4. Analisa Hasil Penelitian
4.2. Diakonia Transformatif GKJW Sidoreno Terhadap Para Petani
Seiring dengan perkembangan teologi dan idelogi pembangunan, diakonia gereja bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia pembangunan. Diakonia tidak lagi sekadar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.94 Sebagai gereja agraris dimana mayoritas jemaat bertumpu pada sektor pertanian, GKJW Sidoreno memiliki kebijakan penyewaan lahan pertanian dengan harga yang lebih murah.
Gereja berupaya memberikan perhatian pada pertumbuhan ekonomi jemaat, dengan memberikan keringanan biaya sewa. Tetapi gereja belum menyentuh aspek fundamental mengenai permasalahan yang dihadapi petani. Jika dilihat dari bentuk diakonia menurut Josef P.
91 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia, 9
92 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro,
93 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 5
94 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 47
28
Widyatmaja, bantuan berupa harga sewa lahan yang lebih murah ini dapat digolongkan dalam bentuk diakonia reformatif. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut, Pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan struktur dan sistem yang ada. Kedua, sudah menggunakan kultural, namun tidak menggunakan analisis-struktural. Ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat topdown, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan masa depannya sendiri.95
Jika dilihat lebih mendalam, kebijakan penyewaan sawah dengan harga lebih murah diasumsikan dapat menolong jemaat menjadi lebih sejahtera. Namun, kebijakan tersebut tidak membawa perubahan sistem dalam diri para petani. Segala sesuatu mengenai pertanian dilakukan berdasarkan kemampuan sendiri. Oleh karena itu diakonia pembangunan/reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan kemiskinan rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal, dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan.96 Oleh karena itu dalam konteks petani, pertanian dapat dilakukan apabila seseorang memiliki modal, baik materi maupun fisik, oleh karena itu para petani masih mungkin untuk diberdayakan. Sehingga gereja bertugas supaya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengubah diakonia karitatif menjadi diakonia yang memberdayakan umat.97
Mengenai diakonia transformatif, Josef P. Widyatmaja menjelaskan bahwa diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.98 Mata terbuka yang dimaksud adalah adanya kesadaran baru mengenai realitas yang mereka alami, sekaligus memampukan mereka untuk menyikapi realitas tersebut dengan bijak. Tidak hanya sebatas mengetahui, melainkan perlu upaya untuk menindaklanjutinya.
Berbeda dengan diakonia reformatif yang melihat sumber kemisikinan berasal dari kebodohan, kemalasan, keterampilan/modal yang kurang, dan alam yang tidak subur, namun diakonia transformatif juga bertujuan supaya ada perubahan struktur, fungsi dan penampilan dalam
95 Josef P. Widyatmaja, Diakonia Sebagai Misi Gereja,(Yogyakarta: Kanisius, 2009) 109-112
96 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 47
97 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 39
98 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik 48
29
masyarakat. Model diakonia ini adalah diakonia yang membebaskan masyarakat dari belenggu struktural yang tidak adil yang mengepung mereka.99
Dewasa ini, pertanian mengalami berbagai tantangan serius. Misalnya, berkaitan dengan penggunaan pupuk. Paradigma yang berkembang ditengah petani adalah, penggunaan pupuk sintetis atau kimia akan menghasilkan tanaman berkualitas baik serta memungkinkan hasil panen dalam jumlah besar. Akhirnya, kesejahteraan petani diukur melalui besarnya hasil panen. Disisi lain, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan justru akan mengurangi kesuburan tanah, mengurangi unsur hara di dalam tanah, serta mengakibatkan tanah semakin keras. Hal ini berakibat pada tanaman justru akan rawan terserang berbagai macam penyakit. Munculnya beragam jenis penyakit mendorong perusahaan-perusahaan obat-obatan atau pupuk kimia untuk berlomba-lomba menciptakan produk unggulan dengan harga yang mahal. Petani kemudian mengeluarkan biaya porduksi lebih untuk membeli obat-obatan tersebut, supaya mereka tidak gagal panen. Siklus ini terus berputar seperti lingkaran setan yang menjebak para petani.
Menyadari rumitnya permasalahan yang dihadapi para petani, sehingga mereka kesulitan untuk mewujudkan kesejahteraan, GKJW Sidoreno mencoba menawarkan alternatif transformatif kepada para petani. Alternatif tersebut berbentuk program penyediaan pupuk organik dan lahan percontohan sekaligus menjadi laboratorium mini untuk pertanian organik. Selain itu, kesadaran gereja mengenai persoalan ekologis, juga menjadi salah satu pendorong lahirnya program ini.
Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus justru memberikan dampak buruk terhadap kualitas lahan pertanian. Hal ini dapat mengakibatkan terkendalanya siklus kehidupan, termasuk semakin sulitnya proses bertani. Program-program ini bertujuan agar para petani juga memiliki kesadaran ekologis di dalam bertani. Ketika hal tersebut tercapai, dan para petani beralih menggunakan pertanian organik, maka mereka akan meminimalisir biaya produksi yang besar, sementara hasil pertanian juga memiliki kualitas yang jauh lebih bagus.100 Josef P. Widyatmaja menjelaskan bahwa diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka.
Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.101
99 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 47-48
100 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santoso
101 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik 48
30
Ide program ini sudah muncul sejak tahun 2019 ketika ada informasi bantuan mesin pencacah rumput dari Majelis Agung GKJW yang bisa digunakan untuk menyediakan pupuk organik.102 berangkat dari hal tersebut, segala persiapan dan sarana dipersiapkan, mulai dari penyediaan lahan perscontohan dan juga dibentuknya Pokja Kedaulatan Pangan GKJW Sidoreno yang bertanggung jawab untuk menata dan pelaksana penyediaan pupuk organik tersebut. Selain itu GKJW Sidoreno juga memiliki program untuk membentu kelompok tani. Hal ini dituangkan di dalam Program Kerja Tahunan GKJW Sidoreno dengan Nomor Proyek: P.E1.01.21 dengan Nama Proyek: Pertemuan Pokja Kedaulatan Pangan dan memiliki tujuan kegiatan untuk membentuk kelompok tani jemaat, guna meningkatkan hasil tanam yang baik serta meningkatkan perekonomian warga.103 Program ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 dengan menghadirkan pembicara di bidang pertanian serta para penyewa lahan pertanian gereja dan petani lainnya. Melalui program ini, para petani saling bertukar pengalaman dan pendapat mengenai pertanian mereka. Melalui program ini, harapannya tidak hanya sebatas terbentuknya komunitas tani yang berorientasi pada pertanian organik, tetapi juga dapat menginspirasi petani-petani lain dan gereja-gereja lain yang tumbuh di tengah konteks pertanian. Pelatihan ini, juga merupakan bagian dari pembangunan terhadap manusia secara lebih utuh. Diakonia Transformatif juga bertujuan supaya ada perubahan struktur, fungsi dan penampilan dalam masyarakat. Model diakonia ini adalah diakonia yang membebaskan masyarakat dari belenggu struktural yang tidak adil yang mengepung mereka.104 Oleh karena itu, diakonia yang transformatif tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Banawiratma menyatakan bahwa membangun dari pinggiran (dalam hal ini adalah para petani), pertama-tama berarti gerakan membangun manusia pinggiran dan merupakan gerakan multidimensional. Pembangunan semacam itu tidak mungkin bergerak secepat pembangunan yang hanya mencari pertumbuhan finansial.105