• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Penilai Edisi September / TH.VIII /

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Media Penilai Edisi September / TH.VIII /"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Redaksi Media Penilai menerima tulisan, artikel, pengalaman profesional serta informasi terkait dengan profesi penilai. Diharapkan tulisan yang dikirim ke redaksi Media Penilai harap melampirkan identitas diri

beserta CV penulis. Terima kasih.

Pelindung: Pengurus Pusat MAPPI – Pemimpin Redaksi: Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI (Cert.) – Sekretaris Redaksi: R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.) – Dewan Redaksi: Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI (Cert.), Muhammad Adlan, M.Ec. Dev, SSi, MAPPI (Cert.), R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.), Ir. Budi Prasodjo, M.Ec. Dev. MAPPI (Cert.), Iwan Bachron, SE, MAPPI (Cert.), Yudistira Ananda, SE, Ak MAPPI (Cert.), Bunga Budiarti, SE – Redaksi: Suharto, Mukhlisin – Desain Grafis: Arif Maulana – Distribusi: Sekretaris MAPPI Alamat Redaksi: Wisma Penilai, Jl. Kalibata Raya No. 11-12 E Jakarta Selatan, Telp: 021-7949079, Fax: 021-7949081 – Website: www.mappi.or.id – e-mail: media_penilai@yahoo.com

Majalah Penilai diterbitkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), dibagikan secara gratis untuk kalangan anggota serta stakeholder profesi penilai

Masih tentang Bisnis Tambang

D

alam dua edisi berturut-turut, kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang. Jika pada edisi sebelumnya Majalah Media Penilai mengangkat topik tentang bisnis batu bara dan prospek jasa penilaiannya dalam rubrik Laporan Utama, kali ini yang diangkat adalah bisnis tambang mineral dan prospek jasa penilaiannya pula.

Sengaja kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang dalam edisi berurutan, meng-ingat baik bisnis tambang batu bara maupun tambang mineral telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi peluang baru yang sangat potensial bagi usaha jasa penilai, terutama dalam beberapa tahun ke depan.

Seperti halnya ketika mengangkat topik bisnis batu bara, dalam Laporan Utama kali ini kami juga kami juga membahas secara luas dan mendalam perihal perkembangan, proble-matika, dan prospek bisnis tambang mineral. Lebih-lebih, sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara yang diterbitkan pada 2009, larangan ekspor barang tambang mentah dan kewajiban mengolah semua barang tambang mineral di dalam negeri efektif berlaku mulai tahun 2014.

Kalangan profesi penilai yang mulai banyak terlibat dalam kegiatan penilaian di sektor pertambangan tentu harus memiliki referensi yang memadai akan seperti apa kondisi dan perkembangan bisnis tambang mineral dalam beberapa tahun ke depan. Informasi penting dan akurat sangat diperlukan agar para penilai dapat memberikan opini nilai yang tepat dan akurat pula dalam penilaian di bisnis tambang.

Itulah alasan kenapa dalam dua edisi berturut-turut ini kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang batu bara dan disusul dengan laporan tentang bisnis tambang mineral.

Selain itu, kami juga menurunkan laporan penting dan tergolong baru bagi profesi penilai dalam rubrik Laporan Khusus, yaitu tentang standar biaya teknik bangunan (BTB) serta standar umur bahan bangunan dan umur ekonomis bangunan. Di negara-negara lain, standar serupa sudah lama ada, dan para penilai memiliki panduan yang pasti dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Saat ini, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tengah memfinalisasi standar BTB dan umur bangunan dan umur ekonomis bangunan. Nanti, jika telah disahkan, para penilai ang-gota MAPPI akan memiliki standar yang sama dalam menilai BTB, umur bahan bangunan, dan umur ekonomis bangunan. Dengan demikian, akan ada keseragaman standar yang, pada giliran-nya, akan melahirkan opini nilai yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Apa saja standarnya merupakan bagian terpenting dalam Laporan Khusus kali ini.

Seperti biasa, kami juga menurunkan sejumlah informasi penting berkaitan dengan dinamika dunia profesi penilai dan sejumlah artikel yang berkaitan dengan profesi penilai. Semoga semua informasi yang kami sajikan dalam menambah khasanah pengetahuan dan memperkaya referensi bagi seluruh stake holder jasa penilaian. q

n LAPORAN UTAMA

5 – 12 Menimbang Masa Depan Bisnis Tambang

13 – 14 Mengenal Karakter Penilaian Bisnis Tambang 15 – 17 Smelter yang Membikin

Keder

18 – 19 Rupiah Terpuruk, Terbitlah Relaksasi

n WAWANCARA

20 – 24 “Mental Dagang yang Merusak Tambang Tambang”

n REGULASI

25 – 26 Lagi, Menyoal RUU Penilai 27 – 28 Nilai Wajar, Bagaimana

Menentukan

n ARTIKEL

29 – 35 Pengembangan Tabel Biaya dan Teknis Bangunan (BTB) 36 – 46 The Valuation Of Long Life

Mines: Current Issues And Methodologies

n LAPORAN KHUSUS

47 – 48 Penduan Menghitung Biaya Teknik Bangunan

49 – 51 Mengurai Umur dan Umur Ekonomis Bangunan

n TEKNOLOGI

52 – 54 Mengintip Biaya dan Teknik Penambangan Batu Bara

n INFO MAPPI

56 MAPPI Punya Konsultan Hukum

58 Sudah 514 Penilai Ikut Deseminasi SPI 2013

(6)

Menimbang Masa Depan

Bisnis Tambang

Larangan ekspor bahan tambang mentah mulai berlaku

Januari 2014. Namun, hingga kini program hilirisasi yang

mewajibkan seluruh hasil tambang diolah di dalam negeri

belum menampakkan hasil. Bagaimana nasib bisnis

tambang pasca-2014?

D

alam suatu kesempatan, sem-bari bersungut-sungut Men-teri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengungkapkan kemasygulannya. “Dari

pengecekan saya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, mereka ekspor bercam-pur dengan lumbercam-pur dan tanah. Sekitar 70 persen itu mengandung lumpur dan tanah, sementara hanya 30 persen sisanya yang

bisa diolah,” ujar Jero Wacik yang terekam pers di kantor Kementerian ESDM Jakarta, medio Juli 2013.

Pernyataan Wacik tersebut menggam-barkan, hasil tambang mentah yang diekspor ke berbagai negara tujuan sebenarnya hanya sekitar 30 persen yang mengandung mineral, selebihnya yang sekitar 70 persen justru berupa lumpur tanah. Artinya, nilai jual dan nilai lebih barang yang diekspor tersebut sangat rendah.

Sementara itu, pada satu kesempatan dalam rapat dengar pendapat dengan

(7)

De-wan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Thamrin Sihite, mengungkapkan, volume ekspor barang tambang mentah rata-rata mencapai 70 persen dari total produksi ba-rang tambang di Indonesia. “Saat ini baru 30 persen produksi tambang mineral di Indone-sia yang diolah oleh pabrik smelter di dalam negeri, sementara 70 persennya masih dijual mentah (raw material),” ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir tren kenaikan ekspor barang tambah mentah memang terbilang gila-gilaan. Kementerian ESDM, misalnya, mencatat dalam tiga tahun terakhir terjadi kenaikan ekspor bijih nikel 800 persen, bijih besi 700 persen, dan bijih bauksit 500 persen. “Ekspor terus menanjak dari tahun ke tahun. Ini angka yang kita dapat. Nah, kalau dibiarkan terus, bijih tambang kita akan habis,” Thamrin Sihite menegaskan. “Jangan sampai ‘tanah air’ kita juga dijual,” tandasnya.

Tren naik ekspor raw material terse-but juga terekam dalam data yang dilansir Kementerian Perdagangan. Hingga kuartal I/2013 saja, volume ekspor produk mine-ral mentah telah mencapai 30,73 juta ton, meningkat dari realisasi pada periode sama 2012 yang hanya 25,67 juta ton. Dari segi nilai juga terjadi kenaikan 36,21 persen (year on year) senilai 1,38 miliar dollar AS. Kementerian juga mencatat, pada periode itu peningkatan ekspor terbesar ada pada bijih tembaga dan konsentratnya, yakni 91,4 persen menjadi 266.064,11 ton atau setara dengan 582,02 juta dollar AS. Berikutnya

ekspor bijih nikel dan konsentratnya naik 61,15 persen menjadi 15,97 juta ton senilai 467,35 dollar AS disusul bijih besi dan kon-sentratnya naik 18,16 persen menjadi 4,1 juta ton atau setara 100,99 dollar AS.

Menjual “Tanah Air”

Yang membuat tren ini terlihat sebagai ironi, lonjakan ekspor tersebut justru terjadi ketika pemerintah mulai memberlakukan kebijakan ekspor untuk barang tambah men-tah dengan pengenaan bea keluar 20 persen. Pengenaan bea keluar tersebut sebenarnya hanya salah satu strategi pemerintah dalam menata sektor pertambangan, khususnya

usaha tambang mineral, melalui kebijakan hilirisasi. Penataan sektor pertambangan ini sesungguhnya dimulai ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Salah satu pasal dalam UU tersebut memuat tentang larangan ekspor

raw material mulai 2014 dan kewajiban

bagi perusahaan tambang untuk membangun smelter alias pabrik pemurnian dan pengo-lahan barang tambang. Dengan demikian, mulai 2014, seluruh barang tambang harus diolah dulu di dalam negeri dan baru boleh dijual di pasar ekspor ketika sudah menjadi produk hilir.

Untuk mendukung implementasi UU tersebut, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral pada Februari 2012. Sayang, beleid ini langsung menyulut protes dari kalangan pelaku usaha tambang lantaran dinilai “mendahului” UU. Sebab, menurut UU Minerba, larangan ekspor baru berlaku 2014. Sedangkan, peraturan menteri terse-but justru mempercepat pemberlakuannya. Celah lain dibuka. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan disusul ke-mudian dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75 Tahun

Jenis Komoditas Tambang Mineral Logam dan Bukan Logam Tertentu dan Batuan yang Wajib Dilakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian: I. Bijih:

a. tembaga; b. emas; c. perak d. timah; e. timbal dan seng; f. kromium; g. molibdenum; h. platinum group metal; i. bauksit; j. bijih besi; k. pasir besi; 1. nikel danl atau kobalt; m. mangan; dan n. antimon.

II. Jenis komoditas tambang mineral bukan logam tertentu:

a. kalsit (batu kapur/gamping); b. feldspar; c. kaolin; d. bentonit; e. zeolit; f. silika (pasir kuarsa); g. zirkon; dan h. intan.

III. Jenis komoditas tambang batuan tertentu :

a. toseki; b. marmer; c. onik; d. perlit; e. slate (batu sabak); f. granit; g. granodiorit; h. gabro; 1. peridotit; j. basalt; k. opal; l. kalsedon; m. chert (rijang); n. jasper; o. kriso-prase; p. garnet; q. giok; r. agat; dan s. topas.

(8)

2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Melalui Permendag dan PMK tersebut, pintu ekspor dipersempit. Misalnya, untuk bisa melakukan ekspor raw material, eks-portirnya harus mengantungi izin dari Ke-menterian Perdagangan (Kemendag). Salah satu syarat untuk memperoleh izin ekspor harus lebih dulu mengantungi rekomendasi dari Kementerian ESDM. Nah, di sinilah “liku-liku” dimulai. Sebab, untuk bisa mem-peroleh rekomendasi, pengekspor barang tambang tersebut statusnya harus “clear and

clean”. Pengusaha tambang juga harus telah

melunasi kewajiban pembayaran keuangan (royalti) pada negara, dan menyampaikan dokumen rencana kerja atau kerja sama pembangunan smelter.

Seperti diketahui, untuk mengurai karut marut masalah perizinan dan penguasaan tambang, Kementerian ESDM meng-gulirkan program uji “clear and clean”

guna memastikan apakah suatu perusahaan tambang bermasalah atau tidak, baik secara legal maupun administratif. Hasilnya, per 13 November 2012, dari total jumlah izin usaha penambangan (IUP) operasi dan produksi mineral sebanyak 3.946 izin, baru 1.833 izin yang telah berstatus “clean and clear”. Artinya, ada 1.642 perusahaan pemegang IUP yang tidak memenuhi syarat ekspor. Dari jumlah tersebut, perusahaan yang telah mengajukan rencana pengolahan dan pemur-nian mineral ternyata hanya 159 perusahaan pertambangan. Artinya, hanya sekitar 150-an perusahaan tambang yang memenuhi syarat diberi rekomendasi ekspor. Di saat yang sama, ada ribuan pemegang IUP yang tidak bisa lagi mengekspor bijih mineral.

Setelah memperoleh izin pun, nafsu ekspor masih dicegat dengan bea keluar sebesar 20 persen dari nilai total ekspor. Ada 65 jenis hasil tambang yang dikenakan bea keluar sebesar 20 persen ini, yaitu 21 logam, 10 nonlogam, dan 34 batu-batuan. Dengan

berbagai regulasi tersebut, jika sebelumnya pengusaha tambang bebas mengekspor dalam volume berapa pun, kini mulai di-batasi. Jumlah yang diekspor harus sesuai dengan rekomendasi dan persetujuan yang diberikan Kementerian ESDM.

Dengan demikian, diharapkan laju ekspor raw material benar-benar terkendali. Tidak jor-joran seperti beberapa tahun ter-akhir. Tapi, inilah ironinya: data menunjuk-kan, semakin dibatasi, volume ekspornya justru terus menanjak naik. Menurut Direktur Operasi PT Aneka Tambang (Antam) Tedy Badrujaman, ada sejumlah kemungkinan kenapa jor-joran ekspor raw material masih terus terjadi. Pertama, mumpung masih ada kesempatan, banyak pengusaha tambang me-manfaatkan waktu semaksimal mungkin un-tuk menggenjot produksi dan mendongkrak ekspor untuk memperbesar keuntungan.

Kedua, bisa jadi banyak pengusaha tambang memang sedang mengumpulkan modal untuk membangun smelter sehingga

Tabel 2.1. Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam

No. Komoditi Unit Sumber Daya Cadangan

1. Nikel Juta Ton Bijih : 1.878 Logam : 42 Bijih : 546,83 Logam : 8,7 2. Timah Juta Ton Bijih : 95 Logam : 0,65 Bijih : 0,54 Logam : 0,33 3. Bauksit Juta Ton Bijih : 726,58 Logam : 249,67 Bijih : 111,79 Logam : 65 4. Tembaga Juta Ton Bijih : 2.384 Logam : 69,76 Bijih : 4.229 Logam : 42,85 5. Emas Primer Ribu Ton Bijih : 1.980.234,64 Logam : 4,2 Bijih : 5.117.034,40 Logam : 4,3 6. Emas Alluvial Ribu Ton Bijih : 1.668.652,45 Logam : 0,14 Bijih : 16.789 Logam : 0,0038 7. Perak Juta Ton Bijih : 616,09 Logam : 0,5 Bijih : 4.773,06 Logam : 0,026 8. Pasir Besi Juta Ton Bijih : 1.014,79 Logam : 132,91 Bijih : 4.732 Logam : 2,41 9. Mangan Juta Ton Bijih : 10,62 Logam : 5,78 Bijih : 0,93 Logam : 0,59

10. Air Raksa Ton 75,91

-11. Besi Laterit Juta Ton Bijih : 1.565,19 Logam : 631,6 Bijih : 80,640 Logam : 18,08 12. Besi Primer Juta Ton Bijih : 382,24 Logam : 198,62 Bijih : 1,85 Logam : 1,38 13. Kobal Juta Ton Bijih : 1.263,33 Logam : 1,4 Bijih : 152,86 Logam : 0,22 14. Kromit Plaser Juta Ton Bijih : 5,7 Logam : 2,4 -

-15. Kromit Primer Juta Ton Bijih : 1,6 Logam : 0,75 -

-16. Molibdenum Juta Ton Bijih : 685 Logam : 0,21 -

-17. Monasit Ribu Ton Bijih : 185,9 Logam : 10,5 Bijih : - Logam : 2,7 18. Platina Ribu Ton Bijih : 115.000 Logam : 13,03 -

-19. Seng Juta Ton Bijih : 586,9 Logam : 6,78 Bijih : 6,7 Logam : 0,97 20. Timbal Juta Ton Bijih : 74,9 Logam : 3,1 Bijih : 1,6 Logam : 0,12 21. Titan Laterit Juta Ton Bijih : 741,2 Logam : 2,9 Bijih : 2,7 Logam : 0,026 22. Titan Plaser Juta Ton Bijih : 71,3 Logam : 71,3 Bijih : 1,4 Logam : 0,11 23. Besi Sedimen Juta Ton Bijih : 23,7 Logam : 15,4 -

(9)

berusaha memperbesar ekspor. “Tapi, yang banyak bermain sekarang ini adalah para pengusaha bermental dagang, semangatnya hanya menjual, menjual, dan menjual tanpa berpikir panjang. Yang penting untung be-sar. Mereka ini bukan penambang tulen,” ujarnya. “Tidak salah memang, karena aturannya masih memungkinkan. Tapi dalam jangka panjang itu merugikan,” imbuh Tedy Badrujaman.

Hal yang tak jauh berbeda juga diung-kapkan Sekretaris Jenderal Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius. Arif Zardi yang juga seorang pelaku usaha tambang mineral ini merasakan bahwa dalam lima tahun terakhir, sejak UU Minerba diundangkan, gairah ekspor barang tambang mentah justru menguat. Diakui Zardi, masa sebelum larangan ekspor ini resmi diberlakukan benar-benar dimanfaat-kan secara optimal oleh banyak pengusaha tambang untuk menjual hasil tambangnya ke berbagai negara tujuan. Terutama ke China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Baik sebelum dan sesudah adanya kebi-jakan kuota ekspor dan bea keluar untuk ba-rang tambang, menurut Zardi, kecenderungan ekspor raw material tak pernah mengendur. “Semua berlomba-lomba mengekspor,” tandas Zardi. Seperti halnya Tedy Badruja-man, Zardi juga melihat adanya sejumlah kemungkinan yang mendorong tingginya laju ekspor barang tambang mentah ini. Pertama, senyampang kebutuhan pasar ekspor akan barang tambang mentah masih tinggi, para pengusaha tambang memanfaatkan peluang itu untuk berburu keuntungan semata.

Namun, lanjutnya, ada juga yang melaku-kan ekspor sebagai bagian dari rencana perusahaan tambang untuk membangun smelter. Pada umumnya, demikian Zardi, pengusaha-pengusaha tambang yang meng-ajukan rekomendasi ke Kementerian ESDM sejak diberlakukan kuota ekspor mendalil-kan rencana pembangunan smelter sebagai alasannya. Namun, dalam prakteknya di lapangan sulit dipastikan apakah hasil ekspor

raw material tersebut benar-benar akan

di-manfaatkan untuk membangun smelter atau untuk kepentingan lain.

“Buktinya, progresnya bagaimana? Apakah sudah ada yang membangun smel-ter? Belum ada satu pun. Semua baru komit-men di atas kertas. Padahal, 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Belum ada yang siap,”

Zardi menjelaskan. Dilema Hilirisasi

Bagi anggota Dewan Penasihat MGEI Sukmandaru Prihatmoko, kebijakan larangan ekspor yang dalam prakteknya diubah men-jadi kuota ekspor, jika diterapkan secara kaku akan berdampak sangat serius bagi bisnis usaha tambang di Indonesia. Jika ekspor raw

material dihentikan begitu saja, menurutnya,

sangat banyak perusahaan tambang yang ter-pukul. Dampaknya, akan terjadi pengurangan produksi besar-besaran, bahkan bisa jadi tak sedikit perusahaan tambang yang berhenti beroperasi.

“Gejalanya sudah mulai terjadi di berba-gai daerah,” ujarnya. Menurut pengamatan Sukmandaru, sudah banyak perusahaan tambang yang mulai mengurangi produksi. Dampak lanjutannya, imbuh Sukmandaru, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor pertambangan mineral. “Program hilirisasi ini memang dilema. Jika dipaksakan secara kaku, banyak perusahaan tambang gulung tikar. Jika tidak ada hilirisasi, cadangan tambang akan habis tanpa memberi banyak nilai tambah,” jelas Sukmandaru.

Menurut Tedy Badrujaman, jika pertam-bangan nasional ditata dan dikelola dengan baik, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara terkuat dan terkaya di dunia. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan tambang yang sangat besar dan beraneka ragam. “Tinggal bagaimana kita memanfaatkan kekayaan tambang ini,” ujarnya.

Tabel 2.2. Sumber Daya Mineral Non-Logam

No. Komoditi Unit Sumber Daya

1. Bentonit Juta Ton 551.1

2. Dolomite Juta Ton 1,959.40

3. Fosfat Juta Ton 18.9

4. Gypsum Juta Ton 7.4

5. Kalsit Juta Ton 90.2

6. Kuartsit Juta Ton 3159

7. Oker Juta Ton 41.1

8. Pasir Kuarsa Juta Ton 17,489.90

9. Talk Juta Ton 3.1

10. Zeolit Juta Ton 258.1

11. Zirkon Juta Ton 1

12. Kaolin Juta Ton 732.8

13. Pirofilit Juta Ton 104.8

14. Intan Juta Ton 0.1

15. Kalsedon Juta Ton 1.7

16. Oniks Juta Ton 0.2

17. Rijang Juta Ton 0.6

18. Feldspar Juta Ton 7,411.20

Sumber: Badan Geologi, 2010

(10)

Hal yang sama diungkapakan Arif Zardi. Menurutnya, di sektor minyak dan gas (migas), harus diakui Indonesia masih kalah dengan negara-negara di Timur Te-ngah, Afrika, dan Amerika Latin. Namun,

Tabel 2.3. Sumber Daya Batuan

No. Komoditi Unit Sumber Daya

1. Batu Apung Juta Ton 621.4

2. Batu Gamping Juta Ton 253,585.60

3. Diatomia Juta Ton 370.6

4. Andesit Juta Ton 75,244.10

5. Batu Sabak Juta Ton 1,943.70

6. Diorit Juta Ton 7,629.30

7. Gabro/Peridotit Juta Ton 8,336.90

8. Granite Juta Ton 52,468.80

9. Granodiorite Juta Ton 371.00

10. Marmer Juta Ton 436.10

11. Trass Juta Ton 3,885.80

12. Batu Lempung Juta Ton 29,517.90

13. Obsidian Juta Ton 66.80

14. Perlit Juta Ton 1,205.60

15. Toseki Juta Ton 224.40

16. Trakhit Juta Ton 4,124.30

17. Ametis Juta Ton 0.008668

18. Batu Hias Juta Ton 108.30

19. Jasper Juta Ton 0.0006

Sumber: Badan Geologi, 2010 lanjutnya, di sektor pertambangan, untuk tambang timah, misalnya, Indonesia nomor dua di dunia. Untuk emas dan tembaga ma-suk lima besar dunia. “ Bahkan, komoditas tambang kita itu sebenarnya sangat world

class sekali,” katanya.

Berdasarkan data yang dimiliki Indo-nesia Mining Asosiation (IMA), IndoIndo-nesia menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara-negara yang kaya akan sumber daya tambang. Sebagai gambaran, berdasarkan data United States Geological Survey (USGS) atau Badan Survei Geologi Amerika Serikat, cadangan emas Indonesia sekitar 2,3 persen dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar ini, Indonesia menduduki peringkat ke-7 yang memiliki potensi emas terbesar di dunia. Sedangkan, produksi emas Indonesia sekitar 6,7 persen dari total produksi emas dunia dan menduduki pering-kat ke-6 di dunia.

Masih berdasarkan data USGS, untuk cadangan timah, Indonesia menduduki peringkat ke-5 atau sebesar 8,1 persen dari cadangan timah dunia. Sedangkan, produksi timah Indonesia menduduki peringkat ke-2 dengan besar produksi 26 persen dari jumlah produksi timah dunia. Adapun cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1 persen dari cadangan tembaga dunia dan menduduki peringkat ke-7. Produksi timah Indonesia mencapai 10,4 persen dari total produksi timah dunia dan merupakan peringkat ke-2. Sementara itu, untuk nikel, cadangan nikel Indonesia sekitar 2,9 persen dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8. Sedangkan, produksinya sebesar 8,6 persen dari total produksi nikel dunia dan meru-pakan peringkat ke-4 dunia.

Bandingkan, misalnya, dengan data sumber daya dan cadangan tambang yang dilansir Kementerian ESDM pada 2010. Menurut data Kementerian ESDM, sumber daya bijih emas primer sebesar 1.980 ribu ton dan logam emas primer 4,2 ribu ton. Sedangkan, cadangannya sebesar 5.117 ribu ton dan 4,3 ribu ton. Untuk bijih emas allu-vial sumber dayanya sebesar 1.688 ribu ton dan sumber daya logam emas alluvial 0,14 ribu ton. Sedangkan, cadangannya sebesar 16.789 ribu.

Sementara itu, untuk timah, Indonesia memiliki sumber daya sebesar 95 juta ton bijih timah dengan cadangan 0,54 juta ton. Untuk tembaga, Indonesia memiliki sumber daya bijih tembaga sebesar 2.384 juta ton dengan 4.299 juta ton. Untuk nikel, tercatat Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 1.878 juta ton dengan cadangan 546 juta ton. Indonesia juga kaya akan barang

(11)

Kondisi Penjualan Mineral Domestik 2005 - 2010

No. Commodity Unit 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Copper ton - - - 216,761 240,782 227,812

2. Gold kg 1,724 1,882 - 15,216 29,776 22,054

3. Silver kg 11,985 12,967 - 58,392 70,397 62,804

4. Tin metal ton 974 1,927 - 747 -

-5. Bauxite mt - - - -6. Ni + Co In matte ton - - - -7. Nickel ore wmt - - - -8. Ferro nickel mt - - - -9. Ni In Fe Ni ton - - - -10. Iron sand wmt 23,267 6,051 - - - -11. Granite ton 155,507 455,778 30,049 - - -12. Diamond crt - - -

-Sumber: Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2010 tambang lain seperti bauksit dan perak.

Sebagai contoh, sumber daya bijih bauksit mencapai 726 juta ton dengan cadangan 111,79 juta ton. Sedangkan, sumber daya bijih perak mencapai 616 juta ton dengan cadangan sebesar 4.773 juta ton.

Diperlukan Grand Design

Dengan sumber daya dan cadangan yang sangat besar, memang wajar jika volume produksi tambang Indonesia dari tahun ke tahun juga terus meningkat hingga menem-patkan Indonesia menduduki peringkat atas negara produsen berbagai barang tambang. Hanya, yang menjadi masalah, seperti diungkapkan Kepala Subdirektorat Penga-wasan Produksi dan Pemasaran Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Harsonyo P Wibowo, barang-barang tambang tersebut lebih ba-nyak yang diekspor sebagai barang tambang mentah tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. “Sehingga nilai tambahnya rendah,” katanya.

Karena itu, menurutnya, pemerintah sudah komit untuk melakukan penataan usaha tambang dengan menjalankan UU Minerba beserta berbagai regulasi yang mendukungnya. “Hingga saat ini, kebijakan masih mengacu pada UU Minerba. Mulai Januari 2014, tidak diizinkan lagi ekspor

raw material. Semua harus diolah di dalam

negeri,” tandas Harsonyo.

Ia optimis program hilirisasi akan berja-lan sesuai rencana. Apalagi, imbuhnya, para pengusaha tambang sudah diberi kesempatan

selama lima tahun guna mempersiapkan diri sejak UU Minerba diundangkan. Ia pun mengklaim hingga April 2013 sudah ada 285 proposal pendirian smelter yang diajukan kepada pemerintah. Dari jumlah tersebut, 24 di antaranya diajukan sebelum Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012 dikeluarkan. Selebihnya, sebanyak 254 proposal diajukan setelah Permen tersebut dikeluarkan.

Nah, bagi perusahaan tambang yang tidak mematuhi kebijakan tersebut, menu-rut Harsonyo, tidak bisa lagi melakukan ekspor dengan kemungkinan akan berhenti beroperasi. Jika kapasitas pengolahan di dalam negeri selama ini memang benar hanya 30 persen dari total produksi

tam-bang nasional, menurutnya, lebih baik yang 70 persen dari kapasitas produksi tersebut tidka usah ditambang. Artinya, ya yang 30 persen itu saja yang ditambang, selebihnya lebih baik dibiarkan dalam bentuk cadangan saja. “Toh, penerimaan negara dari tambang mineral relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan batu bara,” Harsonyo menjelaskan. Sebagai contoh, target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 33,1 triliun. Dari total target tersebut, yang berasal dari tambang mineral hanya Rp 4,97 triliun, sedangkan tambang batu bara sebesar Rp 28,14 triliun.

Karena itu, lanjut Harsonyo, jika pun akibat pemberlakuan UU Minerba tersebut

(12)

Kondisi Penjualan Mineral Ekspor 2005 - 2010

No. Commodity Unit 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Copper ton 1,054,778 816,181 785,552 450,661 698,190 597,231

2. Gold kg 140,321 85,176 119,637 57,475 102,081 76,421

3. Silver kg 306,603 244,144 268,051 172,484 303,346 197,212

4. Tin metal ton 66,920 61,422 63,679 50,198 55,355 208,473

5. Bauxite mt 1,039,380 1,536,542 964,282 893,088 445,662 164,498 6. Ni + Co In matte ton 77,218 72,879 77,838 74,030 67,782 77,035 7. Nickel ore wmt 2,688,477 4,309,134 6,907,459 5,342,924 4,901,699 2,760,344 8. Ferro nickel mt 24,463 - - - - -9. Ni In Fe Ni ton 4,930 13,389 17,548 17,025 14,191 9,303 10. Iron sand wmt - - - -11. Granite ton 3,856,074 5,160,623 684,948 - - -12. Diamond crt 24,075 47,039 10,411 32,748 -

-Sumber: Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2010 nantinya banyak perusahaan tambang

meng-hentikan kegiatan penambangan, negara juga tidak terlalu dirugikan. Selain itu, cadangan-nya juga tidak berkurang meskipun tidak ditambang. “Lebih baik cadangannya tidak ditambang dulu sampai semua ketentuan UU dijalankan, yaitu adanya pengolahan di dalam negeri,” tandas Harsonyo.

Jika Kementerian ESDM yakin program hilirisasi akan berjalan sesuai rencana, tidak demikian yang dirasakan oleh para pelaku di bidang pertambangan mineral. Sebaliknya, mereka menilai meskipun tenggat tinggal beberapa bulan lagi, baik para pelaku usaha

tambang maupun pemerintah sendiri belum siap. “Tidak ada progresnya, padahal tinggal beberapa bulan lagi,” ujar Sukmandaru.

Menurut Sukmandaru, hingga saat ini dipastikan belum ada pembangunan smelter baru, lebih-lebih yang dibangun oleh peru-sahaan-perusahaan tambang yang tergolong pemain baru. Pabrik pemurnian dan pe-ngolahan yang ada saat ini, menurutnya, merupakan pabrik lama dan dibangun oleh perusahaan-perusahaan tambang lama yang sudah mapan dan besar, seperti PT Antam. Bahkan, PT Freepot, raksasa tambang dari Amerika Serikat sekalipun, ternyata masih

keberatan dengan kewajiban membangun smelter sendiri.

“Kalau yang sekaliber Freepot saja begitu, bagaimana dengan perusahaan-peru-sahaan tambang yang kecil-kecil,” Sukman-daru menegaskan. Dia menilai ada sejumlah faktor yang membuat program hilirisasi tambang melalui pembangunan smelter ini. Pertama, faktor kemahalan biaya pembangu-nan smelter. Dengan biaya yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk satu smelter, menurutnya, bagi kebanyakan perusahaan tambang nasional modal yang diperlukan terlalu besar. Apalagi, rata-rata wilayah tambang mereka tergolong kecil dengan cadangan yang kecil pula.

Kedua, menurut Sukmandaru, skala ekonomi dari program pembangunan smelter hingga kini belum jelas benar. Menurutnya, belum pernah ada studi akademis yang mengitung skala ekonomi dari pembangu-nan smelter atau program hilirisasi tambang mineral. “Ini yang membuat pelaku tambang masih enggan fight,” tandasnya. Ketiga, du-kungan dari pemerintah masih dinilai masih kurang serius, baik dari segi regulasi maupun pengembangan insfrastruktur. “Regulasinya masih tumpang tindih. Kepastian hukumnya juga masih diragukan,” imbuh Sukman-daru.

Hal yang sama diungkapkan Arif Zardi. Jika pun ada perusahaan tambang nasio-nal yang membangun smelter, misalnya, bagaimana dengan pengadaan infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan, moda transportasi pengangkutan, dan ketersediaan

(13)

Produksi Barang Tambang Mineral, 1996-2011

Konsentrat Konsentrat Tahun Batu Bara Bauksit nikel emas Perak Granit Pasir Besi Tin Tembaga

(ton) (ton) (ton) (kg) (kg) (ton) (ton) (tonmetrik) (tonmetrik)

 0 332 0   3 2  3  2 0  2 0 2 0 2 30   0   2 00 0  2 2 3  2 2 32  2 0  03  2   0   0 0  0  2 3 0 23 2 33   2  0  3 0 2 0 00  2 0 23   323 2   2  3 3  20  02   0 2  0 2000  0   0  2 3  0 2 30 30   30 20   30 3 20 33 200  02   23 00 2 3 2  2 333  3  2 0    2  0 2002 0 3 30  23  2 20 2 0 2 2 03 3  3 0   2 2  0 2003 3 2 3  22 0 2  2 3  22 00 3 3  2   3 3 23 30 200 2  0  33  2 0    2 03  03 00  3 3 00 2 2  200   233    3 0  2  32 3  302   0  0 3 3 0 200 2 2  2  30 3  3 3 2 20 2       00   200  3 0  2   2 0   2   3 0  3  2   200  30   2 322     30 22 0 2 00 000   2  20  0 200 22 0  3 2    0  3  na   0  02 3 3 200 32 32 3 2 200 000   32  2 33 00 2 2 00   0   3 2 20   0 2  0 2 2 2  220 22 3 3 3 3     00  2 23 Keterangan:

Sumber: Publikasi Statistik Pertambangan Non Minyak dan Gas Bumi

Data Target Produksi Mineral Nasional (Ton)

Bijih Nikel 34 Juta

Bauksit 10 Juta

Bijih Besi 5 Juta

Nikel 72 Ribu

Feronikel 19 Ribu

Tembaga 674 Ribu

Emas 66

Perak 250

sumber energi, dalam hal ini listrik. Sebab, demikian Zardi menggambarkan, kebanya-kan wilayah tambang mineral berada di

remote area atau daerah yang jauh di

pedala-man dengan dukungan infrastruktur nol. Kalau pun ada yang membangun smelter, menurut Zardi, bagaimana dengan pasokan listriknya karena kebutuhan energinya sangat besar. Pengalaman selama ini, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak sanggup menyu-plai kebutuhan listrik untuk daerah-daerah pertambangan. Selain kebutuhan energinya sangat besar, lokasinya pun berada jauh di luar jangkauan jaringan kelistrikan PLN. “Kalau untuk suplai energinya juga harus membangun sendiri, beban terlalu berat dan risikonya terlalu besar buat pengusaha,” ujar Zardi.

Ketidaksiapan infrastruktur tersebut, Zardi menambahkan, menunjukkan dua hal. Pertama, dukungan pemerintah belum maksi-mal. Kedua, belum adanya perencanaan yang matang, baik secara khusus terkait program hilirisasi tambang mineral maupun secara umum dalam hal strategi pengembangan industri pertamnbangan nasional ke depan.

Zardi menjelaskan lebih jauh,

misal-nya, selain harus lebih mempersiapkan infrastrukturnya, program hilirisasi tambang mineral ini juga harus didukung dengan rencana pengembangaan industri manufaktur dalam negeri yang matang pula. Dengan demikian, imbuh Zardi, ada keterkaitan dan ketersinambungan antara industri tambang mineral dengan industri manufaktur di dalam negeri. “Jadi, semestinya jauh-jauh hari pemerintah sudah membuat kebijakan dan perencanaan yang matang dan komprehensif, katakanlah dibuat dulu grand design dan

road map pengembangan tambang mineral

seperti apa. Tidak seperti sekarang ini, pe-rencanaan belum matang dan masih ad hoc sifatnya,” jelas Zardi.

Kebutuhan akan adanya grand design dan road map pengembangan industri tambang nasional juga dilontarkan Tedy Badrujaman. Jika tidak dipandu dengan

grand design dan road map yang

kompre-hensif yang didasarkan pada visi jauh ke depan, menurutnya, akan sulit menata dan memajukan sektor pertambangan nasional. “Ya akan tetap begini-begini saja. Cadangan habis tanpa banyak memberi nilai tambah dan manfaat,” ujarnya.

Program hilirisasi tanpa perencanaan yang matang, menurut Sukmandaru, akan membuat usaha tambang mineral nasional limbung, mengalami titik balik. Sukmandaru melihat bisnis tambang mineral ini akan segera memasuki masa-masa suram akibat kebijakan hilirisasi tanpa dibarengi dengan perencanaan matang. Tapi, jika pemerintah segera sadar untuk lekas melakukan perbai-kan, Arif Zardi optimistis masa depan bisnis tambang mineral akan sangat cerah. “Ter-gantung seperti apa pemerintah membuat perbaikan kebijakan dan perencanaannya,” tandas Zardi. q

(14)

Mengenal Karakter Penilaian

Bisnis Tambang

Penilaian di lingkungan usaha tambang mineral merupakan

peluang baru bagi profesi penilai. Selain kompetensi dan

profesionalitas, diperlukan kesanggupan penilai untuk

mengenali karakter industri pertambangan. Bagaimana

caranya?

B

egitu banyak profesional, ahli, atau competent person terlibat di dalam kegiatan usaha tambang, baik tambang mineral maupun batu bara. Di mana posisi penilai? Pertanyaan tersebut menjadi penting lantaran sangat langka, bahkan nyaris mustahil, seseorang yang berprofesi sebagai penilai sekaligus memiliki kompetensi teknis di bidang per-tambangan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penjelasan anggota Dewan Pena-sihat yang juga mantan Ketua Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko layak diikuti.

Diakui Sukmandaru, Indonesia memang memiliki sumber daya dan cadangan mineral yang sangat besar dan beragam, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Namun, menu-rutnya, masa depan usaha tambang mineral di Indonesia masih banyak lubangnya. Jika salah dalam membuat kebijakan dan menen-tukan langkah, usaha ini bisa hancur atau, paling tidak, masa depannya suram dan sulit diprediksi.

Itu yang pertama. Kedua, usaha tam-bang mineral meliputi banyak tahapan baik berkaitan dengan tahapan-tahapan teknis penambangan maupun proses legalnya yang

terkait dengan perizinan. Seorang penilai, menurutnya, memang tidak mungkin memi-liki kompetensi di semua tahapan tersebut. Tapi, menurutnya, semua proses dan tahapan dari rangkaian kegiatan usaha tambang ha-rus dipahami oleh seorang penilai. Dengan demikian, seorang penilai akan bisa me-nempatkan posisinya dengan benar dalam melaksanakan kegiatan penilaian.

Sukmandaru memberi contoh, untuk memastikan dan menghitung barang tam-bang yang masih terdapat di dalam perut bumi, misalnya, yang berkompeten adalah para ahli geologi. Mereka ini tergabung dalam sejumlah asosiasi yang memiliki fungsi berbeda-beda, seperti MGEI, Ika-tan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), dan Perhimpunan Ahi Pertambangan Indonesia (PERHAPI). Termasuk, bagaimana cara mengambil barang tambang yang ada di perut bumi atau teknik penambangan, penentuan kualitas, menghitung volume cadangan dan menaksir harganya diakui masih menjadi wilayah mereka, ahli geologi maupuh ahli pertambangan.

Nah, ketika sudah menjadi komoditas siap jual, menurut Sukmandaru, bagaimana menghitung atau menentukan nilai jualnya sudah menjadi wilayah profesi penilai. “Cara memasukan angka-angka ekonomis berdasar-kan nilai harga jual itu yang bisa melakuberdasar-kan ya para penilai,” ujar Sukmandaru.

Jadi, menurut Sukmandaru, dari rang-kaian proses kegiatan usaha tambang tadi, posisi profesi penilai berada di titik paling ujung kanan. Di ujung paling kiri adalah ahli geologi, yang mengendus sumber daya dan cadangan mineral, ke sebelah kanan menjadi wilayah kerja ahli pertambangan untuk me-nentukan teknis penambangan dan besaran biaya teknis serta skala keekonomiannya, barulah penilai di ujung paling bertugas merangkum semua nilai menjadi angka

expenditure, yang kemudian ditambahkan

dengan prediksi harga jual barang tambang sebagai komiditas di pasaran. “Teman-teman yang di profesi penilai tadi

(15)

menyambung-kan tahapan-tahapan tersebut,” pungkas Sukmandaru.

Pentingnya mengenali karakter usaha tambang juga diungkapkan Panca Jatmika, penilai anggota Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) yang sudah berpengala-man dalam melakukan kegiatan penilaian sektor pertambangan. “Pertama, penilai memang harus mengenal betul karakter usaha pertambangan. Menilai tambang itu tidak mudah, karena tidak semua pendeka-tan dapat dilakukan. Pemilihan pendekapendeka-tan harus disesuaikan dengan tahapan dan proses kegiatan penambangan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, di dalam pertambangan dikenal adanya tahap eksplorasi, eksploi-tasi, dan produksi. Dengan demikian, di tahap mana kegiatan tambang berada akan menentukan pendekatan yang dipilih untuk kegiatan penilaian; apakah akan menggu-nakan pendekatan pasar (market approach), pendekatan biaya (cost approach), atau pendekatan pendapatan (income approach). Sebagai contoh, jika menilai sebuah peru-sahaan pada tahap eksplorasi, pendekatan paling cocok menurut Panca adalah market

approach dan cost approach. “Tidak pas

kalau menggunakan income approach,” ujar Panca.

Alasannya, pada tahap eksplorasi itu belum bisa diperoleh laporan kandungan mineral di dalam tanah seperti apa dan belum teruji. Jika terpaksa harus menggunakan pendekatan pendapatan, misalnya, Panca mengingatkan agar penilai bertindak sangat hati-hati karena penilai harus bermain de-ngan harga proyeksi. Sebaliknya, pendekatan biaya dan pendekatan pasar lebih cocok digunakan lantaran bisa memanfaatkan data-data dalam veasibility study tambang yang bersangkutan.

Dari sisi teknis penilaian, menurut Panca, sebenarnya tak beda dengan melakukan penilaian di bidang atau sektor lain. Hanya, imbuhnya, jika memang tidak memiliki kemampuan teknis, penilai disarankan meng-gunakan tenaga ahli yang di lingkungan pertambangan disebut competent person.

Yang juga harus diperhatikan oleh penilai adalah apa yang dinilai dan untuk tujuan apa. Lazimnya, menurut Panca, tujuan penilaian ada dua, yaitu penilaian untuk transaksi jual beli dan laporan keuangan. Jika untuk lapo-ran keuangan karena sudah menggunakan

fair value (nilai wajar), menurut Panca, maka

seluruh akun pada balance sheet harus dinilai dengan fair value. Artinya, akun di sebelah kiri yang meliputi mining property atau

mineral property juga harus dinilai dengan fair value pula.

Tapi jika penilaian diperlukan untuk menilai saham dengan tujuan transaksi jual beli, menurut Panca, maka yang dinilai adalah akun di sebelah kanan balance sheet, untuk melihat posisi keuangan perusahaan guna menghitung nilai sahamnya. Dari posisi keuangan dikurangi kewajiban akan didapatkan nilai saham. Dalam konteks ini, imbuhnya, semua teknik penilaian bisa digunakan. Hanya, Panca mengingatkan, jika melakukan penilaian untuk laporan keuangan, penilai harus lebih berhati-hati lantaran harus menilai seluruh akun, baik nilai saham maupun seluruh aset perusahaan yang berupa mining property dengan karak-teristik khususnya.

Pentingnya mengenali karakteristik bisnis pertambangan, khususnya mineral, juga diungkapkan Wakil Ketua Program Pendidikan Designasi B MAPPI Rudi M Safrudin. Hanya, berbeda dengan Panca, Rudi lebih menekankan pemahaman pada karakteristik sumber daya mineral yang ter-batas sifatnya, terter-batas umurnya (life of

mi-ning), dan tak terbarukan. Dengan demikian,

jika menilai perusahaan pada umumnya bisa menggunakan teknik present value dari lima tahun ke depan, tidak demikian menilai pertambangan.

Sebagai contoh, bisa jadi semakin

ter-batas sumber dayanya, komoditas tambang mineral nilainya semakin tinggi. Tapi bisa juga terjadi sebaliknya. Misalnya, jika komoditas tambang mineral tersebut sudah ada penggantinya, maka meskipun sumber daya dan cadangan kian terbatas dan langka, nilainya tetap bisa merosot.

Hal kedua yang diingatkan Rudi adalah tingginya risiko di usaha pertambangan. Se-bagai contoh, risiko kegagalan terus mengintai di setiap tahapan kegiatan penambangan. Dengan demikian, penilai harus tetap me-waspadai setiap potensi risiko pada semua tahapan kegiatan tambang. Risiko paling tinggi, menurut Rudi, ada tahap eksplorasi. “Karena pada tahap ini memang belum meng-hasilkan,” katanya.

Meskipun tingkat kesulitan dan risiko-nya lebih tinggi, Panca dan Rudi sepakat bahwa penilaian di bidang usaha tambang mineral merupakan peluang baru dan sangat menjanjikan. Namun, keduanya mengakui bahwa para penilai di Indonesia memang belum banyak yang berpengalaman dalam penilaian tambang. Untuk itu, keduanya menyarankan agar kompetensi penilai di bidang pertambangan ditingkatkan, baik me-lalui program-program pendidikan singkat semacam pendidikan profesi lanjutan (PPL) yang diadakan MAPPI maupun melalui sarana-sarana pendidikan lain.

“Penilai itu bisa menilai apa saja, namun ia harus belajar di luar bidang keahliannya. Yang penting mau belajarlah, dipakainya kapan kita tidak tahu,” ujar Rudi. q

(16)

Smelter yang

Membikin Keder

Banyak perusahaan tambang yang kesulitan membangun

pabrik pemurnian dan pengolahan tambang mineral yang

popular disebut smelter. Apa susahnya membangun

smelter? Berapa modal yang diperlukan? Bagaimana nilai

keekonomiannya?

B

agi banyak pengusaha tam-bang mineral, hantu itu berna-ma smelter. Sebab, terhitung mulai Januari 2014, tanpa smelter mereka tak bisa lagi mengekspor hasil tambang, apalagi masih dalam bentuk barang tambang mentah (raw

material) seperti yang mereka lakukan

se-lama ini. Berdasarkan titah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertam-bangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), mulai 2014 semua produk tambang wajib diolah di dalam negeri untuk menjadi produk hilir, baru kemudian bisa dipasarkan baik

di dalam negeri maupun di luar negeri. Di samping itu, ekspor raw material atau hasil tambang tanpa nilai lebih diharamkan.

Nah, berdasarkan ketentuan UU tersebut, sebagai dampak dari kebijakan hilirisasi mineral, mau tak mau pengusaha tambang harus membangun pabrik pemurnian dan pengolahan alias smelter. Namun, ternyata, tak semua pengusaha tambang memiliki ke-sanggupan untuk memenuhi kewajiban itu. Pertama dan terutama karena soal besarnya modal atau biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah smelter. Kedua, infra-struktur pendukung masih belum memadai.

Tentang betapa mahalnya investasi yang diperlukan untuk membangun smelter dan perlunya dukungan infrastruktur dan sektor lain diungkapkan oleh Stefano Munir, seorang Senior Mining Engineer and Researcher in Coal and Mineral Technology. Peraih gelar doktor bidang teknologi pertambangan dari University of South Wales, Sydney, Australia ini menyebutkan bahwa masa depan sektor pertambangan nasional akan sangat tergan-tung pada kemajuan teknologi.

“Teknologi itu membutuhkan tiga M, yaitu Men, Machines, dan Money yang digunakan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan,” katanya. Dengan kemajuan teknologi, menurutnya, program hilirisasi mineral dapat dijalankan. Contohnya hiliri-sasi untuk tambang mineral, terutama yang mengandung logam bijih besi, misalnya. Bijih ini dapat diolah dan dimurnikan untuk peningkatan nilai tambah sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri peleburan logam (smelter).

Dia menjelaskan, suatu industri smelter membutuhkan kokas metalurgi. Sebagai contoh, suatu industri besi dan baja meng-konsumsi kokas dengan coke rate 450 -950 kg kokas/ton hot metal. Karena itu, untuk mendukung pembangunan industri smelter secara berkelanjutan, diperlukan industri pembuatan kokas metalurgi yang membu-tuhkan batu bara kokas sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian tampak jelas, selain biayanya mahal, pembangunan smelter masih membutuhkan dukungan infrastruktur dan sinergi dari sektor lain.

Karena itu, wajar jika hingga kini jumlah smelter di Indonesia dapat dihitung dengan jari dan sekitar 70 persen barang tambang masih diekspor dalam bentuk raw material. Sebagai contoh, untuk tembaga, di Indonesia hanya ada 1 smelter, PT Smelting Gresik yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Pada-hal, Indonesia memiliki sumber daya temba-ga mencapai 4,9 miliar ton dentemba-gan cadantemba-gan mencapai 4,1 miliar ton. Perusahaan smelter ini memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar satu juta ton. Konsentrat tembaga tersebut kemudian diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi per tahun berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton. Konsentrat tembaga yang diolah smelter ini sebagian besar berasal dari PT Freeport Indonesia dan sebagian kecil berasal dari PT Newmont Nusa Tenggara. Hasil produksi

(17)

smelter ini, sekitar 60 persen dijual di dalam negeri dan sisanya diekspor.

Contoh lain, meskipun, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memiliki sumber daya bijih nikel mencapai 2,6 miliar ton dengan cadangan mencapai 576 juta ton, di Indonesia saat ini hanya ada dua perusahaan smelter, yaitu FeNi PT Antam dengan kapasitas 2,95 juta ton dan Ni in Matte PT INCO dengan kapasitas sebesar 6,08 juta ton bijih.

Jadi, negara yang kaya akan sumber daya mineral ini ternyata miskin mesin pengolah-annya. Baru belakangan, sejak diterbitkannya UU Minerba pada 2009, pemerintah ingin menggalakkan pembangunan smelter yang langsung membikin banyak pengusaha tambang keder karena harus berhitung nilai investasi yang sangat besar. Sebagai contoh, PT Aneka Tambang (Antam) saat ini berencana membangun smelter nikel di Halmahera Timur dengan nilai investasi mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun. “Ya, investasinya memang sangat besar,” ujar Direktur Operasi PT Antam Tedy Badrujaman.

Investasi yang siap digelontorkan Antam tersebut boleh dibilang “tak seberapa” jika dibandingkan dengan yang direncanakan perusahaan lain. Menurut peneliti dan analis investasi pasar modal Wawan Hendrayana, seperti dikutip Kontan, untuk membangun smelter besi menjadi sponge iron dibutuhkan dana investasi sekitar 132 miliar dollar AS. Sedangkan, semlter besi menjadi ping iron membutuhkan investasi sebesar 165 miliar

dollar AS. Kemudian, investasi untuk smelter nikel menjadi feronikel mencapai 972 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Sedang-kan, untuk mengolah nikel menjadi HPAL (High Pressure Acid Leach) dibutuhkan dana sekitar 1.160 miliar dollar AS. Adapun untuk dan mengolah alumina menjadi smelter grade alumina membutuhkan investasi sebesar 1.662 miliar dollar AS.

Sebagai perbandingan, data di Ke-menterian Perindustrian pada akhir 2012 mencatat sedikitnya ada 5 investor asing yang akan berinvestasi membangun smelter di Indonesia pada 2013 ini dengan total nilai investasi 10 miliar dollar AS. Kelima investor tersebut berencana membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina

dengan kapasitas produksi sebesar 3 juta ton. Pembangunan satu smelter dengan kapasitas tersebut diperkirakan akan menelan biaya 2 miliar dollar AS.

Di samping itu, Kementerian Perindustri-an juga mencatat ada empat perusahaPerindustri-an yPerindustri-ang telah merealisasikan investasi pembangu-nan smelter, yaitu PT Krakatau Posco, PT Indonesia Chemical Alumina, PT Ferronikel Halmahera Timur, dan PT Batulicin Steel. PT Krakatau Posco telah berinvestasi sebesar 2,8 miliar dollar AS untuk proyek pabrik baja tahap I dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Sementara itu, PT Indonesia Chemical Alumina telah membangun pabrik Chemical Grade Alumina (CGA) berkapasitas 300 ribu ton per tahun dengan investasi 450 juta dollar

(18)

AS di Kalimantan Barat. Di Maluku Utara, PT Ferronikel Halmahera Timur membangun smelter berkapasitas 27.000 ton nikel per tahun dengan nilai investasi 1,6 miliar dol-lar AS. Di Kalimantan Selatan, PT Batulicin Steel membangun pabrik baja berkapasitas 1 juta ton per tahun dengan investasi tahap I senilai 500 juta dollar AS.

Besaran investasi yang tinggi tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius, baru untuk pembangunan smelter, belum termasuk pasokan listriknya dan infrastruktur lainnya. “Jika PLN tak sanggup memasok listrik karena keterba-tasan daya atau jaringan, berarti pengusaha tambang harus mengadakan sendiri pasokan listriknya, dan itu perlu investasi yang juga besar,” ujarnya.

Sementara untuk membuat smelter dengan spesifikasi yang ramah lingkungan dibutuhkan biaya sekitar Rp300 miliar. Hanya saja untuk membangun smelter ramah lingkungan tersebut harus ditopang dengan pasokan listrik yang besarnya sekitar 35x2 MW. Sedangkan untuk membangun pem-bangkit listrik dengan kapasitas 35x2 MW

tersebut diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp 1 triliun. “Apakah PLN siap ber-investasi sebesar itu dalam waktu singkat,” tambah Marulam.

Diakui Zardi, memang sudah banyak pengusaha tambang yang mengajukan rencana pembangunan smelter, baik yang tercatat di Kementerian ESDM maupun Kementerian Perindustrian. Namun, ia tak begitu optimis semua akan terealisasi tepat waktu. “Semua baru komitmen, baru ren-cana. Untuk target 2014, belum ada yang terealisasi,” ujarnya.

Anggota Dewan Penasihat MGEI yang juga ahli pertambangan Sukmandaru Pri-hatmoko menambahkan, kalau pun ada yang merealisasikan pembangunan smelter, pasti dilakukan oleh perusahaan-perusa-haan tambang yang besar dan mapan. Dan itu jumlahnya tidak banyak. Di Indonesia, menurutnya, kebanyakan usaha tambang berskala kecil. Dengan demikian, jika harus membangun smelter sendiri, nilai keekono-miannya masih diragukan, bahkan bisa jadi justru tidak feasible.

Memang terbuka kemungkinan peru-sahaan-perusahaan tambang berskala kecil

membentuk konsorsium dalam kerangka pembangunan smelter bersama. Perso-alannya, seringkali antarwilayah tambang lokasinya berjauhan dengan insfrastruktur transportasi yang juga tidak memadai. Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, membentuk konsorsium pun tetap belum tentu feasible. Jika ingin program hilirisasi berjalan se-perti dengan baik, Sukmandaru menyarankan pemerintah mencari solusi yang tepat dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pertambang mineral. “Ajak semua bicara untuk mencari solusi bersama-sama,” ujarnya.

Tedy Badrujaman menawarkan opsi yang cukup menarik. Untuk kepentingan nasional, ada baiknya dipikirkan bagaimana jika pemerintah sendiri yang memelopori pembangunan smelter, tentu dengan pe-rencanaan dan perhitungan yang matang. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan tambang berskala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan tinggal mengirimkan bahan tambangnya ke smelter milik pemerintah. “Jika opsi ini diterima dan berhasil, pasti akan menular dan berdampak positif,” ujar Tedy Badrujaman. q

(19)

Rupiah Terpuruk,

Terbitlah Relaksasi

Di tengah pembatasan ekspor barang tambang mineral

mentah, tiba-tiba nilai tukar rupiah terhadap dollar AS

terpuruk. Untuk memperkuat cadangan devisa, pemerintah

melonggarkan aturan ekspor barang tambang mentah (raw

material). Tapi, efektivitasnya diragukan.

D

i tengah gejolak nilai tukar ru-piah, para pengusaha tambang sibuk melakukan revisi rencana bisnis. Tujuannya tak lain untuk memanfaatkan peluang setelah pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional akibat guncangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Salah satu isi paket ekonomi tersebut adalah kebijakan relaksasi atau pelongga-ran ekspor raw material, yang sejak 2012 diperketat melalui kebijakan kuota ekspor dan pengenaan bea keluar. Dengan relaksasi, maka pintu ekspor untuk barang tambang mentah kembali dibuka lebar-lebar agar semakin banyak devisa masuk. Melalui ke-bijakan ini, diharapkan nilai rupiah kembali

menguat dan ketahanan ekonomi nasional terjaga.

Diakui Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dede Ida Suhendra, seperti dikutip bisnis.com medio Septem-ber 2013, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi tersebut, banyak peru-sahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mengajukan revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB). Diharapkan, melalui kebijakan ini realisasi ekspor hasil tambang mineral semakin optimal. “Tiap hari banyak perusahaan yang mengajukan RKAB,” ujarnya.

Revisi rencana bisnis memang menjadi salah satu syarat bagi perusahaan pemegang IUP untuk dapat memanfaatkan kebijakan relaksasi ini. Sebab, selama ini pelaksanaan ekspor sudah diatur melalui kebijakan kuota ekspor dan pengenaan bea keluar di mana jatah ekspor bagi setiap perusahaan tambang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM. Dengan demikian, jika hendak menambah volume ekspor, setiap perusahaan pemegang IUP memang harus mengubah RKAB.

Jika RKAB disetujui, dengan sendirinya perusahaan pemegang IUP dapat mening-katkan jumlah ekspor sesuai dengan RKAB yang baru. Namun, bukan berarti relaksasi tersebut membatalkan kebijakan pemerintah soal larangan ekspor barang tambang men-tah mulai Januari 2014 seperti diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan Batu Bara.

Pemerintah akan tetap memberlaku-kan larangan ekspor sesuai ketentuan UU Mineral dan Batu Bara. Dengan demikian, relaksasi ini hanya akan berlangsung hingga akhir tahun 2013, dan mulai 2014 larangan ekspor raw material tetap berlaku, karena semua barang tambang mineral harus sudah diolah di dalam negeri melalui program hilirisasi.

Karena relaksasi hanya berlaku hingga akhir 2013, alias tiga bulan ke depan, sejumlah kalangan meragukan efektivitas kebijakan tersebut. Salah satunya datang dari Ketua Umum Indonesian Mining Association (IMA) Martiono Hadianto. Menurutnya, jika tujuannya untuk meningkatkan besarnya de-visa negara, kebijakan ini tidak akan ampuh. Sebab, peningkatan produksi dalam waktu yang singkat dari komoditas tembaga, emas, dan bijih besi akan sulit dilakukan lantaran

(20)

kondisi areal pertambangan. Meski begitu, untuk komoditas nikel dan bauksit masih ada kesempatan. Sebab, kondisi areal per-tambangan kedua komoditas tersebut tidak terlalu sulit untuk ditingkatkan kapasitas produksinya.

Sejumlah Rencana Bisnis

Meskipun kondisi usaha pertambangan mineral tidak menentu mendekati tenggat implementasi program hilirisasi, sejumlah perusahaan pemegang IUP telah menyusun rencana bisnis yang boleh dibilang optimis-tis. PT Aneka Tambang (Antam), misalnya, tahun 2013 ini menargetkan adanya pening-katan produksi emas 16,4 persen dibanding-kan dengan tahun 2012. Tahun lalu, produksi emas Antam sebesar 2.849 kilogram dan akan ditingkatkan menjadi 3.316 kilogram ta-hun ini. Untuk memenuhi target itu, produksi pabrik emas Antam di Pongkor, Jawa Barat, akan digenjot.

Produksi tambang emas Aneka Tam-bang di Pongkor ditargetkan sebesar 2.001 kilogram, naik 17,7% year-on-year dari 1.700, sedangkan produksi tambang emas di Cibaliung, Banten, ditargetkan naik menjadi 1.315 kilogram dibandingkan tahun lalu yang sebesar 1.149 kilogram. Tahun lalu, penjualan emas Aneka Tambang mencapai 7.024 kilogram dengan nilai penjualan sebesar Rp 3,36 triliun, naik tipis dari penjualan tahun sebelumnya yang sebesar 7.009 kilogram.

Secara keseluruhan, pada 2012 Antam membukukan penjualan yang belum diaudit (unaudited) sepanjang 2012 sebesar Rp 10,41 triliun atau naik tipis dibandingkan penjualan 2011 yang sebesar Rp 10,38 triliun. Total penjualan tersebut diperolah dari penjualan feronikel sebesar Rp 3,14 triliun, bijih nikel Rp 3,07 triliun, emas Rp 3,63 triliun, batu bara Rp 208 miliar, dan ekspor bauksit Rp 29 miliar. Sepanjang 2012, Antam memproduksi 18.372 TNi feronikel, lebih tinggi dibanding-kan produksi 2011 yang sebanyak 18.000 TNi, dan menjual 19.530 TNi feronikel, lebih tinggi dibandingkan penjualan 2011 yang sebanyak 19.527 TNi.

Sementara itu, dua tambang milik PT Bumi Resources Mineral Tbk (BMRS), emiten tambang mineral logam dalam kelompok usaha Bakrie, dipastikan akan mulai berproduksi pada 2016. Kedua tam-bang tersebut adalah satu tamtam-bang emas di

Bone Belango, Gorontalo, yang dikelola PT Gorontalo Minerals, serta tambang seng dan timah hitam di Sumatera Utara yang digarap oleh PT Dairi Prima Mineral.

Diestimasi, tambang di Gorontalo memiliki sumber daya hasil eksplorasi berdasarkan standar Join Ore Reserves Committee (JORC) sebesar 292 juta ton bijih dengan kandungan 0,5 persen tembaga dan 0,47 gram per ton emas. Luas konsesi lahan tambang Gorontalo Minerals men-capai 56.070 hektare dengan nilai loo juta dollar AS hingga berproduki. Sedangkan, tambang di Sumatera Utara memiliki luas lahan 27.420 hektare dan memiliki cadangan teridentifikasi sebesar 6,3 juta ton. Tambang tersebut saat ini dalam tahap konstruksi. Total investasi proyek Dairi Prima diproyeksikan sekitar 300 juta dollar AS.

Di Mamuju, Sulawesi Barat, tambang emas milik PT Prima Anugerah Resources dipastikan akan segera berproduksi. Prima Anugerah telah melakukan penelitian tam-bang emas di wilayah Kalumpang selama kurang lebih dua tahun. Tahap eksplorasi tambang emas ini telah dilaksanakan pada beberapa titik, yakni di daerah Tambing-Tambing hingga pada muara Sungai Karataun Kalumpang. Saat ini perusahaan ini tengah mengajukan peningkatan status perizinan menjadi tahap Izin Operasional Produksi

(IOP). Prima Anugerah Resources mengelola areal tambang emas seluas 13.364 hektare yang menyimpan potensi emas sekitar 72,44 ton dengan kadar rata-rata 8,3 CPL dengan luas prospek 100 hektare.

Belum lama berselang, tercatat perusa-haan pertambangan yang terdaftar di bursa Kanada, Kobex Mineral Inc, secara tidak langsung mengakuisisi PT Citra Lampia Mandiri, pemegang IUP nikel, senilai 41,5 juta dollar AS. Kobex berencana mengakui-sisi 85 persen kepemilikan Geologic System Ltd yang punya hak khusus untuk dapat membeli PT Asia Pasific Mining Resources yang merupakan pemegang saham mayoritas Citra Lampia. Setelah mengakuisisi Geo-logic, Kobex Mineral menjalankan Letter of Intent (LOI) yang mengikat dengan Asia Pacific Mining Resources yang memung-kinkan untuk membeli 85 persen sahamnya di Citra Lampia. Geologic memiliki kewa-jiban pembayaran 2,5 juta dollar AS pada 20 November 2012 dan 4 juta dollar AS sebelum dimulainya konstruksi proyek tam-bang tersebut. Sebelum dimulainya produksi komersial, perusahaan juga harus membayar 3 juta dollar AS dan 30 juta dollar AS se-lama tiga tahun pertama setelah produksi komersial berjalan. Proyek perusahaan ini adalah tambang nikel laterit yang terletak di Sulawesi Selatan. q

(21)

Direktur Operasi PT Antam Tedy Badrujaman:

“Mental Dagang yang Merusak

Tambang Tambang”

Mulai tahun depan ekspor hasil tambang mentah

dihentikan. Melalui kebijakan hilirisasi, semua hasil

tambang harus dimurnikan dan diolah di dalam negeri.

Sayang, hingga kini belum terlihat sinyal kebijakan tersebut

terlaksana tepat waktu. Belum ada perusahaan tambang

yang sudah merealisasikan pembangunan smelter atau

pabrik pemurnian bahan tambang.

U

ntuk mendalami seperti apa se-sungguhnya kondisi bisnis per-tambangan di Indonesia saat ini dan bagaimana masa depannya, Majalah Media Penilai mewawancarai salah satu pelaku bisnis tambang, Direktur Operasi PT Aneka Tambang (Antam) Tedy Badruja-man. Sarjana Teknik Tambang Metalurgi dari Institut Teknologi Bandung ini bergabung dengan Antam sejak 1991. Sebelum diper-caya menjadi Direktur Operasi pada April 2013, peraih gelar Magister Manajemen Internasional dari Sekolah Tinggi Prasetiya

Mulia (2004) telah menempati berbagai posisi kunci di Antam. Ia pernah menjadi Deputy Senior VP Operation Unit Bisnis Pertambangan Nikel (2005-2008), Senior VP Unit Bisnis Pertambangan Nikel Sulawesi Tenggara (2008-2012), dan Corporate Sec-retary Division Head dari tahun 2012.

Diwawancarai di kantornya selama sekitar 1 jam pada awal September 2013, Tedy Badrujaman menjelaskan panjang lebar kondisi usaha pertambangan nasional, terma-suk banyaknya pemodal bermental dagang yang ramai-ramai terjun ke pertambangan.

“Mereka hanya jor-joran menjual bahan baku, tanpa memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa ini,” katanya. Berikut petikan wawancara selengkapnya:

Seperti apa Anda melihat perkem-bangan usaha pertamperkem-bangan nasional saat ini?

Kita harus melihat lebih dulu rangkaian usaha pertambangan ini secara umum. Per-tama ada sumber daya tambang yang akan diolah. Kedua, ada proses pengolahan dan yang mengolahnya. Dan, ketiga, ada peng-guna barang tambang. Sekarang coba kita pisah-pisahkan. Dari sisi sumber, sumber daya tambang kita ini masih banyak, terse-bar di berbagai daerah dan terdiri berbagai macam bahan tambang. Hanya kadang-kadang persebarannya tidak merata. Ada di satu wilayah yang sumber dayanya besar, namun tidak sedikit yang cadangannya kecil-kecil. Potensi yang besar itu dengan karakter yang demikian jadi tantangan tersendiri.

Bagaimana dengan proses pengola-hannya?

Nah, itu yang kedua. Kita melihat saat ini sangat banyak orang yang masuk ke pertambangan padahal tidak tahu cara me-nambang. Ini yang harus jadi catatan. Dari sisi ini, kenapa banyak yang masuk tambang, ya karena harga komoditas barang tambang terus naik. Tapi, ketika harganya turun, pada berhenti beroperasi kecuali mereka yang penambang tulen. Inilah problem di pengolahan bahan tambang. Dan, ketiga, penggunaan produk akhir atau hilir bahan tambang. Anda lihat apa yang ada di dunia ini hampir semuanya merupakan produk akhir hasil tambang. Sekadar contoh, mobil, telepon/handphone, televisi, antena parabola, besi-besi baja, dan sebagainya. Contoh lain, aktivitas pembangunan seperti jalan, gedung, perumahan, semuanya juga tergantung dari adanya bahan tambang dari katakanlah

(22)

galian C seperti batu, batu kapur, dan pasir. Pendeknya, semua dari hasil tambang. Jadi, misalnya, jika pertambangan distop, pasti pembangunan akan terhenti. Jika tambang distop, tidak akan ada pabrik yang mem-produksi mobil, produk elektronik, dan segala macamnya.

Masalah tambang di kita dari sisi mananya?

Ya pengolahannya itu. Yang kasat mata terlihat, misalnya, mobil kita impor, produk elektronik kita impor. Segala macam produk teknologi kita impor. Padahal, sumber daya-nya ada di kita, bahan bakudaya-nya ada di kita, yaitu bahan tambang. Itu problem kita. Kita punya bahan bakunya, bahan baku itu kita ekspor, lalu jadi importir, jadi pembeli produk akhirnya. Tapi, yang lebih dulu ingin saya katakan, sepanjang masih ada pemba-ngunan dan konsumen dunia membutuhkan produk akhir dari bahan-bahan tambang, maka prospek bisnis pertambangan tetap bagus dan usaha tambang tak mungkin bisa distop begitu saja.

Bagaimana jika ada kebijakan mora-torium, misalnya?

Bisa saja kita stop, tapi harus diingat bahwa yang akan mendapatkan keuntungan-nya tetap orang lain. Mereka akan makin menguasai usaha tambang mulai dari hulu hingga produk hilirnya. Pembangunan tidak akan berhenti. Kebutuhan produk teknologi juga tidak akan berhenti. Dan, semuanya itu memerlukan pasokan bahan tambang. Yang ingin saya katakan, melihat prospek bisnis tambang, termasuk bagaimana membuat regulasinya, tidak bisa didekati dari satu sisi, sisi penambangannya saja, misalnya. Harus dilihat secara utuh, secara keseluruhan. Jadi, menurut saya, tak seharusnya penambangan distop. Hanya, penambangnya harus benar-benar profesional. Tidak sekadar menambang hanya untuk jor-jor ekspor bahan tambang mentah. Jadi memang harus ada proses hilirisasi.

Bukankah memang itu yang terjadi selama ini?

Ya memang, tapi sayang juga kalau kita jor-joran nambang hanya untuk diekspor semua. Kalau hanya menambang kemudian diekspor semua mentah-mentah, tak ubahnya kita ini tukang gali saja, dan orang lain

yang menikmati nilai tambahnya, produk akhirnya dijual ke kita lagi. Jadi, penam-bangan memang harus ada kesinambungan antara cadangan, orang yang menambang, dan teknologi penambangannya sendiri. Jadi, sebetulnya prospek dunia pertambangan di Indonesia itu tergantung dari, satu, cadangan-nya sendiri. Kedua, ahli-ahli tambang. Jadi ahli tambang ini harusnya yang sekalian memperhatikan kondisi lingkungan. Sekalian juga memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Jadi tidak sendirian. Jadi itu yang harus diutamakan. Dan ketiga, pengemba-ngannya sampai ke produk hilir. Apabila itu ada semua, prospeknya masih sangat bagus. Jadi, industri tambang tidak bisa dilihat sen-dirian. Kalau sendirian, ya mending memang ditutup saja.

Mestinya bagaimana?

Seharusnya kita sudah kaya raya dari hasil tambang. Seharusnya kita sama-sama memikirkan bagaimana caranya mengolah bahan tambang ini menjadi bahan-bahan jadi yang lebih bermanfaat dan bernilai tambah dan kita ekspor produk hilirnya. Seharusnya kita yang mengekspor mobil, kacamata, pesawat, dan segala macam itu. Harus ada

industri segala macam di sini. Sayang, ba-han baku ba-hanya ditambang untuk jor-joran diekspor ke China dan ke negara-negara lain. Negara lain yang memproduksi hilirnya, dan datang lagi ke kita, kita yang membeli. Jadi, kita tidak pernah menikmati apa hasil tambang tersebut. Seharusnya dari awal sampai hilir,

Seberapa besar sebenarnya sumber daya yang kita miliki?

Tonasinya saya tidak ingat. Tapi yakinlah komoditi-komoditi itu masih banyak di kita. Jumlahnya juga masih banyak. Hanya per-tambangan di kita ini memang baru mencari nilai ekonomis yang sumbernya banyak. Di luar negeri yang banyak-banyak itu sudah dieksploitasi beberapa puluh atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Sedangkan, di kita ini lebih ke arah penambangan marginal.

Seberapa besar bahan tambang men-tah kita yang diekspor?

Dari data yang ada sih sekarang malah lebih banyak bahan mentah itu dipasarkan. Kalau Antam sendiri sudah membangun pabrik dari puluhan tahun lalu. Dari tahun 1973 sudah membangun pabrik teronikel.

(23)

Tahun 1995 bangun lagi pabrik keduanya. Tahun 2007 bangun lagi. Kemudian di Pong-kor pabrik emas. Di Cikotok malah sudah sejak zaman Belanda. Artinya, sedari awal kalau Antam sendiri tujuannya tidak sekadar menambang, tapi memproduksi. Kami sudah memproduksi bahan-bahan jadi.

Apakah hasil tambang milik Antam semuanya dimurnikan sendiri atau masih ada yang diekspor mentah?

Harus diakui, kami juga masih mengeks-por bahan mentah sesuai kebutuhan, tidak ikut tidak jor-joran, dan sepanjang itu masih diizinkan. Kalau regulasi mengatakan stop ekspor tambang mentah, kami akan patuh. Kalau untuk emas, tak ada yang kami ekspor mentah. Langsung kami olah dan langsung habis diserap pasar.

Seperti apa persaingan di antara pe-rusahaan tambang sendiri?

Persaingan hanya terjadi pada kualitas produk. Karena, sudah sejak 1970-an kami sudah menambang. Dalam menambang kami sudah punya prosedur khusus, kita akan me-nambang kalau kita tahu cadangannya dan kualitas cadangannya seperti apa. Setelah itu baru dimasukkan pabrik. Jadi, mulai dari eksplorasinya kualitasnya betul-betul terjamin karena yang akan masuk pabrik harus terjamin. Hasil tambang yang kami

ekspor pun kualitasnya akan sama dengan yang masuk ke pabrik. Jadi persaingannya di situ.

Bagi perusahaan tambang, sebenar-nya lebih menguntungkan mana, pusebenar-nya pabrik pengolahan sendiri atau menjual bahan mentahnya saja?

Bagi kebanyakan penambang yang bukan penambang tulen, memang lebih me-nguntungkan dijual langsung hasil tambang-nya. Ya, saya bilang mereka itu sebenarnya bukan penambang sejati, melainkan mereka hanyalah pedagang yang menggali tambang. Menurut saya itu bukan usaha tambang namanya. Tak ubahnya seperti mencang-kul tanah, lalu tanahnya dijual begitu saja tanpa melalui proses pengolahan. Memang untungnya besar, tapi itu hanya keuntungan sesaat.

Kenapa tak banya perusahaan tam-bang yang memtam-bangun pabrik pemurnian atau pengolahan sendiri?

Karena yang masuk ke dunia tambang bukan penambang. Intinya di situ. Beda dengan, misalnya, yang dilakukan Antam selama ini. Kami membangun pabrik dari tahun 1973 dengan segala insfrastruktur lengkap dengan segala fasilitas. Kami bangun pabrik sendiri, bangun pembangkit tenaga

listrik sendiri, bangun jalan sendiri, bangun pelabuhan sendiri, beli kapal sendiri. Jadi, tak ubahnya membangun kota sendiri karena semua elemen kehidupan masyarakat dan pranata sosial lainnya harus ada di wilayah tambang itu. Kegiatan tambang itu sebenarnya memang harus terpadu, mulai dari meng-gali hingga memproduksi produk hilirnya. Nah, usaha tambang sekarang kelihatannya bergeser, hanya menggali dan menjual hasil mentahnya. Inginnya tinggal jual. Padahal, penambang-penambang yang asli penambang akan memikirkan semuanya.

Sebenarnya seberapa besar nilai tambahnya jika hasil tambang kita diolah dulu menjadi produk hilir baru dijual?

Nilai tambahnya begini, sebenarnya harga jual per metalnya sama. Tapi dengan mengolah sendiri di sini, bahan baku yang diperlukan lebih sedikit. Misalnya, jika diolah sendiri, untuk 18-20 ribu-an ton nikel diperlukan bahan baku hanya 1,4-1,5 juta ton. Tapi kalau dijual mentahan, bahan baku 1,4-1,5 juta ton itu sedikit sekali nilainya. Kalau hanya ekspor bahan baku, volumenya

Gambar

Tabel 2.2. Sumber Daya Mineral Non-Logam
Tabel 2.3. Sumber Daya Batuan
Tabel BTB disusun untuk panduan perhitungan permeter persegi  bangunan berdasarkan unit in place untuk setiap ibu kota provinsi  pada periode waktu tertentu yang akan di-update secara triwulan
Table 1: Valuation Methods for Mineral Properties

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Donut dirilis pada September 2009 dengan perbaikan sistem dari Android berupa proses pencarian yang lebih baik, penggunaan baterai indikator dan kontrol

permanen Histologi tumbuhan: hubungan antarsel dan macam- macam alat tambahan Praktek mengamati menggunakan mikroskop dengan membuat preparat mikroskopis non permanen 100’ Prk 70’

Kode Program Aplikasi Proyek_skripsi.dpr program proyek_skripsi; uses Forms, skrp in 'skrp.pas' {FormTampil}, Unit2 in 'Unit2.pas' {FormUtama}, Unit3 in

Nutrisi dan hidrasi Data ini penting untuk diketahui agar bidan mendapatkan gambaran bagaimana klien mencukupi asupan gizinya selama hamil, sehingga apabila ditemukan data yang

Berdasarkan hasil dan pembahasan tren kasus tetanus neonatorum tahun 2009-2013 diatas, dapat disimpulkan bahwa tenaga pemeriksa kehamilan sudah cenderung

Hasil penelitian yang menunjukan bahwa pengaruh dari variabel keselamatan kerja terhadap kepuasan kerja pada karyawan di SMK Negeri 1 Bawang didukung dengan

Peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku menyimpang pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, serta peran keluarga

Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan