• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDEKATAN TEORI

2.3. Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris

Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta meru- pakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam mem- bandingkan masyarakat (industri dan pra industri). Konsep ini merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial terbagi di antara institusi sosial yang berbeda. Diferensiasi menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadi- nya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat

Secara spesifik, berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumber- daya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan merujuk pada gejala terjadinya penambahan kelas petani. Dife- rensiasi tersebut kemudian akan membentuk struktur sosial masyarakat agararis 28 yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlang- sungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani.

Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan stratifikasi 29 sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatganda- kan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tuna- kisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang men- gkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.

28 Struktur sosial masyarakat agraris dibentuk oleh kehadiran pola-pola hubungan sosial yang

terkait dengan sumberdaya agraria (lahan). Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat agraris akan menysusun peta susunan posisi-posisi sosial-ekonomi warga dalam masyarakat ber- basiskan penguasaan sumber-daya agraria.

29

Secara umum, stratifikasi diartikan sebagai ketimpangan struktur (structured inequalities) di antara group orang yang berbeda, sehingga masyarakat dipandang sebagai susunan strata dalam sebuah hirarki, dimana pihak yang memiliki hak istimewa bearda pada posisi diatas dan yang tidak memiliki hak istimewa berda pada posisi di bawah (Gidens, 1997).

Tabel 2.7. Diferensiasi Sosial Masyarakat Masy./Lahan/Komoditas (Penggagas) Struktur Masy. Agraria Keterangan Masyaraat Industri – German (Marx)

Polarisasi • Moda Produksi Kapitalis Æ(akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, industrialisasi) Æ desitegrasi, usaha kecil hilang Masyarakat Tani

(Marx)

Polarisasi • Dominasi moda produksi kapitalis Æ Petani yang melakukan proses produksi sendiri secara bertahap ditransformasikan menjadi : 1)

kapitalis kecil yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani), atau 2) tenaga upahan (buruh tani) yang kehilangan kekuatan produksi.

Kaum Tani (Peasant) - Rusia

(Lenin)

Polarisasi • Diferensiasi Æ pemiskinan kelas menengah kaum tani Æ 2 kelas terpolarisasi : 1) kapitalis, 2) kaum miskin pedesaan

• Pertanian kapitalis Æ proletar desa bergabung dengan proletar kota

Æ revolusi sosial Petani Sawah – Tebu

(Soentoro)

Polarisasi • Polarisasi terjadi karena masuknya pemodal kuat dari kota (melalui sistem sewa lahan)

Petani Lahan Kering – Kakao

(Li, Sitorus)

Polarisasi • Proses polarisasi berlangsung melalui mekanisme : 1) Privatisasi lahan, 2) Komoditasi lahan, 3) Masuknya elit kota

• Petani Bugis menjadi “pemilik”, Petani Kaili “bukan pemilik” Kaum Tani (Peasant) -

German (Kautsky)

Polarisasi, tetapi prosesnya lambat

• Pada pertanian ekspansi kapitalis berjalan lambat, bentuknya beda karena proses kerjanya beda

• Tanah sebagai kekuatan produksi tidak dapat direproduksi seperti modal finansial. Seorang kapitalis, untuk memperoleh hak atas tanah harus mencabut hak orang lain (petani miskin).

Petani Lahan Kering - Karet Pola PIR-BUN

(Undang Fadjar dkk.)

Polarisasi vs Stratifikasi

• Stratifikasi : melalui pewarisan, bagi hasil

• Polarisasi : Sewa kebun dan pembelian kebun oleh petani kaya, serta tenaga kerja upahan

Kaum Tani (Peasant) - Rusia

(Shanin)

Leveling (Stratifikasi),

Pemiskinan

• Mobilitas kaum tani = mobilitas siklikal dan multidimensial Æ menambah lapisan (bukan mempolarisasikan)

• Pengembangan kapitalis dihadang oleh proses yang muncul dari dalam kaum tani sendiri

• Transformasi peasant Æ integrasi peasant pada ekonomi yang lebih luas (pertukaran, produksi komoditi) Æ posisi peasant menjadi tidak rata (tergantung pusat pertukaran) Æ sistem kapitalis dunia mengatur tata ekonomi/sosial desa

• Terjadi Pemiskinan Æ Kesejahteraan ekonomi menurun

• Polarisasi tidak terjadi Æ Kesadaran kelas tidak eksis Petani Sawah - Padi

(Geertz)

Tidak nampak diferensiasi

• Terjadi kemiskinan berbagi Petani Sawah-Padi

(Hayami)

Stratifikasi •Penetrasi pasar mendorong ke polarisasi, tetapi tertahan oleh :

1) ikatan moral petani, 2) pranata tradisional (misal sakap), 3) sistem pemilikan yang tidak ekstrim

ƒStratifikasi berevolusi ke polarisasi, jika distribusi pendapatan timpang dan penetrasi pasar sangat kuat

Petani Sawah – Padi serta Petani Lahan Kering - Karet di Malaysia

(Wan Hasyim)

Tidak terbentuk kelas, yang terjadi

leveling

(stratifikasi)

• Beragam kelas pemilikan lahan Æ kaum tani tetap eksis

• Kaum tani ditransformasikan (sebagai hasil perluasan dan dominasi moda produksi kapitalis yang berasal dari luar) dalam formasi sosial spesifik Æ perbedaan ciri penetrasi terhadap kapitalis, serta perbedaan pengembangan kapitalis di antara tipe spesifik desa Æ artikulasi moda produksi

• Sebagian kaum tani menjadi tenaga kerja migrasi, sebagian lainnya tetap menjadi kaum tani yang memiliki kekuatan produksi tetapi sebagai sub-ordinat kapitalis.

Hasil pemikiran sejumlah ahli serta hasil penelaahan pada sejumlah kasus yang terjadi di negara lain maupun di Indonesia menunjukkan munculnya kedua bentuk struktur sosial masyarakat agraris dimaksud (Tabel 2.7.). Sebenarnya berbagai pemikiran dan penelaahan tersebut bertolak dari hasil pengamatan Marx pada masyarakat industri di Jerman yang menerapkan moda produksi kapitalis. Hasil pengamatan Marx menunjukkan bahwa pengembangan moda produksi kapitalis akan mendorong akumulasi kapital, rasionalisasi produksi, industri- alisasi, dan akhirnya menyebabkan desintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena berkompetisi dengan usaha besar (Marx sebagaimana dikutip Hashim, 1998). Bertolak dari itu, Marx juga mengemukakan bahwa petani yang mela- kukan proses produksi dengan alat/kekuatan produksi sendiri secara bertahap akan ditransformasikan : 1) menjadi kapitalis kecil (a small capitalist) yang mengeksploitasi tenaga kerja petani lain (buruh tani) atau 2) menjadi seseorang yang kehilangan kekuatan produksi sehingga kemudian menjadi tenaga upahan. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Lenin (Lenin sebagaimana dikutip Hashim, 1998) yang juga mengemukakan bahwa kaum tani (peasantry) merupakan suatu kelas yang akan hilang setelah melewati proses diferensiasi dan polarisasi kelas. Hal ini terjadi terutama sebagai dampak penerapan moda produksi kapitalisme.

Namun demikian, pendapat Marx dan Lenin tersebut mendapat sanggahan dari Neo - Marxian (Turner, 1989). Menurut mereka perkiraan Marx tentang polarisasi masyarakat kapitalis menjadi dua kelas (borjuis yang memiliki alat pro- duksi lawan proletar yang dieksploitasi) telah mati. Hal ini terjadi karena tum- buhnya kelas menengah yang besar dan beragam (seperti manager; tenaga ahli; pelaksana usaha kecil) serta mereka tidak nampak dieksploitasi. Selain itu, menu- rut Wright dalam Turner (1989), pada level mikro, posisi individu dalam sistem kelas menunjukkan gambaran yang lebih bervariasi; lebih komplek; dan kontra- diktif. Apalagi bila individu memiliki lebih dari satu sumber mata-pencaharian.

Khusus yang terkait dengan kaum tani, pendapat yang berbeda dengan pendapat Marx dan Lenin disampaikan oleh Kautsky dan Shanin. Kautsky dalam Hashim (1998) mengemukakan bahwa meskipun logika moda produksi kapitalis Marx dapat diterapkan pada pertanian tetapi ekspansi kapitalis pada produksi pertanian berjalan lambat dan dengan bentuk yang berbeda. Pada pertanian, tanah

sebagai kekuatan alat produksi tidak dapat direproduksi seperti modal (finansial) sehingga bila seorang petani (petani kaya) ingin membangun pemilikan luas maka ia harus melakukan pencabutan hak atas petani lain (petani kecil). Sejalan dengan itu, Shanin dalam Hashim (1998) megemukakan bahwa diferensiasi dan ketidak- setaraan sosial-ekonomi pedesaan berlangsung dalam bentuk mobilitas “siklikal dan multidimensial” sehingga efeknya cenderung berupa pembentukan tingkat (leveling), bukan polarisasi. Walaupun perubahan struktur agraria yang berlang- sung hanya mengarah pada bentuk stratifikasi, tetapi menurut Shanin perkem- bangan kesejahteraan sosial ekonomi para petani terus menurun karena terjadi proses pemiskinan.

Dalam komunitas petani sawah yang mengusahakan tanaman padi seperti yang terjadi di Jawa (Hayami dan Kikuchi, 1987) maupun di Malaysia (Hashim (1988), gejala perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang lebih nampak adalah stratifikasi 30. Sebaliknya, gejala polarisasi belum nampak karena tertahan (diblokir) oleh “ikatan moral tradisional” serta bekerjanya berbagai pranata sosial yang ada (Hayami dan Kikuchi, 1987). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Geertz (1976) yang mengungkapkan tidak adanya diferensiasi di antara petani serta munculnya kemiskinan berbagi dan involusi pertanian di pedesaan Jawa. Namun demikian, peneltian SAE/SDP tahun 1971 – 1981 sebagaimana dikutip Sajogyo (2002) menunjukkan kecenderungan munculnya “petani komersial paruh waktu, majikan” dan “buruh tani tunakisma (tanpa tanah) berstatus semi proletar”.

Lebih lanjut, Hashim (1988) mengemukakan terjadinya stratifikasi karena kaum tani yang secara struktural ditransformasikan menjadi produsen petty commodity yang tidak sepenuhnya terpisah dari alat produksi. Selain itu, moda produksi yang dijalankan kaum tani tidak sepenuhnya eksploitatif karena kapitalisme yang dikembangkan di lingkungan kaum tani berasal dari luar dan hanya merupakan kapitalisme pinggiran (peripheral capitalism). Selain itu, walaupun di wilayah pedesaan terjadi akumulasi penguasaan lahan tetapi bentuk polarisasi cenderung tidak terjadi karena pemilikan tanah di wilayah pedesaan tidak ekstrim (Tjondronegoro, 1999).

30

Hashim (1988) menyebut proses stratifikasi dengan istilah leveling atau formal sub-sumption

Namun demikian, Hayami dan Kikuchi (1987) mengingatkan bahwa pene- trasi kekuatan pasar bersamaan dengan proses semakin timpangnya distribusi pendapatan akan mendorong berubahnya proses stratifikasi ke arah polarisasi. Bahkan di desa-desa yang mengusahakan tanaman komersial tebu, sebagaimana dilaporkan Soentoro (1980) dan juga Kano (1984), ternyata proses polarisasi masyarakat berbasis penguasaan lahan sudah berlangsung. Proses ini terutama didorong oleh masuknya pemodal kuat dari kota yang menyewa lahan petani di desa. Gambaran tersebut juga memberikan rujukan bahwa dalam menelaah proses polarisasi atau stratifikasi sebaiknya tidak dibatasi hanya pada anggota komunitas yang tinggal menetap di dalam komunitas (dalam desa).

Berlangsungnya perubahan-perubahan struktur sosial masyarakat agraris nampaknya tidak hanya terjadi pada komunitas petani sawah tetapi juga terjadi pada komunitas petani perkebunan. Hasil penelitian Fadjar dkk (2002) di komuni- tas petani PIR-BUN Tanaman Karet menunjukkan bahwa dalam komunitas tersebut sedang berlangsung perubahan struktur sosial masyarakat agraris, baik yang mekanismenya mengarah ke bentuk stratifikasi (seperti berlangsungnya sistem pewarisan dan sistem bagi hasil) maupun ke bentuk polarisasi (seperti ber- langsungnya sistem pembelian kebun dan penyewaan kebun oleh petani kaya) 31. Sementara itu, hasil pengamatan Hashim (1998) dalam komunitas petani karet di Malaysia secara tegas menunjukkan bahwa perubahan struktur sosial kaum tani yang terjadi adalah stratifikasi. Adapun hasil penelitian Li (2002) dalam komintas petani kakao di beberapa desa di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa perubah- an struktur agraria yang berlangsung mendorong pembentukan struktur sosial masyarakat yang terpolarisasi (pembentukan kelas).

Kemudian Scott (1989) mengemukakan bahwa bentuk kapitalis dalam pemilikan tanah yang disertai dengan pertambahan penduduk yang pesat telah mendorong perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil (bukan buruh upahan). Lebih lanjut Sajogyo (1985) dan Rusli (1982)

31

Hasil penelilitian Soentoro (1980) pada lahan sawah menunjukkan bahwa sistem sewa mendorong terjadinya pengumpulan tanah karena penyewa umumnya petani yang memiliki uang, sedangkan sistem sakap mendorong terjadinya penyebaran garapan karena para penggarap umumnya petani berlahan sempit atau bahkan petani tak berlahan.

menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk 32 menyebabkan makin kecilnya per- sediaan lahan rata-rata per orang, semakin bertambahnya penduduk tak bertanah, dan munculnya fraksionalisasi lahan. Tekanan penduduk yang kuat juga memberi peluang pada semakin berkembangnya bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Selain itu, tekanan penduduk yang berat mengakibatkan persaingan sesama buruh tani dalam mendapatkan pekerjaan.

Dokumen terkait