• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis Anamnesa

Dalam dokumen Referat Aki (Acute Kidney Injury) (Halaman 21-36)

Pada AKI perlu diperhatikan banyaknya asupan cairan (input), kehilangan c airan (output) melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan serta pencatatan berat badan pasien. Perlu diperhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskuler (redistribusi) seperti pada peritonitis, asites, ileus paralitik, edema anasarka atau trauma luas (kerusakan otot atau crush syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit

sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu selalu ditanyakan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma bila AKI telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada pasien AKI berat dapat ditemukan sesak nafas yang hebat karena menderita gagal jantung atau edema paru. Hipertensi sering ditemukan akibat adanya overload cairan. Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab AKI prarenal. Bila ada pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik kemungkinan menyebabkan AKI prarenal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda penyakit sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa kulit, sendi, kelenjar getah bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal polikistik atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin dengan gejala vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan dibawah vesika urinaria, pemasangan kateter untuk memonitor jumlah urine yang keluar selama pemberian terapi cairan.

Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisik pasien dengan AKI:

1. penentuan status volume sirkulasi

2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih

3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal

Tanda Klinis Deplesi Cairan : 1. tekanan vena jugular rendah

2. hipotensi; tekanan darah turun lebih dari 10 mmHg pada perubahan posisi (baring-duduk)

3. vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki) Tanda Klinis Kelebihan Cairan :

1. tekanan vena jugularis tinggi 2. terdengar suara gallop

3. hipertensi, edema perifer, pembengkakan hati, ronki di paru

Pada pemeriksaan fisik perlu di lakukan palpasi, perkusi daerah suprasifisis mencari adanya pembesaran kandung kemih, yang kemudian konfirmasi dengan pemasangan kateter.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus mencakup elektrolit serum, BUN, kreatinin serum, kalsium, fosfor, dan asam urat. Bila perlu lakukan biopsy ginjal sebelum terapi akut dilakukan pada pasien dengan GGA yang etiologinya tidak diketahui. Angiografi (pemeriksaan rontgen pada arteri dan vena) dilakukan jika diduga penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh darah. Pemeriksaan lainnya yang bisa membantu adalah CT scan dan MRI. Jika pemeriksaan tersebut tidak dapat menunjukkan penyebab dari gagal ginjal akut, maka dilakukan biopsi (pengambilan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopis) misalnya pada nekrosis tubular akut. Perlu diingat pada Angiografi,dengan menggunakan medium kontras dapat menimbulkan komplikasi klinis yang ditandai dengan peningkatan absolute konsentrasi kreatinin serum setidaknya 0,5 mg/dl (44,2 μmol/l) atau dengan peningkatan relative setidaknya 25 % dari nilai dasar.

1. Prerenal : Tanda vital, tanda perdarahan atau dehidrasi

2. Renal : Periksa urinalisis (silinder eritrosit, silinder leukosit, dismorfik eritrosit) 3. Postrenal : USG

II.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal, evaluasi pengobatan yang

telah doberikan pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal ginjal, asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik, memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.

Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari penghinaan tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari.

1) AKI Prarenal

Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hati-hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.

2) AKI intrinsic renal

AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga

mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE

3) AKI postrenal

Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

1. Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian

nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005. Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI

Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis, tetapi lebih rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat perubahan kompleks dalam sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan nutrisi harus dikoordinasikan dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam pengelolaan AKI adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi ekskresi yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit.

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan kebutuhan gizi makro dan mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan kualitatif dari intervensi metabolik yang bertujuan untuk memodulasi keadaan inflamasi, memperbaiki kebutuhan oksigen sistem radikal, dan memperbaiki Imunokompetensi. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kebutuhan nutrisi dapat bervariasi antara pasien dan fase penyakit kritis.

2. Terapi Farmakologis

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat- obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu- naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara

dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )

Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru akut atau keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis metabolik (pH kurang dari 7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-karditis, neuropati, atau tidak jelas penyebabnya penurunan status mental) dialisis harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan. Modalitas RRT termasuk hemodialisis intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRTs), dan terapi hybrid, seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun teknik ini bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar dari 50% pada pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu inisiasi, modalitas, dan / atau dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya kelangsungan hidup.

Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah sebagai berikut :

Fluid overload

Metabolic acidosis

Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)

Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)

Clinically significant organ (especially pulmonary) edema

Uremic encephalopathy

Uremic pericarditis

Uremic neuropathy/myopathy

Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)

Hyperthermia

Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)

Imminent or ongoing massive blood product administration

Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis adalah sebagai berikut: 1) waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3) dosis dialisis.

1) Waktu Inisiasi Dialisi

Baru-baru ini, penelitian telah mengevaluasi hubungan antara waktu inisiasi CRRT dan hasil klinis. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari unit trauma tunggal, pasien dicirikan sebagai "awal" atau "akhir" permulaan, berdasarkan BUN kurang dari atau lebih besar dari 60 mg / dL, sebelum memulai CRRT. Kelangsungan hidup adalah 39% pada permulaan awal dibandingkan dengan 20% pada permulaan akhir (P = 0,041) . Dua analisis pasien AKI setelah operasi jantung menunjukkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada pasien yang terus menerus menggunakan hemofiltration venous - vena (CVVH) dimulai sebagai respon terhadap urin output kurang dari 100 mL dalam waktu delapan jam berturut-turut setelah operasi meskipun tanpa pemberian diuretik, dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan dengan kriteria laboratorium yang menggunakan serum kreatinin, BUN, dan kalium. 243 pasien dari Program to Improve Care in Acute Renal Disease (Picard) studi, risiko kematian ditentukan pada pasien dengan BUN lebih besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada inisiasi dialisis. Setelah penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis, trombositopenia, dan serum kreatinin.

2) Modalitas dialisis

Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil untuk modalitas dari Continous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian

sulit untuk melakukan seperti saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit (misalnya, mobile, pasien non hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci darah terus menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%, P, 0,001) .90 Namun, ketika multivariat cox analisis digunakan untuk menyesuaikan alasan untuk penugasan pasien dalam pengobatan terus menerus (continuous) (misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, kegagalan hati dll) tidak ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus menerus (continuous). Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok I (kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak menerima dialisis, kelompok II: 21 pasien yang menerima dialisis peritoneal atau IHD, dan kelompok III: 43 pasien yang menerima hemodiafiltration terus menerus (contonous). Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal dimana terapi dialisis diperlukan. Tidak ada perbedaan angka kematian antara pasien yang diperlukan IHD dibandingkan CRRT.

3) Dosis Dialisis

Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis peningkatan dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.

Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)

Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan

komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi (Sinto R, 2010).

Tabel 2. Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut

Komplikasi Pengobatan

 Kelebihan volume intravaskuler

 Hiponatremia  Hiperkalemia  Asidosis metabolic  Hiperfosfatemia  Hipokalsemia  Nutrisi

 Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1L/hari)

 Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis  Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari

infuse larutan hipotonik.

 Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari), hindari diuretic hemat kalium

 Natrium bikarbonat ( upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH >7.2 )

 Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)  Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,

kalsium karbonat)

 Kalsium karbonat; kalsium glukonat ( 10-20 ml larutan 10% )

 Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari) jika tidak dalam kondisi katabolic

 Karbohidrat 100 g/hari

 Nutrisi enteral atau parenteral, jika perjalanan klinik lama atau katabolik Indikasi hemodialisa pada gagal ginjal akut :

1. GGT ( klirens kreatinin < 5 ml/m) 2. GGA berkepanjangan ( > 5 hari) 3. GGA dengan :

a. keadaan umum yang buruk b. K serum > 6 mEq/L

c. BUN > 200 mg% d. pH darah < 7,1 e. Fluid overload

4. Intoksikasi obat yg gagal dengan terapi konservatif

II.10 Komplikasi

Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis metabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru, yang dapat menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal terganggu, perpindahan kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma, sepsis, infeksi, atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana juga meningkatkan anion gap. Hipokalsemia sering terjadi pada awal GGA dan pada fase penyembuhan GGA.

Komplikasi sistemik seperti : 1. Jantung

Edema paru, aritmia dan efusi pericardium. 2. Gangguan elektrolit

Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis 3. Neurologi:

Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma, 4. Gangguan kesadaran dan kejang.

5. Gastrointestinal :

Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum. 6. Perdarahan gastrointestinal

7. Hematologi

Anemia, dan diastesis hemoragik 8. Infeksi

Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial. 9. Hambatan penyembuhan luka

II.11 Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.

BAB III

PENUTUP

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea/creatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oligouri. Penyebab gagal ginjal akut yang dibagi menjadi 3 besar yaitu :

a) Pre-renal (gagal ginjal sirkulatorik) yang disebabkan utama oleh hipoperfusi ginjal dimana terjadi hipovolemia.

b) Renal (gagal ginjal initrinsik) yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah ginjal.

c) Post-renal (uropati obstruksi akut) yang disebabkan oleh obstruksi ureter dan obstrtuksi uretra.

Gejala klinis dari gagal ginjal akut yang tampak adalah adanya oligouri, anuria, high output renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.

Dalam dokumen Referat Aki (Acute Kidney Injury) (Halaman 21-36)

Dokumen terkait