• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDEKATAN TEORI

2.4. Kesejahteraan Petani Berbasis Sumberdaya Agraria

Bagi para petani, sumberdaya agraria (lahan) selain merupakan elemen kekuatan produksi (force of production) dan titik tolak berlangsungnya hubungan sosial produksi (relation of production) juga menjadi basis kesejahteraan (Kautsky dalam Hashim,1998). Sejalan dengan itu, Sajogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, peru- mahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesa- an (Soemarjan, 1980).

Melalui kegiatan/usaha produktif di atas sumberdaya lahan yang dikuasai para petani, mereka berpotensi memperoleh penghasilan yang memadai dan ber- kelanjutan 33 sehingga tujuan utama petani untuk “memenuhi kelangsungan hi- dup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living) dapat dicapai. Selain itu, menurut Scott (1989), secara sosiologis penghasilan minimum sebuah rumahtangga masyarakat non-kapitalis tidak hanya ditujukan untuk me- nyediakan makanan anggota keluarga secara memadai tetapi juga untuk meme- nuhi kewajiban sosial, misalnya untuk membiayai kegiatan seremonial.

32 Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Sementara itu, pengertian perubahan penduduk (population change) menurut Shryock dan Siegel (1976) mencakup: 1) perubahan jumlah, yang dapat diukur dengan reit pertambahan penduduk per tahun, dan 2) perubahan karakteristik, misalnya komposisi jenis kelamin, umur, dan mata pencaharian. Lebih lanjut Rusli (1992) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk di suatu wilayah selain berkaitan dengan jumlah kelahiran juga berkaitan dengan jumlah migrasi masuk.

33

Menurut Haan (2000) suatu mata pencaharian dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dasar (self-defined basic needs) serta menjamin orang untuk dapat menghadapi goncangan (shocks) dan tekanan (stress).

Terkait dengan sumberdaya agraria sebagai basis kesejahteraan petani, seberapa jauh sumberdaya tersebut dapat berperan akan ditentukan oleh : 1) karakteristik sumberdaya lahan (the characteristics of interpersonal agrarian arrangements) serta, 2) keadaan hubungan sosial (state of social relationship) dalam komunitas petani (baik di antara sesama komunitas lokal maupun antara komunitas lokal dan pendatang). Dalam konteks land tenure, kesejahteraan men- cakup tiga hal berikut (Fremerey dan Aminy, 2002) : 1) jalan untuk menguasai lahan (land access), 2) pengakuan tanah milik (recognition of land holding), dan 3) tipe penggunaan lahan (types of land use). Kemudian sejalan dengan perndapat Sitorus (2002) basis kesejahteraan petani yang bersumber dari lahan yang dikuasai petani berlangsung melalui : 1) pengaturan sosial “penguasaan tetap”, dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai “modal ekonomi”, atau 2) pengaturan sosial “penguasaan sementara” (sistem sewa, sistem bagi hasil), dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai “modal sosial” 34

Secara ringkas, uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa peta kesejahte- raan petani yang berbasis pada sumberdaya agraria (lahan) sangat tergatung dari seberapa jauh para petani memiliki kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Kemudian, mengingat kontrol petani terhadap sumberdaya agra- ria tersebut akan ditentukan oleh bentuk struktur agraria yang ada, maka ber- langsungnya perubahan struktur agraria akan berimplikasi pada perubahan peta sistem kesejahteraan keluarga/komunitas petani.

Pada sebuah komunitas yang masih berciri pra-kapitalis sistem kesejah- teraan petani selain dapat diperoleh dari keluarga juga dapat diperoleh dari komunitas. Oleh sebab itu, pada komunitas tersebut terdapat “pengaturan sosial dimana komunitas akan menjaga kesejahteraan seluruh warganya”. Dalam hal ini pada komunitas tersebut terdapat “pengaturan sosial kesejahteraan agraria tradisional” (traditional agrarian welfare arrangements), yaitu sebuah kesejah-

34 Dalam konteks sosiologi,

kesejahteraan seseorang (individual social-security) merupakan fungsi dari tatanan sosial dimana orang tersebut hidup (Ponsioen, 1969). Lebih lanjut Ponsioen (1969) menjelaskan bahwa lingkungan sosial akan menyediakan respon yang dipolakan (patternized respons) untuk menghadapi beragam gangguan yang dilakukan pihak lain. Dalam hal ini, masyarakat akan mengontrol pengaturan perilaku (termasuk distribusi hak dan kewajiban) dengan alat hukum/aturan, moral, dan kebiasaan sehingga memfasilitasi terbangunnya hubungan sosial (penguasaan lahan) yang saling menguntungkan.

teraan warga komunitas yang berbasis pada sumberdaya agraria. Beberapa bentuk pengaturan sosial tersebut adalah : hubungan patron-klien, hubungan resiprositas seperti tolong menolong di antara kerabat dan kawan, hubungan redistribusi seperti petani kaya harus dermawan, dan adanya tanah komunal yang dapat ber- peran sebagai katup pengaman karena dapat memberikan kekuasaan kepada se- mua warga komunitas yang memerlukan. Oleh sebab itu, desa atau komunitas masyarakat pra-kapitalis merupakan suatu kolektifitas yang memiliki peranan tipikal untuk menjamin “pendapatan minimum warganya” serta meratakan kesem- patan dan resiko hidup warganya. Menurut Scott (1989) pengaturan sosial tersebut mengacu pada “prinsip moral” bahwa “semua orang berhak atas nafkah hidup dan sumber kekayaan yang ada di desa, meskipun tidak harus sama”.

Namun demikian, meningkatnya ketidakstabilan hubungan sosial dalam komunitas lokal 35 dan melemahnya “tatanan kesejahteraan agraria tradisional” berdampak negatif terhadap sistem kesejahteraan petani dan mendorong semakin tidak terkontrolnya pemanfaatan/penggunaan sumberdaya alam. Hasil kajian STORMA (Fremerey dan Aminy, 2002) di beberapa desa yang berdekatan dengan bagian Barat Taman Nasional Lore Lindu menunjukkan terjadinya penurunan kesejahteraan petani akibat erosi/melemahnya tatanan kesejahteraan agraria tradi- sional tersebut. Misalnya sistem pinjam garap (borrowing plots) telah diganti oleh sistem bagi hasil (share tenancy) yang tidak cukup memberikan jaminan kesejah- teraan (less security). Dipihak lain, skema modern sistem ”berbagi” (sharing), seperti sistem bagi tanah (land sharing tenancy) atau sistem bapajak (fixed rent tenancy) kurang berkembang.

Demikian halnya, Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa de- ngan membaurnya ekonomi pasar prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok bagi anggota komunitas telah digantikan oleh pertimbangan ekonomi untuk cari

35

Fremerey dan Aminy (2002) juga mengemukakan bahwa di desa-desa yang berada di lembah Palu dan Palolo terjadi penurunan ”iteration” antara penduduk lokal dan pendatang karena tumbuhnya ketidak pedulian dan kecemburuan dalam etnis. Pada saat yang bersamaan, rasa tidak percaya di antara penduduk lokal terus meningkat sehingga hubungan tradisional kerabat semakin melemah. Secara keseluruhan, dalam komunitas lokal terindikasi adanya gejala ”putus hubungan sosial” (social dissolution) yang terjadi karena kurangnya respon serta berkembang- nya perasaan tidak aman individu.

untung sebanyak-banyaknya 36. Dalam situasi ini, tanah menjadi komoditas da- gangan dan nilai produk yang dihasilkan petani ditentukan oleh fluktuasi harga pasar yang impersonal. Selain itu, para anggota komunitas yang tergolong kaya lebih memikirkan peningkatan pendapatan mereka dibandingkan membantu war- ga sekomunitas. Demikian halnya nilai/prinsip moral bahwa “komunitas” dan/atau “kerabat” berperan sebagai pemberi perlindungan dan/atau pemikul resiko secara bersama-sama ternyata mengalami erosi.

Selain itu, Scott (1989) menjelaskan bahwa berlangsungnya komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata hubungan antara “pemilik lahan” dengan “bukan pemilik lahan”. Secara umum berkembangnya komersialisasi pertanian telah memperlemah posisi para petani yang tidak memiliki lahan (petani penggarap dan/atau buruh tani) dan kemudian akan berdampak pada berkurangnya jaminan subsistensi mereka 37 (Tabel 2.8). Dengan kata lain, hirarki dalam penguasaan lahan berimplikasi pada hirarki jaminan susbsistensi atau hirarki kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya lahan. Oleh sebab itu, dalam konteks kesejahteraan petani, petani “pemilik lahan sempit” sangat mungkin lebih tinggai statusnya dari pada “penyewa lahan luas” karena petani pemilik lahan sempit memiliki sendiri sarana subsistensi yang mereka perlukan.

36

Fenomena sebagaimana dikemukakan Hayami dan Kikuchi tersebut nampaknya mirip dengan pendapat Popkin (1986) yang mengemukakan bahwa sebenarnya pertukaran-pertukaran di antara para petani dibentuk dan dibatasi oleh konflik-konflik antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok. Dengan demikian, sebenarnya para petani tidak tunduk pada keputusan kolektif (komunitas atau desa) tetapi mereka mengambil keputusan secara individual. Oleh sebab itu, desa-desa dimana para petani bertempat tinggal sebaiknya dipandang sebagai “korporasi-korporasi” bukan sebagai “komunal-komunal”, dan patron yang mempunyai ikatan berganda dengan para petani sebaiknya dipandang sebagai “monopolis” bukan sebagai “bapak”. Selain itu, pandangan bahwa sebuah komunitas atau sebuah desa memberikan jaminan kesejahteraan bersama bagi para petani serta adanya pasar yang membuat kesejahteraan para petani tidak terjamin semuanya merupakan pandangan yang keliru. Menurut Popkin, fenomena tersebut tidak hanya muncul pada masyarakat transisi yang terkena dampak ekonomi pasar (kapitalisme) sebagaimana dikemukakan Hayami dan Kikuchi tetapi juga terjadi pada masyarakat desa pra kapitalis seperti yang diamati Scott.

37

Scott (1989) menjelaskan bahwa dalam pandangan petani jaminan subsistensi merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dibanding jumlah penghasilan. Selain itu, jaminan subsistensi juga menjadi ukuran petani apakah suatu hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif atau tidak.

Tabel 2.8. Keterkaitan antara Komersialisasi Pertanian dengan Hubungan Kelas Agraris.

No Perubahan terkait

Komersialisasi Pertanian

Efek terhadap Hubungan Kelas Agraria

1 Ketidakmerataan yang semakin besar dalam pemilikan tanah

Penguasaan tanah menjadi landasan utama bagi beroperasinya kekuasaan ; kedudukan pemilik tanah menjadi lebih kuat dalam menghadapi orang- orang yang ingin menyewa tanah 2 Fluktuasi harga input produksi

dan barang konsumsi akibat penetapan harga pasar

Kedudukan pemilik tanah semakin kuat karena penyewa semakin membutuhkan kredit untuk produksi dan konsumsi

3 Hilangnya sumber mata pencaharian di waktu senggang (tanah yang belum digarap, tanah umum penggembalaan ternak, kayu bakar cuma-cuma, dsb.)

Memperlemah kedudukan penyewa dalam menghadapi pemilik tanah

4 Memburuknya mekanisme redistribusi desa

Memperlemah kedudukan penyewa dalam menghadapi pemilik tanah 5 Negara kolonial yang

melindungi hak milik pemilik tanah

Pemilik tanah kurang membutuhkan klien-klien setempat yang setia, karenanya ia bebas untuk

mengutamakan keuntungan ekonomi.

Sumber : Scott (1989)

Bila kontrol petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria semakin menu- run sehingga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan bertambah sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumber- daya agraria dan hanya menjadi buruh tani, maka potensi penghasilan yang diper- oleh petani dari sumberdaya agraria tersebut semakin kecil dan/atau semakin tidak pasti. Bila kedua keadaan tersebut kemudian menyebabkan penghasilan petani (dari sumberdaya agraria) hanya cukup untuk memenuhi persediaan pangan yang berada dekat garis kemiskinan atau tingkat minimum fisiologis maka mereka berada pada situasi “problema kesejahteraan”38 karena pengurangan lebih lanjut akan menyebabkan malnutrisi/kematian dini (Scott, 1989).

38 Istilah problema kesejahteraan digunakan sejalan dengan istilah “bencana minimum”

Semakin sempitnya luas sumberdaya agraria yang dapat dikontrol petani terjadi pada perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang mengarah pada bentuk stratifikasi, sedangkan hilangnya kontrol petani terhadap sumberdaya agraria da-pat terjadi pada perubahan struktur sosial masyarakat agraris yang mengarah pada ben-tuk polarisasi. Oleh sebab itu, “problema kesejahteraan petani” dapat terjadi baik pada bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi maupun pada bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Pada perubahan struktur masyarakat agraris yang terstratifikasi, problema kesejahteraan petani akan dipercepat dengan berlangsungnya proses pemiskinan petani, baik yang terjadi karena ber-langsung proses “eksploitasi diri sendiri” (self-exploitation) yang berlangsung di dalam komunitas petani maupun “eksploitasi dari luar komunitas” (aras supra lokal).

Gambaran terjadinya eksploitasi diri sendiri di dalam komunitas ditunjuk- kan oleh penelitian Geertz di Jawa yang dikenal dengan istilah “involusi per- tanian” 39 (Geertz, 1976). Meskipun dalam masyarakat tersebut terdapat prinsip moral dan pengaturan sosial yang menjamin kemanan sosial-ekonomi seluruh warganya, yang terjadi bukan pemerataan kemakmuran tetapi kemiskinan berbagi (shared poverty). Hal ini terutama berkaitan dengan sangat tingginya tekanan pen- duduk atas tanah 40 sehingga terlalu banyak orang yang harus ditampung diatas lahan yang terlalu sempit.

Praktek gejala kemiskinan berbagi diwujudkan melalui ragam institusi bagi hasil agar setiap warga desa minimal berada sedikit diatas garis subsisten. Dalam situasi ini, menurut Geertz (1976) produktivitas per orang (tenaga kerja) tidak na- ik atau “mandek”. Kemudian menurut Sajogyo (1976) meskipun terjadi kenaikan hasil per hektar tetapi kenaikan tersebut hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan per orang. Beberapa situasi yang menghasilkan shared poverty, menurut Geertz (sebagaimana dirumuskan Marzali,1991) adalah : 1) situ- asi kultural : suka kepada hidup tolong menolong dan rukun di antara tetangga, 2)

39

Chayanov dalam Scott (1989) menamakan involusi pertanian dengan istilah self exploitation

atau swa – pacal. Selain itu, Sajogyo (2002) mengartikan involusi sebagai perkembangan “degeneratif” (produktifitas per orang mandeg) meskipun dalam jangka lama sebenarnya produktivitas padi sawah meningkat.

40

Tekanan penduduk yang sangat tinggi atas tanah terjadi selain karena pertambahan penduduk juga karena usaha-usaha di luar pertanian tidak dapat menampung tambahan penduduk tersebut

ciri ekonomi masyarakat desa : mampu menekan keperluan hidup sampai pada tingkat yang rendah, dan 3) struktur masyarakat desa : tidak terbagi atas kelas tuan tanah dan proletar.

Sebenarnya gejala involusi tidak hanya muncul dalam komunitas petani padi sawah, tetapi juga pada komunitas petani perkebunan. Hasil penelitian Fadjar dkk (2002) pada komunitas petani PIR-BUN yang mengusahakan tanaman karet juga muncul gejala involusi. Beberapa indikasi yang menunjukkan gejala tersebut ada- lah : 1) berkembangnya ragam pemilikan sementara (terutama bagi hasil dan sewa bulanan) serta pewarisan yang dipercepat, 2) adanya keinginan para petani untuk membantu pendatang (terutama kerabat) dengan cara memberikan kesempatan bekerja. Gejala tersebut berkembang terutama karena : 1) pesatnya peningkatan jumlah penduduk dan mereka tidak dapat ditampung oleh usaha non pertanian, dan 2) meningkatnya kebutuhan tenaga kerja panen (sadap) akibat kondisi kebun yang semakin tua.

Sementara itu, eksploitasi dari luar komunitas dapat terjadi dalam hubungan sosial produksi antara komunitas petani (aras lokal) yang menghasilkan bahan baku industri dengan negara maju (aras supra lokal) yang membeli bahan baku industri yang dihasilkan komunitas petani. Dalam hal ini, sebagaimana dikemuka- kan Marx dalam Russel (1989), eksploitasi dapat terjadi karena wilayah/negara maju (kelas dominan) menghisap surplus yang berada pada komunitas petani/ wilayah pinggiran (posisi subordinat). Upaya menghisap surplus tersebut dapat dilakukan melalui pemberian harga output yang murah bersamaan dengan penetapan harga input dan harga kebutuhan sehari-hari yang mahal.

Sebagai gambaran umum, Scott (1989) juga menjelaskan bahwa problema kesejahteraan petani seringkali muncul pada situasi dimana para petani meng- hadapi hal-hal berikut : 1) kekurangan tanah untuk usaha pertanian, 2) jumlah anggota komunitas terus bertambah, 3) kekurangan modal untuk menjalankan usahatani (secara intensif), dan 4) kegiatan non-pertanian tidak dapat dijadikan alternatif sumber penghasilan keluarga. Sementara itu, menurut Ponsioen (1969) problem kesejahteraan petani juga akan muncul manakala institusi berubah sangat cepat. Dengan penguasaan lahan yang sempit maka upaya petani memenuhi kesejahteraan keluarganya sulit dipenuhi.

Dalam kondisi luas sumberdaya agraria yang dikuasai petani semakin ter- batas sebenarnya mereka dapat meningkatkan produktivitas sumberdaya tersebut melalui strategi “intensifikasi” sehingga penghasilan mereka meningkat. Akan tetapi, implementasi strategi tersebut sangat tergantung pada sejauhmana pengua- saan petani atas faktor produksi lain, terutama tenaga kerja, bahan dan alat, serta modal finansial (Wolf, 1985). Upaya yang paling sulit dilakukan petani kecil adalah akumulasi modal finansial karena harus bersaing dengan pemenuhan biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan pemenuhan biaya lainnya terutama biaya seremonial yang berperan menopang ikatan sosial tradisional dengan sesamanya.

Oleh sebab itu, Scott (1989) menyangsikan dapat berlangsungnya intensifi- kasi oleh para petani subsisten karena perhatian utama mereka adalah bagaimana memenuhi kepentingan hari ini, bukan bagaimana mencapai cita-cita masa depan. Bahkan dalam situasi ini, upaya yang dilakukan petani cenderung menghindari kegagalan (risk aversion) atau memilih “dahulukan selamat”41 (safety first). De- ngan kata lain, petani tidak dapat berjiwa wiraswasta. Namun demikian, berbeda dengan Scott, Popkin (1986) berpendapat bahwa para petani di pedesaan sebenar- nya merupakan petani pemecah masalah yang rasional. Para petani terus menerus berupaya keras selain untuk melindungi diri juga untuk menaikkan tingkat sub- sistensi mereka. Walaupun para petani pedesaan sangat miskin dan sangat dekat dengan garis bahaya, namun mereka masih memiliki sedikit kelebihan untuk me- lakukan tindakan investasi yang berisiko, baik melalui investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Logika investasi tersebut mereka aplikasikan dalam per- tukaran pasar maupun bukan pasar.

Dokumen terkait