BAB II. PENDEKATAN TEORI
2.2. Transformasi Struktur Agraria
Dalam kegiatan usaha pertanian, sumberdaya agraria (lahan) merupakan salah satu elemen daya/atau kekuatan produksi (force of production) yang penting karena diatas lahan kegiatan produksi komoditas penghasil “surplus” dimulai (Kautsky dalam Hashim, 1998). Terkait dengan keberadaan sumberdaya agraria sebagai elemen “kekuatan produksi”, maka muncul berbagai pola hubungan anta- ra manusia dan sumberdaya agraria serta hubungan sosial di antara para petani atau antara petani dengan pihak lain agar para petani dapat menguasai atau me- manfaatkan sebidang sumberdaya agraria. Hubungan sosial dimaksud oleh Shanin (1990), Russel (1989), dan Wiradi (1984) disebut sebagai “hubungan sosial produksi” atau “hubungan penguasaan lahan”.
Sejalan dengan itu, Sitorus (2002) mengemukakan bahwa agraria mencakup dua aspek, yaitu aspek objek yang menunjuk pada sumber-sumber agraria dan aspek subjek yang menunjuk pada pelaku-pelaku yang mempunyai : 1) hubungan teknis dengan sumber agraria, dan 2) hubungan sosial antarsesamanya. Lebih lanjut Sitorus menjelaskan bahwa dalam konteks sumberdaya agraria, sosiologi akan mengkaji : 1) hubungan antara manusia dengan tanah, dan 2) hubungan antarmanusia berkaitan dengan tanah. Fokus analisis sosiologi agraria adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan “sosio-agraria” antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan dalam hubungan tersebut, baik yang direncanakan atau tidak. Secara spesifik, analisis transformasi hubungan sosial
tersebut akan terfokus pada gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap sumberdaya agraria.
Secara historis, bentuk pemilikan lahan berubah bersamaan dengan perkembangan budaya umat manusia dalam usaha pertanian guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sanderson (2003) menggambarkan bahwa perkembangan pemilikan lahan pada masyarakat pra-kapitalis (mulai masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat agraris) cenderung semakin memperkuat tumbuhnya pemilikan perorangan (Tabel 2.5.). Pemilikan tanah secara perorangan muncul ketika manusia telah mengenal kehidupan menetap, bertani dan berternak. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya pertanian menetap serta masuknya ekonomi uang (monetisasi), pemilikan lahan beralih dari pemilikan komunal dalam bentuk tanah adat atau tanah ulayat menjadi pemilikan perorangan.
Tabel 2.5. Perubahan Pemilikan Lahan dalam Masyarakat Pra-kapitalis Sistem Pertanian Bentuk Pemilikan Keterangan Berburu, Meramu (Abad IX) Komunisme Primitif
Sumberdaya penting yang menopang hidup dimiliki bersama oleh seluruh komunitas Hortikultura Sederhana Lineage Ownership (Pemilikan Oleh Keluarga Besar)
Lineage/clan memiliki kekayaan bersama (pemilikan secara komunal oleh kelompok keluarga, bukan oleh seluruh komunitas). Para anggota kelompok berpartisipasi dalam pemanfaatan tanah Hortikultura Intensif Chiefly Ownership (Pemilikan oleh Pemimpin)
Seorang individu yang kuat (pemimpin keluarga besar) menyatakan pemilikan pribadi atas sebidang tanah yang sangat luas dan melakukan kontrol yang kuat atas pemanfaatan tanah tersebut. Orang lain yang memanfaatkan harus menyerahkan sebagian hasil
Agraris Skala Besar (Kerajaan Romawi – Kapitalisme Modern) Pemilikan Seigneurial
Pemilikan oleh sekelompok kecil tuan tanah atau aparat pemerintah yang kuat yang berfung- si untuk kepentingan tuan tanah.
Diatasnya hidup petani dan budak yang memba- yar rente, pajak, dan pengabdian tertentu. Tuan tanah mempunyai kekuasaan yang sangat besar terhadap produsen utama (buruh tani) dan memberikan beban yang berat kepada mereka. Sumber: Sanderson (2003).
Dengan kata lain, pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisional) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi transformasi struktur agraria. Transformasi struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani da- lam penguasaan sumberdaya agraria. Sejalan dengan pendapat Wiradi dan Makali (1984), Gunawan (1986), serta Kano (1984), pada periode penguasaan perorang- an, konsep hubungan penguasaan sumberdaya agraria mencakup penguasaan tetap (misalnya pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (misalnya bagi hasil, sewa, dan gadai) 24.
Pengalaman di Jawa masa lalu pun terjadi transformasi penguasaan sumberdaya agararia (lahan) dari kolektif (komunal)25 ke perorangan (pribadi). Kejadian tersebut terutama dipicu oleh tekanan penduduk yang semakin berat serta tidak adanya cadangan tanah baru yang dapat dibuka (Kroef, 1984). Selain itu, sebagaimana hasil penelitian Soentoro (1980) ternyata transformasi hak komunal ke hak milik pribadi (melalui pelaksanaan landreform) telah mendorong makin seringnya terjadi jual beli tanah sawah. Sementara itu, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), di luar Jawa tidak dikenal konsep pemilik- an tanah semutlak seperti di Jawa, sehingga konsep tanah kolektif (hak ulayat/ adat) lebih menguasai pengaturan tentang penguasaan (bukan pemilikan tanah). Selain itu, konsep “tanah bebas” berlaku di kalangan peladang berpindah. Mereka memaknai pemilikan komunal di tangan kepala suku (tidak ada tuan tanah).
24 Sistem sewa merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada
orang lain dan besarnya uang sewa ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pemilik dan penyewa sedangkan resiko produksi ditanggung penyewa. Sistem sakap merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya bagian hasil penggarap atau pemilik didasarkan pada perjanjian bersama yang mengacu pada perbandingan kewajiban masing-masing pihak dalam menanggung sarana produksi. Selain itu, dalam sistem ini pemilik turut menanggung resiko produksi. Sementara itu, sistem gadai merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain, karena pemilik meminjam sejumlah uang secara tunai, dan pemilik dapat mengambil kembali hak atas tanahnya bila pinjamannya telah dibayar.
25 Menurut Kroef (1984), dalam sistem komunal semua tanah baik yang ditanami maupun tanah
cadangan seluruhnya berda dalam pengawasan desa dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa.
Oleh sebab itu, seseorang yang akan membuka dan mengerjakan sebidang lahan hutan akan meminta persetujuan kepada kepala suku. Dengan kata lain, sebenarnya tanah yang digarap peladang merupakan tanah milik marga/suku. Sebagaimana dikemukakan Utomo (1985), permintaan izin kepada kepala suku atau kepala marga juga harus dilakukan oleh para pendatang atau “kelompok perintis” yang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Akan tetapi setelah adanya UU No, 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peran ketua adat digantikan oleh kepala desa (Adimihardja, 1999).
Adapun gambaran keterkaitan antara kemajuan budaya pertanian dengan perubahan pola penguasaan lahan yang terjadi di luar Jawa dapat dilihat pada dikajian Soetarto (2002) dalam masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat (Tabel 2.6). Pola penguasaan yang berciri komunalistik atau kolektif (marga) hanya terjadi pada pertanian tidak intensif (ekstensif) seperti usaha hutan serta usaha perikanan di sungai dan di danau. Sementara itu, pada usaha pertanian semi intensif (transisi dari tidak intensif ke intensif) seperti ladang dan kebun buah- buahan pola penguasaannya oleh unit kerabat (pareneatn) dan/atau secara perorangan. Lebih lanjut, pada usaha pertanian yang dikelola intensif terutama kebun karet dan sawah pola penguasaan lahannya adalah perorangan.
Tabel 2.6. Kaitan antara Perkembangan Pertanian dengan Perubahan Pola Penguasaan Lahan (Kasus Pada Masyarakat Dayak)
Jenis Usaha Pertanian Pola Penguasaan
Kolektif Keluarga Perorangan
1. Kawasan Hutan V
2. Sungai dan Danau V
3. Kebun Buah-buahan V V
4. Ladang dan Bawas V V
5. Kebun Karet V
6. Sawah V
Sumber: Diolah dari E. Soetarto (2002)
Sejalan dengan gambaran tersebut, Geertz (1976) menjelaskan adanya perbedaan persepsi penguasaan tanah antara masyarakat di wilayah Jawa-Madura (Indonesia Dalam) dan masyarakat di wilayah Luar Jawa-Madura (Indonesia
Luar). Di wilayah Jawa-Madura tanah dianggap hak milik perorangan dan dipandang sebagai alat produksi, sehingga batas kepemilikan tanah biasanya jelas. Sementara itu, di wilayah Luar Jawa - Madura tanah merupakan hak ulayat dan kepemilikannya ditunjukkan oleh tanaman yang tumbuh diatas tanah (bukan pada tanah itu sendiri) sehingga batas kepemilikan tanah biasanya tidak jelas.
Lebih lanjut Li (2002) menjelaskan bahwa proses transformasi struktur agraria tersebut bukan hal yang baru tetapi sudah dimulai sejak pemilihan lahan kolektif diprivatisasi menjadi pemilikan lahan perorangan. Pada waktu pemilikan lahan masih kolektif, seluruh warga mempunyai kekuasaan yang sama untuk memanfaatkan lahan. Pada saat itu, meskipun terdapat hak pribadi atas lahan (private right on land) yang diperoleh perintis pertama tetapi keturunannya tidak dapat membagi lahan berdasarkan sistem pewarisan. Lahan tersebut tetap menjadi sumberdaya kolektif sehingga para tetangga atau kerabat dapat meminjamnya secara gratis untuk penggunaan lahan (paling tidak satu musim). Pada saat itu tidak ada penduduk yang tidak menguasai lahan bila mereka bermaksud menjalan- kan kegiatan usahatani. Dengan kata lain, pada saat itu, sistem penguasaan lahan relatif merata.
Hasil studi Li (2002) juga menunjukkan bahwa proses transformasi sistem penguasaan lahan yang terjadi di wilayah dataran tinggi adalah seperti berikut : Tahap I : Privatisasi lahan dimulai dengan adanya penanaman tanaman
tahunan di lahan ladang sehingga lahan tersebut tidak lagi menjadi lahan kolektif. Pada tahap ini, petani yang memiliki modal lebih banyak (untuk ganti rugi buka lahan), tenaga kerja, dan pengetahuan genealogis tentang dimana nenek moyang mereka membuka lahan dapat mengkonsolidasikan penguasaan lahan pada areal yang luas. Sementara itu, orang-orang yang lambat memulai dan tidak memiliki klaim tanah nenek moyang akan kehilangan lahan.
Tahap II : Lahan yang telah diprivatisasi mulai diperlakukan sebagai komodi- tas, sehingga lahan tersebut dapat dijual kepada pihak ketiga, dan selanjutnya oleh pihak ketiga lahan tersebut diberlakukan sebagai lahan milik perorangan secara permanen.
Tahap III : Para elite pantai dan atau para pengusaha kota 26 yang memiliki kapital (modal finansial) secara signifikan membeli kebun kakao di dataran tinggi untuk dikelola oleh para tenaga kerja upahan.
Secara umum, berlangsungnya transformasi struktur agraria dalam suatu masyarakat akan berkaitan dengan hal-hal berikut (Wiradi, 2002) : 1) dinamika internal masyrakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakannya, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh faktor eksternal (misalnya gerakan bisnis dari perusahaan multi-nasional; kepentingan para penyedia dana internasional; serta perubahan-perubahan kondisi politik dan ekonomi dunia), dan 4) warisan sejarah. Sementara itu, Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa perubahan sistem pemilikan sumberdaya lahan terjadi karena kemajuan teknologi dan bertambahnya keuntungan dari investasi.
Mengacu pada kasus transformasi agraria yang terjadi pada komunitas pe- tani kakao di Sulawesi Tengah, Li (2002) mengemukakan bahwa transformasi agraria tidak dapat dipandang hanya sebagai hasil otomatis (outomatic outcome) dari kapitalisme atau globalisasi (yang berasal dari luar komunitas). Perubahan tersebut merupakan hasil mediasi kultural aktivitas manusia (human actions) dalam waktu dan ruang tertentu melalui proses historis (yang berasal dari dalam komunitas). Sebagai contoh, sejumlah kejadian lokal yang berkaitan dengan diferensiasi agraria di antaranya adalah : 1) adanya program penempatan ulang (resettlement) dimana pemerintah memfasilitasi transfer lahan, 2) implementasi UUPA Tahun 60 27 dimaknai sebagai “tidak ada lagi lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan adat” sehingga pemimpin desa dapat mengabaikan tuntutan atas tanah yang diajukan warga desa yang dipimpinnya, serta 3) munculnya para perantara dalam pelaksanaan penjualan tanah.
26
Pada lahan sawah pun bila yang diusahakannya tanaman komersial tebu yang relatif padat modal, ternyata usaha tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik uang dari kota (Soentoro, 1980)
27
Sebenarnya UUPA mengakui keberadaan hak ulayat. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro (1999), UUPA 1960 mengandung benih dualisme legal karena disatu pihak mengakui hak ulayat/adat tetapi sebaliknya hukum negara juga menjadi pegangan.