• Tidak ada hasil yang ditemukan

-Sumber: Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2010 nantinya banyak perusahaan tambang

meng-hentikan kegiatan penambangan, negara juga tidak terlalu dirugikan. Selain itu, cadangan-nya juga tidak berkurang meskipun tidak ditambang. “Lebih baik cadangannya tidak ditambang dulu sampai semua ketentuan UU dijalankan, yaitu adanya pengolahan di dalam negeri,” tandas Harsonyo.

Jika Kementerian ESDM yakin program hilirisasi akan berjalan sesuai rencana, tidak demikian yang dirasakan oleh para pelaku di bidang pertambangan mineral. Sebaliknya, mereka menilai meskipun tenggat tinggal beberapa bulan lagi, baik para pelaku usaha

tambang maupun pemerintah sendiri belum siap. “Tidak ada progresnya, padahal tinggal beberapa bulan lagi,” ujar Sukmandaru.

Menurut Sukmandaru, hingga saat ini dipastikan belum ada pembangunan smelter baru, lebih-lebih yang dibangun oleh peru-sahaan-perusahaan tambang yang tergolong pemain baru. Pabrik pemurnian dan pe-ngolahan yang ada saat ini, menurutnya, merupakan pabrik lama dan dibangun oleh perusahaan-perusahaan tambang lama yang sudah mapan dan besar, seperti PT Antam. Bahkan, PT Freepot, raksasa tambang dari Amerika Serikat sekalipun, ternyata masih

keberatan dengan kewajiban membangun smelter sendiri.

“Kalau yang sekaliber Freepot saja begitu, bagaimana dengan perusahaan-peru-sahaan tambang yang kecil-kecil,” Sukman-daru menegaskan. Dia menilai ada sejumlah faktor yang membuat program hilirisasi tambang melalui pembangunan smelter ini. Pertama, faktor kemahalan biaya pembangu-nan smelter. Dengan biaya yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk satu smelter, menurutnya, bagi kebanyakan perusahaan tambang nasional modal yang diperlukan terlalu besar. Apalagi, rata-rata wilayah tambang mereka tergolong kecil dengan cadangan yang kecil pula.

Kedua, menurut Sukmandaru, skala ekonomi dari program pembangunan smelter hingga kini belum jelas benar. Menurutnya, belum pernah ada studi akademis yang mengitung skala ekonomi dari pembangu-nan smelter atau program hilirisasi tambang mineral. “Ini yang membuat pelaku tambang masih enggan fight,” tandasnya. Ketiga, du-kungan dari pemerintah masih dinilai masih kurang serius, baik dari segi regulasi maupun pengembangan insfrastruktur. “Regulasinya masih tumpang tindih. Kepastian hukumnya juga masih diragukan,” imbuh Sukman-daru.

Hal yang sama diungkapkan Arif Zardi. Jika pun ada perusahaan tambang nasio-nal yang membangun smelter, misalnya, bagaimana dengan pengadaan infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan, moda transportasi pengangkutan, dan ketersediaan

Produksi Barang Tambang Mineral, 1996-2011

Konsentrat Konsentrat Tahun Batu Bara Bauksit nikel emas Perak Granit Pasir Besi Tin Tembaga

(ton) (ton) (ton) (kg) (kg) (ton) (ton) (tonmetrik) (tonmetrik)

 0 332 0   3 2  3  2 0  2 0 2 0 2 30   0   2 00 0  2 2 3  2 2 32  2 0  03  2   0   0 0  0  2 3 0 23 2 33   2  0  3 0 2 0 00  2 0 23   323 2   2  3 3  20  02   0 2  0 2000  0   0  2 3  0 2 30 30   30 20   30 3 20 33 200  02   23 00 2 3 2  2 333  3  2 0    2  0 2002 0 3 30  23  2 20 2 0 2 2 03 3  3 0   2 2  0 2003 3 2 3  22 0 2  2 3  22 00 3 3  2   3 3 23 30 200 2  0  33  2 0    2 03  03 00  3 3 00 2 2  200   233    3 0  2  32 3  302   0  0 3 3 0 200 2 2  2  30 3  3 3 2 20 2       00   200  3 0  2   2 0   2   3 0  3  2   200  30   2 322     30 22 0 2 00 000   2  20  0 200 22 0  3 2    0  3  na   0  02 3 3 200 32 32 3 2 200 000   32  2 33 00 2 2 00   0   3 2 20   0 2  0 2 2 2  220 22 3 3 3 3     00  2 23 Keterangan:

Sumber: Publikasi Statistik Pertambangan Non Minyak dan Gas Bumi

Data Target Produksi Mineral Nasional (Ton)

Bijih Nikel 34 Juta

Bauksit 10 Juta

Bijih Besi 5 Juta

Nikel 72 Ribu

Feronikel 19 Ribu

Tembaga 674 Ribu

Emas 66

Perak 250

sumber energi, dalam hal ini listrik. Sebab, demikian Zardi menggambarkan, kebanya-kan wilayah tambang mineral berada di

remote area atau daerah yang jauh di

pedala-man dengan dukungan infrastruktur nol. Kalau pun ada yang membangun smelter, menurut Zardi, bagaimana dengan pasokan listriknya karena kebutuhan energinya sangat besar. Pengalaman selama ini, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak sanggup menyu-plai kebutuhan listrik untuk daerah-daerah pertambangan. Selain kebutuhan energinya sangat besar, lokasinya pun berada jauh di luar jangkauan jaringan kelistrikan PLN. “Kalau untuk suplai energinya juga harus membangun sendiri, beban terlalu berat dan risikonya terlalu besar buat pengusaha,” ujar Zardi.

Ketidaksiapan infrastruktur tersebut, Zardi menambahkan, menunjukkan dua hal. Pertama, dukungan pemerintah belum maksi-mal. Kedua, belum adanya perencanaan yang matang, baik secara khusus terkait program hilirisasi tambang mineral maupun secara umum dalam hal strategi pengembangan industri pertamnbangan nasional ke depan.

Zardi menjelaskan lebih jauh,

misal-nya, selain harus lebih mempersiapkan infrastrukturnya, program hilirisasi tambang mineral ini juga harus didukung dengan rencana pengembangaan industri manufaktur dalam negeri yang matang pula. Dengan demikian, imbuh Zardi, ada keterkaitan dan ketersinambungan antara industri tambang mineral dengan industri manufaktur di dalam negeri. “Jadi, semestinya jauh-jauh hari pemerintah sudah membuat kebijakan dan perencanaan yang matang dan komprehensif, katakanlah dibuat dulu grand design dan

road map pengembangan tambang mineral

seperti apa. Tidak seperti sekarang ini, pe-rencanaan belum matang dan masih ad hoc sifatnya,” jelas Zardi.

Kebutuhan akan adanya grand design dan road map pengembangan industri tambang nasional juga dilontarkan Tedy Badrujaman. Jika tidak dipandu dengan

grand design dan road map yang

kompre-hensif yang didasarkan pada visi jauh ke depan, menurutnya, akan sulit menata dan memajukan sektor pertambangan nasional. “Ya akan tetap begini-begini saja. Cadangan habis tanpa banyak memberi nilai tambah dan manfaat,” ujarnya.

Program hilirisasi tanpa perencanaan yang matang, menurut Sukmandaru, akan membuat usaha tambang mineral nasional limbung, mengalami titik balik. Sukmandaru melihat bisnis tambang mineral ini akan segera memasuki masa-masa suram akibat kebijakan hilirisasi tanpa dibarengi dengan perencanaan matang. Tapi, jika pemerintah segera sadar untuk lekas melakukan perbai-kan, Arif Zardi optimistis masa depan bisnis tambang mineral akan sangat cerah. “Ter-gantung seperti apa pemerintah membuat perbaikan kebijakan dan perencanaannya,” tandas Zardi. q

Mengenal Karakter Penilaian

Bisnis Tambang

Penilaian di lingkungan usaha tambang mineral merupakan

peluang baru bagi profesi penilai. Selain kompetensi dan

profesionalitas, diperlukan kesanggupan penilai untuk

mengenali karakter industri pertambangan. Bagaimana

caranya?

B

egitu banyak profesional, ahli, atau competent person terlibat di dalam kegiatan usaha tambang, baik tambang mineral maupun batu bara. Di mana posisi penilai? Pertanyaan tersebut menjadi penting lantaran sangat langka, bahkan nyaris mustahil, seseorang yang berprofesi sebagai penilai sekaligus memiliki kompetensi teknis di bidang per-tambangan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penjelasan anggota Dewan Pena-sihat yang juga mantan Ketua Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko layak diikuti.

Diakui Sukmandaru, Indonesia memang memiliki sumber daya dan cadangan mineral yang sangat besar dan beragam, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Namun, menu-rutnya, masa depan usaha tambang mineral di Indonesia masih banyak lubangnya. Jika salah dalam membuat kebijakan dan menen-tukan langkah, usaha ini bisa hancur atau, paling tidak, masa depannya suram dan sulit diprediksi.

Itu yang pertama. Kedua, usaha tam-bang mineral meliputi banyak tahapan baik berkaitan dengan tahapan-tahapan teknis penambangan maupun proses legalnya yang

terkait dengan perizinan. Seorang penilai, menurutnya, memang tidak mungkin memi-liki kompetensi di semua tahapan tersebut. Tapi, menurutnya, semua proses dan tahapan dari rangkaian kegiatan usaha tambang ha-rus dipahami oleh seorang penilai. Dengan demikian, seorang penilai akan bisa me-nempatkan posisinya dengan benar dalam melaksanakan kegiatan penilaian.

Sukmandaru memberi contoh, untuk memastikan dan menghitung barang tam-bang yang masih terdapat di dalam perut bumi, misalnya, yang berkompeten adalah para ahli geologi. Mereka ini tergabung dalam sejumlah asosiasi yang memiliki fungsi berbeda-beda, seperti MGEI, Ika-tan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), dan Perhimpunan Ahi Pertambangan Indonesia (PERHAPI). Termasuk, bagaimana cara mengambil barang tambang yang ada di perut bumi atau teknik penambangan, penentuan kualitas, menghitung volume cadangan dan menaksir harganya diakui masih menjadi wilayah mereka, ahli geologi maupuh ahli pertambangan.

Nah, ketika sudah menjadi komoditas siap jual, menurut Sukmandaru, bagaimana menghitung atau menentukan nilai jualnya sudah menjadi wilayah profesi penilai. “Cara memasukan angka-angka ekonomis berdasar-kan nilai harga jual itu yang bisa melakuberdasar-kan ya para penilai,” ujar Sukmandaru.

Jadi, menurut Sukmandaru, dari rang-kaian proses kegiatan usaha tambang tadi, posisi profesi penilai berada di titik paling ujung kanan. Di ujung paling kiri adalah ahli geologi, yang mengendus sumber daya dan cadangan mineral, ke sebelah kanan menjadi wilayah kerja ahli pertambangan untuk me-nentukan teknis penambangan dan besaran biaya teknis serta skala keekonomiannya, barulah penilai di ujung paling bertugas merangkum semua nilai menjadi angka

expenditure, yang kemudian ditambahkan

dengan prediksi harga jual barang tambang sebagai komiditas di pasaran. “Teman-teman yang di profesi penilai tadi

menyambung-kan tahapan-tahapan tersebut,” pungkas Sukmandaru.

Pentingnya mengenali karakter usaha tambang juga diungkapkan Panca Jatmika, penilai anggota Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) yang sudah berpengala-man dalam melakukan kegiatan penilaian sektor pertambangan. “Pertama, penilai memang harus mengenal betul karakter usaha pertambangan. Menilai tambang itu tidak mudah, karena tidak semua pendeka-tan dapat dilakukan. Pemilihan pendekapendeka-tan harus disesuaikan dengan tahapan dan proses kegiatan penambangan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, di dalam pertambangan dikenal adanya tahap eksplorasi, eksploi-tasi, dan produksi. Dengan demikian, di tahap mana kegiatan tambang berada akan menentukan pendekatan yang dipilih untuk kegiatan penilaian; apakah akan menggu-nakan pendekatan pasar (market approach), pendekatan biaya (cost approach), atau pendekatan pendapatan (income approach). Sebagai contoh, jika menilai sebuah peru-sahaan pada tahap eksplorasi, pendekatan paling cocok menurut Panca adalah market

approach dan cost approach. “Tidak pas

kalau menggunakan income approach,” ujar Panca.

Alasannya, pada tahap eksplorasi itu belum bisa diperoleh laporan kandungan mineral di dalam tanah seperti apa dan belum teruji. Jika terpaksa harus menggunakan pendekatan pendapatan, misalnya, Panca mengingatkan agar penilai bertindak sangat hati-hati karena penilai harus bermain de-ngan harga proyeksi. Sebaliknya, pendekatan biaya dan pendekatan pasar lebih cocok digunakan lantaran bisa memanfaatkan data-data dalam veasibility study tambang yang bersangkutan.

Dari sisi teknis penilaian, menurut Panca, sebenarnya tak beda dengan melakukan penilaian di bidang atau sektor lain. Hanya, imbuhnya, jika memang tidak memiliki kemampuan teknis, penilai disarankan meng-gunakan tenaga ahli yang di lingkungan pertambangan disebut competent person.

Yang juga harus diperhatikan oleh penilai adalah apa yang dinilai dan untuk tujuan apa. Lazimnya, menurut Panca, tujuan penilaian ada dua, yaitu penilaian untuk transaksi jual beli dan laporan keuangan. Jika untuk lapo-ran keuangan karena sudah menggunakan

fair value (nilai wajar), menurut Panca, maka

seluruh akun pada balance sheet harus dinilai dengan fair value. Artinya, akun di sebelah kiri yang meliputi mining property atau

mineral property juga harus dinilai dengan fair value pula.

Tapi jika penilaian diperlukan untuk menilai saham dengan tujuan transaksi jual beli, menurut Panca, maka yang dinilai adalah akun di sebelah kanan balance sheet, untuk melihat posisi keuangan perusahaan guna menghitung nilai sahamnya. Dari posisi keuangan dikurangi kewajiban akan didapatkan nilai saham. Dalam konteks ini, imbuhnya, semua teknik penilaian bisa digunakan. Hanya, Panca mengingatkan, jika melakukan penilaian untuk laporan keuangan, penilai harus lebih berhati-hati lantaran harus menilai seluruh akun, baik nilai saham maupun seluruh aset perusahaan yang berupa mining property dengan karak-teristik khususnya.

Pentingnya mengenali karakteristik bisnis pertambangan, khususnya mineral, juga diungkapkan Wakil Ketua Program Pendidikan Designasi B MAPPI Rudi M Safrudin. Hanya, berbeda dengan Panca, Rudi lebih menekankan pemahaman pada karakteristik sumber daya mineral yang ter-batas sifatnya, terter-batas umurnya (life of

mi-ning), dan tak terbarukan. Dengan demikian,

jika menilai perusahaan pada umumnya bisa menggunakan teknik present value dari lima tahun ke depan, tidak demikian menilai pertambangan.

Sebagai contoh, bisa jadi semakin

ter-batas sumber dayanya, komoditas tambang mineral nilainya semakin tinggi. Tapi bisa juga terjadi sebaliknya. Misalnya, jika komoditas tambang mineral tersebut sudah ada penggantinya, maka meskipun sumber daya dan cadangan kian terbatas dan langka, nilainya tetap bisa merosot.

Hal kedua yang diingatkan Rudi adalah tingginya risiko di usaha pertambangan. Se-bagai contoh, risiko kegagalan terus mengintai di setiap tahapan kegiatan penambangan. Dengan demikian, penilai harus tetap me-waspadai setiap potensi risiko pada semua tahapan kegiatan tambang. Risiko paling tinggi, menurut Rudi, ada tahap eksplorasi. “Karena pada tahap ini memang belum meng-hasilkan,” katanya.

Meskipun tingkat kesulitan dan risiko-nya lebih tinggi, Panca dan Rudi sepakat bahwa penilaian di bidang usaha tambang mineral merupakan peluang baru dan sangat menjanjikan. Namun, keduanya mengakui bahwa para penilai di Indonesia memang belum banyak yang berpengalaman dalam penilaian tambang. Untuk itu, keduanya menyarankan agar kompetensi penilai di bidang pertambangan ditingkatkan, baik me-lalui program-program pendidikan singkat semacam pendidikan profesi lanjutan (PPL) yang diadakan MAPPI maupun melalui sarana-sarana pendidikan lain.

“Penilai itu bisa menilai apa saja, namun ia harus belajar di luar bidang keahliannya. Yang penting mau belajarlah, dipakainya kapan kita tidak tahu,” ujar Rudi. q

Smelter yang

Membikin Keder

Banyak perusahaan tambang yang kesulitan membangun

pabrik pemurnian dan pengolahan tambang mineral yang

popular disebut smelter. Apa susahnya membangun

smelter? Berapa modal yang diperlukan? Bagaimana nilai

keekonomiannya?

B

agi banyak pengusaha tam-bang mineral, hantu itu berna-ma smelter. Sebab, terhitung mulai Januari 2014, tanpa smelter mereka tak bisa lagi mengekspor hasil tambang, apalagi masih dalam bentuk barang tambang mentah (raw

material) seperti yang mereka lakukan

se-lama ini. Berdasarkan titah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertam-bangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), mulai 2014 semua produk tambang wajib diolah di dalam negeri untuk menjadi produk hilir, baru kemudian bisa dipasarkan baik

di dalam negeri maupun di luar negeri. Di samping itu, ekspor raw material atau hasil tambang tanpa nilai lebih diharamkan.

Nah, berdasarkan ketentuan UU tersebut, sebagai dampak dari kebijakan hilirisasi mineral, mau tak mau pengusaha tambang harus membangun pabrik pemurnian dan pengolahan alias smelter. Namun, ternyata, tak semua pengusaha tambang memiliki ke-sanggupan untuk memenuhi kewajiban itu. Pertama dan terutama karena soal besarnya modal atau biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah smelter. Kedua, infra-struktur pendukung masih belum memadai.

Tentang betapa mahalnya investasi yang diperlukan untuk membangun smelter dan perlunya dukungan infrastruktur dan sektor lain diungkapkan oleh Stefano Munir, seorang Senior Mining Engineer and Researcher in Coal and Mineral Technology. Peraih gelar doktor bidang teknologi pertambangan dari University of South Wales, Sydney, Australia ini menyebutkan bahwa masa depan sektor pertambangan nasional akan sangat tergan-tung pada kemajuan teknologi.

“Teknologi itu membutuhkan tiga M, yaitu Men, Machines, dan Money yang digunakan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan,” katanya. Dengan kemajuan teknologi, menurutnya, program hilirisasi mineral dapat dijalankan. Contohnya hiliri-sasi untuk tambang mineral, terutama yang mengandung logam bijih besi, misalnya. Bijih ini dapat diolah dan dimurnikan untuk peningkatan nilai tambah sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri peleburan logam (smelter).

Dia menjelaskan, suatu industri smelter membutuhkan kokas metalurgi. Sebagai contoh, suatu industri besi dan baja meng-konsumsi kokas dengan coke rate 450 -950 kg kokas/ton hot metal. Karena itu, untuk mendukung pembangunan industri smelter secara berkelanjutan, diperlukan industri pembuatan kokas metalurgi yang membu-tuhkan batu bara kokas sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian tampak jelas, selain biayanya mahal, pembangunan smelter masih membutuhkan dukungan infrastruktur dan sinergi dari sektor lain.

Karena itu, wajar jika hingga kini jumlah smelter di Indonesia dapat dihitung dengan jari dan sekitar 70 persen barang tambang masih diekspor dalam bentuk raw material. Sebagai contoh, untuk tembaga, di Indonesia hanya ada 1 smelter, PT Smelting Gresik yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Pada-hal, Indonesia memiliki sumber daya temba-ga mencapai 4,9 miliar ton dentemba-gan cadantemba-gan mencapai 4,1 miliar ton. Perusahaan smelter ini memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar satu juta ton. Konsentrat tembaga tersebut kemudian diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi per tahun berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton. Konsentrat tembaga yang diolah smelter ini sebagian besar berasal dari PT Freeport Indonesia dan sebagian kecil berasal dari PT Newmont Nusa Tenggara. Hasil produksi

smelter ini, sekitar 60 persen dijual di dalam negeri dan sisanya diekspor.

Contoh lain, meskipun, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memiliki sumber daya bijih nikel mencapai 2,6 miliar ton dengan cadangan mencapai 576 juta ton, di Indonesia saat ini hanya ada dua perusahaan smelter, yaitu FeNi PT Antam dengan kapasitas 2,95 juta ton dan Ni in Matte PT INCO dengan kapasitas sebesar 6,08 juta ton bijih.

Jadi, negara yang kaya akan sumber daya mineral ini ternyata miskin mesin pengolah-annya. Baru belakangan, sejak diterbitkannya UU Minerba pada 2009, pemerintah ingin menggalakkan pembangunan smelter yang langsung membikin banyak pengusaha tambang keder karena harus berhitung nilai investasi yang sangat besar. Sebagai contoh, PT Aneka Tambang (Antam) saat ini berencana membangun smelter nikel di Halmahera Timur dengan nilai investasi mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun. “Ya, investasinya memang sangat besar,” ujar Direktur Operasi PT Antam Tedy Badrujaman.

Investasi yang siap digelontorkan Antam tersebut boleh dibilang “tak seberapa” jika dibandingkan dengan yang direncanakan perusahaan lain. Menurut peneliti dan analis investasi pasar modal Wawan Hendrayana, seperti dikutip Kontan, untuk membangun smelter besi menjadi sponge iron dibutuhkan dana investasi sekitar 132 miliar dollar AS. Sedangkan, semlter besi menjadi ping iron membutuhkan investasi sebesar 165 miliar

dollar AS. Kemudian, investasi untuk smelter nikel menjadi feronikel mencapai 972 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Sedang-kan, untuk mengolah nikel menjadi HPAL (High Pressure Acid Leach) dibutuhkan dana sekitar 1.160 miliar dollar AS. Adapun untuk dan mengolah alumina menjadi smelter grade alumina membutuhkan investasi sebesar 1.662 miliar dollar AS.

Sebagai perbandingan, data di Ke-menterian Perindustrian pada akhir 2012 mencatat sedikitnya ada 5 investor asing yang akan berinvestasi membangun smelter di Indonesia pada 2013 ini dengan total nilai investasi 10 miliar dollar AS. Kelima investor tersebut berencana membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina

dengan kapasitas produksi sebesar 3 juta ton. Pembangunan satu smelter dengan kapasitas tersebut diperkirakan akan menelan biaya 2 miliar dollar AS.

Di samping itu, Kementerian Perindustri-an juga mencatat ada empat perusahaPerindustri-an yPerindustri-ang telah merealisasikan investasi pembangu-nan smelter, yaitu PT Krakatau Posco, PT Indonesia Chemical Alumina, PT Ferronikel Halmahera Timur, dan PT Batulicin Steel. PT Krakatau Posco telah berinvestasi sebesar 2,8 miliar dollar AS untuk proyek pabrik baja tahap I dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Sementara itu, PT Indonesia Chemical Alumina telah membangun pabrik Chemical Grade Alumina (CGA) berkapasitas 300 ribu ton per tahun dengan investasi 450 juta dollar

AS di Kalimantan Barat. Di Maluku Utara, PT Ferronikel Halmahera Timur membangun smelter berkapasitas 27.000 ton nikel per tahun dengan nilai investasi 1,6 miliar dol-lar AS. Di Kalimantan Selatan, PT Batulicin Steel membangun pabrik baja berkapasitas 1 juta ton per tahun dengan investasi tahap I senilai 500 juta dollar AS.

Besaran investasi yang tinggi tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius, baru untuk pembangunan smelter, belum termasuk pasokan listriknya dan infrastruktur lainnya. “Jika PLN tak sanggup memasok listrik karena keterba-tasan daya atau jaringan, berarti pengusaha tambang harus mengadakan sendiri pasokan listriknya, dan itu perlu investasi yang juga besar,” ujarnya.

Sementara untuk membuat smelter dengan spesifikasi yang ramah lingkungan dibutuhkan biaya sekitar Rp300 miliar. Hanya saja untuk membangun smelter ramah lingkungan tersebut harus ditopang dengan pasokan listrik yang besarnya sekitar 35x2 MW. Sedangkan untuk membangun pem-bangkit listrik dengan kapasitas 35x2 MW

tersebut diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp 1 triliun. “Apakah PLN siap ber-investasi sebesar itu dalam waktu singkat,” tambah Marulam.

Diakui Zardi, memang sudah banyak pengusaha tambang yang mengajukan rencana pembangunan smelter, baik yang tercatat di Kementerian ESDM maupun Kementerian Perindustrian. Namun, ia tak begitu optimis semua akan terealisasi tepat waktu. “Semua baru komitmen, baru ren-cana. Untuk target 2014, belum ada yang terealisasi,” ujarnya.

Anggota Dewan Penasihat MGEI yang juga ahli pertambangan Sukmandaru Pri-hatmoko menambahkan, kalau pun ada yang merealisasikan pembangunan smelter, pasti dilakukan oleh perusahaan-perusa-haan tambang yang besar dan mapan. Dan itu jumlahnya tidak banyak. Di Indonesia, menurutnya, kebanyakan usaha tambang berskala kecil. Dengan demikian, jika harus membangun smelter sendiri, nilai keekono-miannya masih diragukan, bahkan bisa jadi justru tidak feasible.

Memang terbuka kemungkinan peru-sahaan-perusahaan tambang berskala kecil

membentuk konsorsium dalam kerangka pembangunan smelter bersama. Perso-alannya, seringkali antarwilayah tambang lokasinya berjauhan dengan insfrastruktur transportasi yang juga tidak memadai. Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, membentuk konsorsium pun tetap belum tentu feasible. Jika ingin program hilirisasi berjalan se-perti dengan baik, Sukmandaru menyarankan

Dalam dokumen Media Penilai Edisi September / TH.VIII / (Halaman 12-61)

Dokumen terkait