• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSA BANDING 19

Dalam dokumen REFERAT-febris (Halaman 34-41)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit

II.19. DIAGNOSA BANDING 19

- Paratifoid fever (A, B, C): gejala febih ringan dibanding typhoid fever. - Influenza : panas tinggi

- Tbc

- Dengue: panas mendadak tinggi cepat - Malaria

- Pneumoni lobaris

II.20.PENATALAKSANAAN 11,13,18

Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi, clan gangguan hemodinamik).

Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakkan diagnosis dilakukan dengan tepat. Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastrointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid.

35 Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Salmonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut : (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan ckup baik, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis.

Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasiian pengobatan, clan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Dalam penelitian tahun 1990 - 1994 di Bagian !KA FKUI-RSCM, penderita demam tifoid yang diberi antibiotik kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, sedfiksim, dan kotrimoksazol. Dengan demikian, pemantauan suhu pada hari ke-4 sampai ke-5 setelah pemberian antibiotik dapat digunakan sebagai titik evaluasi. Bifa suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S. typhi).

Penggunaan antibiotik yang dianjurkan seiama ini adalah sebagai berikut :

1. Lini pertama

a. Kloramfenikol

Masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dosis 50-100 mg/kgBBlhari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella typhi, namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada ieukosit < 200/u1) dan dosis maksimal adalah 2 gram perhari atau

b. Ampisilin dengan dosis 150 -200 mg/kgbb/hari diberikan per oral/iv selama 14 had atau

c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mgJkgBB/hari trmetroprim, dibagi 2 dosis, selama 14 had

2. Lini kedua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S. typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR = multidrug resistance), yang terdiri atas :

a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgbblhari, dosis tunggal selama 20 hari. Penyembuhan sampai 90 % juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.

36 b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mglkgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftiakson yang cukup handal.

c. Florkinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin di atas, dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan klinis dan bakteriologis di sampig kemudahan pemberian secara oral. Namun demikian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago. Beberapa peneiitian mengenai penggunaan kinolon dalam mengobati demam tifoid pada anak sudah banyak dilakukan.

Siprofloksasin, 10 mgJkgbb/hari dalam 2 dosis, atau ofloksasin 1015 mgfkgbb/hari dalam 2 dosis, sudah dipkaai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dilaporkan bervariasi antara 2-5 hari, namun beberapa penulis menganjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini hanya dianjurkan pada kasus demam tifid dengan MDR. Penelitian di Vietnam pada 326 anak dengan demam tifoid yang diberikan siprofloksasin atau ofloksasin, dan dievaluasi selama 2 tahn tidak didapatkan adanya gangguan dalam kecepatan pertumbuhan linier. Penelitian lain melaporkan penggunaan siprofloksasin dengan pantauan seiama 6 buian tidak ditemukan tanda-tanda artritis.artralgia, maupun gangguan pertumbuhan linier.

d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebeium had ke-4.

Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama.

Pengobatan suportif akan sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita dema tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperfukan untuk efektifitas respons imun clan pemantauan keberhasiian pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5°C.

37 Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat clan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat.

Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya anga kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awai 3 mglkgbb, diikuti dengan 1 mg/kgbb setiap 6 jam selama 2 hari.

Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini.

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama

Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian cairan intravena untuk penderita dehidrasi clan asidosis. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun clan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan antipiretik. Dianjurkan pemberian bila suhu di atas 38,5'C. Pemberian kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksamethason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mgIkgBB setiap 6 jam selama 2 hari.

II.21.PENCEGAHAN 8,10

Secara umum, setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan clan minuman yang dikonsumsi. Kuman S.typhi akan mati apabila dipanasi dalam air setinggi 57'C untuk beberapa menit atau dangan proses iodinasil klorinasi.

38 Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air, pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi, dan pendidikan kesehatan masyarakat.

Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin yang digunakan adalah vakasin yang berasal dari kuman yang dimatikan atau diiemahkan. Vaksin yang terbuat dari S.typhi yang telah dimatikan ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik, sedangkan yang dilemahkan dapat memberikan perlindungan sebesar 87-95°t° / 36 bulan. Pemberian IM dengan dosis 0,5cc. Vaksin ini terutama diberikan pada daerah endemik tifoid.

Prognosis 18

Umumnya prognosis tifus abdominaiis pada anak baik asai penderita cepat datang berobat clan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:

- Hiperpireksia atau febris kontinua

- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.

- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.

39 KESIMPULAN

Demam pada umumnya di artikan suhu tubuh yang di atas 37,2oC. Demam terjadi karena perlepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme. Terdapat beberapa tipe demam seperti: demam septik, demam remitten, demam intermitten, demam kontinyu dan demam siklik.

Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebebkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan disertai haemoragic. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang ditandai okleh renjatan atau syok. Penyebab terjadinya Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue, dimana terdapat 4 serortipe virus DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.

Demam typhoid adalah suatu penyakit sistemil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhii. Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam selama 7 hari, dengan gangguan saluran pencernaan. Tatalaksana pada demam typhoid yaitu: istirahat dan perawatan, diet dan therapi penunjang, pemberian antimikroba (kloramfenikol 4x500 mg PO/IV).

40 DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setioyahadi B, Alwi I, Setioyahadi B, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:FKUI bagian ilmu penyakit dalam;2006.p.1719

2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, ed. Demam berdarah dengue. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiyohadi B, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: FKUI departemen ilmu penyakit dalam; 2009. p. 1709 - 713.

3. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ke – 4. Jakarta: balai penerbit FKUI ; 2006. P.417-26.

4. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. Jakarta: departemen kesehatan RI; 2008.

5. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2008. 6. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2011, desember24. 7. Current : Medical Diagnosis & Treatment, forty-third edition: McGraw-Hill :

2004:1362-1363

8. Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition: WB Saunders Co, 1992: 731-734

9. Juwono, Rachmat: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Ketiga PAPDI FK UI , Jakarta :1996: 435-441

10. Harrison : Priciples of Internal Medicine, 16th edition: McGraw-Hill : 2005897-902 11. Buku kuliah :Ilmu Kesehatan Anak : jilid 2: Balai Penerbit FKUI, Jakarta Cetakan 2002 :

593-598

12. Soedarmo_S , dkk : Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis : Edisi Pertama: Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2002 :36$-375

13. http flwww.medicastore.com 8. I?tta:flwww.who.int 14. http:iiwww.microbology-entericfever.htm

15. Soeiistyowati S, Sonarto Y. Soesilo H, Widiarto, Widatmodjo, Ismangun, 1982, Thyphoid Fever in Children. Paediatrica Indonesiana, 22 : 138146.

16. Soegijanto, Soegeng. Ilmu Penyakit Anak. Diagnosa dan Penatalaksanaan, Salemba Medika, 1-39.

41 17. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Balai Penerbit

FKUI. 2003. hal. 37-43

18. Staf dan PPDS Departemen IKA RSCM, Demam Tifoid. Panduan Peiayanan Medis Departemen Kesehatan Anak RSCM. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, 2005.

Dalam dokumen REFERAT-febris (Halaman 34-41)

Dokumen terkait