awal (prakonsepsi) siswa mengenai suatu fenomena/peristiwa tertentu, kemampuan siswa dalam memahami suatu peristiwa, tahap perkembangan, minat siswa dalam suatu hal yang akhirnya dapat mempengaruhi cara berpikir siswa, kesalahan siswa dalam menarik kesimpulan yang terkadang hanya berdasarkan pada apa yang mereka lihat, dan teman yang dapat mempengaruhi siswa dalam memahami berbagai hal.

2) Guru

Kesalahan dari guru biasanya disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam menjelaskan suatu konsep kepada siswa, sehingga siswa sulit untuk memahami apa yang disampaikan oleh guru. Pemahaman konsep guru yang kurang, cara mengajar yang kurang tepat atau sikap guru yang kurang baik dalam berhubungan dengan siswa. Padahal jika guru bersikap ramah dan terbuka terhadap siswa, siswa tidak akan segan untuk bertanya mengenai materi yang belum mereka pahami.

3) Buku teks

Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya diakibatkan karena kesalahan dalam memberikan penjelasan, kurangnya gambar yang dimuat di buku teks yang dapat menyebabkan siswa harus menggambarkan sendiri dalam pikirannya tentang suatu fenomena tertentu dan terkadang gambaran yang dibuat tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

4) Konteks

Kesalahan konteks dalam hal ini dapat berupa masyarakat sekitar, budaya, agama, dan bahasa sehari-hari yang digunakan siswa. Penggunaan ungkapanungkapan yang umum dalam bahasa terkadang salah menginterprestasikan makna sebenarnya dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

5) Metode mengajar

Beberapa guru kurang variatif dalam mengajar. Metode yang digunakan pun monoton dan tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran, yang akhirnya pembelajaran hanya berpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan apa yang guru sampaikan. Sehingga membuat siswa jenuh dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran yang akhirnya siswa tidak memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Metode mengajar yang digunakan guru yang hanya menekankan kebenaran dari satu sisi sering memunculkan kesalahan pemahaman pada siswa.

c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi

Terdapat beberapa teknik dalam mendeteksi miskonsepsi, yaitu: peta konsep, tes uraian tertulis, wawancara klinis, dan diskusi dalam kelas yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Suparno, 2013:121-128) :

1) Peta Konsep

Novak, J. D. & Growin, D. B. (1984) mennyatakan bahwa peta konsep sebagai suatu alat skematis untuk mempresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu rangkaian proposisi. Peta itu mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun secara hirarkis, konsep esensial akan berada pada bagian atas peta.Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak.

2) Tes Uraian Tertulis

Tes uraian adalah tes yang terdiri dari butir-butir tes dimana masing-masing butir tes berupa suatu pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Guru dapat mempersiapkan tes uraian yang memuat beberapa konsep yang mau diajarkan atau sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui salah pengertian yang dibawa siswa dan salah pengertian dalam bidang apa.

3) Wawancara Klinis

Wawancara klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa konsep yang dperkirakan sulit dimengerti sisw, atau beberapa konsep yang esensial dari bahan yang mau diajarkan. Kemudian, siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Dari sini dapat dimengerti latar belakang munculnya miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut.

4) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari diskusi tersebut, guru atau peneliti dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang dipunyai siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai penjajakan awal. Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila tidak diperhatikan dengan seksama oleh guru.

5. Fotosintesis

Fotosintesis adalah suatu proses yang hanya terjadi pada tumbuhan yang berklorofil dan bakteri fotosintetik, dimana energi matahari (dalam bentuk foton) ditangkap dan diubah menjadi energi kimia (ATP dan NADPH). Energi kimia ini akan digunakan untuk fotosintesa karbohidrat dari air dan karbon dioksida. Jadi, seluruh molekul organik lainnya dari

tanaman disintesa dari energi dan adanya organisme hidup lainnya tergantung pada kemampuan tumbuhan atau bakteri fotosintetik untuk berfotosintesis (Devlin, 1975).

Gambar 2. 3 Organel yang berperan dalam Fotosintesis ( sumber :

Biologi, raven and Johnson, 2001)

Klorofil merupakan pigmen hijau tumbuhan dan merupakan pigmen yang paling penting dalam proses fotosintesis. Sekarang ini, klorofil dapat dibedakan dalam 9 tipe : klorofil a, b, c, d, dan e. Bakteri klorofil a dan b, klorofil chlorobium 650 dan 660. klorofil a biasanya untuk sinar hijau biru. Sementara klorofil b untuk sinar kuning dan hijau. Klorofil lain (c, d, e) ditemukan hanya pada alga dan dikombinasikan dengan klorofil a. bakteri klorofil a dan b dan klorofil chlorobium ditemukan pada bakteri fotosintesin (Devlin, 1975).

Klorofil pada tumbuhan ada dua macam, yaitu klorofil a dan klorofil b. perbedaan kecil antara struktur kedua klorofil pada sel keduanya terikat pada protein. Sedangkan perbedaan utama antar klorofil dan heme ialah karena adanya atom magnesium (sebagai pengganti besi) di tengah cincin profirin, serta samping hidrokarbon yang panjang, yaitu rantai fitol (Santoso, 2004).

Kloroplas berasal dari proplastid kecil (plastid yang belum dewasa, kecil dan hampir tak berwarna, dengan sedikit atau tanpa membran dalam). Pada umumnya proplastid berasal hanya dari sel telur yang tak terbuahi, sperma tak berperan disini. Proplastid membelah pada saat embrio

berkembang, dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan batang terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila organ mengandung kloroplas terpajan pada cahaya. Jadi, tiap sel daun dewasa sering mengandung beberapa ratus kloroplas. Sebagian besar kloroplas mudah dilihat dengan mikroskop cahaya, tapi struktur rincinya hanya bias dilihat dengan mikroskop electron (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 2. 4 Letak kloroplas di dalam daun (sumber : Botani,1995)

Struktur klorofil berbeda-beda dari struktur karotenoid, masing-masing terdapat penataan selang-seling ikatan kovalen tunggal dan ganda. Pada klorofil, sistem ikatan yang berseling mengitari cincin porfirin, sedangkan pada karotoid terdapat sepasang rantai hidrokarbon yang menghubungkan struktur cincin terminal. Sifat inilah yang memungkinkan molekul-molekul menyerap cahaya tampak demikian kuatnya, yakni bertindak sebagai pigmen. Sifat ini pulalah yang memungkinkan molekul-molekul menyerap energi cahaya yang dapat digunakan untuk melakukan fotosintesis (Santoso, 2004).

Laju fotosintesis berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh pada berbagai daerah yang berbeda seperti gurun kering, puncak gunung, dan hutan hujan tropika, sangat berbeda. Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh

Dokumen terkait