1
1.
Pendahuluan 1.1.Latar BelakangGKJW Sidoreno merupakan satu-satunya gereja yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember. Sejarah gereja ini dimulai oleh peran dua tokoh yang menjadi tonggak awal berdirinya dusun Sidoreno sekaligus GKJW Sidoreno. Kedua tokoh tersebut bernama Kik Pinkas (populer dengan nama Kik Bantheng Plonthang) dan kik Darius Perwito.
Keduanya adalah pengembara dari Sambirejo, Kediri yang sedang mencari Suket Ijo. Istilah Suket Ijo sebenarnya menjelaskan suatu ilmu untuk membaharui dan menyempurnakan kualitas hidup.
Pengenalan kepada Yesus dan juga pewartaan Injil kemudian juga dihayati sebagai bagian dari penyempurnaan kualitas hidup tersebut.1
Perjalanan yang dilalui oleh Kik Pinkas dan Kik Perwito bukanlah perjalanan yang mudah.
Mereka harus melewati hutan belantara yang luas dan angker. Narasi semacam ini juga dijumpai di sejarah-sejarah berdirinya desa-dusun Kristen lainnya di wilayah Jawa. Selain sejarah yang syarat akan petualangan, ini merupakan latihan bagi iman, pengharapan dan kasih, diuji oleh roh- roh jahat hutan belantara, serba kekurangan dan kemiskinan. Nama para perintis tetap dikumandangkan dengan rasa hormat di desa-desa khususnya nama para pemimpin kelompok.2 Singkat cerita, sampailah mereka di Hutan Wonorejo. Hutan Wonorejo dikenal memiliki tanah hitam yang subur dan sangat angker, wingit dan angker paribasan jalmo mara jalma mati, sapo mara sapo mati. Sekitar tahun 1896, mereka memulai Babat Alas di Hutan Wonorejo dengan persetujuan pemerintahan Belanda.
Mereka turut mengajak sanak-saudaranya dari Madiun untuk mendiami wilayah tersebut dan mengembangkan sektor pertanian. Wilayah ini kemudian di beri nama Sidoreno (Sido-reno), yang berarti menjadi berwarna, bahagia, gembira dan harmonis. Sebuah wilayah pemukiman dikelilingi oleh persawaan. Beberapa lahan pertanian yang berhasil ia buka kemudian diserahkan kepada gereja untuk dikelola supaya dapat menjadi sumber penghasilan dan penghidupan jemaat. Catatan sejarah ini memberi informasi kepada kita, bahwa sejak awal berdirinya, dusun Sidoreno sudah memiliki peradaban yang bergerak dalam sektor pertanian. Hal ini senada dengan pendapat Gerrit
1 Catatan Sejarah GKJW Sidoreno (Tidak Dipublikasikan)
2 Philip Van Akkeren, Dewi Sri Dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi Di Jawa Timur (Jakarta:
Gunung Mulia, 1994), 4
2
Singgih, bahwa tanah nenek moyang menjadi bagian dari kehidupan bergereja, dan tidak ada kehidupan gereja yang tidak berkaitan dengan warisan nenek moyang, termasuk yang berkaitan dengan adat-istiadat.3 Pada tahun 1903 mereka juga mendirikan Gereja yang terletak di samping jalan raya sebagai sarana beribadah. Namun sekitar tahun 1908 gereja ini terpaksa dipindahkan sekitar 3 Km ke arah utara karena agenda pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda sekaligus menjadi tempat tetap berdirinya gedung gereja sampai saat ini. Tumbuhnya persekutuan dan Gereja Kristen di Sidoreno pada mulanya adalah hasil gerakan warga.
Beberapa waktu kemudian pelayanan diserahkan kepada pihak Java Comitte Pelayanan Gerejawi dilakukan oleh Pdt. Van der Spigel dari Java Comitte sekitar tahun 1903.4 Java Comitee adalah sebuah misi perkabaran Injil dan merupakan suatu badan usaha yang berperan sebagai pencari dan penyandang dana oleh orang-orang (donatur) Indo-Eropa. Java Comitte didirikan pada tanggal 19 Oktober 1854 di Amsterdam, Belanda yang di prakarsai oleh Dr. Julius Petrus Esser seorang pensiunan Residen Timor. Lembaga ini khusus bergerak untuk mengabarkan Injil di kalangan orang-orang Madura dan mengambil kedudukan di Bondowoso (1880).5 Pada tahun 1905 resmi di sahkan sebagai Gereja oleh Java Comitee Bondowoso. Selanjutnya pada 11 Desember 1931 bergabung menjadi bagian Greja Kristen Jawi Wetan. Pada waktu itu, gereja menjadi tempat kegiatan sosial lainnya, seperti tempat belajar maupun rapat-rapat.
Dusun Sidoreno terus mengalami pertumbuhan. Pemerintah Desa Wonorejo mencatat bahwa jumlah penduduk Dusun Sidoreno sampai saat ini adalah 893 jiwa masyarakat dewasa. Sementara itu, data sensus GKJW Sidoreno tahun 2020 mencatat jumlah warga jemaat sekitar 867 jiwa (739 dewasa dan 128 anak-anak) dan terdiri dari 289 KK diantaranya beragama Kristen Protestan dan merupakan jemaat GKJW Sidoreno,6 sisanya beragama Islam, Kristen Katolik dan hindu. Dusun Sidoreno juga disebut sebagai dusun Kristen karen mayoritas masyarakatnya merupakan penganut agama Kristen.
3 Emanuel Gerrit Singgih, Dari Ruang Privat Ke Ruang Publik, (Yogyakarta: Kanisius, 2020), 54
4 Sugeng Pracoyo, Sejarah Berdirinya Gereja GKJW Sidoreno, (Sidoreno: Tidak Dipublikasikan, 2015), 5
5 Sad Jodeanti, Missionaris Kristen Di Jawa Timur, (Yogyakarta: Pinus Media) Dalam Agnes Intan, Dkk, The Existence Of Christian Community Hamlet Tulungrejo, Glenmore District Banyuwangi Regency In 1911-2016, (Jurnal Historia), 7
6 Wawancara Bersama Bapak Heri Diandoko Selaku Sekretaris Majelis Jemaat GKJW Sidoreno Pada 16 Novemver 2021 Pukul 08.00 WIB
3
Mayoritas masyarakat Desa Wonorejo berprofesi sebagai petani, yakni sekitar 66.52% atau sejumlah 2.397 Rumah Tangga (Kecamatan Kencong Dalam Angka, 2015)7. Begitu pula di Dusun Sidoreno, sebagian besar berprofesi sebagai petani (sekitar 60%; baik pemilik lahan ataupun buruh tani), sisanya adalah PNS, pedagang, peternak dan wiraswasta. Ada beberapa tipe petani yang berkembang di dusun Sidoreno. Tipe-tipe tersebut adalah petani pemilik lahan, petani penyewa dan petani penggarap. Pertama, petani pemilik lahan adalah petani yang mempunyai lahan sendiri dan bertanggung jawab atas lahannya, sehingga petani pemiliki lahan mempunyai hak atas lahannya untuk memanfaatkan lahannya seperti penanaman, pemeliharaan dan pemanenan yang dilakukan sendiri. Kedua, petani penyewa adalah petani yang menyewa tanah orang lain untuk kegiatan pertanian. Ketiga, petani penggarap adalah petani yang menggarap tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani ditanggung bersama antara pemilik lahan dan penggarap. Keempat, buruh tani adalah petani yang menggarap atau bekerja di tanah orang lain untuk mendapat upah kerja. Hidupnya tergantung pada pemiliki sawah yang memperkerjakanannya.8 Orang yang bekerja di sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah (buruh tani) bukan termasuk petani.9
Masyarakat di dusun Sidoreno juga membentuk corak sosial yang khas sebagai masyarakat petani. Interaksi yang dibangun biasanya seputar permasalahan-permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Wibberley dalam Johara T.
Jayadinata, “wilayah perdesaan menunjukkan bagian suatu negeri yang memperlihatkan penggunaan lahan yang luas sebagai ciri penentu, baik pada waktu sekarang maupun beberapa waktu yang lampau. Lahan di perdesaan umumnya digunakan untuk kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi.10
7 Lujeng Shahadatus Safia, Bambang Suyadi, Hety Mustika Ani, Pengaruh Pendapatan Terhadap Pola Konsumsi Petani Padi Pada Kelompok Tani Ngusi Rejeki Di Desa Wonorejo Kecamatan Kencong Kabupaten Jember (Jember:
Jurnal Pendidikan Ekonomi Volume 12 Nomor 1, Universitas Jember 2018)75
8 Oertiwi (2013) Dalam Tulus Firmansyah, Identifikasi Penyelesaian Masalah Sosial Ekonomi Petani Akibat Alih Fungsi Lahan Pertanian Untuk Pengembangan Industri Wisata Owabong Di Kabupaten Purbalingga, Skripsi (Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 2014), 5-6
9 Badan Pusat Statistika, Istilah, diakses melalui
Https://Www.Bps.Go.Id/Istilah/Index.Html?Istilah%5Bberawalan%5D=P&Istilah_Page=14, pada 27 November 2021, pukul 15.41 WIB
10 Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan Dan Wilayah, (Bandung:
Institut Teknologi Bandung, 1999) Halaman 61 Dalam Buku Dr. Adnon Nasrullah Jamaludin, M.Ag, Sosiologi Perdesaan(Bandung: Pustaka Setia, 2015), 33
4
Para petani di dusun Sidoreno memiliki beragam tantangan dan permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan. Adapun masalah-masalah umum yang dihadapi oleh para petani terdiri dari; (1) Biaya sewa lahan pertanian yang mahal. (2) Biaya benih yang cukup mahal. (3) Susahnya pasokan air di wilayah persawahan Sidoreno pada saat musim panas. (4) Harga pupuk yang mahal dan langka. Umunya para petani menggunakan pupuk kimia. (5) Biaya untuk melakukan panen cukup mahal. (6) Resiko gagal panen karena faktor alam maupun hama tanaman.
(7) Harga hasil panen yang tidak menentu. (8) Biaya tenaga buruh yang dikeluarkan untuk tanam, merawat dan panen biasanya adalah upah harian atau borongan. Ragamnya permasalahan dan kegagalan pertanian berakibat pada lahirnya sebuah paradigma baru. Ketika pertanian tidak lagi bisa menopang kebutuhan ekonomi desa yang mensejahterakan, maka tak heran ada pemuda- pemudi desa termasuk desa Kristen tergiur bekerja di luar desa bahkan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia/pria) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita).11
Realitas tersebut turut mempengaruhi kehidupan gerejawi. Oleh karena itu, GKJW Sidoreno merasa perlu ambil bagian menyikapi permasalahan para petani di Dusun Sidoreno melalui peran diakonia. Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan).12 Pelayanan diakonia gereja ini merupakan satu kesatuan dengan pelayanan Firman. Keduanya memiliki arti dan berhubungan satu sama lain dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Pelayanan Firman dilakukan dalam bentuk kata-kata, sementara pelayanan diakonia lebih bersifat praksis atau karya tindakan.13 Dalam praktiknya, Yosef P Widyatmaja membagi menjadi beberapa bentuk, yakni; diakonia karitatif, diakonia reformatif dan diakonia transformatif.14 Ketiga jenis diakonia ini memiliki pola dan tujuannya masing-masing. Sementara itu, GKJW memahami Diakonia melalui Kegiatan Pelayanan di Bidang Cinta Kasih (diakonia) yang dirumuskan sebagai berikut
“kegiatan menyatakan Cinta Kasih Tuhan Allah kepada dunia dengan segala isinya, untuk
11 Pdt. Sistrianto, S. Th, Kayekten: Kebenaran Ilahi Yang Membebaskan, (Malang: IPTH Balewiyata, 2014), 7
12 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja: Teologi Dalam Perspektif Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 2004) ,2
13 Jozef M. N. Henanussa, Pelayanan Diakonia Yang Transformatif: Tuntutan Atau Tantangan, (Yogyakarta:
GEMA Teologi UKDW Vol. 36, No 1, April 2012), 129 Diunduh Melalui Http://Journal- Theo.Ukdw.Ac.Id/Index.Php/Gema/Article/View/139, Pada 14 Oktober 2020, Pukul 00.25 WIB
14Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, (Jakarta: Gunung Mulia, 2017), 35-60
5
mewujudkan kesejahteraan lahir batin. Tujuan pelayanan Cinta Kasih adalah terwujudnya kasih, sukacita, keadilan, kebenaran, damai sejahtera bagi seluruh dunia.”15
Wawuk Kristian Wijaya memberikan analisisnya melalui artikel yang diterbitkan GEMA UKDW dengan judul “Analisis Peran Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sebagai Gereja Berbasis Agraris”. Menurutnya GKJW memiliki kegagalan besar ditengah konteks agraris di Jawa Timur.
Kegagalan disebabkan oleh munculnya kelompok sayap kanan dan konservatif yang semakin banyak terlibat dalam pelayanan gereja, sementara golongan kiri justru tersisih di dalam konteks bergereja. Belum lagi realitas menonjolnya formalisme dan institusionalisme yang hirarkis dalam tubuh GKJW. Kegagalan selanjutnya adalah visi teologis yang tidak jelas mengenai teologi kontekstual, dimana pendidikan teologi justru terpisah dengan kebutuhan konteks dimana gereja tumbuh.16 Untuk melihat hal tersebut secara praktis, penelitian ini berusaha menggambarkan kiprah gereja yang berusaha membangun praktik berteologi kontekstual. GKJW Sidoreno yang menjadi subjek penelitian ini berusaha melayani umatNya yang bergerak di bidang pertanian.
Keterlibatan tersebut kemudian tercermin dalam panggilan praksis diakonia gereja. berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini mengambil judul “Praktik Diakonia Transformatif Untuk Membangun Kesejahteraan Petani di GKJW Sidoreno”
1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis membatasi penelitian ini pada kajian diakonia gereja terhadap para petani di GKJW Sidoreno dengan rumusan masalah sebagai berikut, pertama, bagaimana pemahaman GKJW Sidoreno mengenai diakonia, kedua adalah bagaimana bentuk diakonia transformatif yang dilakukan GKJW Sidoreno kepada para petani dan ketiga adalah bagaimana respon jemaat terhadap diakonia transformatif yang dilakukan oleh GKJW Sidoreno. Berdasarkan judul, latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk pertama, mengetahui bagaimana pemahaman GKJW Sidoreno mengenai diakonia, kedua mengetahui bentuk diakonia transformatif GKJW Sidoreno terhadap para petani, dan ketiga mengetahui respon jemaat mengenai diakonia transformatif GKJW Sidoreno.
1.3.Manfaat Penelitian
15 Majelis Agung GKJW, Tata Pranata GKJW, (Malang: 1996), 281
16 Wawuk Kristian Wijaya, Analisis Peran Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sebagai Gereja Berbasis Agraris, (Yogyakarta: Gema UKDW, 2007), 8-13
6
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai orientasi diakonia yang perlu dimiliki gereja, mengingat terbatasnya pemahaman dan orientasi diakonia bagi gereja. Penulis juga berharap agar ditemukan upaya praksis dari gereja sebagai alternatif penunjang untuk membantu mewujudkan kesejahteraan petani di Dusun Sidoreno.
Terleibih, GKJW Sidoreno juga bertumbuh ditengah masyarakat petani.
1.4. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Creswell (2008) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan pada bulan Oktober 2021 di GKJW Sidoreno. Untuk mengumpulkan data guna mendukung penelitian ini, penulis menggunakan dua tenik pengumpulan data, yakni wawancara dan dokumentasi. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, di mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.17 Wawancara semiterstruktur dimulai dari isu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Sekuensi pertanyaan tidaklah sama pada tiap partisipan bergantung pada proses wawancara dan jawaban tiap individu. Namun pedoman wawancara menjamin penelitian dapat mengumpulkan jenis data yang sama dari partisipan.18 Narasumber penting untuk penelitian ini adalah Majelis dan Pendeta Jemaat GKJW Sidoreno serta petani penyewa lahan gereja di dusun Sidoreno. Narasumber yang telah diwawancarai terdiri dari; seorang pendeta jemaat, empat orang Majelis Jemaat dan empat orang petani penyewa lahan gereja. Dokumentasi merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber tertulis, film, gambar, dan karya-karya monumental, yang semuanya itu memberikan informasi bagi proses penelitian.19 Adapun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi; akta-akta gereja, program kerja tahunan GKJW Sidoreno, dan dokumen pendukung lainnya.
2.
Pemahaman Mengenai Diakonia Gereja
17 Muh. Fitrah & Luthfiyah, Metodologi Penelitian: Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi Kasus, (Sukabumi: CV Jejak, 2017), 65-66
18 Muh. Fitrah & Luthfiyah, Metodologi Penelitian, 68
19 Muh. Fitrah & Luthfiyah, Metodologi Penelitian,74
7 2.1. Definisi Gereja
Gereja dalam bahasa Yunani disebut sebagai Ekklesia yang secara harafiah berarti “orang- orang yang dipanggil keluar.” Kata ekklesia telah digunakan bahkan sebelum periode penanggalan masehi digunakan. Jika di sebuah desa ada rapat atau pertemuan, semua laki-laki dipanggil keluar dari rumah untuk mengadiri pertemuan itu.20 Sementara itu, Josef P. Widyatmaja menyebutkan bahwa gereja bukanlah suatu kata benda dan tidak dimaksudkan sebagai suatu institusi/lembaga yang berupa organisasi ritual dan dogma. Menurut van Peursen, seorang ahli filsafat Belanda, gereja adalah kata kerja. Gereja selalu berarti apa yang dilakukan oleh orang-orangnya, yaitu misi yang dijalankannya, bukan sekedar gedung dan kegiatan ritual yang dilakukannya.21 Dalam ajaran Kristen, gereja adalah orang-orang yang dipanggil keluar untuk bersekutu dan melayani dunia serta mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah, sekaligus terus berupaya merefleksikan percakapan imannya ditengah konteks ia berada.
2.2. Tugas Diakonia Diantara Ketiga Tugas Gereja Lainnya.
Gereja menghayati bahwa Allah yang telah memanggil mereka, juga memberikan tugas (kepada gereja) supaya hadirat Allah juga semakin dikenal. Selanjutnya, gereja merumuskan tiga tugas gereja yang perlu dilakukan untuk merespon panggilan tersebut. Tiga tugas gereja tersebut adalah Koinonia (bersekutu), Marturia (bersaksi), Diakonia (melayani). Menurut Uwe Hummel (2003;2016) menjelaskan tiga tugas panggilan tersebut sebagai:22
a. Perkabaran Injil (marturia). Artinya, pemberitaan Firman Tuhan dalam bentuk Hukum dan Injil; semua orang perlu diberitahu tentang kehendak Allah serta “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Kesaksian itu memuncak pada pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia. “Kristus yang disalibkan” diberitakan sebagai hikmat Allah yang mengoreksi semua hikmat dunia ini (1 Kor. 1:23). Yesus yang menderita dan mati di atas kayu salib adalah kenyataan kasih setia Allah atas dunia ini. Semua manusia diajak untuk percaya kepada kasih setia Allah itu, supaya mereka dapat diselamatkan.
20 Andar Ismail, Selamat Bergereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 1
21 Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, 145
22 Uwe Hummel (Bagian Buku Bunga Rampai), Agama Dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian Dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, (Jakarta: Gunung Mulia,2003), 216
8
b. Persekutan (koinonia). Bertujuan membentuk suatu persekutuan hidup semua anggota Jemaat, di mana cara hidup dan ibadah mereka meyakinkan orang lain. Jadi, koinonia perlu demi mereka “yang di luar”. Gereja harus mencerminkan keesaan kasih yang berlaku antara TUHAN Allah dan anak-Nya Yesus, supaya dunia percaya bahwa Allah pernah mengutus Yesus Kristus sebagai Juruselamat”
c. Pelayanan Kasih (diakonia), memiliki tujuan agar hak dan martabat sesama manusia ditegakkan, serta kebutuhan hidupnya seperti pangan, sandang, papan, pengobatan, pendidikan dan lain-lainnya terjamin.
Tiga tugas tersebut harus dijalankan bersama dan saling mendukung satu sama lain seperti sebuah pilar yang menyokong bangunan untuk dapat berdiri tegak.23 Namun dalam prakteknya, ketiga tugas panggilan tersebut seringkali tidak mendapat perhatian secara berimbang dari gereja.
Banyak gereja justru lebih berfokus pada tugas Marturia dan Kainonia. Ironisnya, tugas praktis diakonia ini justru sering dilakukan oleh lembaga-lembaga diluar institusi gereja, misalnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat Kristen, atau organisasi kemasyarakatan Kristen dan organisasi kemasyarakatan sekuler lainnya. Josef P. Widyatmaja turut memberikan komentar bahwa Gereja bisa hidup tanpa gedung, tetapi tidak bisa hidup tanpa diakonia.24
Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan).25 Diakonia/diakonein mencakup arti yang luas, yaitu semua pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat, untuk membangun dan memperluas jemaat, oleh mereka dipanggil sebagai pejabat dan oleh anggota jemaat biasa. Dalam diakonia secara luas ini terdapat tempat untuk diakonia dalam arti khusus, yaitu memberi bantuan kepada semua orang yang mengalami kesulitan dalam kehidupan masyarakat.26 Diakonia adalah nyawa dari gereja. Tanpa diakonia, gereja akan mati dan tidak dikenal. Melalui diakonia, kehadiran Kristus melalui gereja lebih mudah dirasakan. Karena diakonia gereja merupakan satu kesatuan dengan pelayanan Firman. Keduanya (pelayanan Firman dan pelayanan diakonia) memiliki arti dan berhubungan satu sama lain dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Pelayanan Firman dalam bentuk kata-kata,
23 Krido Siswanto, Tinjauan Teoritis Tinjauan Teoritis Dan Teologis Terhadap Diakonia Transformatif Gereja, (Ungaran: Jurnal STT Simpson Ungaran, 2016), 95
24 Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, 1
25 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 2
26 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 5
9
sementara pelayanan diakonia lebih bersifat praksis atau karya tindakan.27 Dengan demikian diakonia merupakan bagian dari teologi praktika.
Perjanjian Baru memberi penjelasan mengenai panggilan untuk mengasihi Allah yang selaras dengan panggilan untuk mengasihi sesama. Matius 22:34-40 menjelaskan bagaimana Yesus melihat kedudukan Allah dan sesama manusia. Dari jawaban Yesus ini nyata, bahwa kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama manusia. Kasih kepada Allah justru mau dinyatakan dalam kasih kepada sesama manusia. dan dinyatakan secara konkrit: bukan dalam perasaan dan dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan kasih dan keadilan.28 Pada prinsipnya diakonia adalah berbagi kasih, dan dasar diakonia adalah kasih. Tetapi tidak hanya sekedar kasih, melainkan kasih yang bersumber dari Allah. Kasih itu dibagikan kepada segala yang hidup dan diciptakan, supaya mereka turut merasakan kasih yang berasal dari Allah. Kidung Jemaat 432 mencatat bahwa rupa diakonia adalah , “menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan, yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan.”
Diakonia tidak hanya berhenti pada pemberian bantuan kepada orang miskin, tetapi juga turut membantu mereka yang ditawan bebas dari belenggu yang mengikat mereka, termasuk belenggu kemiskinan karena aspek sosial-politik yang menindas.
2.3. Dasar Pelaksanaan Diakonia
Manusia memiliki keistimeaan sebagai ciptaan Allah. Dalam narasi penciptaan, manusia dianugerahi keistimewaan sebagai gambar Allah. Bahwa dalam gambar Allah ini tercakup panggilan Pencipta terhadap manusia sebagai pemikul gambar-Nya, untuk mengikuti-Nya dalam kegiatan pemeliharaan atas apa yang diciptaakan-Nya dan bersama-Nya sebagai wali-Nya melayani dalam segala hubungan kehidupannya.29 Imago Dei merupakan sebuah tanggung jawab yang diberikan Allah kepada manusia, agar manusia turut memelihara kehidupan semesta, agar kedamaian Kerajaan Allah terus terjadi. Namun, suasana tersebut hancur ketika manusia jatuh di dalam dosa. Ketidaksetiaan dan pemberontakan terhadap Allah itu mengakibatkan rusaknya relasi antara Allah dan manusia, sekaligus relasi manusia dengan sesama ciptaan lainnya. Manusia hidup di dalam kesulitan karena belenggu dosa.
27 Jozef M. N. Henanussa, Pelayanan Diakonia Yang Transformatif, 129
28 Dr. J. L. Ch. Abineno, Diaken, Diakonia Dan Diakonat Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 2
29 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 26
10
Oleh karena itu, inkarnasi yang Allah lakukan di dalam Yesus Kristus merupakan salah satu momentum penting bagaimana Allah melayani dunia. Allah sendiri yang turun dari tahktaNya untuk hidup dan melayani manusia yang berdosa di dalam Kristus Yesus. Tujuannya tidak hanya sekedar menebus dan memulihkan relasi manusia dengan Allah, melainkan membebaskan manusia dari kesulitan hidup yang mereka alami. Pemulihan atas realitas hidup tersebut juga menjadi bagian dari pemulihan relasi bersama Allah. “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (–Lukas4:18-19). Keselamatan yang diberikan Allah Bapa tidak hanya mengenai hati manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Allah, tetapi ditujukan kepada keselamatan manusia seutuhnya, dalam semua hubungannya dan dalam segala hal.
“Keselamatan itu menyeluruh; keselamatan itu adalah jawaban atas kesalahan dan kecelakaan manusia” (Berkhof,1990, hl.363).30
Inkarnasi dan pelayanan Yesus itulah yang menjadi dasar pelaksanaan diakonia. Dengan demikian, diakonia merupakan panggilan kepada orang percaya agar terus melayani dunia, karena melalui diakonia, Allah pengasih yang kita sembah dan yang berdiam di ruang hati kita, juga turut memperkenalkan diri kepada dunia melalui perbuatan yang Allah lakukan melalui diri kita. Jaques Matthey mengatakan: Today's reality remains permanently valid , since the incarnation continues in the disciples’ self-giving service to the world. “The resurrected Jesus is present among the missionaries” (Matthey 1980:166).31 Realitas hari ini tetap sama, inkarnasi (Yesus Kristus) terus berlanjut kepada para murid, yang memberikan dirinya untuk melayani dunia. “Yesus yang telah bangkit turut hadir di dalam para misionaris.”
2.3.1. Reduksinya Pemahaman Diakonia
Diakonia seringkali mengalami pereduksian makna. Letak pereduksian yang dimaksud adalah, pertama pemahaman bahwa pelayanan diakonia hanya dilakukan oleh institusi grejawi melalui program yang spektakuler. Padahal, diakonia bukan hanya berupa kegiatan atau proyek
30 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 6
31 Jacques Matthey Dalam David J. Bosch, Transformming Mission: Paradigm Shifts In Theology Of Mission (New York, Orbis Book, 1991), 85
11
yang besar, tetapi juga dapat berupa ungkapan sederhana dalam uluran tangan, suatu tanda kasih antara sesama manusia.32 Kedua, orientasi diakonia yang hanya ditujukan kepada orang miskin.
Memang, dewasa ini realitas yang dijumpai masyarakat dan gereja banyak berfokus pada ketidakadilan, kemiskinan yang berdampak pada kehidupan spiritual mereka. Menurut Banawiratma, kemiskinan dapat dilihat dalam dua hal, yaitu kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif. Kemiskinan mutlak dipahami sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan, apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Sementara kemiskinan relatif yaitu menyangkut pembagian pendapatan nasional dan perbendaan yang mencolok antara berbagi lapisan atau kelas dalam masyarakat.33 Dalam hal ini, gereja memiliki tanggung jawab untuk menolong sesamanya agar mereka turut merasakan keselamatan dan persekutuan bersama Allah. Oleh karenanya, untuk memulai teologi yang khas Asia (termasuk Indonesia), Rayan (1983) secara teoritis-praksis mengusulkan digantikannya pemahaman akan Tuhan sebagai penjamin status quo, pemelihara hukum dan ketertiban dunia, dengan pemahaman akan Tuhan sebagai yang mengidentifikasi diri-Nya dengan wanita-wanita yang tertindas, petani-petani yang tak bertanah, kaum paria (rakyat jembel, tanpa kasta, sampah masyarakat), para penganggur, mereka yang terbelenggu, yang kelaparan, yang dihina dan yang remuk-redam.34 Disisi lain, gereja juga tidak hanya berhenti pada upaya pertolongan, gereja juga bertanggung jawab menjaga dan memelihara keutuhan serta kemerdekaan manusia dalam Kristus.
Diakonia bersifat prefetif dan kuratif. Artinya, diakonia tidak hanya ditujukan kepada orang-orang miskin (kendati itu pun akan menjadi prioritas) melainkan juga kepada orang-orang yang telah menerima kesejahteraan, hal ini supaya orang yang telah sejahtera, ia tidak jatuh lagi kepada kemiskinan. agar orang yang damai, tidak lagi kehilangan damainya. Pemeliharaan diakonal adalah “pemeliharaan manusia sebagai manusia”. Hal bantuan kepada manusia itu dengan maksud memberantas apa yang membuatnya menderita dan frustasi, serta meningkatkan apa yang memberikannya kebahagiaan dan kemungkinan untuk berkembang.35
2.3.2. Tindakan Diakonia Gereja
32 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 4
33 J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1995) 126
34 Fr. Wahonono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 132
35 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 7
12
Gereja perlu memperhatikan dengan serius konteks dimana ia hidup. Artinya, diakonia yang dilakukan oleh gereja tidak hanya terfokus pada aspek internal gereja, melainkan pertama-tama gereja perlu untuk menyikapi aspek-aspek eksternal (konteks) tersebut. Untuk memperjelas bagian ini, Noordegraf menggunakan istilah “Ekklesiologi Fungsional”. Ekklesiologi Fungsional tidak menaruh perhatian utama pada “penggemukan diri kedalam”, namun ia justru hadir untuk melayani dunia. Dunia menentukan agenda gereja. Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melayani dunia. Dalam tindakan yang keluar dari Allah untuk dunia, jemaat tidak lebih dari alat, wahana misi Allah untuk memanusiakan dunia. Jemaat Kristen sebagai gereja harus hidup secara eksentris dalam melayani sesama tanpa memikirkan keuntungan diri sendiri.36Pernyataan Noordegraaf diatas menjelaskan bahwa diakonia oleh gereja, tidak hanya sebatas memberikan bantuan sosial ataupun doa-doa pastoral saja. Melainkan, gereja perlu berjumpa dan mempegaruhi realitas yang lebih sebagai akar permasalahan dari kemiskinan, ketidakadilan dan penderitaan jemaat, termasuk struktur yang menindas masyarakat. Gereja perlu mengambil tanggungjawab etis bagaimana terhadap realitas tersebut. Secara singkat: dalam visi fungsional gereja, utut-urutannya bukan Allah-gereja-dunia, tetapi Allah-dunia-gereja.37
Pelayanan diakonia hanya mungkin dilakukan ketika mereka telah diikat di dalam persekutuan ilahi. Roh Kuduslah yang membuat orang-orang berdosa hidup dari pekerjaan Kristus untuk kita dan menjadikan mereka serupa dengan Dia sehingga mereka menjalani jalan-jalannya.
Roh Kuduslah yang menciptakan hubungan ini. Roh Kuduslah pembangun jembatan yang menghubungkan kita dengan Kristus dan sesama.38 Roh Kudus pula yang mendorong setiap orang untuk bersedia menolong dan menjaga “manusia lainnya sebagai manusia”. Melalui diakonia misi pewartaan Injil dilakukan secara konkret. Bahkan diakonia sebagai pelayanan sosial berupaya untuk membangun masyarakat yang bertanggung jawab. Itu berarti menuntut keterlibatan jemaat dalam pembangunan, jadi diakonia adalah pembangunan.39
2.4.Bentuk-Bentuk Diakonia Menurut Josef P. Widyatmaja40
36 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 11
37 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 12
38 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, 53
39 Harianto GP, Teologi Pastoral(Yogyakarta: Andi, 2020), 52
40 Josef P. Widyatmaja, Yesus & Wong Cilik, 35-59
13
Diakonia telah mengalami banyak perkembangan Josef P. Widyatmaja menyebutkan, ada tiga model diakonia yang telah berkembang. Ketiga model tersebut berkembang dalam konteksnya masing-masing. Ketiga model diakonia tersebut adalah, diakonia karitatif, diakonia reformatif atau pembangunan, dan terakhir adalah diakonia transformatif. Adapun penjelasan ketiga model diakonia tersebut adalah sebagai berikut.
2.4.1. Diakonia Karitatif
Diakonia Karitatif merupakan praktik diakonia tertua yang dilakukan oleh gereja. Diakonia karitatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan dan pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit, dan perbuatan amal kebajikan.41 Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh institusi gereja karena dapat memberikan manfaat langsung yang dapat dilihat dan memuasatkan perhatian pada hubungan pribadi, misal mensponsori beasiswa/bantuan uang untuk anak.42 Model diakonia ini lebih menekankan bantuan langsung kepada jemaat. Oleh karena itu hubungan diakonoa ini adalah subjek/penyalur bantuan dan penerima bantuan. Model diakonia ini banyak dipraktikan sejak zaman Zending selama masa penjajahan. Model praktik diakonia karitatif justru mendapat kritik tajam dari banyak pihak. Hal ini dikarenakan diakonia ini tidak benar-benar mengentaskan jemaat dari kemiskinan, bahkan membiarkan kemiskinan tetap hidup dan hanya sebatas pada pemberian bantuan semata.
2.4.2. Diakonia Reformatif (Pembangunan)
Diakonia reformatif atau pembangunan. Pembangunan merupakan upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang dikenal sejak akhir Perang Dunia ke dua. Konsep pembangunan berasumsi bahwa akar dari kemiskinan adalah kebodohan, kemalasan, dan mininmya kreativitas masyarakat.
Konsep pembangunan kemudian menjadi sebuah ideologi yang berorisntasi kepada kemajuan ekonomi, infrastruktur dan teknologi. Oleh karena itu, masyarakat kemudian dibekali teknik- teknik untuk mengelola lahan-lahan ataupun mengembangkan keterampilan yang mereka miliki.
Disisi lain, orientasi terhadap kemajuan infrastruktur tersebut, justru berpotensi terhadap lahirnya ketidakadilan. Karena kebutuhan lahan untuk melakukan pembangunan semakin meluas, maka terjadilah pengusiran petani dari lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan kaum kapitalis. Oleh karena itu, model pembangunan justru semakin memperluas jurang kemiskinan dan kekayaan
41 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong, 35
4242 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik , 35
14
Diakonia pembangunan/reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan kemiskinan rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal, dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan.43
2.4.3. Diakonia Transformatif (Pembebasan)
Memelihara dan memberi apa yang menjadi kebutuhan sesama kita memang kurang mampu jika dilakukan hanya melalui diakonia rutin yang bersifat karitatif, harus ada perubahan pemikiran terhadap diakonia yang dilakukan oleh gereja.44 Oleh karena itu, berkembang pula konsep diakonia yang lebih segar. Diakonia Transormatif sering juga disebut dengan diakonia pembebasan.
Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa mereka berada dibawah belenggu-belenggu struktural yang tidak adil terhadap mereka. Diakonia transformatif merupakan sebuah upaya untuk membebaskan mereka dari ketidakadilan tersebut. Perjuangan untuk mewujudkan keadilan perlu dilakukan di dalam pengorganisasian. Tujuan transformatif tidak hanya berhenti pada kesejahteraan ekonomi, melainkan sampai taraf perubahan sosial budaya dan politik dalam jangka panjang. Diakonia transformatif justru berupaya sampai pada taraf memberdayakan masyarakat.
Oleh karena itu, diakonia transformatif sering disebut juga sebagai diakonia yang memberdayakan dan menyadarkan masyarakat. Diakonia Transformatif merupakan model diakonia yang menarik perhatian banyak orang, termasuk gereja. Hal ini dikarenakan, sifatnya tidak hanya sebatas memberikan bantuan saja (karitatif) melainkan ada perubahan struktural yang ingin disasar. Van Kooij, dkk merumuskan diakonia transformatif sebagai pelayanan yang mengarah kepada perubahan struktural dalam masyarakat.45 Hal ini dikarenakan sistem di dalam masyarakat dinilai justru melahirkan ketidakadialan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya untuk membongkar kemiskinan guna mengembalikan keadialan dan mengatasi kemiskinan melalui sistem yang lebih baru.46 Lebih lanjut Josef menyampaikan, Diakonia Transformatif merupakan kebutuhan bagi masyarakat kita yang kehadirannya menolong masyarakat untuk mematahkan kuasa-kuasa yang
43 Josef P. Widyatmaja, Yesus Dan Wong Cilik, 47
44 Pdt. Dr. John Simon dan Pdt. Stella, Pembagunan Ekonomi Gereja: Refleksi atas Praksis Teologi Ekonomi GPIB, (Yogyakarta: Kanisius, 2020), 101
45 Rijnardus A. Van Kooij, Dkk, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Sumbangan Teologi Praktis Dalam Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 41
46 Jozef M. N. Henanussa, Pelayanan Diakonia Yang Transformatif, 135,
15
membuat mereka tidak menjadi manusia ciptaan Tuhan sepenuhnya. Diakonia Transformatif gereja tidak bisa hanya berurusan dengan ‘pihak bawah’, tetapi juga dengan ‘pihak atas’.47
3.
Deskripsi Hasil PenelitianPada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penerlitian yang telah diperoleh. Hasil penelitian ini penting untuk dikemukakan, sebagai dasar untuk melakukan analisa di bagian selanjutnya. Pertama, penulis akan memaparkan bagaimana GKJW Sidoreno memahami makna diakonia. Pemahaman ini juga dilanjutkan di dalam bentuk-bentuk diakonia yang dikerjakan oleh GKJW Sidoreno. Kedua, penulis akan berfokus untuk melihat bagaimana pelaksanaan diakonia GKJW Sidoreno terhadap para petani di Dusun Sidoreno sekaligus bagaimana respon para petani terhadap pelaksanaan diakonia tersebut.
Untuk menggali pemahaman GKJW Sidoreno mengenai diakonia dan juga bentuk diakonia yang dilakukan, penulis melakukan wawancara kepada Majelis Jemaat. Dalam hemat penulis, Majelis Jemaat yang menjadi narasumber tersebut cukup untuk mewakili jawaban dari GKJW Sidoreno untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Adapun yang menjadi narasumber dalam wawancara tersebut adalah, Pdt. Petrus Hari Santoso (Pendeta GKJW Jemaat Sidoreno), Pnt.
Puspo Wicoro (Wakil Ketua 1 Pelayan Harian Majelis Jemaat), Pnt. Cahyo Adi (Sekretaris Komisi Pembinaan Penatalayanan GKJW Sidoreno), Pnt. Nurcahyo (Ketua Pokja Kedaulatan Pangan GKJW Sidoreno), Dkn Srimulat (Ketua Komisi Pembinaan Pelayanan). Sementara untuk melihat seberapa efektifkah diakonia yang dilakukan GKJW Sidoreno terhadap para petani, sekaligus menjawab rumusan masalah ketiga yang penulis cantumkan di bagian awal, penulis juga melakukan wawancara kepada empat orang petani, yakni; Bapak Warsiman, Bapak Tekad, Bapak Oky dan Bapak Mardi. Mereka adalah warga jemaat GKJW Sidoreno dan juga penerima pelayanan dari gereja terkait pelayanan terhadap petani di GKJW Sidoreno.
3.1.Gambaran Sekilas Mengenai Dusun Sidoreno dan GKJW Sidoreno
Secara administratif, Dusun Sidoreno terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember. Jumlah masyarakat di Dusun Sidoreno adalah 839 jiwa masyarakat dewasa.
Mayoritas masyarakat beragama Kristen Protestan, sisanya adalah Islam, Katolik dan Hindu.
Masyarakat yang beragama Kristen tersebut mayoritas adalah warga jemaat GKJW Sidoreno. Data
47 Jozef M. N. Henanussa, Pelayanan Diakonia Yang Transformatif, 137
16
GKJW Sidoreno pada akhir tahun 2020 menunjukan, warga jemaat GKJW Sidoreno berjumlah 867 jiwa. Oleh karena itu, bagi masyarakat diluar Dusun Wonorejo yang non-Kristen, Dusun Sidoreno seringkali disebut sebagai dusun Kristen. Sementara bagi warga jemaat GKJW secara umum, Sidoreno selalu identik dengan GKJW Sidoreno.
Kebanyakan masyarakat Sidoreno berprofesi sebagai petani. Hal ini didukung dengan aspek geografis dimana luas Dusun Sidoreno didominasi oleh lahan pertanian. Sekitar 253 Ha wilayah Sidoreno adalah persawahan.48 GKJW Sidoreno sendiri memiliki lahan pertanian seluas 8 Ha. Artinya 3,16% dari luas sawah di Sidoreno adalah milik gereja. Lahan-lahan pertanian milik gereja ini disewakan kepada warga jemaat supaya warga jemaat dapat mengelola lahan pertanian tersebut sebagai sumber mata pencaharian. Sementara itu, berdasarkan data sensus GKJW Sidoreno akhir tahun 2020 pula, di dapatkan informasi bahwa terdapat 25% petani yang memiliki lahan, 25% petani penggarap, 6% Pegawai Negri Sipil, 1% buruh perusahaan,pedagang 1 % dan . 1,2% adalah pensiunan tentara dan polisi.49 Artinya sekitar 50 persen warga jemaat GKJW Sidoreno berkecimpung di dunia pertanian. Ini menunjukan bahwa pertanian merupakan aspek penting secara sosial bagi warga jemaat Sidoreno.
Secara umum, komoditas yang ditanam para petani adalah palawija (padi dan jagung).
Untuk para petani penyewa, mereka memerlukan biaya ekstra untuk menyewa lahan pertanian yang cukup mahal. Harga umum untuk menyewa sawah seluas ¼ bau 50 umumnya sekitar 5 juta rupiah sampai Rp. 5,5 Juta rupiah selama satu tahun atau tiga kali musim. Memasuki masa tanam, para petani perlu mempersiapkan benih yang baik agar tanamanpun turut baik. Untuk mendapat benih yang baik, mereka perlu membelinya dengan harga yang cukup mahal di kios-kios pertanian.
Selama proses bertani, para petani juga dihadapkan dengan persoalan pengairan, terlebih ketika musim panas. Akibatnya, para petani perlu menggunakan mesin diesel untuk mengairi sawah.
Mereka perlu mengeluarkan biaya lebih untuk membeli bensin. Para petani juga diperhadapkan dengan permasalahan pupuk yang langka dan mahal. Memasuki masa panen, mereka akan mengeluarkan biaya panen yang besar, baik untuk menyewa tenaga pekerja maupun konsumsi
48 Hasil Wawancara Dengan Bapak Wijayadi Selaku Pegawai Kantor Desa Wonorejo Pada 9 November 2021 Pukul 13.00 WIB
49 Hasil Wawancara Bersama Bapak Heri Diandoko Selaku Sekretaris Majelis Jemaat GKJW Sidoreno Pada 16 Novemver 2021 Pukul 08.00 WIB
50 Bau Merupakan Salah Satu Luasan Lahan Pertanian. Ukuran 1 Bau Setara dengan 7.140 M persegi. Namun dalam konteks Sidoreno, istilah bau digunakan untuk luasan tanah sekitar ¼ Ha.
17
pekerja. Belum lagi, resiko gagal panen karena hama dan faktor alam juga tinggi. Setelah masa panen, mereka juga akan berhadapan dengan sistem penjualan yang tidak jelas. Sering kali harga hasil panen tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3.2.Program Diakonia GKJW Sidoreno
Secara umum, diakonia dipahami sebagai wujud pelayanan gereja kepada orang-orang yang mengalami keterbatasan ekonomi, kemisikinan, keterbatasan fisik dan mental. Setidaknya itulah yang disebutkan oleh Bapak Puspo, Bapak Cahyo, Bapak Nurcahyo dan Ibu Srimulat selaku Majelis Jemaat GKJW Sidoreno. Sementara itu Pdt. Petrus memahami bahwa pada prinsipnya, diakonia adalah cara berbagi kasih kepada sesama. Dalam konteks GKJW Sidoreno, tidak ada rujukan tertulis yang menjadi dasar pelaksanaan diakonia, namun Diakonia lebih pada laku-laku kehidupannya.51
Terdapat beberapa jenis diakonia yang dilakukan oleh GKJW Sidoreno. Pertama, diakonia berupa pemberian uang dan sembako kepada orang-orang miskin, janda sebatang kara, serta kunjungan orang sakit.52 Jika merujuk pada bentuk-bentuk diakonia menurut Josef P. Widyatmaja, diakonia jenis ini dapat digolongkan menjadi diakonia Karitatif. Diakonia berikutnya adalah beasiswa pendidikan. Pertama adalah beasiswa pendidikan mahasiswa Teologi. Menyadari pentingnya memberikan perhatian kepada regenerasi pelayan gereja, GKJW Sidoreno juga berupaya memberikan dukungan kepada mahasiswa dengan jurusan Teologi. Dukungan ini dilakukan tanpa melihat latar belakang mampu atau tidaknya perekonomian mahasiswa tersebut, melainkan lebih kepada dukungan dana dan pendampingan moral. Kedua dukungan beasiswa pendidikan sekolah (SD-SMA/Sederajat) kepada mereka yang memiliki keterbatasan biaya pendidikan. Beasiswa ini diberikan melalui program Dompet Kasih yang di miliki GKJW Sidoreno. Ketiga dukungan pendidikan kepada siswa berprestasi. Dukungan ini sering dirupakan dalam bentuk barang pendukung pendidikan. Beasiswa untuk siswa sekolah ini menggunakan dana dari dompet kasih, salah satu program yang dimiliki GKJW Sidoreno.53 Jika dilihat melalui bentuk diakonianya, diakonia ini adalah diakonia jenis karitatif.
51 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa, Pada 22 Oktober 2021 Pukul 13.00 WIB.
52 Hasil Wawancara Dengan Ibu Srimulat Pada 6 Oktober 2021 Pukul 19.00 WIB
53 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro, Pada 6 Oktober 2021 Pukul 18.00 WIB
18
Diakonia berikutnya adalah menyasar petani. Melihat konteks dusun Sidoreno sebagai dusun agraria, yang bertumpu pada sektor pertanian, maka penting pula gereja untuk memperhatikan konteks tersebut. Mayoritas jemaat juga bergelut dalam sektor pertanian. Beberapa diantaranya adalah pemilik lahan, sementara lainnya adalah buruh tani. Gereja memiliki lahan pertanian kurang lebih 8 Ha dan terdiri dari sekitar 36 petak sawah. Lahan tersebut digunakan sebagai sarana pelayanan. Gereja menyewakan lahan tersebut kepada jemaat dengan harga yang lebih murah daripada menyewa diluar gereja. Mengingat pula banyaknya keterbatasan dalam proses bertani, gereja juga menyediakan fasilitas-fasilitas guna mempermudah sarana pertanian.
Jika dilihat menggunakan teori diakonia menurut josef P. Widyatmaja, diakonia jenis ini digolongkan pada diakonia reformatif atau pembangunan.
Diakonia penting untuk dilakukan oleh gereja. Melalui diakonia, kehadiran gereja dan orang-orang Kristen yang identik dengan Kasih perlu untuk diaktualisasikan.54 Selain itu, dengan melakukan diakonia, gereja juga melakukan tugas kesaksian iman, supaya persekutuan juga semakin nyata. Terlebih, ditengah keterbatasan jemaat, diakonia hadir untuk mempertegas bahwa persekutuan grejawi tidak hanya dipahami saat peribadatan saja, melainkan juga dalam laku hidup sehari-hari.55 Artinya tiga tugas panggilan gereja, semestinya juga berjalan secara bersama-sama dan diperhatikan secara berimbang. Bentuk-bentuk diakonia tersebut masih tetap dilakukan dan menjadi program tahunan GKJW Sidoreno karena dinilai sudah efektif,56 walaupun belum seratus persen berhasil.57 Walaupun diakonia-diakonia tersebut sudah efektif, bukan berarti gereja tidak membuka diri terhadap lahirnya diakonia-diakonia yang berbeda.
3.3.Pertanian di Dusun Sidoreno
Para petani di Dusun Sidoreno memiliki banyak pergumulan. Menurut Pak Tekad, Pak Warsiman, Pak Mardi dan Pak Oky, petani di Sidoreno, mengalami permasalahan serius yang dihadapi oleh para petani yang hampir tiap musim mereka alami. Pertama, mahalnya biaya tanam dan perawatan. Untuk memiliki tanaman yang baik, maka petani perlu menggunakan benih yang baik. Benih tersebut harganya relatif mahal. Selanjutnya biaya yang seringkali dikeluarkan petani juga terserap dalam penyediaan air cukup banyak. Jika musim penghujan, pengeluaran biaya
54 Hasil Wawancara Dengan Ibu Srimulat,
55 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro,
56 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa,
57 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro,
19
tersebut dapat diminimalisir, sementara ketika musim panas, maka akan banyak biaya yang dikeluarkan oleh para petani untuk mengairi sawah mereka.58 Kedua, ketersediaan pupuk yang sulit. Pupuk subsidi yang bisa diterima oleh para petani terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertanian, sementara pupuk non subsidi selain harganya juga mahal, seringkali mengalami kelangkaan dikios-kios pertanian.59 Beruntung Gereja juga menyediakan sumur bor untuk membantu meringankan beban para petani penyewa.60 Ketiga, besarnya pengeluaran saat masa panen. Saat masa panen, para petanu akan mempekerjakan buruh supaya panen dapat berlangsung dengan cepat. Keempat, harga jual yang tidak menentu dan cenderung murah.61Keempat, belum lagi biaya yang perlu mereka keluarkan untuk menyewa lahan pertanian, karena memang banyak petani di sidoreno adalah petani penyewa. Harga umum penyewaan sawah untuk ¼ bau adalah 5-6 juta/tahun.
Pemerintah sebenarnya turut memperhatikan kesulitan dan tantangan yang dialami petani.
Apalagi sebagai negara agraris, kedaulatan pangan negara sangat bertumpu pada sektor pertanian.
Perhatian pemerintah tersebut dituangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Secara khusus pada Bab IV Pasal 19 poin 1, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana (bantuan) produksi Pertanian. Ketika penulis menggali informasi kepada para petani, nampaknya bentuk perhatian tersebut hampir tidak pernah dirasakan oleh para petani. Berdasarkan keterangan yang disampaikan informan ada beberapa kendala serius yang terjadi. Pertama, komunikasi yang terbangun antara pemerintah dan para petani tidak terbangun dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan minimnya informasi yang diterima para petani berkaitan dengan bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah. Kedua, kelompok tani yang memiliki peran penting sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan para petani terkesan tidak memainkan fungsi dan peranannya dengan maksimal. Hal ini berakibat pada timbulnya kecurigaan dalam diri petani mengenai praktik-praktik menyimpang yang dilakukan oleh pemerintahan. Sementara itu salah satu pengurus kelompok tani di Dusun Sidoreno menyatakan bahwa:
58 Hasil Wawancara Dengan Pak Mardi, Pada 20 Oktober 2021 Pukul 19.00 WIB
59 Hasil Wawancara Dengan Pak Oky, 17 Oktober 2021, Pukul 20.00 WIB
60 Hasil Wawancara Dengan Pak Tekad, 17 Oktober 2021, Pukul 19.00 WIB
61 Hasil Wawancara Dengan Pak Warsiman, 11 Oktober 2021, Pukul 19 00 WIB
20
bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah di dasarkan pada integrasi data. Petani perlu melengkapi persyaratan dan data yang dibutuhkan supaya dapat menerima bantuan dari pemerintah. Tujuannya supaya bantuan tersebut tepat sasaran. Sementara itu, masih banyak petani yang belum mengumpulkan persyaratan tersebut, sehingga mereka tidak dapat menerima bantuan. Ini merupakan kebijakan yang ditetapkan pemerintah melalui Dinas Pertanian. Walaupun tidak bisa dipungkiri, proses birokrasi tersebut juga lama, belum lagi banyak petugas-petugas tersebut tidak bekerja dengan maksimal dan tidak tau betul bagaimana kondisi dilapangan. Sosialisasi juga tidak pernah dilakukan. Untuk mesin-mesin yang dibutuhkan, ini bisa dipakai, asalkan juga bertanggung jawab pada biaya perawatan, bensin dan pegawai. 62
Keterangan diatas menjelaskan adanya interaksi yang tidak tuntas antara kebijakan pemerintah dan tuntutan petani. Kendati pemerintah telah memberikan bantuan, namun jika dilihat lebih jauh, terdapat permasalahan komunikasi dan birokrasi yang buntu antara petani dan pemerintah serta tidak adanya partisipasi dari petani melalui badan-badan yang dibentuk oleh pemerintah. Akhirnya petani di Dusun Sidoreno memilih untuk bertani secara pribadi dan tidak bergantung pada subsidi atau bantuan pemerintah. Karena segala sesuatu dilakukan secara pribadi, maka biaya yang dikeluarkan selama masa bertani akan semakin besar.
3.4.Program Diakonia Menyasar Para Petani.
GKJW Sidoreno memiliki perhatian khusus kepada jemaat yang berkecimpung dalam dunia pertanian. GKJW Sidoreno memiliki lahan pertanian seluas kurang lebih 8 Ha. Lahan pertanian tersebut disewakan kepada warga jemaat yang tertarik untuk berkecimpung di bidang pertanian. Harga sewa yang diberikan kisaran 3-4 juta rupiah untuk satu tahun. Sementara harga umum sewa sekitar 5-6 juta. Harga ini lebih murah dari harga sewa umum/diluar gereja. Dari 8 Ha lahan pertanian yang dimiliki gereja, terdapat 39 petak sawah dengan luasan masing-masing ¼ bau yang disewakan kepada jemaat. Jika menggunakan cara hitung subsidi, artinya gereja selama satu tahun dapat mensubsidi petani penyewa sekitar 39 juta, apabila margin harga antara umum dan gereja adalah 1 juta.63 Selain itu, gereja juga menyediakan fasilitas lain untuk mempermudah pertanian terhadap para penyewa. Pertama, lahan pertanian milik gereja dilengkapi dengan sumur
62 Hasil Wawancara Dengan DS Pada 10 November 2021 Pukul 12.00 WIB
63 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa
21
bor. Ini untuk mempermudah pengairan sawah, apalagi di musim panas. Kedua, gereja telah mendaftarkan lahan pertanian tersebut kepada kios-kios pupuk organik untuk mendapatkan pupuk organik bersubsidi. Gereja meminjam nama seorang majelis untuk mendaftarkan lahan ini. Hal ini mengingat mahalnya harga pupuk dikalangan petani.64
Diakonia kepada para petani ini merupakan tugas-tugas yang diemban oleh Komisi Pembinaan Penatalayanan (KPPL).65 Ini berbeda dengan komisi sebelumnya Komisi Pembinaan Pelayanan (KPP) yang lebih banyak bertugas memberikan pelayanan kepada jemaat yang miskin, sakitt, janda-janada dan kematian.66 KPPL lebih berfokus pada menata harta kekayaan gereja guna memberikan pelayanan kepada jemaat. Tata dan Pranata GKJW mencatat bahwa Bidang Penatalayanan merupakan Kegiatan pelayanan di bidang Penatalayanan adalah kegiatan mengusahakan dan mengelola secara bertanggung jawab segala daya (termasuk sumber daya manusia), dana dan sarana pemberian Tuhan dalam rangka memenuhi panggilan-Nya.67 Hal ini agar talenta dan potensi warga jemaat bisa benar-benar diberdayakan untuk memenuhi panggilan Tuhan dan keberadaan gereja benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.68
Bagi jemaat petani GKJW Sidoreno, pelayanan dan kebijakan yang dilakukan gereja tersebut telah membantu perputaran roda perekonomian jemaat petani tersebut, terlebih kepada petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Misalnya, dengan harga sewa sawah yang lebih murah, sangat memungkinkan orang yang tidak memiliki sawah dan memiliki perekonomian rendah, dapat menyewa sawah tersebut untuk berpulih agar perekonimiannya naik.69 Walaupun dalam praktiknya, banyak sekali tantangan yang dialami para petani, tetapi pertanian tersebut masih memiliki hasil untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.70
3.5.Penyediaan Pupuk Organik Oleh GKJW Sidoreno Sebagai Transformasi Ekologis GKJW Sidoreno memiliki program mengenai pengadaan pupuk organik. Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang lahirnya program ini. Pertama, kesadaran gereja mengenai isu
64 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa
65 Hasil Wawancara Dengan Bapak Cahyo Adi
66 Hasil Wawancara Dengan Ibu Srimulat
67 Majelis Agung GKJW, Tata Pranata GKJW, 292
68 GKJW, Bidang Pelayanan GKJW Diakses Melalui Https://Gkjw.Or.Id/Tentang-Gkjw/Bidang-Pelayanan/ Pada 16 November 2021, Pukul 15.57 WIB.
69 Hasil Wawancara Dengan Pak Oky,
70 Hasil Wawancara Dengan Pak Oky, Pak Tekad, Pak Warsiman, Pak Mardi.
22
ekologis. Inipun sejalan dengan misi GKJW yang menyasar aspek ekoteologi. GKJW mengembangkan konsep ekoteologi melalui istilah Ngrembaka. Ngrembaka memiliki arti bertumbuh, berkembang, tetapi tidak hanya menjadi tinggi dan besar. Kata Ngrembaka mengandung makna asri, dapat dilihat oleh yang lain, melingkupi yang ada di sekitarnya, sekaligus memberikan kenyamanan bagi yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, kata ini mengandung makna keterhubungan antara tempat di mana dia berada dengan keberadaan dirinya, selalu ada hubungan timbal balik dengan lingkungan sekitarnya.71 Kecenderungan para petani di Sidoreno saat menggunaan pupuk kimia/sintetis berakibat buruk terhadap kualitas tanah persawahan di Dusun Sidoreno. Ini juga disebabkan paradigma yang berkembang pada para petani bahwa pupuk kimia jauh lebih banyak menghasilkan tonase panen dari pada pupuk organik.72 Terlebih dalam konteks Sidoreno, kebanyakan adalah petani penyewa yang memiliki waktu terbatas untuk melakukan pertanian. Akibatnya, saat bertani, biaya produksi yang dikeluarkan akan semakin besar. Kedua, program ini lahir juga dikarenakan realitas lapangan yang dialami oleh petani mengenai kelangkaan pupuk kimia baik yang subsidi maupun non subsidi.73 Ketiga, ini sejalan dengan cita-cita GKJW yang dimuat di dalam Program Pembangunan Jangka Menengah GKJW, yakni terwujudnya ‘pembaharuan agraria’ (pertanian organik), sebagai sistem dalam pengelolaan lahan pertanian, sehingga dapat memberi hasil produksi dalam jumlah yang memadai, baik terhadap lahan pertanian milik gereja, warga jemaat maupun masyarakat.74
Ide mengenai pengadaan pupuk organik ini dimulai pada tahun 2019. Kala itu, Dewan Pembinaan Kesaksian Majelis Agung GKJW memberikan informasi kepada GKJW Sidoreno bahwa ada dua alat pencacah rumput, dan satu kendaraan Tossa milik GKJW yang ditawarkan kepada GKJW Sidoreno supaya digunakan. Informasi itu disambut dengan baik oleh PHMJ GKJW Sidoreno, sehingga PHMJ GKJW Sidoreno bersurat kepada Majelis Agung GKJW untuk peminjaman alat tersebut. Untuk mempersiapkan program tersebut, pada tahun 2020 GKJW Sidoreno juga membeli rumah dan lahan pertanian yang nantinya akan digunakan sebagai lahan percontohan dan tempat belajar mengenai pertanian organik. Peminjaman alat-alat tersebut
71 Pdt. Suko Tiyarno, Dkk, Ngrembaka: Ekoteologi Greja Kristen Jawi Wetan (Malang: Institut Pendidikan Theologia Balewiyata GKJW, 2021) 38-39
72 Hasil Wawancara Dengan Pak Nurcahyo
73 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro,
74 Agung Siswanto, Patunggilan Kang Nyawiji Dan Idea Sui-Generis (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2020)195
23
direalisasikan pada April 2021. Selanjutnya melalui Sidang Majelis Jemaat, dibentuklah Pokja Kedaulatan Pangan (dibawah Komisi Pembinaan Penatalayanan) yang bertanggung jawab sebagai tim pelaksana pengadaan pupuk organik tersebut.75
Komisi Pembinaan Penatalayanan juga memiliki program khusus yang menyasar para petani.
Melalui Program Kerja Tahunan GKJW Sidoreno dengan Nomor Proyek: P.E1.01.21 dengan Nama Proyek: Pertemuan Pokja Kedaulatan Pangan dengan tujuan kegiatan untuk membentuk kelompok tani jemaat, guna meningkatkan hasil tanam yang baik serta meningkatkan perekonomian warga.76 Melalui program ini, harapan kedepannya akan terbentuk suatu sistem pertanian terpadu antara para petani dan juga melibatkan peternak sebagai pemasok bahan-bahan pupuk organik. Program ini merupkan alternatif yang disusun GKJW Sidoreno untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang disebutkan pada bagian awal tadi. Program ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2021 dengan menghadirkan pembicara di bidang pertanian serta parapetani dusun Sidoreno, termasuk penyewa lahan pertanian gereja. Selain menjawab tujuan program tersebut, terdapat dua agenda penting lainnya. pertama, pelatihan produksi pupuk organik.
Pelatihan ini melibatkan para petani penyewa dan juga para pemuda GKJW Sidoreno. Kedua, sarasehan dan diskusi dengan petani. Melalui sarasehan ini, petani dapat berbagi pengalaman dan pertanyaan kepada pembicara yang memiliki kompetensi di bidang pertanian.
Petani penyewa di GKJW Sidoreno juga menyambut baik program yang disusun gereja.
Mereka memahami bahwa penggunaan pupuk kompos/organik memang memberikan kualitas yang bagus terhadap tanaman dan hasilnya. Penggunaan pupuk kompos juga dapat meminimalisir kerusakan tanaman karena hama. Tetapi para petani juga tetap memantau bagaimana perkembangan lahan percontohan yang dimiliki oleh gereja.77 Jika kedepannya pupuk itu juga diujicobakan kepada para penyewa, dan penyewa membeli pupuk organik tersebut, maka gereja juga perlu menata mekanisme penyewaan sawah, mengingat penyewa sawah gereja dengan sistem lotre dengan waktu yang terbatas.78 Sementara hasil penggunaan pupuk organik bisa dilihat kualitasnya setelah tiga tahun penggunaanya. Tetapi kualitas produk organik memiliki nilai lebih untuk konsumen, baik kualitas hasil panen dan juga harga yang bisa diperoleh. Untuk meyakinkan
75 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa,
76 GKJW Sidoreno, Program Kerja Tahunan Majelis Jemaat Tahun 2021, (Sidoreno: 2021), 33
77 Hasil Wawancara Dengan Pak Mardi,
78 Hasil Wawancara Dengan Pak Warsiman,
24
para petani mengenai kualitas pupuk organik, gereja membentuk lahan percontohan. Saat ini masih dalam tahap pengumpulan komposisi pupuk organik.79 Hambatan lain yang dihadapi oleh gereja adalah mahalnya biaya produksi dan ongkos pekerja.
4.
Analisa Hasil PenelitianPada bagian ini, penulis akan melakukan analisa terhadap hasil penelitian yang telah dicantumkan di bagian atas. Adapun, pada bagian pertama, penulis akan melakukan analisa untuk melihat bagaimana pemahaman GKJW Sidoreno terhadap diakonia berdasarkan orientasi diakonia menurut Noordegraaf. Kedua, penulis juga melakukan analisa terhadap program diakonia GKJW Sidoreno berdasarkan bentuk-bentuk diakonia menurut Widyatmaja.
4.1.Pemahaman Diakonia GKJW Sidoreno Berdasarkan Orientasi Diakonia Noordegraaf
GKJW Sidoreno memahami dan menghidupi diakonia sebagai pelayanan untuk berbagi kasih80 sekaligus aktualisasi kasih kepada sesama.81 Dalam perjalanannya, diakonia dipahami sebagai bentuk pertolongan dan pelayanan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan,82 serta mengalami kesulitan untuk memenuhi dan memperjuangkan hidup mereka. Pasalnya, kesulitan- kesulitan tersebut juga berdampak pada aspek hidup lainnya, terlebih berpotensi menyebabkan krisis spiritual jemaat. Umumnya, penerima diakonia ini adalah janda-janda, orang-orang miskin, orang-orang sakit. Karena meraka merupakan orang-orang yang membutuhkan bantuan secara khusus, sekaligus perlu untuk menerima cinta kasih Tuhan Allah supaya mendapatkan kesejahteraan secara lahir dan batin.83 Dasar pelaksanaan diakonia ini dimulai dari Yesus Kristus sendiri. Yesus Kristus telah memulai pelayanan berbagi kasih kepada semua orang yang ia jumpai yang mengalami penderitaan. Kendati semua orang tidak mengalami penderitaan, namun orang- orang tersebut perlu pula untuk menerima kasih dan orang-orang percaya diutus untuk
79 Hasil Wawancara Dengan Pak Nurcahyo,
80 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa,
81 Hasil Wawancara Dengan Ibu Srimulat,
82 Hasil Wawancara Dengan Bapak Puspo Wicoro,
83 Majelis Agung GKJW, Tata Pranata GKJW, 281
25
membagikan kasih.84Orang yang benar-benar telah mendengar suara Kristus dan percaya kepada- Nya tidak dapat dan tidak akan hidup dan berbuat secara diakonial mengikuti jejakNya.”85
Jika dilihat lebih jauh, GKJW Sidoreno juga menggunakan rumusan diakonia yang sama menurut Tata dan Pranata GKJW. Tata dan Pranata GKJW menjelaskan arti diakonia melalui Bidang Cinta Kasih. Pelayanan Bidang Cinta Kasih bertugas untuk untuk mewujudkan cinta kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya agar terwujud kesejahteraan lahir batin. Hal utama dalam pelayanan ini adalah upaya gereja/orang-orang percaya untuk turut serta bekerja sama dengan Tuhan agar bumi ini benar-benar disuasanai oleh kasih, sukacita, keadilan, kebenaran dan damai sejahtera bagi seluruh dunia.86 Pelayanan di bidang ini bukan hanya memberi sesuatu yang cepat habis bagi yang kekurangan (karitatif), namun juga termasuk kedisiplinan untuk turut serta menjaga memelihara keutuhan ciptaan seperti yang disepakati dalam JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation).87
JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation) merupakan rumusan yang pertama kali muncul pada tahun 1970an hingga tahun 1980an di dalam pertemuan-pertemuan Gereja-gereja Sedunia (World Council of Churches). Rumusan ini lahir paska Perang Dunia II yang menyebabkan kekacauan di hampir seluruh belahan dunia. Realitas kemiskinan, ketidakadilan dan penderitaan merupakan dampak dari Perang Dunia ke II tersebut terutama di negara-negara bagian ketiga. Pasca Perang Dunia ke II, dunia memulai babak baru. Oleh karena itu WCC kemudian merasa terpanggil untuk terlibat mewujudkan masyarakat dunia yang adil, partisipatif dan berkelanjutan (just, participatory, sustainable society). Maka pada Sidang Umum ke-6 di Vancouver, Kanada tahun 1983 WCC menyempurnakan rumusan tersebut dari Just, Participatory, Sustainable Society menjadi Justice, Peace, and Integrity of Certain.88 Integrity of Certain merupakan bagian yang menarik karena menaruh orientasi pada kosmosentris, yang tidak pernah diperhatikan sebelumnya, karena terfokus pada antroposentris.
84 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Petrus Hari Santosa
85 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia,7
86 Majelis Agung GKJW, Tata Pranata GKJW, 281
87 GKJW, Bidang Pelayanan GKJW Diakses Melalui Https://Gkjw.Or.Id/Tentang-Gkjw/Bidang-Pelayanan/ Pada 5 November 2021, Pukul 13.05 WIB.
88 D. Bismoko Mahamboro, Gereja Memperjuangkan Keadialan, Perdamaian, Dan Keutuhan Ciptaan, (Yogyakarta: Universitas Santha Dharma, Majalah Inspirasi Nomor 148 Tahun XIII Desember 2016), 20