BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan
resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan
metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti
mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009).
2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008
dan Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3
bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun,
menurut American Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian
dengan tambahan Pra‐Diabetes.
a. Diabetes tipe 1
DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat lazim terjadi pada
anak remaja tetapi kadang‐kandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya
yang non‐obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak
pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang
disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma
meningkat dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik.
katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa
darah (Karam, 2002).
Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria),
rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan
gejala ini dapat terjadi sewaktu‐waktu (tiba‐tiba) (WHO, 2008).
b. Diabetes tipe 2
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi
pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari
normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab
gangguan kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe
ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain
terjadinya penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi
respons sel ß pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002).
Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar.
Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat
terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang
obesitas.
c. Diabetes Gestational
DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan
(WHO, 2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya
namun memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM
gestational. DM gestational biasanya terdeteksi pertama kali pada usia
umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestational
terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Anonim, 2009).
Mekanisme DM gestational belum diketahui secara pasti. Namun, besar
kemungkinan terjadi akibat hambatan kerja insulin oleh hormon plasenta
sehingga terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin ini membuat tubuh bekerja
keras untuk menghasilkan insulin sebanyak 3 kali dari normal.
DM gestational terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat dan
menggunakan seluruh insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa insulin,
glukosa tidak dihantarkan ke jaringan untuk dirubah menjadi energi, sehingga
glukosa meningkat dalam darah yang disebut dengan hiperglikemia
(Anonim, 2009).
d. Pra‐Diabetes
Pra‐diabetes merupakan DM yang terjadi sebelum berkembang menjadi
DM tipe 2. Penyakit ini ditandai dengan naiknya KGD melebihi normal tetapi
belum cukup tinggi untuk dikatakan DM. Di Amerika Serikat ±57 juta orang
menderita pra‐diabetes. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa
beberapa kerusakan jangka panjang khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi,
kemungkinan sudah terjadi pada pra‐diabetes, untuk mencegahnya dapat
dilakukan dengan diet nutrisi dan latihan fisik (Anonim, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Tingkat prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, diperkirakan sekitar 16 juta
baru. DM merupakan penyebab kematian di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada
usia yang sama, penderita DM paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena
serangan jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita DM. Tujuh puluh
lima persen penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular.
Serangan jantung, gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah
komplikasi utama. Selain itu kematian fetus intrauterine pada ibu penderita DM
yang tidak terkontrol juga meningkat. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat
akibat biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekwensi finansial
karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler (Price dan
Wilson, 2002).
2.1.3 Patofisiologi
Pada DM tipe 2 terjadi 2 defek fisiologi yaitu abnormalitas sekresi insulin,
dan resistensi kerjanya pada jaringan sasaran. Pada DM tipe 2 terjadi 3 fase
urutan klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal meski pun terjadi resistensi
insulin karena insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung
memburuk sehingga meski pun terjadi peningkatan konsentrasi insulin, tetap
terjadi intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase
ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, sehingga
menyebabkan hiperglikemia puasa dan DM yang nyata (Foster, 2000).
Hipotesis menjelaskan adanya keterlibatan sintesis lemak terstimulasi
penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan
mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Keterlambatan penurunan
pelepasan insulin dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau
Langerhans atau akibat defek genetik. Sebagian besar pasien DM tipe 2
mengalami obesitas, dan hal itu sendiri yang menyebabkan resistensi insulin.
Namun penderita DM tipe 2 yang relatif tidak obesitas dapat mengalami
hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal ini membuktikan bahwa
obesitas bukan penyebab resistensi satu‐satunya DM tipe 2 (Foster, 2000). Pada DM tipe 2, massa sel β utuh, sedangkan populasi sel α meningkat,
sehingga menyebabkan peningkatan rasio sel α dan β. Hal ini menyebabkan
kelebihan relatif glukagon dibanding insulin (Foster, 2000).
Sudah lama diketahui bahwa endapan amiloid ditemukan dalam pankreas
pasien DM tipe 2, namun peranan amilin terkait dengan DM belum dapat
dibuktikan. Amilin merupakan suatu peptida asam amino 37. Pada keadaan
normal, amilin terbungkus bersama‐sama insulin dalam granula sekretori dan
dikeluarkan bersama‐sama sebagai respons terhadap pengeluaran insulin.
Penumpukan amilin dalam pulau Langerhans kemungkinan merupakan akibat
kelebihan produksi sekunder karena resistensi insulin. Kemungkinan lain,
penumpukan amilin dalam pulau Langerhans menyebabkan kegagalan lambatnya
produksi insulin pada pasien yang sudah lama menderita DM tipe 2
(Foster, 2000).
2.1.4 Gambaran Klinis
DM tipe 1 biasanya mulai terjadi sebelum umur 40 tahun. Di Amerika
Serikat insidensi puncak terjadi sekitar umur 14 tahun. Gejala awal yaitu tiba‐tiba
haus, sering buang air kecil, peningkatan nafsu makan, dan penurunan berat
badan selama beberapa hari. Pada sebagian kasus, DM tipe 1 ditunjukkan
dengan timbulnya ketoasidosis pada DM yang baru atau setelah pembedahan.
Pada DM tipe 1 kadar insulin plasma rendah atau tidak terukur, kadar glukagon
meningkat tetapi dapat ditekan oleh insulin. Begitu timbul gejala, diperlukan
insulin. Terkadang, kejadian awal ketoasidosis diikuti oleh interval bebas gejala
(periode honeymoon) yang tidak memerlukan terapi (Foster, 2000).
DM tipe 2 biasanya mulai terjadi pada pertengahan umur atau lebih.
Pasien biasanya gemuk, gejala terjadi perlahan‐lahan, dan diagnosis sering
dilakukan jika individu tanpa gejala mengalami peningkatan glukosa plasma pada
pemeriksaan laboratorium rutin. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2
kadar insulin plasma normal hingga tinggi dalam istilah absolut, meski pun lebih
rendah dari yang diperkirakan untuk kadar glukosa plasma (terjadi defisiensi
insulin relatif). Kadar glukagon tinggi dan resisten, dimana respons glukagon yang
berlebihan akibat makanan yang masuk tidak dapat ditekan akibat fungsi sel alfa
tetap abnormal. Komplikasi akut yang terjadi pada pasien DM tipe 2 adalah
sindroma koma hiperosmolar non‐ketotik, dan tidak terjadi ketoasidosis.
Ketoasidosis tidak terjadi akibat hati resisten terhadap glukagon sehingga kadar
ketogenik. Jika penurunan berat badan terjadi, dapat diatasi dengan diet saja.
Sebagian besar pasien yang gagal dengan terapi diet memberi respons terhadap
sulfonilurea, tetapi perbaikan hiperglikemia pada kebanyakan penderita tidak
cukup hanya dengan obat ini saja, karena itu sejumlah besar pasien DM tipe 2
memerlukan insulin (Foster, 2000).
2.1.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis DM yang telah direvisi menurut ADA (American
diabetes association) adalah :
a. Nilai A1c > 6,5%, diagnosis DM harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
A1c ulangan, kecuali gejala klinis dan nilai kadar gula darah > 200 mg/dl.
b. Ditemukan gejala hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu >
200 mg/dl. Gejala klasik hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, dan
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, atau
c. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa berarti pasien tidak menerima
asupan kalori 8 jam terakhir sebelum pemeriksaan, atau
d. Kadar gula darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl setelah tes toleransi
glukosa menggunakan glukosa 75 gram (Cavallerano, 2009).
2.1.6 Komplikasi
DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya
komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh
erat antara pasien dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik DM
dapat dicegah, setidaknya dihambat perkembangannya (Waspadji, 1996)
Komplikasi DM terbagi dua yaitu komplikasi metabolik akut dan
komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan
perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi
metabolik yang paling serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA).
Komplikasi akut yang lain adalah hiperglikemia hiperosmolar koma non‐ketotik
(HHNK), dan hipoglikemia (Price dan Wilson, 2002).
Komplikasi vaskular jangka panjang DM melibatkan pembuluh darah kecil
(mikroangiopati) dan pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati).
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol
retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf
perifer (neuropati diabetik), dan otot serta kulit. Makroangiopati diabetik
mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis (Price dan Wilson,
2002).
2.1.7 Penilaian Pengontrolan Glukosa
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada
semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada
keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari
sumsum tulang (Price dan Wilson, 2002).
Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami
enzimatik dan bersifat reversibel. Pada pasien DM, glikosilasi hemoglobin
meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama
2‐3 bulan sebelumnya. Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal
antara 70‐140 mg% selama 2‐3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan
menunjukkan nilai normal. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai
HbA1c yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4‐
8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran
yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%‐5,5% (Tabel 1.1). Pemeriksaan
HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status
glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).
Tabel 1.1 Kadar glikat hemoglobin pada penderita diabetes melitus
(Price dan Wilson. 2002)
Normal/Kontrol glukosa HbA1c (%)
Nilai normal 3,5‐5,5
Kontrol glukosa baik 3,5‐6
Kontrol glukosa sedang 7,0‐8,0
Kontrol glukosa buruk >8