• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Tinjauan Umum Komorbiditas

2. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan glukosa darah (gula darah) melebihi normal yaitu gula darah sewaktu atau lebih dari 200 mg/dl, dan gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl.

Penyakit ini dapat menyerang hampir seluruh sistem tubuh manusia, mulai dari kulit sampai jantung yang menimbulkan komplikasi (Hestiana D. W, 2017).

Diabetes melitus dengan Covid-19 meningkatkan sekresi hormone hiperglikemik seperti catecolamin dan glukokorticoid dengan menghasilkan elevasi glukosa dalam darah variabilitas glukosa abnormal serta dapat mengkomplikasi diabetes melitus. Dampak tidak terkontrol sehingga diabetes dapat menyebabkan peradangan sitokin yang berakibat merusakan multi organ (Hidayani et al., 2020).

Setiap pasien Diabetes Melitus perlu mendapatkan informasi minimal yang diberikan setelah diagnosis ditegakan, mencakup pengetahuan dasar tentang DM, pemantauan mandiri, sebab-sebab tingginya kadar glukosa darah, obat

30

hipoglikemiaoral, perencanaan makan, pemeliharaan kaki, kegiatan jasmani, pengaturan pada saat sakit, dan komplikasi (Azis, W.A., Muriman, 2020)

Hasil penelitian gaya hidup menunjukan bahwa dari 47 orang responden terdapat 17 orang responden (36,2%) yang memiliki Gaya Hidup Sehat dan terdapat 30 (61,8) orang yang memiliki gaya hidup tidak sehat. Banyak diantara penderita diabetes melitus yang masih menjalani gaya hidup tidak sehat.

Penyebabnya karena pola makan dan aktivitas fisik. Maka dari itu perlu ditanamkan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan hidup dengan baik dengan cara menerapkan pola hidup sehat agar terhindar dari berbagai penyakit khususnya penyakit DM. Konsep gaya hidup sehat mencakupi tiga aspek utama dalam kesehatan yaitu fisik, mental serta sosial. Komponen utama yang menjadi teras konsep gaya hidup sehat ini adalah (Azis, W.A., Muriman, 2020).

a. Mencuci tangan b. Pola makan teratur c. Tidak merokok d. Berolahraga e. Penanganan stress 3. Jantung

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu penyakit pada jantung yang terjadi karena adanya kelainan pada pembuluh koroner (yaitu sepasang pembuluh nadi cabang pertama dari aorta yang mengantarkan zat-zat makanan yang dibutuhkan bagi jaringan-jaringan dinding jantung). Kelainan pembuluh darah koroner ini berupa penyempitan pembuluh darah sebagai akibat dari proses atherosclerosis (yaitu pengeresan dinding darah karena penimbunan lemak yang berlebihan). Bedasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, peneliti menganalisis bahwa semakin bertambahnya usia semakin pula besar terkena penyakit jantung

koroner. Karena semakin bertambahnya umur fungsi organ tubuh akan semakin berkurang karena mengalami penuaan. Pertambahan usia meningkatkan risiko terkena serangan jantung koroner secara nyata pada pria maupun wanita, hal ini disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti, kurangolah ragah karena asik menonton televisi di rumah, mengonsumsi makanan tidak sehat yang banyak mengandungkolestrol, dan gaya hidup yang tidak sehat (Suherwin, 2018)

Umur merupakan suatu faktor risiko Penyakit Jantung Koroner dengan dimana penambahan usia akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Semakin bertambah tua umur maka semakin besar kemungkinan akan timbulnya karat yang menempel di dinding dan menyebabkan gangguan aliran air yang melewatinya. Penyakit jantung coroner menyebabkan 40% kematian laki-laki pada usia 55-65 tahun. Hal ini mungkin terjadi karena sekitar 50 tahun keatas, wanita dan pria memiliki tingkat risiko yang sama dan pada penelitian ini mayoritas pasien berusia ≥45 tahun. Secara medis juga dapat menyerang siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Kadar kolesterol yang sangat tinggi dapat mengendap didalam pembuluh arteri yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan dikenal sebagai atherosklerosis atau plak. Akibat tingginya beban kerja jantung dan hipertrofi, maka kebutuhan jantung akan darah (oksigen) meningkat dan menyebabkan terjadinya penyakit jantung koroner. Trigliserida dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah. Jika kolesterol dalam darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya atherosclerosis (penyempitan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak pada dinding pembuluh darah). (Suherwin, 2018)

Studi yang dilakukan oleh (Zhou et al, 2020) terhadap 191 pasien terkonfirmasi Covid-19 menemukan bahwa gagal jantung akut terjadi pada 23%

pasien dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Hingga saat ini belum

32

dapat diketahui apakah gagal jantung akut pada Covid-19 terjadi akibat kardiomiopati onset baru atau eksaserbasi dari gagal jantung yang tidak terdiagnosis sebelumnya (Willim et al., 2020)

5. Paru-paru

Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit kronik pada paru-paru dengan karakteristik hambatan aliran udaran yang sepenuhnya tidak dapat pulih atau pulih sebagian dan bersifat progresif. Keterbatasan aliran udara berhubungan dengan adanya respon inflamasi yang tidak normal dari partikel dan gas yang berbahaya bagi paru-paru. Fungsi paru-paru mengalami kemunduraan dengan semaki bertambahnya usia yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada yang semakin berkurang sehingga sulit bernapas. (R et al., 2019)

Tingkat keparahan paru-paru obstruktif kronik diukur dari skala sesak napas. Menurut American Thoracic Society (ATS). pengolongan paru-paru obstruktif kronik berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini dapat ditandai dengan sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut:

a. Aktivitas berat dengan skala 0 dan Tidak ada sesak kecuali dengan.

b. Terganggunya oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendakati nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50%

b. Berjalan lebih lambat dari pada orang lain yang sama usia karena sesak napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala sedang.

c. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak napas saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai skala 4

sangat berat dengan Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan nilai 3 skala berat

Pada penderita paru-paru obstruktif kronik derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi (Oemiati, 2013).

5. Ginjal

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir pada gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kejadian gagal ginjal bisa terjadi karena faktor pekerjaan yang tanpa disadari dapat mempengaruhi pola hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi minuman suplemen untuk mencegah kelelahan, timbul stress karena target yang harus dicapai bahkan kurang minum air putih pun merupakan faktor pemicu terjadinya penyakit ginjal kronik (Kurniawati dan Asikin, 2018). Penyebab penyakit ginjal kronik antara lain peradangan, penyakit vascular hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital, penyakit metabolik, nefropati toksik dan nefropati obstruktif (Ardiansyah, 2014)

CKD (Chronic Kidney Diseases) merupakan suatu kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit/1,73m². Pada kasus ini pasien di diagnosa Chronic Kidney Disease Stage V berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

34

pemeriksaan penunjang. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal glomerulus. mengurangi adalah terjadinya hiperfiltrasi. Dua cara penting glomerulus untuk adalah hiperfiltrasi dengan pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak protein selalu dianjurkan. Pemberian yaitu 0,6-0,8/kg BB/hari. (Fadhilah, 2014)

Dokumen terkait