• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu, namun pada umumnya padang lamun yang luas sering ditemukan di substrat berpasir tebal dengan sedikit lumpur antara dua komunitas yaitu mangrove dan terumbu karang (Mckenzie 2009).

Komponen dasar morfologi tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma, daun, akar, bunga dan buah (Gambar 2).

Sumber : Mckenzie (2009)

Gambar 2. Morfologi Lamun

Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Gembong 2004) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Anak Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae

6

Bangsa : Helobiae

Suku : Jenis

Hydrocharitaceae : Enhalus acoroides Halophila ovalis H. decipiens H. Minor H. spinulosa

H. Thallasia hemprichii Cymodoceaceae : Cymodocea rotundata

C. serrulata Halodule pinifolia H. uninervis

Syringodium isoetifolium Thalassodendron ciliatum

2.2 Karakteristik tumbuhan lamun

Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh dapat membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thallasia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum (Mckenzie et al. 2009).

2.3 Habitat dan Distribusi Lamun

Padang lamun di wilayah tropis memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi dan hidup di perairan dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan estuari. Spesies lamun di tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu.

Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat dan tumbuh di daerah pasang surut pulau pulau utama dan pulau pulau karang.

Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut bawah dan mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari 7-8 jenis yang tumbuh bersama sama (Hutomo et al. 1993)

Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokan menurut :

a) Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan daerah yang dalam dan selalu tergenang air)

b) Kecerahan air tempat tumbuhnya (air yang jernih, keruh dan sangat keruh) c) Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokan atas

vegetasi tunggal dan vegetasi campuran.

d) Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokan menjadi 6 kategori, yaitu : lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karag, dan batu karang.

e) Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove)

Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat dikelompokan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat<50%) (Kiswara 1997)

2.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun

Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi.

Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti crustacea (seperti udang) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari larva dan juvenile, mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat untuk perkembangan larva dan juvenile (Borum et al. 2004).

8

Perannya sebagai pelindung pantai, daerah asuhan bagi ikan, teripang, kuda laut dan udang, stabilisator dan penangkap sedimen sangat penting bagi ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan mangrove. Daun lamun yang lepas akan mengendap di perairan sekitarnya dan dihanyutkan ke ekosistem atau perairan lainnya, daun lamun yang mengendap akan didekomposisi oleh bakteri dan biota bentik pemakan serasah.

Produktivitas primer padang lamun rata-rata cukup tinggi, hal ini berhubungan dengan produktivitas rata-rata yang berasosiasi dengan perikanan di sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan sejumlah herbivora dan detrifora (Mckenzie 2009).

Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m²(gbk/m²), sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun dalam selang waktu tertentu (Zieman dan Wetzel, 1980 dalam Supriadi, 2003). Besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan (Fortes 1990).

2.5 Parameter Kualitas Perairan

Parameter yang berperan penting bagi pertumbuhan lamun antara lain adalah salinitas, kedalaman, gelombang, arus, substrat dasar (McKenzie 2009). Menurut Hemminga dan Duarte (2000), faktor yang paling mempengaruhi hidup lamun adalah genangan air laut, substrat dan cahaya. Sebagian besar lamun tumbuh dalam substrat pasir dan lumpur, bahkan pada bebatuan. Perbedaan tipe substrat ini berkaitan dengan penetrasi akar lamun.

2.5.1 Suhu

Secara geografis padang lamun dapat tersebar secara luas, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kisaran toleransi yang luas terhadap suhu, tetapi pada kenyataanya jenis lamun di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Bagi lamun suhu dapat mempengaruhi proses proses fisiologis seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap

kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25-30 °C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu.

2.5.2 Salinitas

Jenis lamun memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar. Penurunan salinitas akan menyebabkan laju fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan dapat berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pembentukan bunga (McRoy & McMilan 1977).

2.5.3 Sedimen dasar

Padang lamun umumnya dapat hidup pada berbagai tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus, namun mereka membutuhkan dasar yang lunak agar mudah ditembus oleh akar-akar dan rhizomanya untuk menyokong tumbuhan. Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan dan pertumbuhan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan menyebabkan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat lamun akan tumbuh dengan subur (Berwick 1983 diacu dalam Paskalina 2008)

2.5.4 Kecerahan dan Kekeruhan

Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel partikel tersuspensi, baik oleh partikel partikel hidup seperti plankton maupun partikel partikel mati seperti bahan bahan organik, sedimen dan sebagainya sedangkan kecerahan perairan ditunjukan dengan kemampuan cahaya menembus lapisan air sampai pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitanya dengan proses fotosintesis. Distribusi dan kelimpahan lamun juga dibatasi oleh ketersediaan cahaya, hal ini dapat dilihat dari sebaran yang terbatas pada daerah yang masih dapat ditembusi cahaya matahari.

10

2.6 Pemantauan lamun

Pemantauan lamun merupakan salah satu cara untuk mengontrol keberadaan dan mengetahui status kondisi lamun. Pengamatan awal mengenai perubahan kondisi lamun membantu dalam pengelolaan wilayah pesisir karena keterkaitanya dengan kondisi ekosistem lainya seperti mangrove dan terumbu karang (MzKenzie 2009).

Metode pemantauan lamun dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : berdasarkan observasi langsung dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh. Berdasarkan instrumen yang digunakan, metode tidak langsung dikelompokan menjadi penginderaan jauh optik dan penginderaan jauh akustik.

Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan narrow split beam sonar yang telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar perairan laut dangkal. Metode ini mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar perairan sebaik menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan densitas vegetasi berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al. 2003).

2.7 Metode hidroakustik

Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa yang jika mengenai target maka target tersebut akan memantulkan sebagian pulsa yang diterimanya.

Prinsip dari pengoperasian instrumen hidroakustik (Gambar 3) adalah sebagai berikut : dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer.

Gambar 3. Prinsip hidroakustik (MacLennan and Simmonds, 2005)

Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan Simmonds, 2005).

Pengamatan terhadap suatu objek menggunakan metode akustik harus memperhatikan nilai SNR (signal to noise ratio) yang diperoleh. Suatu objek dapat terdeteksi jika nilai SNR yang didapat bernilai positfif, dimana :

SNR = EL-N ………...(1)

dengan EL dan N masing-masing adalah total sinyal yang kembali (echo) dan noise yang diperoleh, dalam satuan dB re 1π Pa. Echo merupakan sinyal pantulan yang didapat dari target yang diharapkan, sedangkan noise merupakan gangguan yang berasal dari berbagai faktor; termasuk ambient noise, gangguan yang berasal dari lingkungan; self noise, gangguan yang berasal dari instrument itu sendiri; serta reverberasi atau pantulan pulsa suara yang berasal dari objek yang tidak

12

diharapkan. Besarnya echo dituliskan dalam bentuk desibel (dB) merupakan fungsi dari :

EL=SL+SV-2TL ……..………...(2) dimana SV adalah nilai volume backscattering dari target yang diharapkan dan SL merupakan source level atau intensitas suara yang dihasilkan oleh echosounder, dengan satuan dB re 1πPa pada 1 m. Nilai 2TL didapat dari dua arah transmission loss, dari echosounder ke target dan target ke echosounder yang besarnya dinyatakan dalam decibel (Urick 1983) .

Nilai backscattering strength tergantung dari sifat pantulan dari dasar laut dan luas dari dasar yang memantulkan kembali sinyal yang telah dihamburbalikan pada tiap waktu. oleh karena itu untuk mendefenisikan koefisien backscattering dasar (

σ

bs) dalam dB/m², sebagai besaran nilai pantulan dasar.

………...(3)

Beberapa parameter yang digunakan untuk menghitung luas area hambur balik akustik adalah kecepata suara (c), panjang pulsa, lebar beam transmit (ѱ) dan lebar beam penerima

Data hambur balik adalah pantulan kembali ke arah gelombang ketika ditransmisikan. Analisa amplitudo dari gelombang suara yang kembali memungkinkan untuk mengekstrak informasi mengenai struktur dan kekerasan dari target, selanjutnya digunakan untuk identifikasi target di perairan. Sifat dari pantulan dasar bergantung dari kekerasan dan kekasaran dari permukaan dasar laut. Secara sederhana dapat disimpulkan sinyal kuat yang kembali menunjukan permukaan yang keras seperti rock dan gravel dan sinyal yang lemah menunjukan permukaan yang lebih halus seperti silts dan clay (Medina et al. 2010)

(Sumber : Medina 2010) Gambar 4. Sudut koordinat pada proses scattering dan reflection

Persamaan yang terbaik untuk menggambarkan nilai target strength bergantung dari sudut datang (incident angle) dan bergantung pada beam geometri. Secara umum sudut datang yang lebih kecil akan memberikan hambur balik yang lebih kuat dibanding sinyal dari sudut datang yang lebih besar.

… ...………...…(4)

2.8 Akustik untuk vegetasi bawah air

Akustik bawah air pada dasarnya merupakan karakteristik suara di air. Suara yang dipancarkan di dalam air adalah gelombang akustik yang memiliki komponen dasar yaitu amplitudo, frekuensi, panjang gelombang dan gelombang suara terhadap waktu.

Sifat fisik air laut sepertis suhu dan salinitas dipengaruhi oleh perubahan kedalaman, sehingga densitasnya pun mengalami perubahan dengan semakin tinggi kedalamanya maka semakin besar densitasnya, sehingga selama penjalaran gelombang akustik selama melintasi lapisan lapisan air laut mengalami pemantulan dan pembiasan (Mazel 1985)

Dalam perambatan akustik terjadi transmission loss akibat adanya absorpsi dari medium dan adanya kehilangan akibat penyebaran di dalam medium air. Perjalanan gelombang akustik sesaat setelah ditembakan oleh transmitter akan mengalami proses absorpsi. Absorpsi pada kolom perairan terjadi akibat energi dari gelombang akustik dirubah menjadi energi panas (Urick 1983).

14

Saat suara merambat juga terjadi penyebaran energi suara mengikuti prinsip spherical spreading. Energi dari sumber suara akan tersebar pada medium perambatan dimana intensitas suara setelah merambat akan berkurang seiring bertambahnya jarak dari sumber suara, yaitu dengan mengikuti persamaan :

.. ……….(6)

Jika

r

1 adalah jarak satu meter, maka transmission loss pada jarak

r

2 adalah :

………...(7)

(Sumber : Urick 1983) Gambar 5. Proses spherical dan cylindrical spreading pada perambatan

suara di dalam air laut.

Pelemahan sinyal akustik disebabkan oleh penyerapan energi akustik oleh media air. Pelemahan ini biasa dinyatakan dalam decibel per meter (dB/m). Besarnya pelemahan karena penyerapan media air sangat tergantung dari frekuensi gelombang dan tingkat salinitas media air.

Menurut Kloser et al. (2001) yang diacu dalam Siwabessy (2001), refleksi sinyal akustik dipengaruhi oleh :

a) impedansi akustik pada medium permukaan air laut maupun pada permukaan dasar perairan,

b) parameter akustik pada instrumen,

c) arah refleksi pada kolom air dan permukaan dasar perairan akibat kekasaran dasar perairan,

d) respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada permukaan air, gelembung dalam kolom air dan kapal,

e) gaung (noise) yang disebabkan instrumen akustik, f) absorpsi akustik air laut, dan

g) waktu tunda (time delay) yang kembali akibat spherical spreading terhadap perubahan kedalaman atau jarak perambatan.

Informasi mengenai tipe dasar sedimen dan vegetasi perairan secara umum dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS.

Sinyal echo ini dapat diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan dalam bentuk digital. Nilai dari sinyal echo selain tergantung dari tipe dasar perairan khususnya kekasaran dan kekerasan tetapi tergantung juga dari parameter alat misalnya frekuensi dan tranduser beamwidth (Burczynski 2002).

Menurut Sabol (2001), prinsip utama pelaksanaan survei batimetri dengan akustik adalah mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari orientasi vertikal pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing masing sistem, namun pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas (threshold) dan lebar puncak (peak width).

2.9 Hambur balik akustik pada vegetasi

Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang tanpa vegetasi dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi memliki pola yang berbeda. Gema yang berasal dari area yang memiliki vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar

16

Sumber : Stevens (2008)

Gambar 6. Contoh nilai backscatter pada ping 450 tanpa vegetasi

Sumber : Stevens (2008)

Gambar 7. Contoh nilai backscatter pada ping 330 dengan vegetasi

2.10 Instrumen Split Beam Echosounder

Instrumen split beam echosounder bekerja dengan memancarkan gelombang suara (ping) dan merekam pantulan balik dalam bentuk echo. Nilai backscatter (echo intensity) merupakan hasil perekaman dalam interval waktu, jarak antara transduser dan objek dalam kolom perairan di tentukan oleh nilai kecepatan suara dalam perairan. Transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian transduser pada waktu yang bersamaan.

Sinyal yang terpantul dari target di terima secara terpisah oleh masing-masing kuadran. Selama penerimaan berlangsung keempat bagian transduser menerima gema dan target, dimana target yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat dari sumbu sorot dan gema dari target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang bersamaan, tetapi jika target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu pusat surat suara, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian transduser yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari sorot penuh (full beam) (SIMRAD 1993).

Echosounder split beam modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) didalam sistim perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk mengeliminir pengaruh attenuation yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorbsi suara ketika merambat dalam air. Koreksi TVG memiliki dua modus, yaitu modus linear (20 log r) dan modus eksponensial (40 log r). Modus linear memberikan keakuratan yang lebih baik pada pengukuran target berkelompok, termasuk dasar perairan, sedangkan modus eksponensial digunakan untuk mendeteksi target tunggal di kolom perairan (Biosonics 2004).

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten administratif Kepulauan Seribu-Jakarta Utara.

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui telaah pustaka maupun observasi di lapangan.

Gambar 8. Lokasi penelitian

Pengolahan data akustik dan identifikasi spesies lamun dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB serta Laboratorium Tanah untuk analisis sedimennya.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 bagian peralatan utama yakni peralatan survei lapang dan peralatan sampling

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No Alat dan Bahan Type Keguanaan

I Peralatan survey lapang

- SIMRAD EY60 - Cruzpro - perekaman data akustik - GPSMAP - Garmin - menentukan posisi sampling

II Peralatan sampling

- Buku identifikasi lamun - identifikasi lamun - Roll meter - alat ukur

- Alat tulis - mencatat data lamun - Plastik - wadah sampel

- Tali - batas area

- Transek kuadrat - sampling lamun

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Identifikasi Lamun

Sebelum dilakukan pengambilan data akustik, dilakukan studi pendahuluan untuk menentukan titik stasiun pengamatan. Setiap stasiun pengamatan dengan spesies berbeda merupakan daerah padang lamun yang homogen, pengambilan sampel lamun dilakukan sebagai ground truth data. Luas area sampling adalah 100 m². Lokasi yang diplih merupakan perairan pantai yang terdapat vegetasi lamun dengan kedalaman 1 hingga 5 meter.

Pengambilan data lamun mengacu pada panduan menurut McKenzie et al. 2009 yakni :

a) Tipe substrat

Dengan pengklasifikasian sebagai berikut :

mud : memiliki tekstur yang halus, ukuran partkel < 63 µm,  fine sand : memiliki ukuran prikel > 63 µm dan < 0.25mm  sand : dengan ukuran partikel > 0.25mm dan < 0.5mm,

20

coarse sand : dengan ukuran > 0.5mm dan < 1mm

gravel : tekstur yang kasar dengan sedikit bebatuan, > 1mm b) Persen tutupan lamun, didukung dengan penggunaan foto.

c) Identifikasi komposisi spesies lamun, mengacu pada buku identifikasi jenis lamun (Mckenzie et al. 2009).

d) Rata rata tinggi lamun

Ukuran tinggi lamun akan diukur langsung menggunakan meteran yang dimulai dari pangkal daun sampai ujung daun.

e) Contoh spesies lamun diambil dan dianalisis di laboratorium. f) Contoh sedimen untuk analisis lanjutan.

3.3.2 Survei Akustik

Pengambilan data akustik menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 scientific echosounder system. Transduser split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz dengan kecepatan suara 1545 m/s dengan nilai transmitted pulse length 0.128 m/s.

Proses sounding untuk pengumpulan data akustik dilakukan pada saat pasang tertinggi untuk setiap stasiun dengan spesies yang berbeda. Pada saat sounding posisi orientasi transduser adalah downward looking (grazing angle = 90 derajat) atau pemancaran secara vertikal.

Transduser berada pada kedalaman setengah meter dari permukaan air laut, sedangkan spesies lamun yang menjadi objek pengamatan beradar pada kedalaman 1.7 sampai 3 meter. Kondisi kapal dalam keadaan mati mesin dan diusahakan untuk tetap pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan berasal dari vegetasi yang telah ditentukan.

Transduser diletakan pada bagian sisi kapal dengan kedalaman 0.5 meter dari permukaan laut. Transduser diletakan tegak lurus terhadap permukaan untuk memperoleh nilai hambur balik gema (echo) secara vertikal. Perekaman akustik tepat pada titik transek selama kurang lebih 15 menit untuk masing masing transek. Sistem Akustik merekam sinyal gema dan GPS map merekam data lintang dan bujur.

Gambar 9. Metode pengambilan sampel

Tabel. 2. Pengaturan parameter instrumen echo sounder SIMRAD EY60

Tipe transduser : ES120-7C

Frekuensi (f) : 120 (kHz) Kecepatan suara (c) : 1545 m/s Koefisien absorpsi (α) : 0.042762 dB/m

Gain (G) : 26.8

Equivalen beam angle (ѱ) : -21°

Transmitted power (P) : 50 (watt)

Pulse duration : 0.128 m/s

Kedalaman tranduser : 0.5 m

Threshold : 130 dB

3.4 Pemrosesan dan Analisis data

Setelah survey selesai dilakukan, dilanjtkan dengan kegiatan pemrosesan data. Data echo yang dihasilkan diproses dengan sisem pengolah lanjut (past processing) dengan Perangkat lunak SIMRAD EP 500 echo processing system versi 5.0. Perangkat lunak ini menghasilkan echogram dan parameter fisik dugaan

22

(depth, volume backscattering) dengan format file berentuk (extension raw dan bot). Interpretasi data akustik berdasarkan lokasi transek masing-masing, hasil pengolahan data akustik tersebut yang nantinya akan divaliadasi dengan pengukuran langsung. Beberapa tahapan dalam pengolahan dan analisis data sebagai berikut :

a) Ekstrak data

Data yang terekam dalam computer jinjing sebagai hasil perekaman akustik diolah lebih lanjut menggunakan perangkat lunak echo view. Perangkat ini juga digunakan mengekstrasi nilai mentah dari data akustik yang masih dalam format file berbentuk (extension raw dan bot).

b) Tahapan selanjutnya menampilkan pola gema dari hambur balik yang berasal dari pada dasar perairan. Grafik yang ditampilkan merupakan pantulan pertama dan pantulan berikutnya.

c) Pada tahap yang ke-tiga menginterpetasi nilai Sv (volume backscattering strength) yang diperoleh dengan mengintegrasi data akustik yang sudah di ekstrak. Pengolahan dilakukan pada domain time dan range yang lebih sempit. Tahapan ini akan menampilkan puncak yang terlihat nyata. Nilai Sv dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Sv = 10 log Sv d) Bentuk gelombang gema (echo waveform)

Tahapan ini merupakan tahapan untuk membedakan bentuk gema pada stasiun yang memliki lamun dan tanpa lamun.Hasil intesitas gema (echo intensity) ditampilkan dalambentuk echo waveform kemudian diperoleh

Dokumen terkait