• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua – duanya (Suyono dkk, 2011).

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang

peningkatan frekuensi buang air kecil, dan peningkatan rasa haus serta

lapar (Zychowska dkk, 2013; Tjokroprawiro, 2007).

II.7.2. Klasifikasi

Diabetes melitus diklasifikasikan berdasarkan etiologinya menjadi

empat jenis yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, tipe

spesifik lainnya, dan gestasional diabetes seperti yang terlihat pada tabel

5 di bawah ini. Diabetes melitus tipe 1 adalah diabetes yang

dikarakteristikan dengan defisiensi insulin yang berkaitan dengan lesi

destruktif pada sel β pankreas, biasanya terjadi pada usia muda, tetapi dapat terjadi pada semua usia. Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes

yang disebabkan oleh kombinasi dari penurunan sekresi insulin dan

sensitivitas terhadap insulin. Tahap awal dari diabetes melitus tipe 2

dikarakteristikan oleh resistensi insulin sehingga menyebabkan

peningkatan kadar glukosa post-prandial. Biasanya terjadi pada dewasa,

di mana penderita diabetes tipe ini umumnya mengalami obesitas dan

kurang beraktivitas (Ryden dkk, 2007).

Tabel 5. Klasifikasi Diabetes Melitus Berdasarkan Etiologinya

JENIS DIABETES ETIOLOGI

Diabetes tipe 1 Destruksi sel β pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin absolut yang dapat disebabkan oleh proses autoimun ataupun idiopatik

Diabetes tipe 2 Disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai gangguan sekresi insulin disertai resistensi insulin

Diabetes tipe spesifik lainnya

Defek genetik fungsi sel β pankreas

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Paparan obat atau zat kimia

Infeksi

Imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus

Gestasional diabetes

Dikutip dari : Suyono S, Waspadji S, Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, Semiardji G, dkk. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di

II.7.3. Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan

kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya

glukosuria. Untuk menentukan diagnosis dari diabetes melitus perlu

dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah secara enzimatik dengan

bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood),

vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan

angka – angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler

dengan glukometer (Suyono dkk, 2011).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes

melitus. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila

terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan

lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Suyono dkk,

2011).

Diagnosis dari diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara

seperti yang terangkum dalam tabel 6 di bawah ini. Pertama jika keluhan

klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200

mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Kedua

adalah pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Ketiga adalah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).

Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik

dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk

dilakukan berulang – ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Pemeriksaan Hemoglobin A1c

(HbA1c) juga telah direkomendasikan oleh ADA pada tahun 2011 sebagai

salah satu kriteria dalam mendiagnosis diabetes melitus. Kadar HbA1c ≥ 6,5 % yang pemeriksaannya dilakukan pada sarana laboratorium yang

telah distandarisasi menjadi salah satu kriteria dalam mendiagnosis

diabetes melitus (Suyono dkk, 2011).

Tabel 6. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

KRITERIA KETERANGAN

1 Gejala klasik diabetes + Kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200

mg/dL (11,1 mmol/L)

 Keterangan : glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2 Gejala klasik diabetes + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL

(7,0 mmol/L)

 Keterangan : Puasa diartikan penderita tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3 Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1

mmol/L)

 Keterangan : TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air

* Pemeriksaan kadar HbA1c ≥ 6,5 % pada sarana laboratorium yang

telah terstandarisasi dengan baik

Dikutip dari : Suyono S, Waspadji S, Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, Semiardji G, dkk. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

II.7.4. Diabetes Melitus Terhadap Risiko Stroke

Diabetes Melitus (DM) merupakan risiko mayor pada stroke dan

berhubungan dengan meningkatnya angka mortalitas. Telah dikemukakan

didapatkan 2,5 - 3,5 kali lebih tinggi pada DM dibandingkan bukan DM dan

risiko relatif dari stroke pada pasien dengan DM mencapi maksimum pada

grup umur muda 40-55 tahun dan proporsi wanita lebih besar sehingga

sangat penting untuk mendeteksi dan mengobati pasien DM usia muda

dan wanita sedini mungkin (Basjiruddin, 2009).

Pada penelitian berbasis populasi di Finland, DM merupakan faktor

risiko untuk infark serebri dengan RR 3,26 dengan topik di subkortikal atau

infark lakunar akibat kelainan vaskular yang kecil sesuai dengan

patofisiologi stroke pada DM, sedangkan perdarahan intraserebral atau

subaraknoid jarang dijumpai (Zafar dkk, 2007).

Walaupun hubungan erat antara DM dan penyakit vaskular belum

dimengerti secara jelas, hilangnya peranan pengubahan pengaturan dari

endotel dapat dilibatkan dalam patogenesis komplikasi vaskular pada DM.

Patogenesis ini tampaknya berhubungan dengan beban glikasi

(glucosetoxicity) dan oksidasi berlebihan, gangguan fungsi endotel,

kegagalan fibrinolisis, dan resistensi indulin selanjutnya diikuti dengan

komplikasi makrovaskular (Basjiruddin, 2009).

Pada DM yang lama juga akan terjadi ketidakseimbangan antara,

faktor vasodilator dan konstriktor, mediator tromboik dan fibrinolitik, serta

bahan-bahan penghambat dan perangsang pertumbuhan yang berkaitan

dengan penurunan produksi pelepasan dan atau aktifasi NO yang pada

Gambar 4. Insulin Resisten dan Perkembangannya Menjadi Stroke

Dikutip dari : Sander, D., Sander, K., Poppert, H. 2008. Stroke In Type 2 Diabetes. British Journal of Diabetes and Vascular Disease. 8: 222-229.

Capes dkk melaporkan stress hiperglikemi menjadi prediksi risiko

kematian yang lebih tinggi paska stroke dan rendahnya perbaikan

fungsional pada pasien yang bertahan hidup lebih lama. Pada pasien

dengan kadar glukosa darah puasa lebih dari 13,4 mmol/L dan kadar

HBA1c lebih dari 10% risiko stroke kira-kira lebih tinggi 2 kali lipat

dibandingkan dengan kontrol metabolik baik. Terdapat hubungan yang

bermakna antara peningkatan kadar glukosa puasa, postprandial, dan

HBA1c dan insiden stroke, yang tidak tergantung pada faktor tradisional

kardiovaskular lainnya dengan tipe diabetes melitus tipe 2 (Basjiruddin,

2009).

Dokumen terkait