• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

DESQUAMASI SEL-SEL

terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan.

Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa.

Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004)

Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah keasaman lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi. Vitamin C dan asam organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Adapun fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi nonheme (IOM-FNB 2001).

Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26 mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average requirement (EAR) = 14.6. Estimated average requirement (EAR) adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu.

Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram. Adapun bagi wanita yang sedang menyusui, kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari (Kartono & Soekatri 2004).

Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005).

Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih baik dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi. Adapun vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan

yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOM- FNB 2001).

Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya

Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat dalam bentuk interaksi sinergistik (saling bekerjasama/menguntungkan), antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut O’Brien et al.

(1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit. Besi dan seng saling berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino levulinik dehidrase (ALA Dehidrase). Salah satu peranan seng dalam tubuh adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi.

Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah.

Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6 diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama vitamin C dan riboflavin juga dapat mencegah anemia dengan cara meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000).

Efek pemberian vitamin A sangat menguntungkan dalam peningkatan status besi pada penderita defisiensi anemia defisiensi zat besi. Review beberapa studi yang dilakukan MIP (2000) dalam Briawan (2008) menunjukkan bahwa penambahan vitamin A yang cukup dapat membantu pemeliharaan besi di dalam

plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250 mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik sebesar 1,31±1,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,53±1,09 g/dl. Hasil penelitian ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh.

Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2 (riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan eritropoiesis. Kekurangan riboflavin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan meatabolisme besi dan eritropoiesis. Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan vitamin pada metabolisme zat besi.

Interaksi zat besi juga dapat terjadi dengan Mangan (Mn) dan Kobal (Co), yang mana penyerapan mangan yang banyak akan meningkatkan resiko defisiensi zat besi, sedangkan interaksi kekurangan kobalamin dengan zat besi dapat menyebabkan anemia pernisiosa. Zat besi juga dapat berinteraksi dengan beberapa logam berbahaya seperti aluminium (Al), timah (Pb) dan cadmium (Cd) (Crichton, 2001).

Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi

(Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000) Penentuan Status Gizi dan Status Besi

Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain, pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri, studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris

Kehilangan Darah (haid, pendararahan) Retikulosit Eritroblast Pro- Eritroblast Stem sel Sumsum Tulang Eritropoesis: Vitamin A Asam Folat Vitamin B12 Riboflavin Vitamin B6 Fungsi Antioksidan: Vitamin E VitaminC Mobilisasi besi: Vitamin A Vitamin C Riboflavin Eritrosit darah Simpanan Besi (Feritin, hemosiderin)

(dalam hati, darah)

Transferin Darah Sel Retikulo endothelial (Hati, Limpa) Penyerapan di usus: Vitamin A Vitamin C Riboflavin Jaringan Periferal (contoh: otot, plasenta)

Kehilangan besi di feses Mukosa

Usus

dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia. Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT) dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires).

Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul (RPP) yang menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

di mana

IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2 BB = Berat Badan dalam kg, dan TB = Tinggi Badan dalam m

Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai berikut: kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-25.0 kg/m2) dan gemuk (>25 kg/m2). Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah ≤0,8 untuk wanita dewasa dan ≤ 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point ≤

23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005). Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang memungkinkan secara rutin dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu

2

TB BB IMT

indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan peralatan yang diperlukan.

Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007), pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yaitu:

Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207

di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan Log = logaritma 10

STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103 SF = serum feritin dalam ug/l

Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan simpanan besi tubuhnya sebesar 4.87±4.14 mg/kg. Namun demikian analisis distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan simpanan besi tubuh sebesar 5.5±3.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.87±3.23 mg/kg.

Ukuran tingkat bawah (cuttoff) hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi anemia pada suatu wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah 120 g/l dan 36% (WHO 2001, BPPK Depkes 2008). Berdasarkan konsentrasi SF,

ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau

Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi.

Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai

cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l. Kebugaran Fisik

Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness

artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice)

dan keterampilan motorik (motor skills). Kebugaran fisik statis artinya ketidakadaan atau keadaan terbebas dari kecacatan atau penyakit. Kebugaran fisik dinamis atau fungsional artinya kemampuan untuk melakukan pekerjaan fisik yang berat. Adapun kebugaran fisik keterampilan motorik adalah kemampuan

untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantung- paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky 1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot, kelenturan dan komposisi tubuh.

Daya tahan jantung-paru (cardiovascular endurance) merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik (aerobic fitness).

Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah.

Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera.

Komposisi tubuh (body composition) adalah proporsi lemak dalam tubuh dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga digambarkan sebagai berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Berat badan tanpa lemak terdiri dari massa otot (40-50%) tulang (16-18%) dan organ tubuh (29-39%). Lemak badan yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja, menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara umum. Berat lemak (body fat-BF) dinyatakan dalam persentase berat lemak badan terhadap berat badan total (%LB). Ketidakmampuan tubuh dalam

melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley 1982; Quinn 2008).

Pengukuran Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.).

Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit. Hasilnya dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008).

Berdasarkan kondisi dengan memperhatikan jenis kelamin dan usia, maka kriteria kebugaran fisik seseorang berdasarkan nilai VO2maks untuk wanita usia 20-29 tahun adalah sebagai berikut: bila kurang atau sama dengan 28 ml/kg/menit maka derajat kebugarannya sangat kurang, antara 28 dan 34 kurang, antara 35 dan

43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali (RHSFNS 2008).

Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh, serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987), uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian, pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek.

Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan. Peralatan yang diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50 cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath 1943). Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test

(Astrand 1960).

Pengujian kebugaran fisik dengan Astrand-Ryhming (A-R) step test (Astrand 1960), memiliki beberapa keuntungan antara lain adalah: membutuhkan peralatan dan biaya minimal, memerlukan waktu sebentar sehingga memungkinkan untuk dikelola dengan lebih baik. Alat yang diperlukan bangku setinggi 33 cm (13 inci) untuk wanita dan 40 cm (16 inci) untuk pria, stopwatch dan metronome. Peserta diminta untuk naik-turun bangku selama 5 menit dengan frekuensi 22.5 kali per menit (dijaga stabil dengan mengikuti irama yang disetel dari metronome diset pada 90 ketuk/menit). Pada akhir menit ke lima, peserta diminta untuk tetap

berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher (carotid artery).

Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test – QCST serta the National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test.

Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis (1987), dan Lee et al. (2008).

Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik.

Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur Anemia dan Kekurangan Zat Besi

Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia

Dokumen terkait