• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis melasma umumnya tergantung pada riwayat anamnesis dan pemeriksaan dermatologis. Pemeriksaan penunjang dengan lampu Wood dapat membantu membedakan subtipe histologi melasma, sehingga membuat biopsi yang tidak perlu pada banyak kasus. Namun pemeriksaan histopatologis perlu dilakukan pada kasus-kasus melasma yang tidak jelas, atau untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan hiperpigmentasi signifikan lainnya.19-20

2.1.8 Sistem penilaian Melasma Area and Severity Index (MASI)

Derajat melasma ditentukan berdasarkan nilai MASI. Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area yang terlibat (A), tingkat kegelapan (D),

16

dan homogenitas (H). Persentase total area yang terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 = <10% area ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area ; 4 = 50-69% area;

5 = 70-89% area ; dan 6 = 90-100% area. Tingkat kegelapan melasma (D)

dibandingkan dengan kulit normal dan dinilai dengan skala dari 0 sampai 4 : 0 = warna kulit normal tanpa bukti hiperpigmentasi ; 1 = hampir terlihat

hiperpigmentasi ; 2 = hiperpigmentasi ringan ; 3 = hiperpigmentasi moderat ; 4 = hiperpigmentasi berat. Homogenitas hiperpigmentasi (H) juga dinilai dengan

skala 0 sampai 4 : 0 = warna kulit normal tanpa adanya hiperpigmentasi ; 1 = terdapat titik-titik hiperpigmentasi (specks) ; 2 = area kecil (small patchy) dengan diameter

< 1,5 cm ; 3 = area yang terlibat dengan diameter > 2 cm ; 4 = kulit yang terlibat sama tanpa daerah yang jernih. Nilai MASI dihitung dengan jumlah tingkat kegelapan (D) dan homogenitas (H) dikalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A) dan dengan persentase keempat daerah wajah (10-30%). Nilai total MASI : Dahi 0.3 (D+H)A + malar kanan 0.3 (D+H)A + malar kiri 0.3 (D+H)A + dagu 0.1 (D+H)A dengan skor minimum 0 dan maksimum 48.9,45-46

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan melasma masih merupakan tantangan karena sering terjadi rekalsitran dari pengobatan melasma ini terutama pada tipe dermal, rekurensi sering terjadi walaupun pengobatan telah berhasil.47

Prinsip pengobatan melasma adalah menghambat melanogenesis, dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mengurangi jumlah sinar UV yang mengenai kulit, mengurangi aktivitas enzim tirosinase, mengurangi aktivitas melanosit seperti

pemberian hidroquinon, asam azaleat dan menggunakan antioksidan reaktif seperti asam askorbat.48

Berbagai pengobatan telah dicobakan, termasuk diantaranya obat-obat topikal yang dapat berupa; hidroquinon, asam retinoat, asam azeleat, asam kojik.

Pengobatan secara sistemik dengan vitamin C. Tindakan khusus berupa chemical peels, mikrodermabrasi dan laser. 38-49

2.2 Kontrasepsi Hormonal

Kontrasepsi hormonal adalah metode atau alat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron sintetis atau progesteron saja yang sama dengan hormon alami pada tubuh wanita. Komponen estrogen biasanya dalam bentuk ethynil estradiol (EE) dan komponen progesteron dalam bentuk progestin. Kontrasepsi hormonal ini umumnya dapat dalam bentuk pil, suntik/injeksi dan implant/susuk.50-51

Berbagai tulisan menyatakan bahwa perkembangan melasma berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal.1-5 Hal ini dikaitkan dengan adanya estrogen dan progesteron yang terkandung dalam kontrasepsi hormonal.20

2.2.1 Kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral adalah pil yang mengandung gabungan estrogen dan progesteron sintetis atau progesteron sintetis saja yang sama dengan hormon alami perempuan. Ada dua tipe pil kontrasepsi, yaitu pil yang hanya mengandung progesteron dan pil kombinasi yang mengandung estrogen dan progesteron.50

Saat ini dosis hormon dalam pil kontrasepsi oral umumnya lebih rendah dan

18

Dosis tinggi kombinasi kontrasepsi oral sekarang didefinisikan sebagai yang mengandung 50mcg atau lebih dari ethinyl estradiol. Dosis rendah kombinasi kontrasepsi oral mengandung kurang dari 50mcg dari EE atau estrogen lainnya (seperti mestranol) dengan kekuatan yang setara.50 Pil kombinasi sendiri terbagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu :50

1. Monofase : setiap pil mengandung sejumlah estrogen dan progesteron yang sama.

2. Bifase : pil aktif dalam paket ( satu siklus ) mengandung dua kombinasi yang berbeda dari estrogen dan progesteron dalam 2 fase.

3. Trifase : pil aktif mengandung 3 kombinasi yang berbeda dari estrogen dan progesteron.

Menurut susunan dan komposisi dari estrogen dan progesteron, maka pil kontrasepsi oral ini digolongkan sebagai berikut:52-53

1. Pil kombinasi

Dalam satu pil terdapat estrogen dan progesteron sintetik. Estrogen sintetiknya adalah etinil estradiol atau mestranol dalam dosis 0,05, 0,08 atau 0,01mg pertablet. Sedangkan progesteronnya beragam, jenis androgen, progesteron, atau yang mempunyai pengaruh estrogen intrinsik. Pil diminum setiap hari selama 3 minggu, kemudian diikuti dengan 1 minggu tanpa pil atau plasebo.

2. Pil sekuensial

Dosis estrogen pada pil ini lebih tinggi daripada dosis estrogen pada pil kombinasi. Cara pemberiannya selama 14-15 hari pertama hanya diberikan

estrogen, selanjutnya kombinasi estrogen dan progesteron sampai siklus haid selesai.

3. Pil mini

Pil mengandung progestin saja tanpa estrogen. Dosis progestin yang digunakan kecil, yaitu 0,5mg atau kurang. Pil mini harus diminum setiap hari, termasuk pada waktu haid.

2.2.2 Kontrasepsi suntik

Kontrasepsi suntik ada yang mengandung kombinasi estrogen dan progesteron dan ada juga yang hanya mengandung progesteron saja. Kontrasepsi suntik yang dalam bentuk kombinasi estrogen dan progesteron biasanya disuntikkan intramuskular sebulan sekali, sedangkan kontrasepsi suntik yang hanya mengandung progesteron disuntikkan setiap 3 bulan.50

2.2.3 Kontrasepsi implant

Adalah suatu alat kontrasepsi yang mengandung levonorgestrel yang dibungkus dengan kapsul silastik silicon dan disisipkan dibawah kulit lengan atas.50

2.2.4 Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal

Sebagaimana diketahui bahwa kontrasepsi hormonal berfungsi untuk mencegah kehamilan, namun juga ditemui beberapa efek samping yang dapat muncul akibat penggunaan kontrasepsi hormonal ini, diantaranya adalah : akne, amenore, hilangnya nafsu makan, pendarahan di antara periode bulanan, perdarahan dengan jumlah yang sedikit, perut kembung, payudara nyeri, kloasma atau melasma, depresi,

20

pusing, sakit kepala ringan, sakit kepala berat, tekanan darah tinggi, hilangnya libido, mual, muntah, berat badan bertambah, penurunan berat badan.50

2.3 Estradiol

Estrogen dianggap telah berperan dalam perkembangan melasma. Aktivitas estrogen dimediasi oleh reseptor spesifik protein intraseluler yang diekspresikan pada kulit manusia, termasuk diantaranya estrogen receptor (ERs), dimana ER alpha dan ER beta sering hidup berdampingan sebagai homo atau heterodimer. ERɑ dan ERß merupakan protein berbeda yang dikode oleh gen terpisah yang terletak pada kromosom yang berbeda. 33,54

ERɑ terlihat pada jaringan reproduksi laki-laki dan perempuan, tulang, sistem kardiovaskular dan regio otak. ERß juga terlihat pada jaringan reproduksi laki-laki dan perempuan, dan pada beberapa jaringan seperti paru, kandung kencing, timus, hipotalamus, hati, ginjal dan kulit.55 Estrogen mempunyai efek yang signifikan pada tipe sel yang berbeda dalam fisiologi kulit, termasuk keratinosit, fibroblast dan melanosit. Hal ini telah ditunjukkan dengan aktivitas mitosis keratinosit yang meningkat dalam epidermis perempuan yang bereaksi dengan estrogen.55-56

Beberapa bentuk estrogen dalam tubuh yaitu estradiol, estrone dan estriol.

Potensi masing-masingnya berbeda. Estradiol adalah yang paling kuat, sedangkan estriol merupakan yang paling lemah. Estradiol adalah agonis alami untuk ER.

Estradiol disintesis dari kolesterol dan disekresikan oleh ovarium. Di ovarium, Luteinizing hormone (LH) merangsang sel teka untuk menghasilkan androstenedion sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) merangsang sel-sel granulosa untuk

mengubah androstenedion menjadi estradiol. Estradiol tidak hanya dijumpai pada perempuan tapi juga ditemukan pada laki-laki. Estradiol adalah hormon seks perempuan dan sangat penting dalam reproduksi endokrin dan untuk pertumbuhan.

Estradiol menurunkan konsentrasi Low Density Lipoprotein (LDL) dan meningkatkan konsentrasi High Density Lipoprotein (HDL).57-58 Estradiol mengikat keratinosit dengan afinitas tinggi, dan keratinosit mengekspresikan ERs (ERɑ dan ERß ). Pada kadar fisiologis estradiol meningkatkan jumlah ERß di keratinosit dan merangsang proliferasi keratinosit. Estradiol meningkatkan sintesis melanin dan aktivitas tyrosinase pada melanosit kulit yang di kultur.57

Penelitian oleh Varma et al yang menemukan bahwa dari 66 pasien melasma yang diukur kadar estrogennya didapatkan 18 orang (27,3%) kadar estrogennya normal dan 48 orang (72,7%) kadar estrogennya meningkat atau menurun, namun lebih banyak terjadi peningkatan, ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar estrogen mempunyai peran dalam menyebabkan melasma.15

Reddy et al melakukan evaluasi pada 69 perempuan dengan melasma di dapatkan bahwa hanya 7 orang yang menunjukkan kadar estradiol yang normal, sedangkan sisanya sebanyak 62 orang menunjukkan kadar estradiol yang tidak normal, sebagian besar pasien mengalami peningkatan kadar estradiol serum.14 Wiedemann et al mengadakan penelitian mengenai analisa perbedaan efek progesteron dan chlormadinone acetate (CMA) pada melanosit dibandingkan dengan estrogen. Dan didapatkan proliferasi melanosit yang diinduksi oleh 17β-estradiol (0,1 dan 1 nM) pada sekitar setengah dari percobaan, sedangkan progesteron (100 nM)

22

27%. Aktifitas pigmentasi sedikit dirangsang oleh 17β-estradiol, sedangkan progesteron tidak berpengaruh pada aktivitas tirosinase.16 Penelitian Miranti et al menemukan bahwa kadar estradiol pada perempuan hamil dengan melasma lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak melasma, namun tidak ada korelasi yang signifikan antara kadar estradiol dengan skor MASI pada melasma.17

2.4 Mekanisme estrogen dalam menimbulkan terjadinya melasma

Meskipun ada perbedaan besar dalam prevalensi melasma antara kelompok etnis dan tipe kulit yang berbeda, yang istimewa dalam berkembangnya melasma yaitu terjadi selama usia reproduksi dan berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal. Hal ini menunjukkan bahwa hormon seks perempuan merupakan faktor pencetus lain yang penting untuk perkembangan dan memburuknya penyakit ini.59

Beberapa faktor yang dapat mengubah metabolisme hormon seks, termasuk variasi enzim-enzim antar individu, dapat berkontribusi terhadap masalah tersebut.

Faktor parakrin dan regulasi faktor seluler lainnya juga telah dianggap terlibat pada respon estrogen, yang mana bisa saja dibutuhkan suatu desain penelitian yang cermat dan analisis terhadap hasil untuk studi in vitro. Pemeriksaan imunohistokimia mengungkapkan adanya peningkatan ekspresi ER pada kulit yang terkena, meskipun dijumpai peningkatan ekspresi imunohistokimia ER-beta yang signifikan pada lapisan dermis kulit yang menderita melasma, tapi tidak pada epidermis. Peningkatan ekspresi ER mengindikasikan peran penting estrogen pada melasma.59

Penggunaan kontrasepsi hormonal menyebabkan ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron. Tingginya jumlah estrogen didalam serum dilaporkan

berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit. Adanya estrogen meningkatkan vaskularisasi pada kulit dan menekan aktivitas glandula sebasea. Estrogen juga meningkatkan aktivitas pigmen sel.31

Estrogen merangsang terjadinya melasma. Pada perempuan melasma sering terjadi. Dari 90% kasus dilaporkan 50-70% pada perempuan hamil dan 10-20% pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal. Estradiol menyebabkan peningkatan tirosinase. Penelitian oleh Jang et al menunjukkan pemeriksaan imunohistokimia yang positif untuk ER beta dalam epidermis pada kulit yang terkena melasma. Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk ER alpha pada epidermis dari lesi melasma dan kulit normal sekitarnya, sehingga disimpulkan bahwa keratinosit dari kulit yang terkena melasma mungkin menunjukkan adanya ER beta, dan melalui ER beta, estrogen dan ligan seperti estrogen mungkin berperan dalam patogenesis melasma. Ini mengasumsikan bahwa peningkatan jumlah estrogen mengaktivasi melanosit, dimana peran progesteron dalam pigmentasi kulit masih belum jelas.

Estrogen mempunyai efek yang signifikan pada tipe sel yang berbeda yang penting pada fisiologi kulit, termasuk keratinosit, fibroblast dan melanosit.36 Estrogen juga menunjukkan peningkatan aktivitas mitosis keratinosit didalam epidermis.

Selanjutnya rangsangan dari proliferasi dan sintesis DNA dari keratinosit epidermal manusia dengan estrogen juga tampak pada in vitro, dan juga ditunjukkan bahwa keratinosit manusia yang dikultur punya afinitas estrogen yang tinggi yang diikat pada lokasi.55,60

Estrogen diperkirakan dapat memicu melanogenesis pada kultur melanosit

24

Tyrosinase Related Protein-1 (TRP-1), Tyrosinase Related Protein-2 (TRP-2) dan Micropthalmia Associated Factor Transcription (MIFT).61-62 Sebagai tambahan, melanogenesis yang diinduksi estrogen dapat berhubungan dengan aktivasi jalur cAMP PKA, karena estrogen meningkatkan kadar cAMP dan meningkatkan regulasi tirosinase dan meredam MITF dengan menghalangi jalur Protein Kinase A (PKA).61

Gambar 2.1. Mekanisme peranan estrogen yang menginduksi melanogenesis pada melasma.

Dengan mengikat ERs, estrogen meningkatkan kadar cAMP dan meningkatkan regulasi CREB, MITF, dan ekspresi protein keluarga tirosinase, dengan keterlibatan jalur PKA.

Dikutip sesuai asli menurut kepustakaan no 59

Kim et al telah mengidentifikasi peningkatan ekspresi protein domain kidney 1 (PDZK1) pada hiperpigmentasi kulit pasien melasma menggunakan real-time Polimerase Chain Reaction (PCR) dan pewarnaan imunohistokimia.62 Pada biakan keratinosit dan melanosit manusia yang normal dapat ditemukan ekspresi PDZK1, dan ekspresi yang berlebihan PDZK1 baik pada keratinosit saja, melanosit saja, atau keduanya meningkatkan ekspresi tirosinase, CREB dan MIFT pada kultur satu

melanosit atau kultur melanosit-keratinosit. PDZK1 adalah anggota keluarga dari sodium-hidrogen exchanger regulatory factor (NHERF), yang disebut NHERF-3.59

Estrogen yang diberikan bekerja melalui NHERF1 atau regulasi PDZK1 pada ER yang terkandung dalam sel kanker payudara, estrogen meningkatkan PDZK1 dengan ekspresi tirosinase pada kultur satu melanosit dan kultur keratinosit-melanosit. Selain itu, ekspresi yang berlebihan dari PDZK1 meningkatkan ekspresi estrogen dengan memicu tirosinase dan perpindahan melanosom melalui ekspresi ER-alpha dan ER-betha.61 Seperti namanya NHERF, PDZK1 berhubungan dengan pertukaran ion seperti NHE, cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR), dan keluarga SLC26A melalui hubungan yang potensial antara masing-masing subtipe ER (ER-alpha atau ERbeta) dan NHE3 atau ekspresi CFTR. Keluarga protein NHREF memediasi interaksi protein-protein yang paling berlimpah. Oleh karena itu, PDZK1 bisa memfasilitasi kerja estrogen melalui interaksi dengan protein lain termasuk penukar ion, yang mengakibatkan adanya rangsangan melanogenesis dan transfer melanosom pasien melasma.59 Seperti yang terlihat pada gambar 2.2

26

Gambar 2.2. Peran PDZ domain protein kidney 1(PDZK1) pada melasma.

PDZK1 dapat memfasilitasi kerja estrogen melalui interaksi dengan protein lain termasuk pertukaran ion, yang mengakibatkan rangsangan perpindahan melanogenesis dan melanosom pada pasien melasma. (ER, estrogen receptor; PKA, protein kinase A; CREB, cAMP responsive-element-binding protein; CBP, CREB-binding protein; MITF, micropthalmia-associated transcription factor; TYR, tyrosinase; TRP, tyrosinase-related protein; PDZK1, PDZ domain protein kidney 1; NHE, sodium–hydrogen exchanger; CFTR, cystic fibrosis transmembrane conductance regulator. Dikutip sesuai asli menurut kepustakaan no 59

2.5 Kerangka Teori (D+H)A + Malar kanan 0,3(D+H)A

+ malar kiri 0,3(D+H)A + dagu

Pemeriksaan klinis Pemeriksaan penunjang

28

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.4 Kerangka konsep

2.7 Hipotesis

2.7.1 Hipotesis mayor

Terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma

2.7.2 Hipotesis minor

1. Terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan jenis kontrasepsi oral dan suntik pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

2. Terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan lama pemakaian kontrasepsi hormonal pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

Kadar estradiol serum pengguna kontrasepsi

hormonal dengan

melasma  Jenis kontrasepsi oral

dan suntik

 Lama pemakaian kontrasepsi hormonal

 Tipe gambaran klinis

 Kedalaman lesi

Skor Melasma Area and severity Index

3. Terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan tipe gambaran klinis melasma pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

4. Terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan kedalaman lesi melasma pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang (cross sectional).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan sejak bulan Februari 2017 sampai bulan Agustus 2017, bertempat di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan, Medan.

Pengambilan dan pemeriksaan sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi target

Pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan, Medan.

3.3.2 Populasi terjangkau

Pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan, Medan. Subjek didata sejak bulan Februari 2017 sampai bulan Agustus 2017.

3.3.3 Sampel penelitian

Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi

1. Pengguna kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen dan progesteron dengan melasma

2. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent

4.4.2 Kriteria eksklusi

1. Riwayat keluarga mengalami melasma

2. Gangguan kelenjar tiroid yang dicurigai melalui anamnesis

3. Riwayat menggunakan obat yang bersifat fototoksik dan fotoalergik seperti antimalaria (chloroquin, hidroxychloroquin), tetrasiklin dan turunannya terutama pada minosiklin, antikonvulsan (hydantoin, phenytoin dan barbiturate), zidovudin, klofazimin dan klorheksidin.

4. Pemakaian kosmetik yang mengandung bahan-bahan pewangi dan pengawet seperti benzyl alcohol, PABA (Para Amino Benzoid Acid), beberapa asam lemak, minyak bergamot, minyak lavender, tar, minyak mineral, petrolatum, lilin lebah (beeswax), bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen diamin.

5. Penderita tumor ovarium, sindroma ovarium polikistik dan hipopituitarisme yang dicurigai melalui anamnesis.

32

3.5 Besar Sampel

Penentuan besar sampel menggunakan perhitungan dengan rumus : (Z1-/2 + Z1- ) 2

n = --- + 3 0,5 ln [(1+r)/(1-r)]

Z= deviat baku alpha, untuk ɑ = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 Z= deviat baku betha, untuk ß = 0,02 maka nilai baku normalnya 0,842 r = nilai korelasi minimal antara kadar estradiol dan skor MASI yang

dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,5 1,96 + 0,84 2

n = --- + 3 0,5 In [(1+ 0,5)/(1-0,5)]

n = 28,9

Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 30 orang.

3.6 Cara Pengambilan Sampel

Sampel diambil dengan metode consecutive sampling

3.7 Identifikasi Variabel

3.7.1 Variabel bebas : kadar estradiol serum subjek pengguna kontrasepsi hormonal denga melasma

3.7.2 Variabel terikat : skor MASI

3.8 Defenisi Operasional 3.8.1 Melasma

Merupakan hipermelanosis didapat berupa makula yang berwarna coklat muda sampai coklat tua yang mengenai wajah. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis.

Skala ukur : nominal 3.8.2 Kadar estradiol

Merupakan kadar estradiol di dalam serum subjek penelitian yang diambil dari vena medianus cubiti antara hari kedua dan kelima menstruasi yang di ukur menggunakan alat ELISA mini vidas®. Kadar normal estradiol serum 18-147 pg/ml.

Skala ukur : rasio

3.8.3 Skor Melasma Area and Severity Index (MASI)

Merupakan sistem penilaian untuk menentukan derajat keparahan melasma dengan mengukur regio dahi, malar kanan, malar kiri, dan dagu yang dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area yang terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H). Nilai total MASI : Dahi 0.3 (D+H)A + malar kanan 0.3 (D+H)A + malar kiri 0.3 (D+H)A + dagu 0.1 (D+H)A dengan skor minimum 0 maksimum 48.

Skala ukur : rasio

34

3.8.4 Pengguna kontrasepsi hormonal

Orang yang menggunakan bahan kontrasepsi dalam bentuk pil atau suntik yang mengandung estrogen dan progesteron yang dapat diketahui melalui anamnesis dan melihat data pada kartu peserta kontrasepsi Skala ukur : nominal

3.8.5 Jenis kontrasepsi hormonal

Bahan atau alat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron baik dalam bentuk pil atau suntik yang dapat diketahui melalui anamnesis dan melihat data pada kartu peserta kontrasepsi.

Skala ukur : nominal 3.8.6 Gangguan kelenjar tiroid

Berbagai gangguan yang terjadi pada kelenjar tiroid berdasarkan anamnesis, dapat berupa hipertiroid dengan gejala seperti pembengkakan kelenjar tiroid, penurunan berat badan walaupun nafsu makan meningkat, detak jantung yang cepat, keringat yang berlebihan, maupun hipotiroid dengan gejala seperti peningkatan berat badan, gangguan emosional, kelemahan tungkai, sulit mengingat karena mengantuk. Dicurigai gangguan tiroid atau tidak gangguan

Skala ukur : nominal

3.8.7 Lama waktu pemakaian kontrasepsi hormonal

Merupakan rentang waktu dalam satuan bulan sejak pertama kali munculnya bercak berwarna coklat muda atau coklat tua setelah

menggunakan kontrasepsi oral atau suntik, yang diketahui melalui anamnesis dan melihat data pada kartu peserta kontrasepsi.

Skala ukur : rasio

3.8.8 Tipe gambaran klinis melasma

Merupakan gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien berupa makula yang berwarna coklat muda sampai coklat tua yang mengenai wajah yang dinilai dengan melakukan pemeriksaan dermatologis.

Berdasarkan gambaran klinisnya, melasma dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu: (1). sentrofasial meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial, bawah hidung, serta dagu, (2). malar meliputi hidung dan pipi bagian lateral, (3). mandibular meliputi daerah mandibula.

Skala ukur : nominal 3.8.9 Kedalaman lesi melasma

Jarak capai lesi melasma ke tingkat lapisan kulit yang diketahui dari pemeriksaan lampu Wood. Berdasarkan pemeriksaan ini, melasma dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu : (1). epidermal, melasma tampak lebih jelas dengan sinar Wood dibandingkan dengan sinar biasa, (2).

dermal, dengan sinar Wood tak tampak warna kontras dibandingkan dengan sinar biasa, (3). campuran : tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak jelas, (4). tidak jelas, dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat ( pada kulit tipe IV)

36

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja Penelitian 3.9.1 Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain : lampu Wood, spuit 3cc, tabung cuvettes, tisu, kasa, plester, sarung tangan disposable, Microtiter plate reader, micropipettes (25 μL, 100 μL, 200 μL, 300 μL), microplate mixer, kertas absorbent, distilled or deionized water, timer.

3.9.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan : serum pasien, instrument VIDAS, Solid Phase Receptacle (SPR®) (Larutan standar A,B,C,D,E,F, enzyme conjugate, wash solution, substrate solution, stop solution)

3.9.3 Cara kerja penelitian 3.9.3.1 Pencatatan data dasar

a. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di lokasi tempat pengambilan sampel penelitian. Pencatatan data dasar meliputi identitas, anamnesis dan pemeriksaan dermatologis untuk menegakkan diagnosis melasma dan menentukan tipe gambaran klinis melasma.

b. Dilakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan lampu Wood untuk menentukan kedalaman lesi melasma. Cara melakukan pemeriksaan dengan lampu Wood yaitu sebelum pemeriksaan daerah yang akan diperiksa dibersihkan dulu dengan tisu. Lampu Wood dihidupkan 1 menit sebelum dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan gelap,

peneliti memegang lampu Wood dan mengarahkannya kearah lesi hingga jarak antara lampu Wood dan lesi sekitar 15cm. Pada melasma tipe epidermal, cahaya lampu Wood meningkatkan kontras warna antara daerah hiperpigmentasi dan kulit normal.

Pada melasma tipe dermal, tidak tampak kontras warna di bawah cahaya lampu Wood. Pada melasma tipe campuran , lampu Wood meningkatkan kontras warna di beberapa daerah, sedangkan yang lain tidak menunjukkan perubahan. Tipe tidak jelas, dengan lampu Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat. Diagnosis ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing.

3.9.3.2 Penghitungan skor MASI

Skor MASI dihitung pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area yang terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H). Persentase total area yang terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 = <10% area, ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area; 4 = 50-69% area ; 5 = 70-89% area ; dan 6 = 90-100%

Skor MASI dihitung pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area yang terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H). Persentase total area yang terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 = <10% area, ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area; 4 = 50-69% area ; 5 = 70-89% area ; dan 6 = 90-100%

Dokumen terkait