• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

2.2. Korosi

2.2.5. Diagram Fasa ( Phase Diagram )

Gambar 2.4 Diagram Fasa Fe – Fe3C (Van Vlack ,1991, hal 377).

Diagram fasa seperti pada Gambar 2.4 digunakan untuk menunjukkan fasa yang ada pada suhu tertentu atau komposisi paduan pada keadaan setimbang yaitu bila semua reaksi yang mungkin terjadi setelah penelitian selesai.

a. Ferrit-Besi α

Besi murni (ferrit) berubah strukturnya dua kali lipat sebelum mencair yaitu pada suhu 912° C. Ferrit lunak dan ulet, bersifat ferromagnetik dan mempunyai struktur kubik pemusatan ruang (KPR).

b. Austenit-Besi γ

Bentuk besi murni ini stabil pada suhu antara 912° C - 1394° C, dengan struktur kubik pemusatan sisi (KPS), lunak dan ulet bersifat paramagnetik.

c. Besi-δ

Diatas suhu 1394° C, austenit bukan bentuk besi yang stabil karena struktur kristal kembali ke bentuk KPR, biasa disebut ferrit-δ.

d. Karbida Besi (Sementit)

Terbentuk karena paduan besi-karbon, dimana karbon dikondisikan melebihi batas daya larut membentuk fase kedua, bersifat sangat keras, kurang kesat dan tidak ulet.

2.3. Pengujian Bahan

Pengujian bahan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan sifat fisis dan mekanis dari benda uji yang diteliti.

a. Uji Tarik

Uji tarik bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahannya dari suatu logam terhadap pembebanan tarik. Beban tarik tersebut dimulai dari nol dan berhenti pada beban atau tegangan patah tarik dari logam yang bersangkutan. Benda uji yang telah dinormalisasikan ukurannya dipasang pada mesin tarik, kemudian diberi beban atau gaya tarik secara perlahan-lahan dari nol sampai maksimum.

Setiap pengujian dibuat catatan mengenai perubahan atau pertambahan panjang dan gaya yang diberikan. Hasil catatan tersebut digambarkan dalam bentuk diagram tegangan-regangan. Rumus yang digunakan untuk perhitungan adalah sebagai berikut :

A Pmaks T = σ % 100 0 0 1 × = L L L ε dengan : σT = Tegangan tarik (kg/mm2) ε = Regangan total (%) maks

P = Tegangan / beban maksimum yang diberikan (kg)

A0 = Luas penampang benda uji (mm2)

L0 = Panjang ukur mula-mula (mm)

L1 = Panjang ukur ketika patah (mm)

Perbandingan antara perubahan penampang setelah patah (setelah pengujian) dan penampang awal (sebelum pengujian) disebut kontraksi (ψ).

Rumus yang digunakan untuk menghitung kontraksi adalah :

% 100 1 × − = o o A A A ψ dengan :

A0 = luas penampang mula-mula benda uji.

Gambar 2.5 Diagram tegangan regangan.

Sumber : Suroto, A, Sudibyo, B : Ilmu Logam/Metalugi, hal 3

Gambar 2.5 menunjukkan pada pembebanan dari 0 sampai mencapai E/P grafik masih merupakan garis lurus. Titik E/P dinamakan BATAS ELASTIS atau batas keseimbangan (Proporsional). Sebenarnya titik P berada sedikit diatas titik E, tetapi biasanya kedua titik tersebut dianggap berhimpitan Apabila besarnya pembebanan didalam daerah atau rentangan 0-E, maka benda uji hanya mengalami deformasi elastik. Jadi, bila gaya yang diberikan itu ditiadakan, benda uji masih akan kembali pada panjang mula-mula. Titik E merupakan batas antara deformasi elastik dan deformasi plastik.

Bila besarnya pembebanan melampaui titik E, maka grafik yang terbentuk merupakan garis lengkung. Karena 0-E merupakan garis lurus, maka berlaku suatu hubungan :

ε σ =

dengan :

E = modulus elastisitas.

Apabila tegangan sudah mencapai titik S, pada benda uji sudah mulai terlihat adanya pengecilan penampang. Pada titik S ini pula benda uji mengalami pertambahan panjang deengan sendirinya walaupun besarnya beban tidak ditambah. Titik S ini dinamakan BATAS LUMER (Yield Point). Pada umumnya banyak logam tidak memiliki titik atau batas lumer yang jelas, terutama logam-logam rapuh. Pada diagram tegangan regangan dari jenis logam-logam tersebut, titik lumer ditentukan dari harga tegangan dimana benda uji dari logam tersebut memperoleh perpanjangan (pertambahan panjang) permanen sebesar 0,2 % dari

panjang mula-mula. Tegangan ini biasanya dinamakan dengan

σ

0,2 dan merupakan dasar untuk menentukan Yield Stress.

Apabila pembebanan atau tegangan sudah mencapai titik U, maka tegangan ini merupakan tegangan tarik maksimum yang mampu ditahan oleh benda uji tersebut. Tegangan dititik U dinamakan TEGANGAN atau BATAS PATAH, karena pada titik U tersebut benda uji menunjukkan gejala patah berupa retakan-retakan. Retakan-retakan yang mulai timbul pada titik U semakin bertambah besar dan akhirnya benda uji akan patah pada titik B.

(

σ

u= Ultimate Strength).

b. Uji Kekerasan Brinell

Pengujian kekerasan menurut Brinell bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja

yang ditekankan pada permukaan material tersebut. Disarankan agar pengujian Brinell ini hanya diperuntukkan material yang memiliki kekerasan Brinell sampai dengan 400 (ditulis 400 HB). Bila kekerasan lebih dari itu, disarankan memakai pengujian Rockwell atau Vickers. Cara pengujian Brinell adalah dengan menekankan bola baja yang dikeraskan dengan diameter D (mm) ke permukaan bagian material yang diuji dengan beban P (kg) tegak lurus terhadap permukaan tersebut, bebas hentakan (beban kejut) dan secara demikian berangsur-angsur sehingga beban uji tercapai dalam waktu 15 detik.

Lama pengujian (pembebanan uji) untuk : 1. Semua jenis baja : 15 detik

2. Metal bukan besi : 30 detik.

Pada umumnya pusat tempat pengujian berjarak sekurang-kurangnya 2 x d dari tepi material uji dan jarak tempat pengujian yang satu terhadap yang lain sekurang-kurangnya 3 x d.

Garis tengah bekas indentor d harus diukur dengan ketelitian 0,01 mm. Untuk menghindari terjadinya deformasi pada material uji bagian bawah, maka ditentukan tebal minimal material uji adalah 17 x dalamnya bekas indentor.

Rumus angka kekerasan Brinell (BHN) :

(

2 2

)

2D D D d P BHN − − = π Catatan : d min = 0,25 x D d maks = 0,5 x D

dengan :

P = gaya yang bekerja pada penetrator (kg) D = diameter indentor (mm)

d = diameter bekas injakan (mm)

Dalam pengujian ini perlu diperhatikan jenis logam benda uji, ketebalan benda uji untuk menentukan besarnya beban dan diameter bola baja yang akan digunakan untuk melakukan penekanan seperti terlihat pada tabel 2.1.

Diameter bola baja yang sering digunakan untuk penekanan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Diameter penetrator dan beban yang digunakan pada Brinell.

Tebal benda uji (mm) Diameter penetrator

1 -3 3 – 6 >6 D = 2,5 D = 5 D = 10 HB rata-rata 2 D P Bahan 160 160 – 80 80 – 20 30 10 5

Baja, besi cor

Kuningan, logam campur Cu Aluminium, tembaga 5 2 = D P 10 2 = D P 30 2 = D P Diameter penetrator D (mm) Gaya (kg) 2,5 31,25 62,5 187,5 5 125 250 750 10 500 1000 3000

c. Pengamatan Struktur Mikro

Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari sifat-sifat logam dan perlakuan panas dengan mikroskop, serta memeriksa struktur logam. Bila cahaya yang dipantulkan masuk ke dalam lensa mikroskop metal, permukaan akan tampak terlihat dengan jelas. Bila berkas dipantulkan dan tidak mengenai lensa, daerah itu akan tampak hitam.

Batas butir akan tampak seperti mengelilingi setiap butir dan cahaya tidak dipantulkan ke dalam lensa. Jadi batas butir tampak seperti garis-garis hitam Pada gambar berikut akan tampak arah pemantulan cahaya.

A- Contoh sedang diamati; B- Contoh di okuler Gambar 2.6 Pemantulan cahaya pada benda

Sumber : Avner, S.H., Introduction to Physical Metalurgy, McGraw Hill, Tokyo, Japan.

d. Pengamatan Bentuk Patahan

Pengamatan ini mengamati bentuk patahan dari benda uji akibat pengujian tarik. Benda uji memperlihatkan beberapa jenis patahan yang berbeda-beda. Jenis perpatahan yang umum adalah patah getas dan patah ulet (liat). Pada Gambar 2.7

memperlihatkan beberapa jenis patahan akibat tegangan tarik yang terjadi pada logam. Patah getas (Gambar 2.7 a) ditandai oleh adanya pemisahan berarah tegak lurus tehadap tegangan tariknya. Patah liat akibat kristal-kristal tunggal logam yang mengalami slip pada bidang dasar yang berurutan sampai akhirnya terpisahkan akibat tegangan geser ditunjukkan gambar 2.7 b. Gambar 2.7 c

menunjukkan benda uji polikristal dari logam yang sangat liat sedangkan pada Gambar 2.7 d menunjukkan perpatahan dari benda uji yang cukup liat.

Gambar 2.7 Jenis-jenis perpatahan pada logam akibat beban tarik sesumbu.

Dokumen terkait