• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KADAR ESTRADIOL SERUM DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX PADA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN MELASMA TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KADAR ESTRADIOL SERUM DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX PADA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN MELASMA TESIS."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KADAR ESTRADIOL SERUM DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX PADA PENGGUNA

KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN MELASMA

TESIS

Oleh

MAHDALENA NIM : 137105004

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

HUBUNGAN ANTARA KADAR ESTRADIOL SERUM DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX PADA PENGGUNA

KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN MELASMA

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAHDALENA NIM : 137105004

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2017

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Mahdalena NIM : 137105004 Tanda tangan :

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Hubungan antara Kadar Estradiol Serum dengan Melasma Area and Severity Index pada Pengguna Kontrasepsi Hormonal dengan Melasma

Nama Mahasiswa : Mahdalena Nomor Induk Mahasiswa : 137105004

Program Studi : Kedokteran / Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr.dr.Nelva K.Jusuf, SpKK(K), FINSDV, FAADV) (Dr.dr.Imam B.Putra, MHA, SpKK, FINSDV, FAADV)

NIP. 196709151997022001 NIP. 196507252005011001

Ketua Departemen Plt. Ketua Program Studi

(Dr. dr. Nelva K.Jusuf, SpKK(K), FINSDV, FAADV) (Dr.dr.Imam B.Putra, MHA, SpKK, FINSDV, FAADV) NIP. 196709151997022001 NIP. 196507252005011001

Tanggal lulus: 23 November 2017

(5)

Hubungan antara Kadar Estradiol Serum dengan Melasma Area and Severity Index

pada Pengguna Kontrasepsi Hormonal dengan Melasma Mahdalena, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP H. Adam Malik Medan-Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang : Melasma adalah hipermelanosis kronik yang didapat Hal ini dapat menyebabkan keterlibatan estetik yang penting dan menurunkan kualitas hidup.

Hormon estrogen diduga merupakan salah satu faktor risiko yang berperan dalam patogenesis melasma. Estradiol meningkatkan kadar enzim tirosinase, Tyrosinase- Related Protein 1 (TRP-1) dan Tyrosinase-Related Protein 2 (TRP-2) yang terlibat pada eumelanogenesis dalam melanosit. Untuk menilai derajat keparahan digunakan skor Melasma Area and Severity Index (MASI).

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu studi analitik dengan pendekatan potong lintang, yang melibatkan 30 subjek dengan melasm. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan lampu Wood. Untuk menentukan derajat keparahan melasma digunakan skor MASI. Terhadap subjek tersebut dilakukan pengambilan darah dan dilakukan pengukuran kadar estradiol serum. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dilakukan analisis statistik dengan Uji Korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan kadar estradiol serum dengan skor MASI dan lama pemakaian kontrasepsi. Untuk mengetahui hubungan estradiol serum dengan jenis kontrasepsi, tipe gambaran klinis dan kedalaman lesi digunakan Uji Mann Whitney.

Hasil : Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI (p= 0,491; r= 0,131). Demikian juga tidak terdapat hubungan kadar estradiol serum dengan jenis kontrasepsi (p>0,53), lama pemakaian kontrasepsi (p= 0,842; r= 0,038), tipe gambaran klinis (p>0,14) dan kedalaman lesi (p>0,70)

Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI.

Kata kunci : melasma, estradiol serum, patogenesis

(6)

Correlation between Serum Estradiol and Melasma Area and Severity Index in Hormonal Contraceptive Users with melasma

Mahdalena, Imam Budi Putra, Nelva Karmila Jusuf,

Department of Dermatology and Venereology Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan-Indonesia

ABSTRACT

Background: Melasma is a common chronic acquired hypermelanosis. This can lead to important aesthetic involvement and decrease quality of life. Estrogen hormone is thought to be one of the risk factors that play a role in the pathogenesis of melasma.

Estradiol increases the levels of tyrosinase enzymes, Tyrosinase-Related Protein 1 (TRP-1) and Tyrosinase-Related Protein 2 (TRP-2) involved in eumelanogenesis in melanocytes. The degree of severity assessed by Melasma Area and Severity Index (MASI) score.

Aim: To determine correlation between serum estradiol and MASI core in Hormonal Contraceptive Users with melasma

Methods: This was a cross-sectional analytic study which involving 30 subject with melasma. Diagnosis was made based on history and clinical features, then by Wood’s lamp examination. MASI score was determined to assess the severity of melasma. On subjects, blood sampling and serum estradiol levels were measured. All collected data was processed and statistically analyzed by Spearman correlation test to determine the association of serum estradiol level with MASI score and duration of contraceptive use. To investigate the association of serum estradiol with contraception type, clinical features and depth of lesion by Mann whitney test.

Results: there is no significant correlation between serum estradiol and score MASI (p= 0,491; r= 0,131). Likewise, there was no association of serum estradiol levels with contraceptive type (p> 0.53), duration of contraceptive use (p= 0.842, r = 0.038), clinical features type (p>0.14) and depth of lesion (p>0,70)

Conclusions: there was no significant correlation between serum estradiol level and MASI score.

Keywords: melasma, serum estradiol, MASI

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dalam menjalani pendidikan magister dan penyelesaian tesis ini, ada banyak pihak yang Allah SWT telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada saya. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan perhargaan yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat :

1. dr. Nelva K. Jusuf SpKK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing utama dan sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas sumatera Utara, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi penyempurnaan tesis ini serta telah memberikan motivasi kepada saya selama menjalani pendidikan ini.

2. dr. Imam B. Putra, MHA, SpKK, FINSDV, FAADV selaku pembimbing kedua dan sebagai Plt. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas sumatera Utara yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta telah membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

3. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, MHum yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

4. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS(K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya

(8)

untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto Mahadi, SpKK (K), FINSDV, FAADV, dr.

Lukmanul Hakim Nasution, SpKK, FINS.DV, FAA.DV, Dr. Kristina Nadeak, SpKK, FINS.DV sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

6. Para Guru Besar Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto Mahadi, SpKK (K), Alm. Prof.

dr. Mansur Nasution, SpKK(K) serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr.

Pirngadi Medan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

7. Bapak Direktur RSU Universitas Sumatera Utara, RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani Pendidikan Dokter Spesialis ini.

8. Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kecamatan Medan Tuntungan beserta staf dan kader-kader Keluarga Berencana di Kelurahan Mangga yang telah membantu berjalannya penelitian ini.

9. Dr. Arlinda selaku pembimbing statistik yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

10. Ayahanda tercinta (Alm) Nasrun, tidak ada kata yang mampu menggantikan rasa terima kasih saya atas semua pengorbanan, jerih payah dan kasih sayang papa untuk saya selama hidup papa, saat ini hanya doa yang dapat saya panjatkan semoga papa mendapat tempat sebaik-baiknya di sisi Allah SWT dan kepada Ibu tersayang Husna, yang tidak pernah putus memberikan cinta kasih, keikhlasan, doa, motivasi, jerih payah, kesabaran dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik serta membesarkan saya. Semoga Allah SWT membalas segalanya.

11. Yang tercinta bapak dan ibu mertua saya Bagindo Zakirman dan Suwarni atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya. Kiranya hanya Allah SWT yang dapat membalas segalanya.

(9)

12. Yang tercinta dan terkasih, sahabat seumur hidup, suami saya tercinta, dr. Sadri Yulius, M.Ked(ORL-HNS),Sp.T.H.T.K.L terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan disetiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga semua yang telah dilakukan senantiasa dibalas dengan surga oleh Allah SWT.

13. Yang tercinta anak-anak saya, M.Rafa Maulana Al Aziz, M.Attar Maulana Al Fathir, Satria maulana Oktovano yang selalu memberikan pengorbanan tiada tara, cinta, kasih sayang, kesabaran dan doa untuk ibu dan senantiasa menjadi pendorong semangat ibu untuk menyelesaikan pendidikan ini.

14. Sahabat seperjuangan saya, dr. M.Mimbar Topik, dr. Riana Nova Pangaribuan dan dr. Ria Pane, terima kasih atas untuk kerja sama, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjani pendidikan ini.

15. Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terutama dr. Cashtry Meher, M.Ked DV, SpDV, dr. Putri Ashraf, dr. Ivan Tarigan dan semua teman-teman PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan kerjasama kepada saya selama menyelesaikan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan.

(10)

Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, Desember 2017 Penulis

Mahdalena

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR ISI………..………... vii

DAFTAR SINGKATAN..………….………. x

DAFTAR GAMBAR………... xi

DAFTAR TABEL…….……...………... xii

DAFTAR LAMPIRAN..……… xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah…...………... 4

1.3 Tujuan Penelitian………... 4

1.3.1 Tujuan umum……….... 4

1.3.2 Tujuan khusus………... 5

1.4 Manfaat Penelitian………. 5

1.4.1 Institusi pendidikan …..……… 5

1.4.2 Institusi kesehatan ……….………... 5

1.4.3 Masyarakat …………...………. 6

1.4.4 Pengembangan penelitian …………... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Melasma……..………... 7

2.1.1 Definisi………... 7

2.1.2 Epidemiologi …………..………... 7

(12)

2.1.4 Gambaran klinis ……….... 12

2.1.5 Pemeriksaan penunjang ………. 12

2.1.6 Diagnosis banding……….. 14

2.1.7 Diagnosis………… ...………..…... 14

2.1.8 Sistem penilaian (skor) MASI……… 14

2.1.9 Penatalaksanaan……….. 15

2.2 Kontrasepsi Hormonal………... 16

2.2.1 Kontrasepsi oral ………. 16

2.2.2 Kontrasepsi suntik. ……… 18

2.2.3 Kontrasepsi implant ……….. 18

2.2.4 Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal …. 19 2.3 Estradiol………... 19

2.4 Mekanisme estrogen dalam menimbulkan terjadinya melasma ………... 21

2.5 Kerangka Teori……….. 26

2.6 Kerangka Konsep………... 27

2.7 Hipotesis Penelitian ………..… 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………. 29

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian……….... 29

3.3 Populasi dan Sampel.. .……….. 29

3.3.1 Populasi target………... 29

3.3.2 Populasi terjangkau……… 29

3.3.3 Sampel penelitian………..… 29

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi..………..…. 30

3.4.1 Kriteria inklusi ………... 30

3.4.2 Kriteria eksklusi ………...…. 30

3.5 Besar Sampel ………..….. 31

3.6 Cara Pengambilan Sampel ………...……. 31

(13)

3.7 Identifikasi Variabel ………...…... 31

3.7.1 Variabel bebas……… 31

3.7.2 Variabel terikat...……… 31

3.8 Definisi Operasional………...…... 32

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja………...…… 35

3.9.1 Alat …………..………...……….. 35

3.9.2 Bahan ………. 35

3.9.3 Cara kerja penelitian………...…… 35

3.10 Kerangka Operasional………... 39

3.11 Pengolahan Data ...………...…….. 40

3.12 Etika Penelitian...………... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA………... 55

LAMPIRAN.………... 61

(14)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotropic Hormone cAMP : cyclic Adenosine Monophosphate

CFTR : Cystic Fibrosis Transmembrane Conductance Regulator CREB : cAMP Responsive Element Binding Protein

ERs : Estrogen Receptor EE : Ethinyl Estradiol

FSH : Follicle Stimulating Hormone HDL : High Density Lipoprotein LDL : Low Density Lipoprotein LH : Luteinizing Hormone

MASI : Melasma Area and Severity Index

MIFT : Micropthalmia-Associated Factor Transcription MSH : Melanocyte Stimulating Hormon

NHERF : Sodium Hydrogen Exchanger Regulatory Factor NHE : Sodium Hydrogen Exchanger

PDZKI : PDZ Domain Protein Kidney 1 PKA : Protein Kinase A

PRs : Progesterone Receptor TRP : Tyrosinase-Related Protein UV : Ultraviolet

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Mekanisme peranan estrogen yang menginduksi

melanogenesis pada melasm………. 23 Gambar 2.2. Peran protein domain kidney 1 (PDZK1) pada melasma... 25 Gambar 2.3. Kerangka teori……….... 26

Gambar 2.4. Kerangka konsep……… 27

Gambar 3.1. Kerangka operasional………. 39

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Distribusi subjek melasma berdasarkan usia ..…………...…. ... 41 Tabel 4.2 Distribusi subjek melasma berdasarkan jenis kontrasepsi... 42 Tabel 4.3 Distribusi subjek melasma berdasarkan lama menggunakan kontrasepsi

... 43 Tabel 4.4 Distribusi subjek melasma berdasarkan gambaran klinis ... 44 Tabel 4.5 Distribusi subjek melasma berdasarkan kedalaman lesi ... 45 Tabel 4.6 Hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada

pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma ... 45 Tabel 4.7 Hubungan antara kadar estradiol serum dengan jenis kontrasepsi

oral dan suntik pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan

melasma………. 48 Tabel 4.8 Hubungan antara kadar estradiol serum dengan lama pemakaian

kontrasepsi hormonal pada pengguna kontrasepsi hormonal

dengan melasma ... 49 Tabel 4.9 Hubungan antara kadar estradiol serum dengan tipe gambaran

klinis melasma pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan

melasma... 50 Tabel 4.10 Hubungan antara kadar estradiol serum dengan kedalaman lesi melasma

pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan

melasma ... 51

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada subjek penelitian……… 61

Lampiran 2. Lembar persetujuan setelah penjelasan.……… 63

Lampiran 3. Status Penelitian ……… 64

Lampiran 4 Penilaian skor MASI ………... 67

Lampiran 5 Ethical clearance ……… 68

Lampiran 6 Data subjek melasma ……… 69

Lampiran 7 Hasil uji statistik ……….… 70

(18)

i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melasma merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai dalam bidang dermatologi.1 Tempat predileksi dari kelainan ini adalah daerah yang sering terpajan dengan sinar matahari terutama wajah. Melasma mempunyai dampak yang mengganggu terhadap penampilan, menyebabkan penurunan kepercayaan diri terutama penurunan kualitas hidup dari pasien.2,3

Melasma umumnya dijumpai pada sebagian besar orang di seluruh dunia terutama orang yang tinggal di daerah tropis yang sering terpajan oleh sinar matahari.

Gangguan hiperpigmentasi ini dapat mengenai semua ras dan lebih banyak mengenai orang dengan ras Hispanik dan Asia yang memiliki tipe kulit Fitzpatrick III-V.3 Sebagian besar melasma terjadi pada perempuan usia reproduktif dengan insiden terbanyak pada usia 30-44 tahun. Kelainan ini dapat juga dijumpai pada laki-laki.4-6 Penelitian oleh Jusuf et al tentang pola kelainan pigmentasi di poliklinik kulit dan kelamin divisi kosmetik RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012-2015 didapatkan persentasi kejadian melasma dari semua kelainan hipermelanosis tahun 2012; 78,9%, 2013; 83,8%, 2014; 66,7% dan 2015; 87,5% dengan usia terbanyak kelainan pigmentasi termasuk melasma berkisar antara 38-48 tahun, dan didominasi oleh perempuan.7

Etiologi melasma sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor risiko yang dianggap berperan pada patogenesis melasma antara lain : sinar

(19)

matahari, hormon, obat-obatan, genetik, ras dan bahan-bahan yang terkandung dalam kosmetik.6

Pada melasma terjadi peningkatan produksi melanin atau peningkatan proliferasi aktivitas melanin. Peningkatan produksi melanin terjadi tanpa perubahan dalam jumlah melanosit. Mekanisme melasma terjadi dalam proses pembentukan melanin, melanisasi melanosom meningkat, bentuk melanosom lebih besar, transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit meningkat, serta terjadi peningkatan daya tahan melanosom di keratinosit.8

Berdasarkan gambaran klinis, melasma dapat dibagi menjadi tipe sentrofasial, malar dan mandibular. Berdasarkan gambaran klinis, dapat ditentukan luasnya daerah yang terkena.2,6

Ada beberapa sistem penilaian yang telah digunakan dalam menentukan derajat pigmentasi, diantaranya: Physician Global Assessment, Melasma Area and Severity index, Melasma severity scale dari 0-3, Hyperpigmentation scale dari 1-10.

Melasma Area and Severity Index (MASI) merupakan metode yang paling umum digunakan.9

Perubahan hormon berperan dalam patogenesis melasma. Estrogen mempunyai dampak dalam perkembangan melasma, dikarenakan melasma sering terjadi pada kehamilan, penggunaan kontrasepsi hormonal, terapi estrogen pada penderita kanker prostat dan penggunaan estrogen konjugasi pada wanita setelah menopause.10

Estrogen memiliki fungsi penting pada kulit manusia dengan peranan yang

(20)

2

pigmentasi. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan aktivitas tirosinase dan jumlah melanosit. Terdapat reseptor sel kulit untuk estrogen dan progesteron, dengan ekspresi yang tertinggi terdapat pada daerah wajah dibandingkan dengan daerah lain. 3 Kadar estradiol dianggap sebagai kadar estrogen dengan potensi tertinggi terhadap melanogenesis, melanositosis, dan deposisi pigmen melanin.11

Melasma dilaporkan pada perempuan pengguna kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen dan progesteron. Mekanisme melasma yang diinduksi oleh estrogen mungkin berhubungan dengan adanya reseptor estrogen pada melanosit yang merangsang sel untuk memproduksi melanin lebih banyak. Biakan pada kulit manusia menunjukkan bahwa melanosit mengekspresikan reseptor estrogen.12-13 Estradiol meningkatkan kadar enzim tirosinase, Tyrosinase-Related Protein 1 (TRP- 1) dan Tyrosinase-Related Protein 2 (TRP-2) yang terlibat pada eumelanogenesis dalam melanosit.14

Peran estrogen dalam patogenesis melasma didukung oleh beberapa penelitan diantaranya penelitian oleh Varma et al yang menemukan bahwa dari 66 pasien melasma yang diukur kadar estrogennya didapatkan 18 orang (27,3%) kadar estrogennya normal dan 48 orang (72,7%) kadar estrogennya meningkat atau menurun, namun lebih banyak terjadi peningkatan, ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar estrogen mempunyai peran dalam menyebabkan melasma.15

Reddy et al melakukan evaluasi pada 69 perempuan dengan melasma di- dapatkan bahwa hanya 7 orang yang menunjukkan kadar estradiol yang normal, sedangkan sisanya sebanyak 62 orang menunjukkan kadar estradiol yang tidak

(21)

normal, sebagian besar pasien mengalami peningkatan kadar estradiol serum.14 Wiedemann et al mengadakan penelitian mengenai analisa perbedaan efek progesteron dan chlormadinone acetate (CMA) pada melanosit dibandingkan dengan estrogen, dan didapatkan proliferasi melanosit yang diinduksi oleh 17β-estradiol (0,1 dan 1 nM) pada sekitar setengah dari percobaan, sedangkan progesteron (100 nM) dan CMA (100 nM) mengurangi tingkat proliferasi masing-masing sebesar 38% dan 27%. Aktifitas pigmentasi sedikit dirangsang oleh 17β-estradiol, sedangkan progesteron tidak berpengaruh pada aktivitas tirosinase.16 Penelitian Miranti et al menemukan bahwa kadar estradiol pada perempuan hamil dengan melasma lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak melasma, namun tidak ada korelasi yang signifikan antara kadar estradiol dengan skor MASI pada melasma.17

Adanya peran estrogen dalam patogenesis melasma dan masih sedikit penelitian tentang kadar estradiol pada melasma mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor

(22)

5

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan jenis kontrasepsi oral dan suntik pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma

2. Mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan lama pemakaian kontrasepsi pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

3. Mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan tipe gambaran klinis melasma pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

4. Mengetahui hubungan antara kadar estradiol serum dengan kedalaman lesi melasma pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai hubungan antara kadar estradiol serum dengan skor MASI pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan melasma.

1.4.2 Institusi kesehatan

Bertambahnya pemahaman mengenai peranan estradiol pada pengguna kontrasepsi hormonal dengan timbulnya melasma.

(23)

1.4.3 Masyarakat

Dapat menambah pengetahuan masyarakat bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal yang mengandung estradiol merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya melasma.

1.4.4 Pengembangan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai melasma.

(24)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma 2.1.1 Defenisi

Melasma dalam bahasa Yunani “melas” yang berarti warna hitam, merupakan hipermelanosis didapat yang umum biasanya terjadi pada area yang terpajan sinar matahari dengan tempat predileksi pada wajah. Lesi berupa makula kecoklatan dengan pinggir tidak rata dan simetris.17-18 Melasma juga dikenal dengan nama kloasma atau mask of pregnancy.19-20

2.1.2 Epidemiologi

Melasma dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan, namun lebih sering terjadi pada perempuan dengan perbandingan kasus antara perempuan dan laki-laki yaitu 24:1 dan jarang dilaporkan sebelum pubertas.6,18 Gangguan ini terutama terjadi pada perempuan usia reproduktif dan sering dimulai atau bertambah parah selama kehamilan.18,21 Di Brazil, melasma paling sering terjadi pada perempuan usia 20-35 tahun, di Tunisia usia 20-40 tahun, di India dan Singapura terjadi pada usia 30-38 tahun.22-25 Di Indonesia melasma terutama tampak pada perempuan usia 30-44 tahun.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan kejadian melasma terbanyak pada usia 38-48 tahun.7 Melasma juga dapat terjadi pada setiap tipe kulit terutama ras Hispanik dan Asia yang mempunyai tipe kulit lebih gelap (tipe kulit Fitzpatrick III-VI).5,18,21

(25)

2.1.3 Etiologi dan patogenesis

Etiologi dan patogenesis melasma sampai saat ini masih belum sepenuhnya dimengerti, namun faktor genetik, pengaruh hormonal, dan pajanan sinar matahari dikatakan berperan penting sebagai faktor risiko.18 Beberapa faktor risiko lain yang berperan dalam patogenesis melasma diantaranya adalah gangguan tiroid, penggunaan kosmetik dan obat-obatan.4-5,18

2.1.3.1Faktor pajanan sinar matahari

Pajanan sinar matahari umumnya diyakini menjadi salah satu penyebab penting terjadinya melasma. Insiden terbanyak melasma dimiliki oleh perempuan dengan tipe warna kulit yang lebih gelap ( Fitzpatrick III-VI ) dan hal ini berkaitan erat dengan pajanan sinar matahari.26 Indonesia sebagai negara tropis, hampir sepanjang tahun selalu disinari matahari dengan intensitas yang cukup tinggi. Di negara-negara 4 musim, melasma sebagian besar tampak lebih nyata pada musim panas, dan tampak berkurang/membaik pada musim dingin. Hal ini menunjukkan besarnya hubungan antara melasma dan pajanan sinar matahari.27

Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320nm dan UVA 320-400nm. Semakin kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis.28

Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase. Sehingga dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses melanogenesis.29Pada mekanisme perlindungan alami

(26)

10

terjadi peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. UV A menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan fotooksidasi dari melanin yang telah ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi, terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya.

Melasma merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang terus menerus.28

2.1.3.2 Faktor hormonal

Estrogen, progesteron, Melanocyte Stimulating Hormone (MSH), dan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH ) merupakan faktor penting dalam timbulnya melasma, meskipun kadarnya tidak selalu meninggi pada penderita melasma.30

Mekanisme seluler estrogen dan progesteron terjadi dengan perantara hormon tropik (peptida dan glikoprotein) pada membran sel dan melibatkan aktivitas cyclic Adenosine Monophosphate (c-AMP), yang kemudian meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin, dan penyebaran melanin, di samping efek peniadaan aktivitas inhibitor enzim, yang akhirnya meningkatkan jumlah dan penyebaran melanin.31-34 Progesteron meningkatkan penyebaran melanin dalam sel dan ekspresi protein Progesterone Receptor (PR) meningkat pada hiperpigmentasi kulit dengan melasma, yang menunjukkan bahwa progesteron berperan dalam berkembangnya melasma.35-37

MSH merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl cyclase (c-AMP) dan juga meningkatkan

(27)

pembentukan tirosinase, melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis yang menyebar berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik.30

2.1.3.3 Faktor ras dan genetik

Terjadinya melasma memiliki kaitan dengan riwayat keluarga yang pernah mengalami juga sebelumnya. Hal ini dihubungkan bahwa peningkatan pigmentasi yang sejalan dengan paparan radiasi UV merupakan kosekuensi dari perbaikan DNA.38 Gen yang mempengaruhi faktor keturunan ini adalah gen SLC24A5 ( Solute Carrier Family 24 member 5 ), yaitu sebuah gen yang terdapat pada kromosom ke-15 dalam tubuh manusia. Gen ini tersusun dari 396 molekul asam amino. Menurut penelitian, aktivitas gen SLC24A5 inilah yang menentukan jumlah dan aktivitas melanosit. Semakin tinggi aktivitas gen SLC24A5, semakin tinggi jumlah melanosit yang akan memproduksi banyak melanin. Artinya, kulit akan semakin gelap.

Demikian pula sebaliknya, jika aktivitas gen SLC24A5 ini semakin sedikit, kulit cenderung semakin terang.39 Bila dikaitkan dengan ras, insiden terbanyak dimiliki oleh wanita dengan tipe warna kulit yang lebih gelap dan beberapa ras seperti Latin (8,8%), Afrika-Amerika, Afrika-Karibia dan Asia.27

2.1.3.4 Faktor-faktor lain

a. Faktor bahan-bahan yang terkandung dalam kosmetik

Faktor lain yang berperan pada timbulnya melasma adalah faktor lokal yaitu pemakaian kosmetik. Penggunaan kosmetik dan substansi

(28)

12

fotosensitisasi lainnya mempunyai dampak pada risiko terjadinya melasma.40 Bahan kosmetik yang menimbulkan melasma yaitu bahan pewangi seperti benzil alkohol dan minyak lavender, bahan pengawet dan bahan pewarna seperti PABA (Para Amino Benzoid Acid), para phenylenediamine, dan petrolatum.41 Pada penelitian oleh Jusuf et al, pemakaian kosmetik yang mengandung fotosensitiser dilaporkan dapat menyebabkan timbulnya melasma.7 Penelitian oleh Verma et al sebanyak 30,3% gambaran melasma terjadi karena penggunaan kosmetika. Melasma dapat dirangsang atau diperparah oleh penggunaan kosmetika dan prosedur kosmetika yang menginduksi inflamasi kulit, seperti chemical peels dan terapi dengan cahaya atau laser.40

b. Faktor obat-obatan

Penggunaan beberapa obat dapat menginduksi terjadinya melasma.

Patogenesis yang mendasari pigmentasi yang berhubungan dengan obat dapat dikategorikan dalam 3 mekanisme, yaitu: pertama, obat atau deposit metabolit obat terdapat dalam dermis dan epidermis. Kedua, obat dapat meningkatkan produksi melanin dengan atau tanpa suatu peningkatan dalam jumlah aktivitas melanosit. Ketiga, obat dapat menginduksi perubahan setelah inflamasi pada kulit. Adapun beberapa obat yang dapat menginduksi terjadinya melasma yaitu: antimalaria (chloroquin, hidroxychloroquin), tetrasiklin dan turunannya terutama pada minosiklin, antikonvulsan (hydantoin, phenytoin dan barbiturate), zidovudin, klofazimin dan klorheksidin.40,42

(29)

c. Faktor gangguan tiroid

Terjadinya hiperpigmentasi pada pasien dengan tirotoksikosis berkisar antara 2-40%.13 Orang dengan gangguan tiroid empat kali lebih sering menderita melasma, hal ini paling sering dikaitkan dengan hormon, dimana terjadi peningkatan pelepasan hormon ACTH.4,18

2.1.4 Gambaran klinis

Gambaran klinis melasma umumnya berupa hiperpigmentasi, simetris, batas tegas, dengan tepi yang tidak teratur dan warna beragam dari coklat muda sampai coklat tua/gelap. Melasma umumnya mengenai daerah yang terkena sinar matahari, terutama wajah.1-5 Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis, pemeriksaan dengan sinar Wood dan pemeriksaan histopatologi.2,30

Berdasarkan gambaran klinisnya, melasma dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu: 2

1. Bentuk sentrofasial (63%), meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial, bawah hidung, serta dagu.

2. Bentuk malar (21%), meliputi hidung dan pipi bagian lateral.

3. Bentuk mandibular (16%), meliputi daerah mandibula.

2.1.5 Pemeriksaan penunjang 2.1.5.1 Pemeriksaan laboratorium

Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi endokrin, tiroid dan hepatik.18

(30)

14

2.1.5.2 Pemeriksaan lampu Wood

Lampu Wood diciptakan pada tahun 1903 oleh fisikawan bernama Robert W.

Wood. Lampu Wood ini mempunyai panjang gelombang 320-450nm dan dapat digunakan untuk menentukan kedalaman melanin di kulit.43

Berdasarkan pemeriksaan dengan lampu Wood melasma dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu :6

1. Tipe epidermal : melasma tampak lebih jelas dengan sinar Wood dibandingkan dengan sinar biasa.

2. Tipe dermal : dengan sinar Wood tak tampak warna kontras dibandingkan dengan sinar biasa.

3. Tipe campuran : tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak jelas.

4. Tipe tidak jelas : dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat ( pada kulit tipe IV)

2.1.5.3 Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologis perlu dilakukan pada kasus-kasus melasma yang tidak jelas, atau untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan hiperpigmentasi signifikan lainnya.19-20

Berdasarkan pemeriksaan histopatologis, sesuai dengan letak pigmennya, melasma dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:21,44

1. Tipe epidermal : pada umumnya berwarna coklat, melanin terutama terdapat di lapisan basal dan suprabasal, sel-sel yang padat mengandung

(31)

melanin adalah melanosit, sel-sel lapisan basal dan suprabasal, juga terdapat pada keratinosit dan sel-sel stratum korneum.

2. Tipe dermal : biasanya berwarna coklat kebiruan, terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah dalam dermis bagian atas dan bawah, pada dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infiltrat.

3. Tipe campuran : dapat dijumpai dua keadaan tersebut.

2.1.6 Diagnosis banding

Melasma dapat didiagnosis banding dengan hiperpigmentasi paskainflamasi, efelid, macula cafe-au-lait, solar lentigo, nevus epidermal, lentigo, melanoma maligna.20

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis melasma umumnya tergantung pada riwayat anamnesis dan pemeriksaan dermatologis. Pemeriksaan penunjang dengan lampu Wood dapat membantu membedakan subtipe histologi melasma, sehingga membuat biopsi yang tidak perlu pada banyak kasus. Namun pemeriksaan histopatologis perlu dilakukan pada kasus-kasus melasma yang tidak jelas, atau untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan hiperpigmentasi signifikan lainnya.19-20

2.1.8 Sistem penilaian Melasma Area and Severity Index (MASI)

Derajat melasma ditentukan berdasarkan nilai MASI. Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area yang terlibat (A), tingkat kegelapan (D),

(32)

16

dan homogenitas (H). Persentase total area yang terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 = <10% area ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area ; 4 = 50-69% area;

5 = 70-89% area ; dan 6 = 90-100% area. Tingkat kegelapan melasma (D)

dibandingkan dengan kulit normal dan dinilai dengan skala dari 0 sampai 4 : 0 = warna kulit normal tanpa bukti hiperpigmentasi ; 1 = hampir terlihat

hiperpigmentasi ; 2 = hiperpigmentasi ringan ; 3 = hiperpigmentasi moderat ; 4 = hiperpigmentasi berat. Homogenitas hiperpigmentasi (H) juga dinilai dengan

skala 0 sampai 4 : 0 = warna kulit normal tanpa adanya hiperpigmentasi ; 1 = terdapat titik-titik hiperpigmentasi (specks) ; 2 = area kecil (small patchy) dengan diameter

< 1,5 cm ; 3 = area yang terlibat dengan diameter > 2 cm ; 4 = kulit yang terlibat sama tanpa daerah yang jernih. Nilai MASI dihitung dengan jumlah tingkat kegelapan (D) dan homogenitas (H) dikalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A) dan dengan persentase keempat daerah wajah (10-30%). Nilai total MASI : Dahi 0.3 (D+H)A + malar kanan 0.3 (D+H)A + malar kiri 0.3 (D+H)A + dagu 0.1 (D+H)A dengan skor minimum 0 dan maksimum 48.9,45-46

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan melasma masih merupakan tantangan karena sering terjadi rekalsitran dari pengobatan melasma ini terutama pada tipe dermal, rekurensi sering terjadi walaupun pengobatan telah berhasil.47

Prinsip pengobatan melasma adalah menghambat melanogenesis, dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mengurangi jumlah sinar UV yang mengenai kulit, mengurangi aktivitas enzim tirosinase, mengurangi aktivitas melanosit seperti

(33)

pemberian hidroquinon, asam azaleat dan menggunakan antioksidan reaktif seperti asam askorbat.48

Berbagai pengobatan telah dicobakan, termasuk diantaranya obat-obat topikal yang dapat berupa; hidroquinon, asam retinoat, asam azeleat, asam kojik.

Pengobatan secara sistemik dengan vitamin C. Tindakan khusus berupa chemical peels, mikrodermabrasi dan laser. 38-49

2.2 Kontrasepsi Hormonal

Kontrasepsi hormonal adalah metode atau alat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron sintetis atau progesteron saja yang sama dengan hormon alami pada tubuh wanita. Komponen estrogen biasanya dalam bentuk ethynil estradiol (EE) dan komponen progesteron dalam bentuk progestin. Kontrasepsi hormonal ini umumnya dapat dalam bentuk pil, suntik/injeksi dan implant/susuk.50-51

Berbagai tulisan menyatakan bahwa perkembangan melasma berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal.1-5 Hal ini dikaitkan dengan adanya estrogen dan progesteron yang terkandung dalam kontrasepsi hormonal.20

2.2.1 Kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral adalah pil yang mengandung gabungan estrogen dan progesteron sintetis atau progesteron sintetis saja yang sama dengan hormon alami perempuan. Ada dua tipe pil kontrasepsi, yaitu pil yang hanya mengandung progesteron dan pil kombinasi yang mengandung estrogen dan progesteron.50

Saat ini dosis hormon dalam pil kontrasepsi oral umumnya lebih rendah dan

(34)

18

Dosis tinggi kombinasi kontrasepsi oral sekarang didefinisikan sebagai yang mengandung 50mcg atau lebih dari ethinyl estradiol. Dosis rendah kombinasi kontrasepsi oral mengandung kurang dari 50mcg dari EE atau estrogen lainnya (seperti mestranol) dengan kekuatan yang setara.50 Pil kombinasi sendiri terbagi lagi menjadi tiga tipe, yaitu :50

1. Monofase : setiap pil mengandung sejumlah estrogen dan progesteron yang sama.

2. Bifase : pil aktif dalam paket ( satu siklus ) mengandung dua kombinasi yang berbeda dari estrogen dan progesteron dalam 2 fase.

3. Trifase : pil aktif mengandung 3 kombinasi yang berbeda dari estrogen dan progesteron.

Menurut susunan dan komposisi dari estrogen dan progesteron, maka pil kontrasepsi oral ini digolongkan sebagai berikut:52-53

1. Pil kombinasi

Dalam satu pil terdapat estrogen dan progesteron sintetik. Estrogen sintetiknya adalah etinil estradiol atau mestranol dalam dosis 0,05, 0,08 atau 0,01mg pertablet. Sedangkan progesteronnya beragam, jenis androgen, progesteron, atau yang mempunyai pengaruh estrogen intrinsik. Pil diminum setiap hari selama 3 minggu, kemudian diikuti dengan 1 minggu tanpa pil atau plasebo.

2. Pil sekuensial

Dosis estrogen pada pil ini lebih tinggi daripada dosis estrogen pada pil kombinasi. Cara pemberiannya selama 14-15 hari pertama hanya diberikan

(35)

estrogen, selanjutnya kombinasi estrogen dan progesteron sampai siklus haid selesai.

3. Pil mini

Pil mengandung progestin saja tanpa estrogen. Dosis progestin yang digunakan kecil, yaitu 0,5mg atau kurang. Pil mini harus diminum setiap hari, termasuk pada waktu haid.

2.2.2 Kontrasepsi suntik

Kontrasepsi suntik ada yang mengandung kombinasi estrogen dan progesteron dan ada juga yang hanya mengandung progesteron saja. Kontrasepsi suntik yang dalam bentuk kombinasi estrogen dan progesteron biasanya disuntikkan intramuskular sebulan sekali, sedangkan kontrasepsi suntik yang hanya mengandung progesteron disuntikkan setiap 3 bulan.50

2.2.3 Kontrasepsi implant

Adalah suatu alat kontrasepsi yang mengandung levonorgestrel yang dibungkus dengan kapsul silastik silicon dan disisipkan dibawah kulit lengan atas.50

2.2.4 Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal

Sebagaimana diketahui bahwa kontrasepsi hormonal berfungsi untuk mencegah kehamilan, namun juga ditemui beberapa efek samping yang dapat muncul akibat penggunaan kontrasepsi hormonal ini, diantaranya adalah : akne, amenore, hilangnya nafsu makan, pendarahan di antara periode bulanan, perdarahan dengan jumlah yang sedikit, perut kembung, payudara nyeri, kloasma atau melasma, depresi,

(36)

20

pusing, sakit kepala ringan, sakit kepala berat, tekanan darah tinggi, hilangnya libido, mual, muntah, berat badan bertambah, penurunan berat badan.50

2.3 Estradiol

Estrogen dianggap telah berperan dalam perkembangan melasma. Aktivitas estrogen dimediasi oleh reseptor spesifik protein intraseluler yang diekspresikan pada kulit manusia, termasuk diantaranya estrogen receptor (ERs), dimana ER alpha dan ER beta sering hidup berdampingan sebagai homo atau heterodimer. ERɑ dan ERß merupakan protein berbeda yang dikode oleh gen terpisah yang terletak pada kromosom yang berbeda. 33,54

ERɑ terlihat pada jaringan reproduksi laki-laki dan perempuan, tulang, sistem kardiovaskular dan regio otak. ERß juga terlihat pada jaringan reproduksi laki-laki dan perempuan, dan pada beberapa jaringan seperti paru, kandung kencing, timus, hipotalamus, hati, ginjal dan kulit.55 Estrogen mempunyai efek yang signifikan pada tipe sel yang berbeda dalam fisiologi kulit, termasuk keratinosit, fibroblast dan melanosit. Hal ini telah ditunjukkan dengan aktivitas mitosis keratinosit yang meningkat dalam epidermis perempuan yang bereaksi dengan estrogen.55-56

Beberapa bentuk estrogen dalam tubuh yaitu estradiol, estrone dan estriol.

Potensi masing-masingnya berbeda. Estradiol adalah yang paling kuat, sedangkan estriol merupakan yang paling lemah. Estradiol adalah agonis alami untuk ER.

Estradiol disintesis dari kolesterol dan disekresikan oleh ovarium. Di ovarium, Luteinizing hormone (LH) merangsang sel teka untuk menghasilkan androstenedion sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) merangsang sel-sel granulosa untuk

(37)

mengubah androstenedion menjadi estradiol. Estradiol tidak hanya dijumpai pada perempuan tapi juga ditemukan pada laki-laki. Estradiol adalah hormon seks perempuan dan sangat penting dalam reproduksi endokrin dan untuk pertumbuhan.

Estradiol menurunkan konsentrasi Low Density Lipoprotein (LDL) dan meningkatkan konsentrasi High Density Lipoprotein (HDL).57-58 Estradiol mengikat keratinosit dengan afinitas tinggi, dan keratinosit mengekspresikan ERs (ERɑ dan ERß ). Pada kadar fisiologis estradiol meningkatkan jumlah ERß di keratinosit dan merangsang proliferasi keratinosit. Estradiol meningkatkan sintesis melanin dan aktivitas tyrosinase pada melanosit kulit yang di kultur.57

Penelitian oleh Varma et al yang menemukan bahwa dari 66 pasien melasma yang diukur kadar estrogennya didapatkan 18 orang (27,3%) kadar estrogennya normal dan 48 orang (72,7%) kadar estrogennya meningkat atau menurun, namun lebih banyak terjadi peningkatan, ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar estrogen mempunyai peran dalam menyebabkan melasma.15

Reddy et al melakukan evaluasi pada 69 perempuan dengan melasma di dapatkan bahwa hanya 7 orang yang menunjukkan kadar estradiol yang normal, sedangkan sisanya sebanyak 62 orang menunjukkan kadar estradiol yang tidak normal, sebagian besar pasien mengalami peningkatan kadar estradiol serum.14 Wiedemann et al mengadakan penelitian mengenai analisa perbedaan efek progesteron dan chlormadinone acetate (CMA) pada melanosit dibandingkan dengan estrogen. Dan didapatkan proliferasi melanosit yang diinduksi oleh 17β-estradiol (0,1 dan 1 nM) pada sekitar setengah dari percobaan, sedangkan progesteron (100 nM)

(38)

22

27%. Aktifitas pigmentasi sedikit dirangsang oleh 17β-estradiol, sedangkan progesteron tidak berpengaruh pada aktivitas tirosinase.16 Penelitian Miranti et al menemukan bahwa kadar estradiol pada perempuan hamil dengan melasma lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak melasma, namun tidak ada korelasi yang signifikan antara kadar estradiol dengan skor MASI pada melasma.17

2.4 Mekanisme estrogen dalam menimbulkan terjadinya melasma

Meskipun ada perbedaan besar dalam prevalensi melasma antara kelompok etnis dan tipe kulit yang berbeda, yang istimewa dalam berkembangnya melasma yaitu terjadi selama usia reproduksi dan berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal. Hal ini menunjukkan bahwa hormon seks perempuan merupakan faktor pencetus lain yang penting untuk perkembangan dan memburuknya penyakit ini.59

Beberapa faktor yang dapat mengubah metabolisme hormon seks, termasuk variasi enzim-enzim antar individu, dapat berkontribusi terhadap masalah tersebut.

Faktor parakrin dan regulasi faktor seluler lainnya juga telah dianggap terlibat pada respon estrogen, yang mana bisa saja dibutuhkan suatu desain penelitian yang cermat dan analisis terhadap hasil untuk studi in vitro. Pemeriksaan imunohistokimia mengungkapkan adanya peningkatan ekspresi ER pada kulit yang terkena, meskipun dijumpai peningkatan ekspresi imunohistokimia ER-beta yang signifikan pada lapisan dermis kulit yang menderita melasma, tapi tidak pada epidermis. Peningkatan ekspresi ER mengindikasikan peran penting estrogen pada melasma.59

Penggunaan kontrasepsi hormonal menyebabkan ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron. Tingginya jumlah estrogen didalam serum dilaporkan

(39)

berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit. Adanya estrogen meningkatkan vaskularisasi pada kulit dan menekan aktivitas glandula sebasea. Estrogen juga meningkatkan aktivitas pigmen sel.31

Estrogen merangsang terjadinya melasma. Pada perempuan melasma sering terjadi. Dari 90% kasus dilaporkan 50-70% pada perempuan hamil dan 10-20% pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal. Estradiol menyebabkan peningkatan tirosinase. Penelitian oleh Jang et al menunjukkan pemeriksaan imunohistokimia yang positif untuk ER beta dalam epidermis pada kulit yang terkena melasma. Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk ER alpha pada epidermis dari lesi melasma dan kulit normal sekitarnya, sehingga disimpulkan bahwa keratinosit dari kulit yang terkena melasma mungkin menunjukkan adanya ER beta, dan melalui ER beta, estrogen dan ligan seperti estrogen mungkin berperan dalam patogenesis melasma. Ini mengasumsikan bahwa peningkatan jumlah estrogen mengaktivasi melanosit, dimana peran progesteron dalam pigmentasi kulit masih belum jelas.

Estrogen mempunyai efek yang signifikan pada tipe sel yang berbeda yang penting pada fisiologi kulit, termasuk keratinosit, fibroblast dan melanosit.36 Estrogen juga menunjukkan peningkatan aktivitas mitosis keratinosit didalam epidermis.

Selanjutnya rangsangan dari proliferasi dan sintesis DNA dari keratinosit epidermal manusia dengan estrogen juga tampak pada in vitro, dan juga ditunjukkan bahwa keratinosit manusia yang dikultur punya afinitas estrogen yang tinggi yang diikat pada lokasi.55,60

Estrogen diperkirakan dapat memicu melanogenesis pada kultur melanosit

(40)

24

Tyrosinase Related Protein-1 (TRP-1), Tyrosinase Related Protein-2 (TRP-2) dan Micropthalmia Associated Factor Transcription (MIFT).61-62 Sebagai tambahan, melanogenesis yang diinduksi estrogen dapat berhubungan dengan aktivasi jalur cAMP PKA, karena estrogen meningkatkan kadar cAMP dan meningkatkan regulasi tirosinase dan meredam MITF dengan menghalangi jalur Protein Kinase A (PKA).61

Gambar 2.1. Mekanisme peranan estrogen yang menginduksi melanogenesis pada melasma.

Dengan mengikat ERs, estrogen meningkatkan kadar cAMP dan meningkatkan regulasi CREB, MITF, dan ekspresi protein keluarga tirosinase, dengan keterlibatan jalur PKA.

Dikutip sesuai asli menurut kepustakaan no 59

Kim et al telah mengidentifikasi peningkatan ekspresi protein domain kidney 1 (PDZK1) pada hiperpigmentasi kulit pasien melasma menggunakan real-time Polimerase Chain Reaction (PCR) dan pewarnaan imunohistokimia.62 Pada biakan keratinosit dan melanosit manusia yang normal dapat ditemukan ekspresi PDZK1, dan ekspresi yang berlebihan PDZK1 baik pada keratinosit saja, melanosit saja, atau keduanya meningkatkan ekspresi tirosinase, CREB dan MIFT pada kultur satu

(41)

melanosit atau kultur melanosit-keratinosit. PDZK1 adalah anggota keluarga dari sodium-hidrogen exchanger regulatory factor (NHERF), yang disebut NHERF-3.59

Estrogen yang diberikan bekerja melalui NHERF1 atau regulasi PDZK1 pada ER yang terkandung dalam sel kanker payudara, estrogen meningkatkan PDZK1 dengan ekspresi tirosinase pada kultur satu melanosit dan kultur keratinosit- melanosit. Selain itu, ekspresi yang berlebihan dari PDZK1 meningkatkan ekspresi estrogen dengan memicu tirosinase dan perpindahan melanosom melalui ekspresi ER- alpha dan ER-betha.61 Seperti namanya NHERF, PDZK1 berhubungan dengan pertukaran ion seperti NHE, cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR), dan keluarga SLC26A melalui hubungan yang potensial antara masing- masing subtipe ER (ER-alpha atau ERbeta) dan NHE3 atau ekspresi CFTR. Keluarga protein NHREF memediasi interaksi protein-protein yang paling berlimpah. Oleh karena itu, PDZK1 bisa memfasilitasi kerja estrogen melalui interaksi dengan protein lain termasuk penukar ion, yang mengakibatkan adanya rangsangan melanogenesis dan transfer melanosom pasien melasma.59 Seperti yang terlihat pada gambar 2.2

Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme peranan estrogen  yang menginduksi melanogenesis pada melasma.
Gambar 2.2. Peran PDZ domain protein kidney 1(PDZK1) pada melasma.
Gambar 2.4 Kerangka konsep
FOTO PENELITIAN

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

1) Mendiskusikan hasil pengamatan dengan observer tentang pembelajaran yang telah dilakukan melalui pendekatan PAIKEM. 2) Membuat rencana perbaikan – perbaikan dari

Tahun 2OI2 tentang Statuta Universitas Negeri Malang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol2 Nomor 1136);.. Keputusan Menteri Keuangan Nomor

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tekhnik purposive sample yaitu pemilihan kelompok subjek yang didasarkan atas kriteria tertentu yang berhubungan dengan

Cara pemecahan masalah berdasarkan permasalahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas 5 SD Negeri Ketip adalah dengan menggunakan model pembelajaran KWL

Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D NIP.. Pembelajaran Geometri Berbantuan Wingeom melalui Model Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kemampuan Spasial dan Disposisi

Input beban angin (dari arah kiri) pada struktur kuda- kuda dilakukan dengan cara  Assign –  Joint Loads – Force , dengan arah beban sumbu X dan Z seperti Gambar berikut..

[r]

• Tujuan utama mempelajari Mekanika Bahan adalah untuk menentukan besarnya tegangan ( stresses ), regangan (strains) dan perpindahan ( displacement ) pada suatu