• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Penunjang 15,18

Dalam dokumen REFERAT-febris (Halaman 28-34)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit

II.16. Pemeriksaan Penunjang 15,18

Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan taboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. Da1am kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :

(1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot,

(2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. Typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan

(3) pemeriksaan meiacak DNA kuman S. Typhi.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.

a. Pemeriksaan darah tepi. Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, neutropenia pada permulaan sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

29 Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopeni, limfositosis relatif dan menghilangnya eosinofii (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. '2

b. Pemeriksaaan Sumsum tulang

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis berkurang.

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa

Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.

a. Biakan empedu

80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feces dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.

b.Widal test

Dasar pemeriksaan iaiah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 11200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bita penderita tetah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman. Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita.

30 - Titer O clan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm usus.

- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.

- Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).

- Akibat imunisasis scr alamiah karena masuknya basisi peroral atau pada keadaan infeksi.

II.17.DIAGNOSA 15,17

Diagnosis demam tifioid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun identifikasi kuman S. Typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, poisitif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan tetikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai. Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka widal cukup bermakna.

Kemajuan di bidang biomoleklar saat ini sampai pada penelitian mendeteksi DNA kuman S. Typhi dalam darah dengan tehnik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan DNA dengan polymerase chain reaction (PCR). Cara ini dilaporkan dapat mengidentifiksi kuman dalam darah dengan akurat, bahkan dalam jumiah kuman yang amat sediit. Namun metode PCR ini cukup mahal dan belum dapat dikerjakan secara rutin di laboratorium klinik.

Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S. Typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tufang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan

31 darah. Menurut Watson jumlah rata-rata kuman 7,6 per ml darah, walaupun penderita dalam keadaan bakteremia, sehingga untuk biakan diperlukan 5 sampai 10 ml darah. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah darah yang dibutuhkan antara 2 sampai 5 ml. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik ialah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.

Biarkan darah positif ditemukan pada 75-80°fo penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, bahkan darah positif hanya pada 10°l° penderita. Setelah minggu keempat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bifa terjadi refaps, maka biakan darah akan positif kembali. Pada kepustakaan lain disebutkan biakan darah positif berturut-turut sebesar 52,3% clan 40-80%.

Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Hoffman dkk, melaporkan dalam penelitiannya di RS Karantina pada tahun 1986 di Jakarta bahwa biakan sumsum tulang (92%) lebih sensitif secara bermakna dibandingkan dengan biakan darah (62%), biakan clot streptokinase (51%) dan biakan usap dubur (56%). Cara ini amat bermanfaat pada kasus yang darahnya telah menjadi steril. Namun prosedur ini bersifat invasif clan membutuhkan alat khusus, sehingga hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dan tidak lazim dipakai secara rutin.

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM selama kurun waktu 5 tahun (1990 sampai 1994) dari 232 kasus yang dapat dilakukan biakan hanya 36% yang memberikan hasil positif. Gilman dkk, melaporkan dalam penelitiannya terhadap 62 pasien dengan demam tifoid yang sebagian besar dari mereka telah mendapat terapi, isoiasi S. Typhi positif dari biakan sumsum tulang terdapat pada 56 pasien (90%); sedangkan biakan darah, tinja dan urin masing-masing positif pada 25 penderita (40%), 23 penderita (37%) clan 4 penderita (7%). Kuman S. Typhi berhasil diioslasi pada 24 (63%) dari 36 pasien biakan rose spots.

Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dmatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Gilman mendapatkan biakan darah positif pada 80% penderita yang belum mendapat antibiotik, sedangkan penderita yang telah mendapatkan antibiotik, biakan darah positif hanya 40% penderita, sedangkan biakan sumsum tulang positif pada 90% penderita. Di Yogyakarta,

32 Bachtin mendapatkan biakan darah positif pada 8 (47%) dari 17 penderita yang belum diobati dengan kloramfenikol, sedangkan penderita yang telah diobati kloramfenikol, biakan darah positif ditemukan pada 5 (29,5%) dari 17 penderita.

Walaupun metoda biakan S. Typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.

Uji serotogi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi yaitu uji widal. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. ada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi daiam serum.

Pada demam tifoid mula-mufa akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul 4ebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan - 2 tahun. Antiboid Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang seteiah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S. Typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S. Typhi. Hubungan antara saat masuknya kuman, timbulnya demam, kemungkinan biakan positif dan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid dapat dilihat pada gambar.

Meskipun UP serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standari aglutinasi (cut off point). Beberapa penutis telah melaporkan nilai uji standar agiutinasi yang berbeda-beda untuk diagnosis demam tioid dengan uji Widal, oleh karena nilai sensitivitas, spesifitas dan perkiraan uji ini sangat berbeda antar laboratorium klinik. interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi; antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imulogis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang. 13

33 Gambar. Hubungan antara masuknya kuman, kemungkinan timbulnya demam, frekuensi biakan positif dan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid

II.18.KOMPLIKASI 19

Komplikasi typoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus haius) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:

a. Perdarahan (haemorrhage) usus.

Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastic, sudden tachycardia.

b. Perforasi usus.

Timbul pada minggu ketiga atau seteiah itu dan sering terjadi pada distal ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghiiang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgenabdomen yang dibuat dalam posisi tegak.

c. Peritonitis

Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri pefut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense muscuiair) dan nyeri tekan.

2. Ekstraintestinal

Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):

a. Liver, gallbladder, dan pancreas

Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis.

34 Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan ditandai ofeh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomaf.

Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .

c. Nervous system

Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang), encepha-lomyelitis.

d. Hematologi dan renal

Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan manifes hemolytic-uremic syndrom, dan hemolisis. Glomeruionefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

Dalam dokumen REFERAT-febris (Halaman 28-34)

Dokumen terkait