• Tidak ada hasil yang ditemukan

The effect of micronutrient supplementation on the iron status and physical fitness of the woman workers at reproductive age

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The effect of micronutrient supplementation on the iron status and physical fitness of the woman workers at reproductive age"

Copied!
313
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN ZAT GIZI MIKRO

TERHADAP STATUS BESI DAN KEBUGARAN FISIK

PEKERJA WANITA USIA SUBUR

YAKTIWORO INDRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2011

Yaktiworo Indriani

(4)
(5)

ABSTRACT

YAKTIWORO INDRIANI. The effect of Micronutrient Supplementation on the Iron Status and Physical Fitness of the Woman Workers at Reproductive Age. Under direction of ALI KHOMSAN, DADANG SUKANDAR, HADI RIYADI

Nowadays, there are many companies employing women as their main workers. In general, the aims of the study are to examine the influence of micronutrients on iron status (hemoglobin, hematocrit, serum ferritin and serum transferin receptor), and to assess the physical fitness (VO2max) of woman workers whose hemoglobin levels were 80 to 125 g/l or marginal and worked at the activity levels classified as moderate to active. The preliminary research was conducted by a survey method with a sample size of 338 households. This research employed an experimental design of double blind, completely randomized design. The experimental unit, taken from the preliminary study, consisted of 39 non-pregnant woman workers of reproductive age whose hemoglobin levels were 80 to 125 g/l or marginal. However, five of them were drop out due to pregnancy or sickness. The treatments applied in the study were by providing three levels of capsules containing: (1) a combination of iron and folic acid (BF), (2) multi-vitamin and mineral (MVM) which contains 15 different vitamins and minerals, and (3) placebo (P) which does not contain vitamins and minerals. The research result showed that the iron status of the woman workers was getting better after the supplementation. The three times per week supplementation with BF could significantly improve Hb 18.2 g/l and SF 10.1 ug/l, while the MVM could increase Hb 16.4 g/l and SF 2.4 ug/l. The increase of Hb levels in group BF and MVM was significantly different from that in group P, but the increase of SF levels was not significantly different among the three groups. The supplements of BF and MVM could significantly improve the physical fitness (VO2max) of the anemia (Hb<120 g/l) woman workers by 12.5% and 13.7%.

(6)
(7)

RINGKASAN

YAKTIWORO INDRIANI. Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN, DADANG SUKANDAR, HADI RIYADI

Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak dilakukan secara manual. Namun, secara umum status gizi dan kesehatan pekerja WUS di Indonesia belum banyak diperhatikan.

Secara umum penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian zat gizi mikro terhadap status besi (hemoglobin, hematokrit serta serum feritin dan tranferin reseptor) dan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja wanita yang anemia yang tingkat aktivitas bekerjanya tergolong sedang sampai aktif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, di perusahaan pengalengan nanas yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Perusahaan tersebut memiliki perkebunannya sendiri, sehingga terjamin bahan bakunya dan dapat berproduksi secara kontinyu.

Tahap pertama penelitian adalah studi pendahuluan yang merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul Study on the Nutritional Status and Physical Fitness of the Non Pregnant Woman Workers to Support the Household Socio-Economy (Studi Status Gizi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Tidak Hamil dalam Mendukung Sosial Ekonomi Keluarga). Secara umum studi pendahuluan bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis status gizi dan kesehatan, prevalensi anemia, kebugaran fisik serta karakteristik sosial ekonomi rumah tangga pekerja wanita tidak sedang hamil yang bekerja di perusahaan pengalengan nanas tersebut di atas. Studi pendahuluan dilakukan menggunakan metode survai yang melibatkan 338 sampel rumah tangga pekerja wanita.

Penelitian untuk disertasi ini merupakan penelitian tahap ke dua yang merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap-RAL (completely randomized design-CRD). Perlakuan yang diberikan adalah suplementasi atau pemberian tambahan zat gizi mikro dalam kemasan kapsul secara buta ganda (double blind). Unit percobaan penelitian ini adalah pekerja 39 orang wanita usia subur yang memiliki kadar hemmoglobin (Hb) marginal berdasarkan hasil studi pendahuluan. Kriteria Hb marginal adalah mengalami anemia dengan kadar Hb 80—119 g/l, dan Hb termasuk normal namun di ambang batas bawah dengan kadar Hb 120—125 g/l. Studi pendahuluan dilakukan pada bulan Juni—Agustus 2010, sedangkan penelitian eksperimental dilaksanakan bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011. Protokol (Nomor Protokol 021005068)

penelitian ini telah mendapatkan persetujuan (Ethical Approval) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor LB.03.04/ KE/5581/2010.

(8)

International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG 2003). Kapsul MVM berisi 15 macam vitamin dan mineral yaitu vitamin A 800 μg, D 200 IU, E 10 mg, C 70 mg, B1 1.4 mg, B2 1.4 mg, B3 18 mg, B6 1.9 mg, B12 1.9 μg, asam folat 400 μg, besi 30 mg, seng 15 mg, copper 2 mg, selenium 65 μg, yodium 150 μg yang merupakan saran UNICEF/WHO/UNU (1999). Adapun kapsul P berisi amilum berfungsi sebagai kontrol. Pemberian kapsul dilakukan tiga kali per minggu selama 10 minggu.

Terdapat empat peubah respon untuk status besi dalam darah yaitu Hb, hematokrit (Ht), serum feritin (SF), dan serum transferin reseptor (STfR). Adapun peubah respon untuk kebugaran fisik adalah VO2maks yang diukur melalui uji bangku Astrand Rhyming. Setiap peubah respon diukur dua kali, yaitu sebelum dan sesudah suplementasi. Sebelum uji bangku dilakukan pengukuran tekanan darah untuk memastikan bahwa pekerja tidak terkena tekanan darah tinggi. Seminggu sebelum dimulai suplementasi, dilakukan pemberian obat cacing untuk menghilangkan pengaruh infestasi cacing, dan uji laju endap darah (LED) untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi (radang). Selain itu, dilakukan pengukuran status gizi antropometri (indeks massa tubuh-IMT, lingkar lengan atas-LILA, dan rasio pinggang pinggul-RPP), persentase lemak tubuh (%LB), dan asupan zat gizi melalui recall makanan selama 24 jam sebelumnya. Analisis kadar Hb, Ht, dan LED dilakukan di laboratorium klinik di Bandar Lampung. Kadar SF dan STfR dianalisis di Laboratorium SEAMEO Tropmed RCCN Universitas Indonesia di Jakarta. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excel serta SPSS version 17.0. Analisis statistika yang dilakukan adalah uji beda rata-rata (uji t), ANOVA dengan uji lanjut Duncan serta ANCOVA dan uji lanjut LSD untuk mengetahui adanya peubah pengganggu pada peubah respon.

Pelaksanaan suplementasi dilakukan di depan peneliti atau asisten peneliti setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik. Waktu minum kapsul adalah sesudah makan siang, bagi yang bekerja pagi, atau sesudah makan malam bagi yang bekerja malam. Kepatuhan minum kapsul semuanya 100%.

Pekerja wanita anemia marginal yang berhasil mengikuti suplementasi sampai selesai berjumlah 34 orang. Terdapat 5 orang (13%) pekerja wanita yang gugur dikarenakan 3 orang hamil, dan 2 orang sakit. Mereka berasal dari grup BF dan MVM masing-masing dua orang, dan seorang dari grup P.Berdasarkan uji t, tidak ada perbedaan yang nyata (p = 0.37-0.96) dalam rataan berat badan (BB), tinggi badan (TB), indeks IMT, Hb, Ht, SF, STfR dan VO2maks antara 39 orang dengan 34 orang yang memiliki data lengkap.

(9)

tersebut berbeda nyata namun kenaikan Ht tidak berbeda nyata antar perlakuan. Meskipun reratanya sudah normal, pada MVM masih ada yang berstatus anemia yaitu sebanyak 27%, dan pada P sebanyak 33%, sedangkan pada BF tidak ada lagi yang anemia.

Rataan SF , STfR dan jumlah besi dalam tubuh sebelum perlakuan pada BF berturut turut 23.9 ug/l, 6.0 mg/l, dan 2.24 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 34.0 ug/l, 7.4 mg/l, dan 3.2 mg/kg. Pada MVM berturut-turut sebelum perlakuan 28.7 ug/l, 5.8 mg/l, dan 3.2 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 31.2ug/l, 5.7 mg/l dan 4.2 mg/l. Adapun pada P berturut turut 17.0 ug/l, 6.3 mg/l, dan 1.3 mg/kg; sesudah perlakuan menjadi 16.6 ug/l, 8.0 mg/l, dan 0.4 mg/kg. Rataan sesudah perlakuan tersebut berbeda nyata antar perlakuan (p=0.019-0.049) namun peningkatannya tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05). Pada MVM terjadi perbaikan transportasi zat besi dalam jaringan tubuh, ditunjukkan dengan turunnya STfR. Kadar SF secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan; sedangkan kadar STfR dipengaruhi oleh perlakuan serta kadar Hb dan STfR sebelum perlakuan.

Aktivitas fisik yang dilakukan paling lama adalah untuk bekerja yakni selama 9.6 jam per hari. Kebugaran fisik pekerja WUS yang diukur berdasarkan nilai VO2maks baik sebelum maupun sesudah perlakuan termasuk baik hingga superior. Sesudah perlakuan baik denyut jantung maupun VO2maks membaik, namun perubahannya tidak nyata. Sebelum perlakuan denyut jantung dan VO2maks pada BF 37.2 kali/15” dan 39.5 ml/kg/menit, pada MVM 35.9 kali/15” dan 41.1 ml/kg/menit, sedangkan pada P 36.6 kali/15” dan 40.9 ml/kg/menit. Sesudah perlakuan menjadi BF 33.7 kali/15” dan 44.3 ml/kg/menit, MVM 33.3 kali/15” dan 45.5 ml/kg/menit, sedangkan P 36.9 kali/15” dan 39.8 ml/kg/menit . Penurunan jumlah denyut jantung pada BF dan MVM sesudah perlakuan menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan efisiensi kerja jantung, dan ini menyebabkan VO2maks meningkat yang berarti pekerja WUS semakin bugar. Hal yang sebaliknya yang terjadi pada P, yaitu efisiensi kerja jantung dan kebugaran fisiknya cenderung menurun. Kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS yang anemia dipengaruhi perlakuan, VO2maks sebelum perlakuan serta asupan zat besi selama perlakuan.

Kesimpulannya adalah suplementasi tiga kali per minggu dengan BF pada pekerja WUS yang memiliki kadar Hb marginal secara nyata dapat meningkatkan kadar Hb 8%, dan SF 45%; sedangkan dengan MVM secara nyata dapat meningkatkan Hb 6% dan cenderung meningkatkan SF 12%. Suplemen BF dan MVM dapat meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia sebesar 12.5% and 13.7%. Tanpa suplemen pekerja WUS cenderung mengalami penurunan kadar SF, jumlah besi tubuh dan kebugaran fisik. Kapsul BF lebih baik dalam meningkatkan status besi hemoglobin, serum feritin dan jumlah besi dalam tubuh dibandingkan MVM; sedangkan MVM lebih baik dalam memperbaiki transportasi zat besi dalam jaringan tubuh serta meningkatkan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia dibandingkan BF.

(10)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(11)

PENGARUH PEMBERIAN ZAT GIZI MIKRO

TERHADAP STATUS BESI DAN KEBUGARAN FISIK

PEKERJA WANITA USIA SUBUR

YAKTIWORO INDRIANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof . Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Sanjaya, MPH

(13)

Judul Disertasi : Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur Nama : Yaktiworo Indriani

NIM : I162070071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Anggota Anggotaram

Mengetahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Gizi Manusia

drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Drh.M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc.Ph.D. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya pada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Zat Gizi Mikro terhadap Status Besi dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Usia Subur”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan MS, selaku ketua komisi pembimbing atas semua arahan, saran, motivasi dan teladan yang diberikan kepada penulis sejak mulai penggalian ide dan sumber dana hingga penulisan disertasi ini. Berikutnya, kepada Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. dan Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. sebagai pembimbing anggota yang banyak memberikan saran dan berbagai kemudahan kepada penulis selama proses penelitian dan penulisan disertasi.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ditjen Dikti melalui Proyek

Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) Universitas Lampung atas beasiswa pendidikan dan dana penelitian yang diberikan melalui Hibah Penelitian Sesuai Prioritas Nasional tahun 2010; kantor WHO di Jakarta atas sumbangan tablet multivitamin dan mineral, Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF), the Netherlands, atas dukungan dana dalam penelitian pendahuluan; Pemeritah Provinsi Lampung atas bantuan dana penulisan disertasi, Pimpinan PT GGP di Lampung Tengah atas ijinnya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini; Pimpinan dan staf pelaksana Laboratorium Duta Medika di Bandar Lampung dan SEAMEO TROPMED RCCN Universitas Indonesia atas bantuannya dalam analisis darah; dr. Reni Zuraida, M.Si. dan Rettha Aprilian, S.Gz. atas bantuannya pada saat suplementasi, serta teman-teman satu angkatan GMA 2007 atas persaudaraan yang mewarnai proses studi penulis.

Kepada suami penulis Ir. Budi Kuspriyanto, MEP dan anak-anak Siti, Lisdia, Boni dan Wati yang telah mengijinkan bahkan mendorong penulis mengambil program doktor dan memberikan perhatian, kasih sayang, pengorbanan serta dukungan moril dan materiil secara terus menerus; serta saudara-saudara penulis di perantauan: Ir. Wuryaningsih DS, MS, Dr. Dwi Hapsoro, Dr. Yusnita, Dr. Warsono, Dr. Sulistyo Arintono, Ir Wiyogo Supriyanto dan Dra. Ari Nurweni, MA sekeluarga yang selalu memberikan semangat dan bersama dalam suka dan duka, penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna. Namun demikian, penulis berharap disertasi ini tetap bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu gizi manusia.

Bogor, November 2011

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 1961 dari ayah Drs. H. Soewardjo Koesoemapraba dengan ibu Hj. Hartadiyah Koesoemapraba. Penulis merupakan putri ke empat dari tujuh bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan program Strata-2 di University of Kentucky di Lexington, Kentucky USA dan memperoleh gelar Master of Science inNutrition and Food pada tahun 1991. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor pada Program Study Ilmu Gizi Manusia Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Ditjen Dikti melalui Proyek Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency

(IMHERE) Universitas Lampung. Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Lampung sejak tahun 1985 hingga sekarang.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) ... 7

Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain ... 8

Fungsi dan Metabolisme Besi ... 9

Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi ... 13

Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya ... 15

Penentuan Status Gizi dan Status Besi ... 17

Kebugaran Fisik ... 20

Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik ... 20

Pengukuran Kebugaran Fisik ... 22

Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur ... 24

Anemia dan Kekurangan Zat Besi ... 24

Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia ... 27

Suplementasi Besi pada WUS ... 29

KERANGKA PEMIKIRAN ... 37

METODE PENELITIAN ... 41

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

Cara Penentuan Sampel dan Subyek Penelitian ... 42

(20)

Perekrutan Subyek Penelitian... 45

Pemberian Zat Gizi Mikro... 47

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 49

Peubah Respon Percobaan ... 49

Peubah Pengganggu (Covariate Variables) ... 49

Pengukuran Status Gizi , Status Besi dan Jumlah Besi dalam Tubuh ... 50

Komposisi Tubuh, Aktivitas Fisik dan Kebugaran Fisik WUS ... 52

Pengendalian, Pengolahan dan Analisis Data ... 54

Model Matematika ... 56

Keterbatasan Data ... 58

Definisi Operasional ... 58

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 61

Studi Pendahuluan ... 63

Karakteristik Sosial dan Ekonomi Pekerja Wanita ... 63

Kebiasaan Makan Pekerja Wanita... 66

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Pekerja Wanita ... 69

Status Gizi Antropometri ... 70

Status Anemia dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita... 72

Penelitian Eksperimental ... 74

Karakteristik Pekerja WUS ... 74

Pemberian Zat Gizi Mikro ... 77

Status Gizi Antropometri ... 78

Asupan Zat Gizi dan Tingkat Kecukupan Gizi (%AKG) ... 79

Alokasi Waktu, Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi ... 85

Pemeriksaan Darah ... 88

Status Besi ... 91

Hemoglobin dan Hematokrit ... 92

Serum Ferritin, Transferin Reseptor dan Simpanan Besi ... 95

Kebugaran Fisik ... 100

(21)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

Kesimpulan ... 109

Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari... 7 2 Perkembangan prevalensi anemia pada WUS di beberapa provinsi di

Indonesia ... 28 3 Komposisi suplemen yang dianjurkan dibandingkan dengan angka

kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk WUS di Indonesia ... 31 4 Distribusi pekerja wanita di bagian pengalengan berdasarkan usia ... 42 5 Komposisi zat gizi kapsul menurut kelompok perlakuan ... 48 6 Peubah respon dan metode pengukurannya dalam penelitian... 49 7 Peubah pengganggu dan metode pengukurannya dalam penelitian ... 50 8 Astrand-Ryhming Step Test Norms (A-R test norms) untuk menaksir nilai

VO2maks dengan menghitung denyut jantung setelah uji naik-turun

bangku A-R ... 53 9 Ukuran normatif VO2maks untuk wanita dalam ml/kg/menit ... 54 10 Sebaran karyawan tetap PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen

tahun 2010... 62 11 Sebaran tenaga kerja harian PT GGP menurut jenis kelamin dan

departemen tahun 2010 ... 63 12 Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita menurut posisi

kerja (Rp) ... 65 13 Persentase pekerja wanita menurut beberapa item kebiasaan makan ... 66 14 Frekuensi konsumsi makanan (kali/minggu) pekerja wanita menurut posisi

kerja ... 67 15 Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja wanita

(24)

18 Kebugaran fisik pekerja wanita berdasarkan denyut jantung dan

VO2maks menurut posisi kerja ... 73 19 Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dan hematologik sebelum

suplementasi...74 20 Beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS (n=34) ... 75 21 Sebaran pekerja WUS menurut manfaat minum kapsul yang dirasakannya

selama sepuluh minggu ... 77 22 Karakteristik antropometri pekerja WUS menurut perlakuan ... 79

23 Nilai rataan asupan zat gizi sebelum dan selama perlakuan ... 80 24 Tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja WUS sebelum dan selama

perlakuan menurut grup perlakuan ... 81 25 Distribusi persentase pekerja WUS menurut tingkat kecukupan vitamin A,

vitamin C, kalsium dan fosfor ... 84 26 Nilai rataan alokasi waktu untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh

pekerja WUS selama satu hari (jam) ... 86 27 Pengeluaran energi pekerja WUS selama perlakuan ... 89 28 Hasil analisis laju endap darah (LED) dan darah lengkap sebelum dan

sesudah perlakuan ... 90 29 Kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) menurut grup perlakuan... 92 30 Kadar SF, STfR dan jumlah Fe dalam tubuh menurut grup perlakuan ... 95 31 Persentase berat lemak badan (%LB) dan air badan (%AB) menurut

perlakuan ... 101 32 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh ... 10

2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa ... 12 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi ... 17 4 Skema kerangka pemikiran pengaruh pemberian gizi mikro terhadap

status besi dan kebugaran fisik pekerja... 40 5 Skema tahapan operasional penelitian ... 46 6 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) energi

sebelum dan selama perlakuan ... 82 7 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) protein

sebelum dan selama perlakuan ... 83 8 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi (%AKG) zat

besi sebelum dan selama perlakuan ... 85 9 Alokasi waktu pekerja WUS per hari pada berbagai aktivitas ... 86 10 Perbandingan antara asupan dengan pengeluaran energi pekerja WUS

pada selama perlakuan ... 87 11 Peningkatan Hb dan Ht sesudah perlakuan ... 94 12 Distribusi pekerja WUS menurut kadar SF sebelum (a) dan sesudah

perlakuan (b) ... 97 13 Nilai rataan kebugaran fisik (VO2maks) pekerja WUS anemia

(Hb<120 g/l) sebelum dan sesudah perlakuan (adjusted) ... 104 14 Persentase perubahan VO2maks sesudah perlakuan pada pekerja WUS

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance)... 119 2 Formulir persetujuan untuk mengikuti penelitian (Informed Consent)... 120 3 Ijin Penelitian ... 121 4 Kuesioner Penelitian ... 122 5 Hasil uji t kadar Hb dan Ht antara studi pendahuluan (Juni 2010) dengan

sebelum perlakuan (Oktober 2010) ... 128 6 Hasil ANOVA selisih Hb dan Ht antara sesudah dengan sebelum

perlakuan (n=34)... 128 7 Uji ANOVA kadar SF, STfR dan besi tubuh sesudah perlakuan (n=34) ... 129 8 Uji ANOVA selisih kadar SF dan STfR antara sebelum dengan sesudah

perlakuan (n=34)... 130 9 Uji ANCOVA selisih kadar SF ... 130 10 Uji ANCOVA selisih kadar STfR (n=34) ... 131 11 Uji ANCOVA selisih VO2maks (n=34) ... 132 12 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut

perlakuan dengan subyek 28 pekerja WUS anemia (Hb<120 g/l) ... 132 13 Uji ANCOVA selisih VO2maks pada 28 pekerja WUS anemia

(Hb<120 g/l) ... 133 14 Korelasi antar beberapa peubah terpilih ... 134 15 Prosedur pengambilan darah, penanganan sampel, serta pengujian

(28)
(29)

Latar Belakang

Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak dilakukan secara manual. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 (BPS 2009), jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 105.80 juta, di mana yang bekerja sebanyak 94.95 juta, terdiri dari 63.97 persen pekerja laki-laki dan 36.03 persen pekerja wanita. Persentase pekerja wanita tersebut telah mengalami kenaikan sebesar 0.96 persen dibanding tahun 2003. Peningkatan ini selain dapat dilihat sebagai hal yang positif yakni bertambahnya tenaga produktif, juga merupakan tantangan untuk dilakukannya usaha peningkatan perbaikan SDM pekerja tersebut. Terlebih, sebagian besar pekerja wanita tersebut adalah WUS berusia 18-45 tahun yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak terlepas dari memiliki masalah kesehatan. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah membuat pekerja wanita sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro.

Status gizi dan kesehatan pekerja WUS di Indonesia belum banyak diperhatikan. Hal ini bisa terlihat dari tingginya prevalensi anemia pada pekerja WUS yang masih cukup tinggi. Depkes RI (2004), menyatakan bahwa sekitar 50% dari 25 juta pekerja wanita di Indonesia menderita anemia gizi akibat kekurangan zat besi atau disebut sebagai anemia gizi besi (AGB). Secara umum anemia pada WUS di Indonesia menurut BPPK Depkes RI (2008) pada tahun 2007 ditemukan sebesar 19.7 persen dan pada wanita yang sedang hamil lebih tinggi lagi yaitu 24.5 persen. Prevalensi anemia pada ibu hamil yang lebih tinggi dibandingkan WUS secara total, diperkirakan terjadi karena ibu tersebut telah mengalami anemia sejak lama, jauh sebelum hamil dan kondisi tersebut menjadikan anemia pada anak balita lebih tinggi lagi yakni sebesar 27.7 persen.

(30)

persen dan pada wanita hamil 50.9 persen. Oleh karena itu, pada tahun 1996 program suplementasi besi diperluas kepada anak balita dan WUS yang tidak sedang hamil, khususnya yang menjadi pekerja-pekerja pabrik. Namun demikian, program suplementasi besi yang ditujukan kepada pekerja WUS di pabrik-pabrik tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan dan belum ada sistem monitoringnya (Kodyat et al. 1998; Atmarita 2005; Dillon 2005).

Pada tahun 1998 Depkes RI telah menerbitkan “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Puteri dan Wanita Usia Subur”. Mulai tahun 2003 Depkes juga telah melaksanakan Program Penanggulangan Anemia untuk WUS melalui suplementasi tablet tambah darah (TTD) mandiri yang diikuti dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Selain itu Bappenas (2007) di dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 juga telah merencanakan untuk meningkatkan pemberian suplemen tablet besi pada remaja putri, calon pengantin dan tenaga kerja wanita untuk menurunkan prevalensi anemia pada Ibu hamil, ibu nifas, balita dan wanita usia subur (WUS). Namun, rencana-rencana pemberian suplemen besi khususnya kepada pekerja WUS kurang tersosialisasi dan hingga kini tetap belum dilaksanakan di perusahaan-perusahaan yang banyak mempekerjakan WUS. Tersedianya TTD, mengandung besi elemental 60 mg dan asam folat 250 µg, di pasaran dengan harga yang relatif murah dan terjangkau sebagai bagian dari program TTD mandiri ternyata juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat.

(31)

sebelum menerima suplementasi. Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada pekerja WUS di Indonesia setelah tahun 2000 dilakukan antara lain oleh Mulyawati (2003) dan Ekayanti (2005) masing-masing menggunakan dosis dan komposisi yang berbeda. Adapun Dillon (2005) dan Briawan (2008) melakukan pemberian besi ditambah dengan zat gizi mikro lain pada WUS yang masih remaja, juga dengan menggunakan komposisi yang berbeda. Implementasi hasil-hasil penelitian di atas pada pekerja WUS hingga kini belum ditemukan, mungkin karena suplemen yang disarankannya belum diproduksi untuk umum sehingga tidak bisa langsung ditemui di pasaran.

INACG (2003) menyarankan bahwa para WUS yang tidak sedang hamil perlu diberi suplementasi 60 mg zat besi yang disertai dengan 400 µg folat sebagai usaha preventif untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan jika dia nanti hamil. Adapun UNICEF/WHO/UNU (1999), sudah lebih dahulu menyarankan bahwa untuk memperbaiki status gizi WUS tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja, namun diperlukan suplementasi berbagai zat gizi mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral. Kedua macam komposisi suplemen tersebut selama ini dapat ditemui di pasaran, meskipun dengan dosis yang sedikit berbeda antar merk.

(32)

fisik, apalagi biasanya mereka bekerja dalam kondisi ruang yang cukup panas dan tertutup. Kondisi ini dikawatirkan lama-kelamaan akan mengurangi kebugaran fisik dan berakibat pada menurunnya produktivitas kerja mereka. Apalagi, jika asupan gizi mereka tidak baik sehingga mengalami masalah gizi kurang seperti AGB yang ditandai dengan kadar Hb rendah (di bawah standar normal). Hal ini sesuai dengan hasil studi Kosen, Herman, dan Schultink (1998) yang mendapatkan bahwa produktivitas kerja secara negatif dipengaruhi oleh kekurangan zat besi, bukan hanya di antara pekerja yang terlibat dalam pekerjaan berat, tetapi juga di kalangan pekerja pabrik perempuan yang terlibat dalam pekerjaan ringan. Studi WHO pada faktor-faktor risiko menyatakan bahwa gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja adalah 1 dari 10 penyebab kematian dan kecacatan di dunia. Lebih dari dua juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak atau kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2006). Namun belum ada laporan, dan karenanya perlu ada penelitian bagaimanakah aktivitas fisik dan status besi para pekerja WUS sebagaimana yang bekerja di perusahaan tersebut di atas.

Masalah yang menarik untuk diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah status gizi, status besi, aktivitas fisik, dan kebugaran fisik pekerja WUS yang diketahui memiliki kadar hemoglobin (Hb) marginal? Selanjutnya bagaimanakah status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS tersebut jika diberi suplemen gizi mikro besi dan asam folat (BF) atau multivitamin dan mineral (MVM) sebagaimana yang disarankan oleh INACG (2003) dan UNICEF/WHO/UNU (1999)?

Tujuan Penelitian

(33)

3 menganalisis perbedaan pengaruh pemberian zat gizi mikro BF dan MVM terhadap status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS,

4 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan status besi dan kebugaran fisik pekerja WUS sesudah diberi BF dan MVM.

Hipotesis Penelitian

Tujuan khusus penelitian ke satu dan dua di atas dijawab dengan cara deskriptif statistik. Adapun untuk menjawab tujuan ke tiga dan empat dilakukan analisis statistik dengan menggunakan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1 status besi pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan,

2 kebugaran fisik pekerja WUS setelah perlakuan lebih baik dibandingkan dengan sebelum perlakuan,

3 ada perbedaan status besi yang nyata antara pekerja wanita anemia yang diberi perlakuan BF dengan yang diberi MVM,

4 ada perbedaan kebugaran fisik yang nyata antara pekerja WUS yang diberi BF dengan yang diberi MVM,

5 peningkatan status besi pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan indeks massa tubuh sebelum perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan,

6 perbaikan kebugaran fisik pekerja WUS dipengaruhi oleh jenis perlakuan, lama kerja, status besi dan kebugaran fisik sebelum perlakuan, komposisi tubuh sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dari makanan, dan pengeluaran energi selama perlakuan.

Manfaat Penelitian

(34)
(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Status, Kecukupan serta Masalah Gizi Pekerja Wanita Usia Subur (WUS) Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Untuk memperoleh status gizi yang baik, seseorang memerlukan makanan yang seimbang yaitu yang mengandung zat gizi: karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup. Keenam macam zat gizi tersebut diperlukan manusia dalam jumlah yang berbeda-beda tergantung tahap atau masa perkembangan hidupnya. Kekurangan atau kelebihan salah satu atau lebih zat gizi tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan masalah gizi atau malnutrition (Almatsir 2002). Pada Tabel 1 dapat dilihat angka kecukupan berbagai macam zat gizi untuk wanita di Indonesia. Tabel 1 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari

Deskripsi 16-8 tahun 19-29 tahun 30-49 tahun

Berat badan (kg) 50 52 55

Tinggi badan (cm) 150 156 156

Energi (Kal) 2 200 1 900 1 800

Protein(g) 55 50 50

Vitamin A (μg) 600 500 500

Vitamin D (IU) 5 200 200

Vitamin E (mg) 15 15 15

Vitamin C (mg) 75 75 75

Thiamin (mg) 1.1 1.0 0.9 Riboflavin (mg) 1.0 1.1 1.1

Niasin (mg) 14 14 14

Vitamin B-6 (mg) 1.2 1.3 1.3 Vitamin B-12 (μg) 2.4 2.4 2.4

Asam Folat (μg) 400 400 400

Vitamin K (μg) 55 55 55

Kalsium (mg) 1 000 800 800

Fosfor (mg) 240 240 270

Magnesium (mg) 1 000 600 600

Fluor (mg) 2.5 2.5 2.7

Besi (mg) 26 26 26

Mangan (mg) 1.6 1.8 1.8 Seng (mg) 14 9.3 9.8

Selenium (μg) 30 30 30

Yodium (μg) 150 150 150

(36)

Sebagaimana negara yang sedang berkembang, hingga kini Indonesia masih mengalami berbagai masalah gizi, khususnya gizi kurang yang terutama dialami oleh keluarga miskin. Secara khusus, terdapat empat masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia yaitu gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi dan protein (KEP). Masalah gizi yang banyak ditemui pada kelompok WUS 18-45 tahun adalah AGB (Atmarita 2005).

Pertumbuhan WUS masih dipengaruhi oleh perubahan hormonal, kognitif, serta emosi. Pada masanya ini WUS memerlukan makanan dengan zat-zat gizi yang optimal agar pembentukan butir darah merahnya cukup. Bila konsumsi makanan tidak mencukupi, sehingga gizi yang dibutuhkan pun kurang, maka status gizinya akan terganggu. Hal ini berpengaruh pula pada menurunnya kebugaran tubuhnya apalagi jika sebagai pekerja, energi yang harus dikeluarkannya cukup banyak (Almatsier 2002).

Menurut PKK Depkes RI (2004), para pekerja WUS selama ini kebanyakan lebih tergiur pada makanan yang sedang ngetren, yang sebagian besar tidak mengacu pada pola makan yang mencukupi asupan zat gizi optimal Selain itu, rendahnya upah yang diterimanya sering menjadi alasan mengapa untuk makan siangnya para pekerja wanita tersebut hanya membeli makanan kecil/jajanan yang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Kondisi ini yang membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan zat-zat gizi mikro, terutama zat besi sehingga mengakibatkan AGB.

Besi dan Interaksinya dengan Zat Gizi Mikro yang Lain

Zat gizi mikro dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam golongan mineral mikro tubuh yang telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), yodium (I), Fluor (F) dan mangan (Mn).

(37)

penting dari ratusan protein dan enzim. Dalam bentuk padat, besi sebagai metal atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentuk ferro dan bentuk ferri. Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim. Besi dapat disimpan sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk tak larut dalam hati (IOM 2001-FNB; Gibson 2005).

Selain pada Hb, besi juga ditemukan pada mioglobin, hemosiderin, feritin serta sejumlah protein dan enzim (misalnya, enzim sitokrom e oksidasi). Kadar total besi dalam senyawa-senyawa tersebut sekitar 15-40 persen. Mioglobin juga berfungsi untuk mengangkut oksigen. Oksigen pada mioglobin juga terikat pada Fe++. Oksigen yang telah diangkut Hb dari paru-paru ke jaringan tubuh akan diberikan ke mioglobin. Mioglobin akan memberikan oksigen tersebut ke organel sel yang mengkonsumsi oksigen yaitu mitokondria. Oksigen pada mitokondria digunakan untuk proses oksidasi sehingga dihasilkan energi.

Fungsi dan Metabolisme Besi

(38)

Gambar 1 Skema perjalanan Fe di dalam tubuh (Whitney & Rolfes 1999)

Dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu sebagai feritin dan hemosiderin. Simpanan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin sebanyak 30%, sumsum tulang belakang 30% dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb (IOM-FNB 2001; Almatsier, 2002).

Feritin bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Jumlah besi dalam tubuh bervariasi dari 0-1000 mg dimana

Kelebihan disimpan

sebagai feritin Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang Fe dalam alat transport

transferin reseptor

(39)

jumlah pada wanita lebih rendah dari pria. Pada pria dewasa simpanan besi berkisar 500-1000 mg, sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah dan jarang melebihi 500 mg. Banyak wanita di negara sedang berkembang tidak mempunyai cadangan besi karena ketersediaan biologis rendah dan sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’ Brien et.al, 1999). Total besi pada manusia sangat bervariasi dengan berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen simpanan besi dan konsentrasi Hb. Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe ++. Hemoglobin adalah senyawa yang paling banyak dan sangat mudah disampel dari protein-protein heme; diperkirakan berisi lebih dari 65% besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0,03 gram oksigen (Gibson 2005).

Metabolisme besi termasuk unik karena kecilnya pertukaran besi dengan lingkungan setiap harinya. Hal ini tergambar dari hanya 1 mg yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan besi karena ekskresi. Rangkaian metabolisme besi di dalam tubuh terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatan/pengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Pada Gambar 2 dapat dilihat skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa.

(40)

Gambar 2 Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa (Krause & Mahan 2004)

tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang berbolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Di dalam sel mukosa besi dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai simpanan besi sementara dalam sel. Di dalam sel mukosa apoferitin dan feritin bergabung masuk melewati membran basoteral secara difusi dan siap untuk diabsorpsi melalui transpor aktif.

Penyebaran (transpor) besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung lebih lambat dibandingkan penerimaannya pada saluran cerna, bergantung pada simpanan besi dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju transpor besi diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Besi dilepaskan dari feritin dalam bentuk ferro masuk ke plasma darah, sedangkan apoferitin yang

(41)

terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk kedalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferin. Plasma darah selain menerima besi yang berasal dari penyerapan makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecahan hemoglobin dan sel-sel yang telah mati. Plasma juga harus mengirim besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endothelial untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung besi. Jumlah besi yang setiap hari yang diganti (turnover) sebanyak 20-25 mg per hari, di mana hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan.

Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin di dalam sel parenkhim hepatic, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa.

Ekskresi dari besi sebanyak 0,5-1,0 mg per hari, dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan fases. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh melalui perdarahan, menstruasi dan saluran urin. Sisanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan, sedangkan kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1.500 mg disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Simpanan besi dapat mencapai 50 mg per hari yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti membuat hemoglobin (Krause & Mahan 2004)

Kebutuhan, Angka Kecukupan dan Sumber Besi

(42)

Angka kecukupan besi pada kelompok wanita di atas 18 tahun adalah 26 mg/hari yang didasarkan pada tingkat penyerapan 10% dan estimated average requirement (EAR) = 14.6. Estimated average requirement (EAR) adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis kelamin tertentu.

Untuk wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat menstruasi sehingga kecukupan besi adalah 12 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO/UNU (2001) menganjurkan agar wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis 100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram. Adapun bagi wanita yang sedang menyusui, kecukupan besi selama masa menyusui memperhitungkan kehilangan besi akibat menstruasi serta kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Jika kecukupan besi pada keadaan normal (tidak hamil) adalah 26 mg/hari. Ekskresi besi melalui ASI sekitar 0.25 mg/hari atau dibutuhkan sekitar 2.5 mg/hari jika tingkat penyerapan 10%. Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 32 mg/hari (Kartono & Soekatri 2004).

Makanan sumber besi antara lain daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung tinggi besi heme. Adapun sumber besi non-heme adalah dari nabati kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber nabati (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam besi dari sumber hewani (Almatsier 2002; Gibson 2005).

(43)

yaitu penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%). Menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar, penyerapan besinya menjadi maksimal dan sebaliknya (Gibson 2005; IOM-FNB 2001).

Interaksi Besi dengan Zat Gizi Mikro Lainnya

Penyerapan mineral dalam usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah adanya interaksi dengan zat gizi lain. Interaksi ini dapat dalam bentuk interaksi sinergistik (saling bekerjasama/menguntungkan), antagonistik (mengurangi kerja yang lain) maupun kombinasi keduanya. Interaksi zat besi antagonistik terlihat antara zat besi dengan mineral seng dan antara zat besi dengan kalsium. Pada pemberian suplemen besi dosis tinggi bersamaan dengan seng, zat besi akan menghambat penyerapan seng. Menurut O’Brien et al.

(1999), jika rasio antara besi dan seng lebih dari 2:1 akan mengakibatkan gangguan penyerapan pada unsur yang lebih sedikit. Besi dan seng saling berkompetensi pada saat transportasi karena keduanya sama-sama diangkut oleh transferin. Menurut Almatsier (2002), sintesis hem akan terganggu bila terjadi kekurangan seng, hal ini dikarenakan seng merupakan ko-faktor dari asam amino levulinik dehidrase (ALA Dehidrase). Salah satu peranan seng dalam tubuh adalah meningkatkan kekebalan, oleh karenanya kekurangan seng akan dapat meningkatkan infeksi yang pada akhirnya mengganggu metabolisme besi.

Interaksi zat besi dengan tembaga (Cu) dan interaksi zat besi dengan vitamin A adalah contoh interaksi sinergistik di mana status tembaga yang cukup diperlukan untuk zat besi ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah. Vitamin A bersama dengan asam folat, vitamin B12, riboflavin dan vitamin B6 diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal. Vitamin A bersama vitamin C dan riboflavin juga dapat mencegah anemia dengan cara meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu mobilisasi besi dari simpanan tubuh (Fishman, Christian & West 2000).

(44)

plasma dan jaringan sehingga akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah. Ekayanti (2005) dalam penelitian membuktikan bahwa penambahan vitamin A (betakaroten 10.000 IU) pada suplemen besi folat (ferro fumarat 250 mg dan asam folat 0,5 mg) dapat meningkatkan hemoglobin pekerja WUS anemik sebesar 1,31±1,23 g/dl. Angka peningkatan ini lebih tinggi dibandingkan jika tidak ditambahkan vitamin A yakni sebesar hanya 0,53±1,09 g/dl. Hasil penelitian ini mirip pula dengan penelitian Ahmed et al. (2001) di Bangladesh.

Besi berinteraksi sinergis dengan vitamin B kompleks. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan pula dalam pembentukan sel darah merah, sehingga kekurangan kedua vitamin tersebut juga dapat mengakibatkan anemia akibat penurunan produksi darah merah (anemia megaloblastik). Selama ini asam folat selalu ditambahkan pada suplemen besi untuk wanita hamil, namun penambahan vitamin B12 ke dalam suplemen besi masih jarang dilakukan. Vitamin B2 (riboflavin) berperanan dalam proses penyerapan, mobilisasi simpanan besi dan eritropoiesis. Kekurangan riboflavin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan anemia normositik normokromik. Piridoksin merupakan kofaktor enzim untuk sintesis heme, sehingga defisiensi vitamin ini dapat menyebabkan anemia sideroblastik. Adapun thiamin, niasin dan asam pantotenat berperanan penting pada beberapa enzim yang secara tidak langsung berhubungan dengan meatabolisme besi dan eritropoiesis. Pada Gambar 3 dapat dilihat peranan vitamin pada metabolisme zat besi.

(45)

Gambar 3 Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi

(Hughes-Jones & Wickramasinghe 1996 dalam Fishman et al. 2000) Penentuan Status Gizi dan Status Besi

Status gizi seseorang dapat dinilai melalui berbagai metode, antara lain, pemeriksanaan fisik (klinis), pemeriksaan biokimiawi (laboratoris), antropometri, studi konsumsi pangan dan studi faktor-faktor ekologi. Pemeriksanaan klinis dilakukan dengan cara mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit gizi, sedangkan pemeriksaan laboratoris

(46)

dilakukan untuk mendektesi defisiensi zat gizi marjinal (batas antara kurang dan cukup), terutama bila data riwayat makanan tidak lengkap dan tidak tersedia. Kedua pemeriksaan di atas memerlukan tenaga ahli yaitu paramedis dan teknisi laboratorium. Penilaian status gizi yang paling sering dilakukan karena cukup mudah dan praktis adalah antropometri menggunakan indeks masa tubuh (IMT) dan studi konsumsi pangan menggunakan metode mengingat kembali (recall) dan kuesioner frekuensi makan (food frequency questionnaires).

Indek masa tubuh (IMT) atau Body Mask Indeks (BMI) merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Ukuran antropometri lainnya adalah rasio lingkar pinggang-pinggul (RPP) yang menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul, dan lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan simpanan lemak di dalam tubuh. IMT dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

di mana

IMT = indeks massa tubuh dalam kg/m2 BB = Berat Badan dalam kg, dan TB = Tinggi Badan dalam m

Status gizi menurut IMT untuk orang dewasa dapat dikategorikan sebagai berikut: kurus (<18.5 kg/m2), normal (18.5-25.0 kg/m2) dan gemuk (>25 kg/m2). Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal adalah ≤0,8 untuk wanita dewasa dan ≤ 0,9 untuk pria dewasa. Ukuran LILA menggunakan cut-off point ≤

23,5 untuk mendeteksi adanya kekurangan energi kronis (KEK) (Gibson, 2005). Sesuai dengan rekomendasi INACG (2003), untuk mengkaji status besi dalam suatu populasi selama ini umumnya menggunakan biomarker yang memungkinkan secara rutin dilakukan di lapangan yaitu hemoglobin atau hematokrit darah. Hal ini juga sesuai dengan WHO (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi hemoglobin adalah indikator anemia yang paling handal di tingkat populasi. Pengukuran konsentrasi hemoglobin secara relatif mudah dan murah dilakukan, dan pengukuran ini paling sering digunakan sebagai satu

2

(47)

indikator kekurangan zat besi. Selain itu, hematokrit juga salah satu biomarker yang pada umumnya dilakukan dalam pengkajian klinis dan sering digunakan dalam survai anemia karena kesederhanaan dan kemudahan dalam penyediaan peralatan yang diperlukan.

Sementara itu WHO (2005) menyatakan bahwa serum ferritin (SF) adalah indikator terbaik untuk mengukur respon suatu intervensi yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan zat besi, sehingga harus diukur bersamaan dengan konsentrasi hemoglobin dalam evaluasi program. Namun demikian pengukuran feritin cenderung tinggi pada sampel yang mengalami infeksi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat. Adapun pengukuran serum transferin reseptor (STfR) lebih sesuai digunakan pada yang mengalami infeksi karena kurang begitu terpengaruh oleh kondisi infeksi. Menurut WHO (2007), pengukuran SF dikombinasikan dengan STfR memberikan pendekatan terbaik untuk mengukur status zat besi populasi. Pada umumnya konsentrasi STfR tidak naik dalam respon terhadap peradangan sehingga bila dikombinasikan dengan konsentrasi serum feritin memungkinkan untuk membedakan antara defisiensi besi dan peradangan. Keuntungan lainnya adalah jumlah zat besi dalam tubuh dapat dihitung dari rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yaitu:

Fe = -[log(STfR:SF)-2.8229] / 0.1207

di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mg/kg berat badan Log = logaritma 10

STfR = serum transferin reseptor dalam mg/lx103 SF = serum feritin dalam ug/l

Penelitian pada 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika, rataan simpanan besi tubuhnya sebesar 4.87±4.14 mg/kg. Namun demikian analisis distribusinya menunjukkan bahwa terdapat dua populasi, 93% memiliki rataan simpanan besi tubuh sebesar 5.5±3.35 mg/kg, sedangkan sisanya 7% mengalami kekurangan besi dalam jaringan sebesar -3.87±3.23 mg/kg.

(48)

ukuran relatif simpanan besi dalam tubuh termasuk kurang jika < 15 ug/l dan kelebihan (beresiko berat) jika > 150 ug/l. Namun pada yang mengalami infeksi ambang batas yang ditetapkan lebih tinggi yakni < 30 ug/l (WHO 2007). Salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya infeksi dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju Endap Darah (LED) atau

Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah diukur dengan memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Tinggi rendahnya nilai pada Laju LED dipengaruhi oleh keadaan tubuh, terutama selama ada peradangan. Standar normal LED adalah 10 ml/jam pada 1 jam pertama dan 20 ml/jam pada 1 jam berikutnya atau setelah 2 jam. Seseorang yang anemia biasanya memiliki nilai LED yang tinggi.

Untuk standar konsentrasi STfR, hingga kini belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt (2004) yang mengemukakan bahwa nilai

cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mg/l. Kebugaran Fisik

Definisi dan Komponen Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik atau jasmani didefinisikan sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Kebugaran fisik dalam bahasa Inggris adalah physical fitness. Physic artinya kondisi fisik sementara fitness

artinya kecocokan, keserasian serta secara lebih jauh lagi kemampuan tubuh kita untuk beradaptasi, menjaga keseimbangan proses faali dan biokimiawi tubuh dalam keadaan stres berat termasuk kerja fisik. Kebugaran fisik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kebugaran fisik yang statis (static), dinamis (dynamice)

(49)

untuk melakukan gerakan koordinasi yang kompleks. Selain pengkategorian di atas, kebugaran fisik meliputi komponen-komponen seperti daya tahan jantung-paru, kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, berat badan seimbang, daya ledak otot, kecepatan, kelincahan, koordinasi, dan keseimbangan (Marley 1982; Sharky 1991). Adapun Quinn (2008) sebagaimana banyak pakar lainnya menetapkan bahwa komponen kebugaran fisik yang diperlukan untuk menunjang kegiatan sehari-hari adalah daya tahan jantung-paru, daya tahan otot, kekuatan otot, kelenturan dan komposisi tubuh.

Daya tahan jantung-paru (cardiovascular endurance) merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merefleksikan seberapa baik jantung dan paru-paru bekerjasama untuk menyuplai oksigen ke tubuh seseorang selama melakukan kegiatan atau latihan. Daya tahan jantung-paru juga disebut kebugaran aerobik (aerobic fitness).

Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan untuk bertahan pada satu posisi tertentu pada satu periode waktu atau pada satu pergerakan yang berulang-ulang. Kekuatan otot (muscular strength) adalah kemampuan untuk menggunakan kekuatan maksimum otot sekali, seperti mengangkat beban paling berat yang bisa diangkat. Kekuatan otot seseorang dapat pada satu area tubuhnya saja, misalnya lengan tangan, sementara area lainnya seperti kakinya lemah.

Kelenturan (fleksibility) adalah kemampuan untuk menggerakkan satu sendi dengan suatu gerakan menekuk, meregang dan memuntir. Kelenturan yang baik akan memberikan keleluasaan gerak tubuh tanpa mengalami cedera.

(50)

melakukan aktivitas sering dikaitkan dengan berat (penimbunan) lemak (Marley 1982; Quinn 2008).

Pengukuran Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari para pekerja. Akan tetapi nilai kebugaran fisik tiap-tiap orang berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Kebugaran fisik dapat diukur secara kuantitatif dengan beberapa metode. Memperhatikan komponen kebugaran fisik, maka telah dikembangkan pula beberapa jenis pengukuran untuk mengetahui daya tahan jantung-paru, kekuatan, daya tahan dan kelenturan otot dan sebagainya. Kriteria kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru (cardiorespiratory endurance) paling sering dilakukan di lapangan dan paling baik dinilai dengan mengukur VO2 maksimal (VO2Maks). VO2Maks merupakan satu ukuran seberapa bugar (fit) seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah ml/kg/menit (Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008.).

Performa seorang pekerja sebagaimana juga seorang atlet berhubungan langsung dengan jumlah oksigen yang disuplai ke otot. Suplai oksigen ditentukan oleh seberapa sering jantung berdenyut, volume darah yang ditransportasikan oleh tiap denyutan dan jumlah oksigen di dalam darah tersebut. Juga tergantung kepada seberapa baik jaringan atau otot mengekstrak oksigen. Volume gerakan biasanya diukur dalam ml per denyut. Output jantung merupakan produk dari volume gerakan dan kecepatan jantung dan diukur dalam ml per menit. Hasilnya dikalikan dengan perbedaan konsentrasi oksigen maka didapatkan liter O2 yang diproses per menit. Jika melakukan pengukuran ini ketika seseorang bekerja pada kecepatan jantung maksimumnya, maka didapat VO2maks. Dengan bertambahnya usia akan semakin rendah nilai VO2maks-nya. Berdasarkan usia, puncak nilai VO2maks adalah pada usia 18-20 tahun (Quinn 2008).

(51)

43 sedang, antara 44 dan 48 baik dan bila lebih dari 48 adalah baik sekali (RHSFNS 2008).

Kebugaran fisik seseorang yang beraktivitas aktif selain dapat ditentukan melalui pengukuran kapasitas aerobik, juga melalui pengukuran komposisi tubuh, serta test pemeriksaan beberapa parameter biomarker antara lain kadar hemoglobin, serum feritin serta tekanan darah dan denyut jantung dalam keadaan istirahat (Golding 1989; Sharkey 1991). Menurut Culpepper and Francis (1987), uji kapasitas aerobik adalah salah satu cara yang paling valid dalam menilai kebugaran fisik. Kapasitas aerobik terbesar adalah tingkat di mana tubuh dapat mengkonsumsi oksigen dan paling efisien mewakili integrasi dari berbagai proses fisiologis yang menyusun sistem transportasi oksigen. Namun demikian, pengukuran langsung dari kapasitas aerobik memerlukan peralatan laboratorium yang canggih, dan menimbulkan ketidaknyamanan subjek.

Untuk memperkirakan kapasitas aerobik seseorang, uji yang paling banyak digunakan selama ini adalah step test (uji naik turun bangku) karena korelasinya terhadap VO2maks cukup tinggi dengan peralatan yang mudah dan praktis dioperasikan baik untuk di dalam maupun di luar ruangan. Peralatan yang diperlukan pada uji ini adalah bangku dengan ketinggian bervariasi antara 15-50 cm atau 6-20 inch, stopwach dan pengukur denyut jantung. Protokol Uji bangku Harvard (Harvard step test-HST) merupakan salah satu uji bangku tertua yang dikembangkan oleh Harvard Fatigue Laboratory (Brouha, Graybiel, and Heath 1943). Beberapa protokol uji bangku yang muncul berikutnya banyak yang merupakan pengembangan dari HST, seperti Astrand-Ryhming (A-R) step test

(Astrand 1960).

(52)

berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher (carotid artery).

Selain HST dan A-Rstep test, uji naik turun bangku lain yang cukup sering digunakan sebagai acuan adalah Queens College Step Test – QCST serta the National Young Men's Christian Association (YMCA) three minutes step test.

Kedua protokol tersebut juga merupakan modifikasi dari protokol uji naik turun Bangku Harvard (Harvard Step Test) yang telah banyak diuji validitas dan reabilitasnya antara lain oleh McArdle et al. (1972), Culpepper and Francis (1987), dan Lee et al. (2008).

Setiap protokol di atas bergantung pada pengamatan bahwa ada hubungan linear antara denyut jantung dan tingkat kerja. Seseorang yang bugar (fit) akan memiliki respons denyut jantung lebih rendah pada suatu tingkat kerja, dan akan menunjukkan suatu perubahan dalam detak jantung yang rendah dengan adanya perubahan tingkat pekerjaan. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi akan memiliki denyut jantung pasca kerja (pemulihan) yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik.

Anemia dan Suplementasi Zat Gizi Mikro pada Wanita Usia Subur Anemia dan Kekurangan Zat Besi

Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidakcukupnya massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh. Adapun dalam kesehatan masyarakat anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang rendah, yakni berada di bawah ambang batas menurut umur dan jenis kelamin. Ambang batas hemoglobin untuk wanita dewasa sebesar 120 g/l; sedangkan untuk wanita hamil 110 g/l. Penyebab anemia yang paling banyak ditemui adalah akibat kekurangan zat besi. Penyebab anemia lainnya adalah adanya infeksi yang akut maupun kronis yang menyebabkan peradangan, kekurangan zat gizi mikro lain terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin A, serta sifat-sifat genetis yang diwariskan seperti talasemia (WHO 2007).

(53)

seperti darah, otak, dan otot. Kekurangan zat besi dapat terjadi tanpa anemia jika berlangsung belum cukup lama atau jika belum cukup parah yang menyebabkan

konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas. Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan zat besi dalam tubuh adalah rendahnya asupan zat besi dan ketersediaan biologi zat besi dalam makanan, adanya faktor penghambat zat besi dan rendahnya makanan atau zat yang memperlancar penyerapan zat besi.

Kekurangan zat besi yang menyebabkan anemia gizi besi (AGB) ditandai dengan kulit pucat, lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Kekurangan zat besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi kehabisan besi simpanan cadangan. Simpanan besi berkurang terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12-15 μg/l. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan penyerapan besi yang terlihat dari pengangkutan total iron binding capacity

(TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap ke dua terlihat perubahan dengan habisnya simpanan besi dan menurunnya transferin jenuh hingga kurang dari 16% dan meningkatnya protoporfirin (prekursor heme). Pada tahap ini hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan belajar karena malas, cepat lelah, letih, lesu, pusing, menurunnya nafsu makan, karena terjadi gangguan produksi hemoglobin (defisiensi besi tanpa anemia). Tahap ke tiga terjadi anemia defisiensi besi, di sini kadar Hb total menurun hingga di bawah nilai normal. Anemia defisiensi berat ditandai oleh sel darah merah yang mengecil (mikrositosis) dan nilai Hb rendah (hipokromia) (Almatsier 2002).

(54)

Sel-sel yang beredar di dalam aliran darah dibagi menjadi tiga jenis: sel darah putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit). Tinggi rendahnya hasil penghitungan mungkin menunjukkan adanya berbagai bentuk kelainan, penyakit atau status kesehatan seseorang. Standar normal leukosit adalah 4—10 x 103/ul, eritrosit 4.2—5.4 x 106/ul sedangkan trombosit adalah 150—400 x 103/ul (WHO, 2007).

Sel darah merah meliputi mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration

(55)

Kekurangan zat besi dan anemia dapat mengurangi kapasitas kerja serta menurunkan produktivitas seseorang bahkan populasi secara keseluruhan. Secara nasional hal ini akan menjadi serius karena dapat menyebabkan terganggunya ekonomi serta terganggunya pembangunan nasional. Anemia gizi besi (AGB) dapat menurunkan kapasitas kerja fisik seseorang melalui menurunnya ketersediaan oksigen bagi jaringan. Selain itu AGB juga mengakibatkan turunnya kekebalan dan fungsi kognitif pada penderitanya (WHO 2001).

Kekurangan zat besi dapat mempengaruhi aktivitas fisik melalui terutama dua jalur. Pertama, sebagai akibat turunnya kadar hemoglobin dalam darah,maka jumlah maksimum oksigen yang dapat digunakan oleh tubuh (kapasitas aerobik) juga menurun. Ke dua, sebagai akibat berkurang atau habisnya simpanan zat besi, maka jumlah oksigen yang tersedia untuk otot pun berkurang, sehingga mengurangi daya tahan dan jantung menjadi bekerja lebih keras untuk dapat menghasilkan sejumlah aktivitas yang sama. Penelitian baik pada binatang maupun manusia telah mendemonstrasikan adanya satu hubungan sebab akibat antara kekurangan zat besi dengan menurunnya kapasitas aerobik maksimum (VO2maks). Beberapa penelitian membuktikan bahwa AGB berhubungan dengan berkurangnya daya tahan pada tingkat kerja yang di bawah maksimal (Haas & Brownlie 2001).

Prevalensi Anemia pada WUS di Indonesia

Anemia merupakan masalah gizi yang relatif sukar ditanggulangi. Masalah ini cukup luas terjadi di masyarakat, melanda sejumlah besar anak-anak dan wanita di negara-negara yang sedang berkembang, serta menjadi satu-satunya zat gizi yang angka kekurangannya juga masih nyata dijumpai pula di negara-negara industri. Lebih dari 30% penduduk di dunia ini menderita anemia yang sebagian besar diakibatkan oleh kekurangan zat besi, serta di beberapa daerah diperburuk oleh adanya penyakit infeksi. Pada umumnya, penduduk miskin dan berpendidikan rendah merupakan golongan yang paling rawan terkena kekurangan zat besi dan mereka itu pula yang akan paling merasakan penurunan itu (WHO 2008).

Gambar

Tabel 1   Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk wanita per orang per hari
Gambar 1  Skema perjalanan Fe di dalam tubuh
Gambar 2  Skema metabolisme besi di dalam tubuh orang dewasa
Gambar 3  Peranan vitamin dalam metabolisme zat besi
+7

Referensi

Dokumen terkait