• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas Pada Anak

2.6. Determinan Obesitas

Secara sederhana timbulnya obesitas dapat diterangkan apabila masukan makanan melebihi kebutuhan fungsi tubuh. Tubuh memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai macam masukan bahan makanan. Apabila masukannya melebihi kebutuhan tubuh, maka kelebihannya akan disimpan dalam bentuk lemak di jaringan adiposa (Misnadiarly, 2007). Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang

dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan (Sartika, 2011). Jika keadaan ini berlangsung terus menerus (positive energy balance) dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya

obesitas.

Obesitas merupakan penyakit tidak menular dengan penyebab yang multikausal. Beberapa faktor determinan yang diperkirakan memengaruhi kejadian obesitas pada anak adalah sebagai berikut:

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang yang akan berpengaruh terhadap komposisi tubuh dan distribusi lemak. Powers dalam Rakhmawati (2009) menyatakan anak perempuan lebih banyak menyimpan lemak dibandingkan anak laki-laki. Hasil penelitian Malik & Bakir (2006) menyatakan proporsi kelebihan berat badan pada anak perempuan (5-17 tahun) lebih tinggi dibanding pada anak laki-laki. Menurut WHO (2011), perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein.

Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sartika (2011) menyatakan anak laki-laki memiliki risiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perempuan lebih sering membatasi makan untuk alasan penampilan. Rata-rata asupan energi total dan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kebutuhan zat gizi anak laki-laki usia 10-12 tahun lebih besar dibandingkan anak perempuan karena pengaruh aktivitas fisik dan growth spurt anak laki-laki lebih besar, akibatnya kebutuhan energi menjadi lebih banyak.

Pada penelitian Rakhmawati (2009) kejadian obesitas pada siswa sekolah dasar juga berhubungan dengan jenis kelamin. Siswa laki-laki-laki memiliki resiko 5,436 kali lebih besar dari siswa perempuan. Proper et al (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau waktu senggang. Pada anak laki-laki peningkatan lemak subkutan terjadi pada usia 8 hingga 12 tahun. Sedangkan anak perempuan mengalami peningkatan lemak subkutan pada usia 16 tahun dan menurun ketika berumur 25 tahun (Rakhmawati, 2009).

2. Umur

Obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang cepat (Salam dalam Simatupang, 2008).

3. Riwayat Keturunan

Riwayat obesitas orangtua juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Anak yang memiliki ayah obesitas memiliki peluang obesitas sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah tidak obesitas. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetik/hereditas anak dalam mengalami obesitas (Sartika, 2011). Kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak. Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight (kelebihan berat badan) maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50%. Apabila kedua orang tua menderita obesitas kemungkinan anaknya menjadi obesitas sebesar 70-80%. (Haines et al., 2007). Riwayat orang tua juga merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada anak SD di Kota Manado (Hamel et al, 2013)

Barker dalam Hidayati (2011) menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic ratethermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek.

Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.

Penelitian yang dilakukan Anggrainy (2008), pada studi obesitas di anak TK Kota Bogor menununjukkan kecenderungan obesitas terjadi pada anak yang memiliki ayah obes. Terdapat 21 dari 29 (72.4%) ayah yang obesitas memiliki anak obes. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ayah dengan status gizi obesitas anak. Kecenderungan obesitas pada anak juga terjadi pada anak yang memiliki ibu obesitas. Sebanyak 65% ibu obesitas memiliki anak yang obesitas pula, namun secara statistik hubungan tersebut tidak signifikan.

4. Besar uang saku

Uang saku anak memiliki peran dalam pola konsumsi anak yang kemudian juga berpengaruh terhadap status gizi anak. Besar uang saku siswi di Sekolah Dasar Kelas 3-5 di Teheran, Iran merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan kejadian obesitas (Alborzimanesh et al, 2011). Sedangkan di Amerika Serikat, besar uang saku per hari juga memiliki hubungan terhadap kejadian obesitas (Wang et al, 2007). Anak dengan uang saku lebih besar dari US$ 2 per hari memiliki resiko obesitas lebih besar daripada anak dengan uang saku kurang dari US$ 2 per hari.

Beberapa literatur di Indonesia juga menunjukkan uang saku memiliki hubungan terhadap kejadian obesitas. Pada penelitian Imtihan dan Noer (2013), besarnya uang saku berpengaruh frekuensi makanan cepat saji. Makin besar uang saku anak maka makin besar pula kecenderungan konsumsi anak dari jajanan yang ada di sekolah (Arimurti, 2010). Berdasarkan observasi, jenis makanan yang dijual di kantin SD Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh makanan tinggi kalori, misalnya hamburger, bakso, mie goreng, pizza, dan nasi soto.

5. Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Frekuensi makan, terkait dengan variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi resiko terhadap penyakit dan pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Frekuensi makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi. Sumber utama makanan masyarakat Indonesia adalah serealia lalu diikuti oleh yang lainnya (Anggrainy, 2008).

Frekuensi makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Menurut penelitian yang dilakukan Simatupang (2008), 90% anak yang obesitas memiliki frekuensi makan lebih dari 13 kali sehari, sehingga frekuensi makan memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian obesitas. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Sartika (2011), rerata asupan energi total per kapita per hari melebihi kebutuhan energi per hari sehingga kelebihan asupan karbohidrat dan protein, juga berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia.

Tingginya asupan energi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi makanan cepat saji yang menjadi kebiasaan umum baik di kota besar maupun kecil di wilayah Indonesia. Secara umum, komposisi makanan jenis makanan cepat sajiadalah tinggi energi, lemak, garam dan

rendah serat. Frekuensi konsumsi makanan cepat saji serta makanan tinggi lemak juga merupakan faktor resiko obesitas pada anak sekolah dasar, dimana anak dengan frekuensi mengonsumsi makanan tinggi lemak dan cepat saji sering beresiko 4 kali lebih besar dibandingkan dengan yang frekuensi mengonsumsinya jarang (Pramudita, 2011). Konsumsi fastfood juga memiliki hubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 10-12 tahun (Indayati,

2007).

Selain konsumsi fastfood, kebiasaan makan yang mempengaruhi lainnya adalah tingkat kecukupan protein, dan kecukupan energi. Anggrainy (2008) menyatakan konsumsi nasi pada anak obesitas lebih banyak dibandingkan anak normal. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi obesitas anak (0.033). Persen kontribusi lemak pada anak obesitas mencapai 30.4% Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi lemak dengan obesitas pada anak (P=0.004), demikian pula konsumsi camilan gorengan dan biskuit (P = 0.000).

6. Aktivitas Fisik

Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang memengaruhi obesitas (Sartika, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Mustelin (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada anak. Anak yang tidak rutin berolahraga memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan anak yang rutin berolahraga. Selain itu anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Penelitian yang dilakukan Pramudita (2011) di Kota Bogor menunjukkan, sebanyak 77,5% anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari, 85% anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk

waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari, dan 70% anak obesitas yang menghabiskan waktunya bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari.

Aktivitas fisik (physical activity) adalah istilah umum untuk tiap pergerakan yang diproduksi oleh otot skeletal yang menghasilkan peningkatan penggunaan energi-istirahat (resting energy) secara substansial. Aktivitas fisik terdiri dari tiga komponen utama. Pertama, aktivitas kerja (occupational work), yaitu aktivitas yang dilakukan dalam rangka bekerja. Kedua adalah aktivitas domestik rumahtangga (household and other chores), yaitu aktivitas yang dilakukan sebagai bagian aktivitas harian dalam rumah (day-today living activities). Ketiga adalah aktivitas fisik dalam waktu bebas (leisure-time physical activity), yaitu aktivitas yang dilakukan seseorang dalam waktu senggang/bebas yang dimilikinya. Aktivitas fisik dalam waktu bebas ini terbatas hanya pada kebutuhan dan ketertarikan seseorang, termasuk didalamnya exercise dan olahraga (sport). Terdapat perbedaan antara exercise dan olahraga. Exercise ialah

aktivitas fisik yang terstruktur dan terencana dilakukan dalam waktu bebas (leisure-time) yang bertujuan untuk meningkatkan memelihara kebugaran fisik (physical fitness). Sedangkan olahraga sendiri adalah sebuah bentuk aktivitas fisik yang biasanya dikompetisikan. Didalamnya termasuk exercise yang umum dan pekerjaan yang spesifik (WHO, 2009).

2.7. Pencegahan Obesitas 2.7.1. Pencegahan Primer

Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan kepada semua orang, khususnya kelompok yang berisiko menderita obesitas. Dalam hal ini upaya promotif dan preventif dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak. Usaha pencegahan dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Menurut Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah oleh Kementerian Kesehatan RI (2012), pencegahan primer obesitas di lingkungan rumah dan keluarga dapat dimulai dengan memperbaiki kebiasaan makan, baik dari segi jenis, frekuensi, maupun cara. Dari segi frekuensi, yaitu makan sesuai dengan waktunya. Dari segi jenis makanan misalnya, mengurangi makanan berlemak dan gorengan, mengurangi makanan dan minuman yang manis, dan mengonsumsi buah dan sayur ≥ 5 porsi per hari. Dari segi cara misalnya, dengan mengurangi makan diluar, membiasakan anak makan pagi dan membawa makanan bekal ke sekolah, serta membiasakan makan bersama keluarga minimal 1 x sehari. Orangtua juga tidak boleh menyediakan televisi di kamar anak serta membatasi kegiatan menonton televisi, bermain komputer, bermain game kurang dari dua jam sehari dan sebaliknya meningkatkan aktivitas fisik minimal 1 jam sehari

Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan kesehatan yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial dari warga sekolah. Pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial ini memberikan perubahan perilaku makan sehat yang dapat diterapkan dalam jangka waktu lama. Pencegahan primer obesitas di lingkungan sekolah dapat berupa olahraga atau aktifitas fisik secara teratur sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing anak. Kemudian, pemeriksaan berkala yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yang datang ke sekolah anak secara periodik, atau dengan memanfaatkan klinik kesehatan yang ada di sekolah.

2.7.2. Pencegahan Sekunder

Upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang diakibatkan oleh proses degeneratif. Upaya yang dilakukan adalah pengobatan bagi penderita obesitas. Diantaranya penggunaan obat–obat pelangsing, akupuntur, dan pembedahan.Penggunaan obat-obat pelangsing harus dibawah pengawasan dokter karena tidak semua masalah obesitas dapat diberi

obat. Akupuntur hanya dilakukan untuk mempermudah anak dalam melakukan diet. Akupuntur pada telinga dapat menekan nafsu makan, sehingga akan mengurangi konsumsi makanan yang pada akhirnya dapat menurunkan berat badan (Desky, 2011). Pembedahan merupakan jalan pintas bagi penderita obesitas, karena akan menurunkan berat badan hingga 35%.

2.7.3. Pencegahan Tersier

Upaya yang dilakukan adalah pengobatan lanjut perawatan bagi penderita obesitas. Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (upaya untuk mempertahankan fungsi organ seoptimal mungkin) berupa rehabilitasi mental dan kegiatan fisik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui psikoterapi. Misalnya dengan melakukan diet rendah kalori seimbang disertai dengan melakukan aktifitas fisik secara rutin.

Dokumen terkait