• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang dihasilkan dari cacat pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010).

Diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Soegondo, 2008).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi etiologis diabetes melitus (ADA, 2010). 1) Diabetes Melitus Tipe 1

Destruksi sel beta, menjurus kepada defisiensi insulin absolut, autoimun dan idiopatik

2) Diabetes Melitus Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

3) Tipe Lain

Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain berkaitan dengan diabetes melitus.

4) Diabetes melitus gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung. Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk pemeriksaan kehamilan. Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat keluarga dengan diabetes melitus,

abortus berulang, riwayat melahirkan bayi dengan kelainan kongenital atau melahirkan bayi dengan berat >4000 gram, riwayat preeklamsia.

Karakteristik untuk membedakan diabetes melitus tipe 1 dan 2, yaitu: 1) Diabetes Melitus Tipe 1: mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus

dengan insulin, onset akut, biasanya kurus, biasanya pada umur muda, berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4, didapatkan Islet Cell Antibody

(ICA), riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%, 30-50% kembar identik terkena.

2) Diabetes Melitus Tipe 2: tidak mudah terjadi ketoasidosis, tidak harus dengan insulin, onset lambat, gemuk atau tidak gemuk, usia biasanya >45 tahun, tak berhubungan dengan HLA, tidak ada Islet Cell Antibody

(ICA), riwayat keluarga (+) pada 30%, ± 100% kembar identik terkena

3. Faktor Risiko Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat diwariskan.Gen merupakan sel pembawa sifat yang dapat diwariskan orang tua kepada turunannya. Gen yang dimaksud tidak selalu berasal dari orang tua kandung, tetapi dapat berasal dari kakek nenek atau generasi di atasnya (Nurrahmani, 2012). Risiko diabetes tipe 2 pada kembar monozigotik adalah 70%, sedangkan pada kembar dizigot sebesar 20-30%. Jika salah satu orang tua menderita diabetes melitus, risiko pengembangan penyakit ini sebesar 40%, lebih besar jika ibu yang menderita diabetes melitus tipe 2. Jika kedua orang tua menderita diabetes melitus risiko diabetes sebesar 70% bagi anak-anaknya.

Faktor lain yang mendukung terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu, kegemukan atau obesitas, pola makan yang salah, kurang aktifitas fisik, obat-obatan, proses menua, dan stress (ADA, 2010 & Soegondo, 2008).

4. Patofisiologi

a. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1

Insulin pada diabetes melitus tipe 1 tidak dapat dibentuk oleh pankreas, dipengaruhi oleh reaksi autoimun yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta insulitis. Hal ini mengakibatkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi ICA mengakibatkan hancurnya sel beta namun sel alfa dan sel delta tetap utuh. Insulitis dapat disebabkan diantaranya oleh virus seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes, dan lain-lain yang menyerang sel beta (Soegondo, 2008).

Penderita DM tipe 1 mewarisi predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu seperti HLA-B8, HLA-B15, HLA B-18, HLA-Cw-3, HLA-DR3 dan HLA-DR4. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Individu yang memiliki salah satu HLA ini mempunyai risiko tiga kali lipat menderita diabetes melitus tipe 1 (ADA, 2010).

b. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Terdapat dua masalah utama pada diabetes melitus tipe 2 yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya, insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel.

Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Peningkatan jumlah insulin yang disekresikan dibutuhkan untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes melitus tipe 2 (ADA, 2010).

5. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 a. Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan atas dasar glukosuria saja. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan darah plasma vena. Sedangkan, untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2011).

b. Diagnosis Diabetes Melitus

Beberapa keluhan atau tanda gejala yang muncul pada penderita diabetes melitus diantaranya keluhan klasik berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.

2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis diabetes (mg/dl) (Perkeni, 2011)

Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200 Darah kapiler < 90 90-199 ≥200 Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena <100 100-125 ≥126 Darah kapiler <90 90-99 ≥100

c. Pilar Utama Pengelolaan Diabetes Melitus 1. Edukasi

Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi diabetes melitus diperlukan bagi pasien dan keluarga untuk peningkatan pengetahuan dan motivasi. Pasien yang mengalami peningkatan pengetahuan dan motivasi akan mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan diabetes nelitus (Soegondo 2008).

Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan diabetes adalah dengan membagi informasi dan keterampilan menjadi dua tipe utama. 1) Keterampilan serta informasi yang bersifat dasar (basic), awal

(initial) atau bertahan (survival), meliputi patofisiologi sederhana, cara-cara terapi, pengenalan, penanganan dan pencegahan

komplikasi akut yang meliputi hipoglikemia dan hiperglikemia, informasi yang pragmatis (dimana membeli dan menyimpan insulin, spuit suntik, alat-alat pemantau gula darah, kapan dan bagaimana menghubungi dokter).

2) Pendidikan tingkat lanjut meliputi: perawatan kaki, perawatan mata, hygiene, penanganan faktor risiko.

2. Perencanaan Makan (Terapi Nutrisi Medis)

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Prinsip pengaturan makan pada penderita DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penderita DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis makan, dan jumlah makanan, terutama bagi yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani dianjurkan teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit, yang bersifat CRIPE (continuous, rhytmical, interval, progressive, endurance training). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Tabel 2.2. Aktivitas Fisik Sehari-hari Kurang Aktifitas

Hindari aktivitas sebentar

Misalnya, menonton televisi, menggunakan internet, main game komputer.

Persering aktivitas

Mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas fisik tinggi pada waktu liburan

Misalnya, jalan cepat golf, olah otot, bersepeda, sepak bola.

Aktifitas harian

Kebiasaan bergaya hidup sehat

Misalnya, berjalan kaki ke pasar (tidak menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak mengunakan lift), menemui rekan kerja (tidak haanya melalui telepon internal), jalan dari tempat parkir. 4. Intervensi Farmakologis

Pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:

1) Obat glikemik oral, meliputi pemicu sekresi insulin (Sulfonilurea, Glinid), dan penambah sensitivitas terhadap insulin (Biguanid, Tiazolidindion, Penghambat Glukosidase Alfa).

2) Insulin

d. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yaitu mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk mendapat diabetes melitus dan kelompok intoleransi glukosa. Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Skema tentang alur pencegahan primer dapat dilihat pada bagan 1.

Materi penyuluhan meliputi:

1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 atau intoleransi glukosa. 2. Diet sehat

Diet dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. Diet ini berupa pengaturan jumlah asupan kalori yang diberikan ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan. Jenis makanan mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut. Diet yang dianjurkan yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. (Perkeni, 2011).

Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang untuk pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan. Pola 4 sehat 5 sempurna adalah pola menu seimbang yang jika disusun dengan baik mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh (Almatsier, 2009).

3. Latihan jasmani

Pada saat berolahraga, permeabilitas membran sel terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi sehingga gula darah lebih mudah masuk dan resistensi insulin berkurang, dengan kata lain sensitivitas insulin meningkat (Nurrahmani 2012). Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah dilakukan selama 30 menit untuk 1 kali olahraga, dilakukan sebanyak 3-4 kali aktivitas/minggu (Perkeni, 2011 & Diabetes Australia 2006).

Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi meliputi (Perkeni, 2002 dalam Ernawati, 2013):

a. Continuous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti.

b. Rhytmical

Olahraga sebaiknya dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur.

c. Interval

Latihan dilakukan selang seling antara gerak cepat dan lambat. d. Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.

e. Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan prinsip latihan jasmani bagi seorang diabetisi maupun bukan, yaitu harus memenuhi beberapa hal: frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis (Perkeni, 2002 dalam Ernawati, 2013).

 Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali perminggu.

 Intensitas : ringan dan sedang (60-70% x maximum heart rate)

 Durasi : 30-60 menit

 Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Nurrahmani, 2012):

a. Pemanasan (warm-up), dilakukan 5-10 menit. Tujuanya adalah untuk menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi, mengurangi kemungkinan cedera.

b. Olahraga inti (conditioning), selama 20 menit. Diusahakan denyut nadi mencapai Target Heart Rate (THR). Jika di bawah THR maka olahraga tersebut tidak bermanfaat. Jika berlebihan akan menimbulkan risiko yang tidak diinginkan.

Rumus: sebelum menghitung THR, tentukan dahulu MHR (Maximum Heart Rate) : 220-umur. THR: 70%-80% x MHR. c. Pendinginan (cooling down), dilakukan selama 5-10 menit

bertujuan untuk mencegah penimbunan asam laktat di otot yang dapat menimbulkan nyeri otot atau kepala pusing karena darah masih terkumpul di otot yang aktif. Jika jogging, pendinginan dilakukan dengan berjalan. Jika bersepeda, pendinginan dilakukan dengan tetap mengayun dengan tanpa beban.

d. Peregangan (stretching), bertujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang masih teregang.

4. Berhenti merokok.

Merokok merupakan salah satu faktor risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular pada penderita diabetes (Perkeni, 2011).

agan 2.1: Algoritma pencegahan DM tipe 2 (Perkeni, 2011)

Bagan 2.1: Alur pencegahan primer diabetes melitus tipe 2 (Perkeni, 2011) Populasi dengan risiko

tinggi pada usia <30 th.

-Riwayat keluarga DM

-Kelainan kardiovaskular -Berat badan lebih -Gaya hidup sedenter -Diketahui mengalami

GDPT atau TGT -Hipertensi -Trigliserida

meningkat, HDL rendah atau keduanya -Riwayat DMG -Riwayat melahirkan bayi >4000 g -PCOS -Terapi gizi -Aktivitas fisik -Penurunan berat badan Belum dianjurkan -Hipertensi -Dislipidemia -Kebugaran fisik -Kontrol BB

TTGO 2 jam adalah metode yang paling sensitif untuk deteksi dini dan merupakan prosedur penyaring yang dianjurkan. -Bila berat badan

berlebih diturunkan sebanyak 5-10% -Latihan jasmani 30 menit 5 kali/minggu Singkatan:

AIC= Hemoglobin A1c AGI= α-glukosidase inhibitor; GDP=Gula darah puasa; HDL=High density lipoprotein;GDPT= glukosa darah puasa terganggu, TGT= toleransi glukosa terganggu, TGM= terapi gizi medis; TTGO=Tes toleransi glukosa oral; GDPP= Glukosa darah 2 jam pos prandial; Rx=Terapi; SU=Sulfonyluree, TZD=Tiazolidindion.

Penatalaksanaan n

Deteksi dini gaya hidup Perubahan farmakologis Terapi

Pemantauan berkala untuk glukosa darah dan faktor risiko

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau meng- hambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita diabetes melitus. Pencegahan dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit diabetes melitus.

Program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan menuju perilaku sehat. Pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. 3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, pediatris, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

Dokumen terkait