• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …

A. Deskripsi Data

1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional, D.I. Yogyakarta tercatat memiliki luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.860.359,67 km²), merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 3). D.I. Yogyakarta secara administratif terbagi menjadi lima daerah tingkat II yaitu; Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 7).

Kualitas pendidikan yang memadai sangatlah diperlukan oleh penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup. Tingginya permintaan jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelenggara pendidikan yang makin bermutu sejalan dengan visi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Pusat Budaya, dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam Lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri, dan Sejahtera (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 106). Secara nasional, pendidikan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.

Pada tahun 2013/2014 untuk jenjang Perguruan Tinggi tercatat pada jenjang perguruan tinggi negeri (PTN), D.I. Yogyakarta memiliki 10 perguruan tinggi negeri, dengan jumlah mahasiswa keseluruhan sebanyak 110.437orang dan jumlah dosen sebanyak 4.828 orang. Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) tercatat sebanyak 107, dengan rincian sebanyak 18 universitas, 37 sekolah tinggi, 4 institut, 41 akademi dan 7 politeknik. Didalamnya tergabung mahasiswa sebanyak 74.165 orang yang diasuh oleh 5.539 orang dosen tetap (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 107).

Bermunculannya berbagai instansi pendidikan tinggi baik negeri hingga swasta yang tersedia di propinsi DIY dengan misi pendidikan berkualitas, berdaya saing, yang didukung oleh sumber daya pendidikan yang handal ini pun menambah dampak besarnya arus mahasiswa yang datang dari hampir seluruh penjuru daerah di Indonesia untuk merantau ke Yogyakarta dengan tujuan melanjutkan pendidikan, sehingga tidak akan berlebihan bila Yogyakarta sering disebut sebagai kota miniatur Indonesia.

Berdasarkan informasi dari hasil proyeksi penduduk dari SP2010, jumlah penduduk DIY tahun 2013 tercatat 3.594.854 jiwa. Menurut daerah, persentase penduduk kota mencapai 66,09 persen dan penduduk desa mencapai 33,91 persen. Dengan luas wilayah 3.185,80 km², kepadatan penduduk di DIY tercatat 1.128 jiwa per km2. D.I. Yogyakarta termasuk ke dalam kota dengan laju pertumbuhan

penduduk yang rendah di Indonesia, namun bukan berarti kota ini terlepas dari permasalahan kependudukan. Tingginya angka para perantau yang datang dari berbagai wilayah untuk menempuh pendidikan di Yogyakarta menjadi salah satu hal penyebab utama pada tingginya kepadatan penduduk yang hanya memusat pada lokasi-lokasi tertentu, khususnya pada lingkungan sekitar daerah sentra pendidikan di Yogyakarta seperti daerah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, terlebih pada saat musim awal tahun ajaran baru (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 63).

Hal ini tidak terlepas dari sejarah pendidikan berdirinya salah satu Perguruan Tinggi Islam tertua di Indonesia pada tanggal 08 Juli 1945

yang kemudian menjadi UII, serta konsep pendidikan pada “National

Onderwijs Institut Taman Siswa” yang didirikan oleh Ki Hajar

Dewantara pada tanggal 03 Juli 1992 di Yogyakarta. Di sinilah keunggulan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar yang kemudian berubah sebutan menjadi Kota Pendidikan karena dari Yogyakarta inilah kemudian lahir hari pendidikan Nasional yang mengambil hari lahir Ki Hajar Dewantara, Sang Pendiri Tamansiswa inilah yang kemudian menjadikan Yogyakarta sejak dulu santar dikenal oleh masyarakat luas di seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan banyak menarik minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di

Yogyakarta begitu terus dari dahulu hingga saat ini (Budi Wibowo, 2015:8).

Lingkungan hidup merupakan sejumlah benda dan kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati, serta mempengaruhi kehidupan kita. Semua saling berinteraksi dengan lingkungan hidup dan sebaliknya individu juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya (Ihromi, 1990:69). Oleh karena itu mau tidak mau dalam kehidupan kesehariannya manusia senantiasa bergantung pada lingkungannya, termasuk lingkungan sosial dan budaya. Mahasiswa maupun pelajar perantau mereka tinggal di Yogyakarta dengan tujuan utama dalam hal pendidikan yang bersifat sementara waktu menciptakan fenomena mobilitas penduduk yang cukup tinggi.

Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas non-permanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk non-permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan tidak ada niatan menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003: 172). Sehingga para mahasiswa pendatang atau perantau ini termasuk dalam mobilitas penduduk non-permanen yang biasanya tidak banyak

terikat dengan hak dan kewajiban atas aturan yang ada dilingkungan tempat yang mereka tinggali, atau bersifat longgar.

Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta yang didapat dari sumber proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, yaitu; Kulonprogo 403.203, Bantul 947.066, Gunungkidul 700.192, Sleman 1.141.684, Kotamadya Yogyakarta 402.709. Penduduk asli D.I. Yogyakarta pada dasarnya telah mempunyai hak dan kewajiban terhadap tempat tinggalnya (tanah-bangunan milik pribadi), serta hak dan kewajiban terhadap masyarakat sekitar mereka (bertetangga, sosialisasi, perasaan berkelompok), sehingga kecenderungan untuk melakukan perpindahan pun bisa dikatakan minim bahkan tidak ada sama sekali (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 70). a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta

Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture” , bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota dari masyarakat yang dialihkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1980: 195). D.I. Yogyakarta merupakan suatu wilayah otonomi provinsi yang memiliki keistimewaan tersendiri. Masyarakat Yogyakarta mempunyai beberapa karakteristik yang membedakan dengan masyarakat dari daerah lain. Di antara karakteristik sosial dari

masyarakat Yogyakarta yang menonjol adalah sikap berbudaya yang tinggi, menunjang nilai-nilai budaya, norma-norma sosial serta moral kehidupan berbudaya yang terkandung dalam adat istiadat Jawa dan hingga saat ini masih melekat mengiringi perkembangan sosial masyarakatnya. Meskipun perkembangan jaman yang semakin modern dan keadaan kota yang semakin didominasi mayoritas oleh para pendatang perantauan, tidak lantas membuat masyarakat Yogyakarta luput untuk tetap menghormati serta memelihara nilai-nilai luhur sosial dan budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai sosial budaya sebagai orang jawa masih tetap ada dan terpelihara sampai sekarang dalam mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tampak dari perilaku dan tindakan mereka sehari-hari yang amat terasa nilai paguyubannya serta tradisi yang rutin dilakukan oleh kraton setiap tahunnya. Interaksi antara sesama warga masyarakat Yogyakarta di warnai dengan suasana yang penuh kekeluargaan dan kebersamaan. Hubungan dan kedekatan antar warga cukup baik dan saling menghargai atau tepo seliro satu sama lainnya.

Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti memberikan dan mentaati perintah, bertanya dan menjawab pertanyaan, serta menjelaskan kejadian. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi dan memulai

interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen, Littlejohn andFoss, 2012: 67).

Begitu pula dengan masyarakat Yogyakarta, dalam kesehariannya dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Jawa. Dalam menggunakan bahasa Jawa ada beberapa hal yang diperhatikan oleh warga pribumi Yogyakarta, yaitu: siapa yang menjadi lawan bicara dan jenis tingkatan bahasa jawa yang kemudian akan digunakan. Jika berhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa krama alus/ inggil, namun apabila berhadapan dengan teman sebaya atau dibawah umurnya maka bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Jawa ngoko yang biasa dipergunakan oleh orang Jawa pada umumnya yang sangat familiar di dengar.

Budaya masyarakat D.I. Yogyakarta dengan tutur kata yang lembut, sopan dan ramah merupakan salah satu bukti terjaganya kelestarian budaya kota Yogyakarta. Akan tetapi hak ini tidak lantas membuat suatu dominasi tertentu terhadap pihak lainnya mengenai adanya perbedaan komposisi penduduk antara pribumi dengan perantau di Yogyakarta. Warga lokal Yogyakarta memiliki sikap fleksibel dalam usaha menerima dan beradaptasi dengan pendatang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya.

Dengan adanya percampuran tersebut tercipta suatu hubungan toleransi budaya dan nuansa khas multikultural di kota Yogyakarta.

Penduduk lokal senantiasa bergerak mengikuti perkembangan jaman tanpa melalaikan identitas sejatinya sebagai pribumi Yogyakarta yang berbudaya hal ini terlihat dari pola kehidupan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, unggah-ungguh, nilai norma dan adat istiadat Yogyakarta sebagai orang Jawa. Dipihak lain, warga Yogyakarta juga tidak mengesampingkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi setelah banyaknya pendatang yang tinggal untuk merantau di Yogyakarta, antara lain: sikap toleransi, menghargai dalam pergaulan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, terutama bagi pendatang luar Jawa yang tidak paham bahasa Jawa.

b. Mahasiswa perantauan di Yogyakarta

Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah disebut sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sekarang ini untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga disebut dengan pergi merantau (Kato Tsuyushi, 2005:13).

Para mahasiswa perantau yang berasal dari berbagai daerah propinsi di Indonesia yang memilih merantau ke Yogyakarta karena tertarik akan kualitas pendidikan yang tersedia di Yogyakarta ini datang hanya dengan tujuan utama dalam hal pendidikan. Para

mahasiswa perantau tersebut tergolong sebagai penduduk musiman tinggal di Yogyakarta dan bersifat sementara waktu. Secara tidak langsung hal ini berdampak pada suatu keadaan yang akhirnya menimbulkan suatu fenomena mobilitas penduduk di Indonesia yang cukup tinggi pada kota-kota besar tertentu yang dianggap oleh masyarakat umum merupakan tempat yang memiliki daya tarik sebagai pusat pendidikan. Fenomena mobilitas penduduk musiman dengan kepentingan pendidikan seperti ini pastinya hanya akan berlangsung dalam kurun waktu tertentu atau sementara waktu demi keperluan menimba ilmu, bukan untuk migrasi yang menetap secara permanen.

Tingginya daya tarik yang mampu di berikan oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak duhulu santar dikenal oleh khalayak umum dari sabang hingga merauke masyarakat luas di seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan banyak menyedot minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di Yogyakarta hingga saat ini di kuatkan dengan tabel jumlah mahasiswa di Perguruan Tinggi Yogyakarta tahun 2015 yang didapat dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pengukur secara nyata yang tertulis dalam data sekunder yang diperoleh peneliti untuk menjadi salah satu data resmi seperti tabel dibawah ini.

Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015

No. Asal Daerah Jumlah

1 DKI 9.141 2 Jawa Barat 14.886 3 Jawa Tengah 82.331 4 DIY 99.610 5 Jawa Timur 9.415 6 NAD 2.889 7 Sumatera Utara 17.832 8 Sumatera Barat 3.882 9 Riau 14.221 10 Jambi 4.114 11 Sumatera Selatan 7.993 12 Lampung 7.116 13 Kalimantan Barat 5.821 14 Kalimantan Tengah 3.882 15 Kalimantan Selatan 3.225

16 Kalimantan Timur-Kalimantan Utara 8.221

17 Sulawesi Utara 2.110 18 Sulawesi Tengah 2.577 19 Sulawesi Selatan 7.322 20 Sulawesi Tenggara 2.241 21 Sulawesi Barat 6.541 22 Maluku 1.447 23 Bali 2.792 24 NTB 4.472 25 NTT 13.822 26 Papua 7.889 27 Bengkulu 3.221 28 Banten 1.221 29 Maluku utara 1.227 30 Bangkabelitung 2.551 31 Gorontalo 1.261 32 Papua Barat 4.221 33 Kepuluan Riau 3.354 34 Luar Negeri 4.882 Jumlah Kumulatif 394.117

Tabel 2. Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015 Sumber: Data Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Angka 2015

Dari tabel jumlah mahasiswa di Yogyakarta berdasarkan asal daerah dari sumber data Dikpora Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015 diatas menunjukkan besarnya jumlah mahasiswa perantau yang datang ke Yogyakarta terdiri dari berbagai daerah luar D.I. Yogyakarta, provinsi-propinsi di luar pulau Jawa hingga luar Negeri sebesar 294.507. Mahasiswa-mahasiswa perantau tersebut datang dengan tujuan utama yang sama yaitu demi menempuh pendidikan tingkat lanjut yang berkualitas, menambah pengalaman, mampu berkembang secara luas dan melatih kemandirian diri di tengah kentalnya budaya etnis Jawa yang menonjol sebagai identitas budaya Yogyakarta. Tidak terelakkan jika hal ini kemudian memicu tingginya fenomena culture shock yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik budaya diatas kemajemukan latarbelakang budaya yang dimiliki oleh para mahasiswa perantau dengan keadaan sosial budaya yang ada di Yogyakarta.

Kedatangan mahasiswa-mahasiswa perantau ini kemudian mendorong munculnya suatu keadaan dimana identitas kebudayaan, etnis/ suku, bahasa akan terasa begitu heterogen, hal ini disebabkan oleh masuknya budaya-budaya luar Yogyakarta yang terbawa oleh setiap mahasiswa perantau kedalam D.I.Yogyakarta sedangkan jika dilihat dari tabel data Dikpora tahun 2015 mahasiswa pribumi lokal asli D.I. Yogyakarta sendiri sebesar 99.610 yang tersebar di PTN maupun PTS yang terdapat di Yogyakarta, hal ini memberikan kemungkinan bahwa disetiap perguruan tinggi di D.I.Yogyakarta baik PTN maupun PTS akan terdapat mahasiswa pribumi Yogyakarta.

Kenyataan lain datang dari data Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta dalam angka 2014 menunjukkan dosen pengajar menurut jenis PTN memiliki jumlah total 4.828 dan Jumlah dosen pengajar menurut Jenis PTS di D.I.Yogyakarta memiliki jumlah total 6.379 (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 131 dan 177) kesemuanya merupakan penduduk pribumi lokal D.I. Yogyakarta sebagai tuan rumah yang memiliki ciri khas dari identitas kearifan budayanya.

Dokumen terkait