• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Diare

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defakasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2010).

Diare merupakan suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang cair dan frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 kali dalam sehari), namun tak selamanya mencret dikatakan diare. Misalnya pada bayi yang berusia kurang dari sebulan, yang bisa buang air hingga lima kali sehari dan fesesnya lunak (Masri, 2004).

2.3.1. Klasifikasi Diare

a. Klasifikasi diare menurut terjadinya, yaitu :

1. Diare akut: diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.

2. Diare kronik: diare yang berlanjut sampai 2 minggu atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare tersebut.

b. Klasifikasi diare menurut derajat dehidrasi

Diare dibagi menjadi diare tanpa dehidrasi dan diare dengan dehidrasi ringan-sedang dan diare dengan dehidrasi berat (Ngastiyah, 2005).

2.3.2. Penyebab Diare

Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi: 1. Faktor infeksi

a. Infeksi enteral : infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut: - Infeksi bakteri: Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.

- Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adeno-virus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain.

- Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lambia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans).

b. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti: otitis media akut (OMA), tonsilitis/ tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya.

2. Faktor malabsorbsi

a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan paling sering (intoleransi laktosa).

b. Malabsorbsi lemak. c. Malabsorbsi protein.

3. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar) (Ngastiyah, 2005).

2.3.3. Patogenesis

Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.

Kedua gangguan sekresi, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga

timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula (Ngastiyah, 2005).

Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare ( Kusmaul, 2002).

2.3.4. Akibat Penyakit Diare

Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi: 1. Kehilangan air (dehidrasi).

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input), merupakan penyebab kematian pada diare.

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare. Pada anak-anak dengan gizi yang cukup/baik hipoglikemia ini jarang terjadi. Hal ini terjadi karena:

a. Penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati terganngu. b. Adanya gangguan absorpsi glukosa (walaupun jarang terjadi).

Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg% pada bayi dan 50mg% pada anak-anak.

3. Gangguan gizi

Sewaktu anak menderita diare , sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan:

a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan air teh saja.

b. Walaupun susu diteruskan, sering diberukan dengan pengenceran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.

c. Makanan yang diberikan sering tidak dicerna dan diabsorpsi dengan baik dengan adanya hiperperistaltik.

4. Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah hebat, dapat mengakibatkan pendarahan pada otak, kesadaran menurun dan apabila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal (Suharyono, 2008).

2.3.5. Manifestasi Klinis

Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin mengandung darah dan/atau lendir, Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu. Karena seringnya defakasi , anus dan sekitarnya lecet

karena tinja makin lama menjadi makin asam akibat banyaknya asam laktat yang terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit, terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun, pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir terlihat kering (Suraatmaja, 2010).

2.3.6. Komplikasi Penyakit Diare

a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik). b. Renjatan hipovolemik.

c. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).

d. Hipoglikemia.

e. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.

f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.

g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan (Ngastiyah, 2005).

2.3.7. Pencegahan Penyakit Diare

Menurut Wahyudi (2009) ada beberapa cara untuk pencegahan penyakit diare, diantaranya :

a. Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai umur 6 bulan. Pemberian ASI mempunyai banyak keuntungan bagi bayi atau ibunya.

Bayi yang mendapat ASI lebih sedikit dan lebih ringan episode diarenya dan lebih rendah risiko kematiannya jika dibanding bayi yang tidak mendapat ASI. Dalam 6 bulan pertama kehidupan risiko mendapat diare yang dibutuhkan perawatan di rumah sakit dapat mencapai 30 kali lebih besar pada bayi yang tidak disusui daripada bayi yang mendapat ASI penuh. Hal ini disebabkan karena ASI tidak membutuhkan botol, dot, dan air yang mudah terkontaminasi dengan bakteri yang mungkin menyebabkan diare. ASI juga mengandung antibodi yang melindungi bayi terhadap infeksi terutama diare, yang tidak terdapat pada susu sapi dan formula. Saat usia bayi mencapai 6 bulan, bayi harus menerima buah-buahan dan makanan lain untuk memenuhi kebutuhan gizi yang meningkat, tetapi ASI harus tetap terus diberikan paling tidak sampai umur 24 bulan.

b. Hindarkan penggunaan susu botol . Seringkali para ibu membuat susu yang tidak langsung habis sekali minum, sehingga memungkinkan tumbuhnya bakteri. Dot yang jatuh langsung diberikan bayi tanpa dicuci. Botol juga harus dicuci dan direbus untuk mencegah pertumbuhan kuman.

c. Penyimpangan dan penyiapan makanan pendamping ASI dengan baik, untuk mengurangi paparan dan perkembangan bakteri.

d. Penggunaan air bersih untuk minum.

Pasokan air yang cukup, bisa membantu membiasakan hidup bersih seperti cuci tangan, mencuci peralatan makan, membersihkan WC dan kamar mandi.

e. Mencuci tangan (sesudah buang air besar dan membuang tinja bayi, sebelum menyiapkan makanan atau makan).

f. Membuang tinja, termasuk tinja bayi secara benar.

Tinja merupakan sumber infeksi bagi orang lain. Keadaan ini terjadi baik pada yang diare maupun yang terinfeksi tanpa gejala. Oleh karena itu pembuangan tinja anak merupakan aspek penting pencegahan diare.

Dokumen terkait