• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA

2.6.2. Determinan Penyakit ISPA

Agent dalam hal penyebab penyakit ISPA adalah bakteri ataupun virus yang menginfeksi sistem pernafasan yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetella dan Korinebakterium.11

Virus penyebab ISPA terbesar adalah virus pernafasan antara lain adalah

groupMixovirus (Orthomyxovirus ; sub group Influenza virus , Paramyxovirus ; sub group Para Influenza virus dan Metamixovirus ; sub group Respiratory sincytial virus/RS-virus), Adenovirus, Picornavirus, Coronavirus, Mixoplasma, Herpesvirus.12

Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergilus sp, Candida albicans, Histoplasma, dan lain-lain. Selain itu juga ISPA dapat disebabkan oleh karena Aspirasi seperti : makanan, asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain).13

Infeksi Saluran Nafas Akut bagian Atas (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi ini disebabkan oleh virus yaitu virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory syncytial virus dan rhino virus. 16

b. Faktor Host (Manusia)

1. Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.20

Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1% 21, demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan Tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.22

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, anak laki-laki memiliki resiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.3

Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan (2005), didapatkan insiden rate ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki 43,3% lebih tinggi dari pada insiden rate ISPA pada balita perempuan sebesar 33,7%, tetapi

secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Lhok Bengkuang tahun 2005.23

3. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain.24

ASI selain mengandung zat-zat yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi juga merupakan makanan bayi yang paling aman, tidak memerlukan biaya tambahan dan tidak kalah pentingnya ASI mengandung zat-zat kekebalan/anti infeksi yang tidak dipunyai oleh susu botol. ASI sangat berkhasiat untuk melindungi tubuh bayi terhadap pelbagai penyakit infeksi.24

Penelitian Ria Resti (2008) dengan desain cross sectional, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,011. Hal ini menunjukkan bahwa insidens rate ISPA lebih tinggi pada anak balita yang tidak ASI eksklusif dengan yang ASI eksklusif. 9

Penelitian Ike Suhandayani (2006) dengan desain case control, didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,01. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR= 2,6 (CI 95%; 1,24-5,46) yang artinya anak balita yang menderita ISPA kemungkinan 2,6 kali tidak

mendapat ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.25

4. Pemberian Vitamin A 26,27

Vitamin A adalah zat gizi yang penting dan tidak dapat disintesa tubuh sehingga perlu di penuhi dari luar melalui makanan atau tablet. Vitamin A esensial untuk kesehatan dan kelangsungan hidup karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi.

Pada keadaan menderita ISPA, suplai Vitamin A dalam hati cepat terkuras. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan pada jaringan epitel paru-paru sehingga mudah mengalami keratinisasi. Keadaan ini lah yang mudah dimasuki oleh kuman penyebab ISPA. Untuk mengembalikannya ke kondisi normal maka perlu konsumsi zat gizi terutama Vitamin A. Perbedaan kematian antara anak yang kekurangan dengan yang tidak kekurangan Vitamin A kurang lebih sebesar 30%.

Vitamin A dosis tinggi, baik yang biru maupun merah, tidak diperjual belikan dan diberikan secara gratis di posyandu. Sebagai upaya pencegahan di daerah bencana, satu kapsul vitamin A biru dengan dosis 100.000 IU diberikan kepada seluruh bayi berusia 6-11 bulan, kapsul vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 IU untuk seluruh balita usia 12-59 bulan, dan anak usia 5-12 tahun.

Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan

adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.

Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak-anal prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Berdasarkan penelitian Siti Halati (2004) dengan desain cross sectional,

menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian Vit A dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,045 di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa insidens rate ISPA lebih tinggi pada anak balita yang tidak diberi vitamin A dengan yang diberi vitamin A. Berbeda dengan di Sulawesi Selatan didapat tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,224.28

5. Status Imunisasi Lengkap

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.29

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC, difteri, liver, tetanus, pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG :

0-11 bulan, DPT 3x : 2-0-11 bulan, POLIO 4x : 0-0-11 bulan, Campak 1x : 9-0-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu.30

Penelitian Agustama (2005) dengan desain cross sectional, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi balita dengan kejadian ISPA di kota Medan dengan nilai p=0,000 dan di kota Deli Serdang dengan nilai p=0,000.

Ratio Prevalens berdasarkan status imunisasi di kota Medan yaitu 0,5 sedangkan Deli Serdang 0,7.( RP<1 berarti status imunisasi merupakan faktor proteksi).31

6. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak di bawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.32

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi.33

Hasil penelitian Mustafa di kota Banda Aceh (2006), dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak balita dengan nilai p=0,038.8

c. Faktor Lingkungan (Environment) 1.Kepadatan Hunian Rumah

Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni tidaklah sehat karena dapat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan CO2 meningkat dalam ruangan sehingga memudahkan penularan penyakit infeksi. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran.34

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 829/MENKES/SK/VIII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.35

Penelitian Bambang Irianto (2006) dengan desain cross sectional, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,000.36

2.Keberadaan Perokok37

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain

Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.

Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.

Penelitian Ike Suhandayani (2006) dengan desain case control, didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,000. . Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 4,63 (95% CI = 2,04 – 10,52) yang artinya anak balita yang menderita ISPA kemungkinan 4,63 ada anggota keluarganya yang merokok dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA .25

3.Bahan Bakar Memasak

Salah satu penyebab ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan asap rokok.

Berdasarkan hasil penelitian Chahaya, dkk di Kabupaten Deli Serdang (2004), didapatkan bahwa pemakaian bahan bakar minyak tanah mempunyai resiko 10 kali lebih besar untuk terjadinya ISPA pada balita. Hal ini dimungkinkan karena ibu balita pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, sehingga bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang terjadi dalam rumah juga tergantung pada lamanya orang berada di dapur atau ruang lainnya yang telah terpapar oleh bahan pencemar. Kebanyakan ibu dan anak-anak potensial mempunyai resiko lebih tinggi menderita gangguan pernafasan karena lebih sering berada di dapur.34

Penelitian Calvin S. Wattimena (2004) dengan desain cross sectional, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,001.38

Dokumen terkait